Anda di halaman 1dari 30

PROPOSAL PENELITIAN

Jamur Entomopatogen Endofit untuk Meningkatkan


Pertumbuhan Jagung (Zea mays) dan Menghambat Pertumbuhan
Serangga Spodoptera frugiperda

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister


Sains (M.Si)

YUWINDA AYU LESTARI


08082622125008

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

PROPOSAL PENELITIAN

Jamur Entomopatogen Bersifat Endofit untuk Meningkatkan


Pertumbuhan Jagung (Zea mays) dan Menghambat Pertumbuhan
Serangga Spodoptera frugiperda

Diusulkan Oleh:
YUWINDA AYU LESTARI
08082622125008

Telah disetujui
Pada tanggal

Pembimbing I
Marieska Verawaty, S. Si., M. Si., Ph. D

Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda, M.Si

i
DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN PENGESAHAN i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR GAMBAR iii
DAFTAR TABEL iv

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan 4
1.4 Hipotesis 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Jagung (Zea mays) 5
2.2 Morfologi Jagung (Zea mays) 6
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Jaung 6
2.4 Spodoptera frugiperda 6
2.5 Jamur Entomopatogen 10
2.6 Mekanisme Jamur Entomopatogen Endofit 12

BAB 3 PELAKSANAAN PENELITIAN


3.1 Tempat dan Waktu 14
3.2 Alat dan Bahan 14
3.3 Metode Penelitian 14
3.4 Prosedur Kerja 15
3.5 Parameter Pengamatan 18
3.6 Analisis Data 20

DAFTAR PUSTAKA 21

ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Tanaman Jagung (Zea mays) 5


Gambar 2. Siklus hidup hama dan bagian tanaman yang dirusak 7
Gambar 3. Gejala kerusakan daun akibat Spodoptera frugiperda 8
Gambar 4. Telur Spodoptera frugiperda 8
Gambar 5. Larva noenatus 9
Gambar 6. Larva instar 1 – 5 9
Gambar 7. Pupa Spodoptera frugiperda 9
Gambar 8. Imago jantan dan imago betina 10
Gambar 9. Spora jamur Metarhizium anisopliae dan gejala serangan 11
Gambar 10. Koloni Beauveria bassiana dan spora Beauveria bassiana 11
Gambar 11. Siklus infeksi Beauveria bassiana pada serangga 13
Gambar 12. Interaksi Beauveria bassiana dengan tanaman 13

iii
DAFTAR TABEL
Halaman

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan 14

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengendalian hayati merupakan teknik manipulasi populasi organisme
hidup yang menguntungkan untuk mengurangi jumlah hama atau kerusakan
akibat hama (Gazali, 2015). Upaya pengendalian secara konvensional masih
sering dilakukan oleh kebanyakan petani yang mana lebih menekankan pada
penggunaan insektisida sintetik dengan frekuensi penyemprotan yang tinggi.
Namun penggunaan insektisida tersebut dapat menyebabkan dampak negatif
seperti resistensi hama, menghilangkan kesuburan tanah, mengganggu
keseimbangan lingkungan, dan membahayakan kesehatan manusia. Alternatif
penggunaan insektisida sintetik yakni dengan memanfaatkan agen hayati ramah
lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan,
manusia, dan bagi musuh alami tanaman tersebut.
Organisme pengganggu tanaman (OPT) didefinisikan sebagai semua
organisme yang dapat menyebabkan kerusakan baik secara fisik, gangguan
fisiologi dan kimia serta kompetisi hara terhadap tanaman budidaya (Pakpahan,
Memperkenalkan 2019). Salah satunya seperti hama Spodoptera frugiperda yang terdapat pada
topik dan menekankan
kenapa topik ini tanaman jagung, akibat dari serangan hama tersebut produktivitas jagung
penting
menurun. (Midega et al., 2018; Bhusal and Chapagain, 2020; Megasari and
Khoiri, 2021).
Spodoptera frugiperda merupakan hama invasif pada jagung yang
menyerang titik tumbuh tanaman sehingga mengakibatkan kegagalan
pembentukan pucuk daun muda tanaman, hama ini memiliki kemampuan makan
yang tinggi dimana larva akan masuk ke dalam bagian tanaman dan aktif
memakan. Spodoptera frugiperda bersifat polifag, dapat menyerang lebih dari 80
spesises tanaman yang mana beberapa inang utamanya adalah jagung, padi,
gandum, sorgum, dan tebu sehingga keberadaan dan perkembangan hama ini
perlu diwaspadai (Maharani et al., 2019; Mukkun et al., 2021). Hama S.
frugiperda menyerang seluruh stadia tanaman jagung mulai dari fase vegetatif
hingga generatif dan menyebabkan kerusakan tertinggi pada fase vegetatif

1
(Trisyono et al., 2019). Siklus hidup S. frugiferda berkisar antara 32 – 46 hari,
serangga betina Spodoptera frugiperda mampu menghasilkan 900 – 1200 telur
(Sharanabasappa et al., 2018).
Pengendalian hayati yang banyak digunakan sebagai agen pengendali hama
di lapangan adalah jamur entomopatogen (Reddy et al., 2016). Jamur
entomopatogen merupakan jamur yang hidup sebagai parasit pada serangga
(Permadi et al., 2019). Jamur entomopatogen yang telah banyak digunakan
sebagai pengendali hama S. frugiperda ialah Beauveria bassiana (Mwamburi,
2021) dan Metharhizium sp. (Herlinda et al., 2020). Jamur entomopatogen
merupakan agen pengendali biologis pada hama dengan menyebabkan sakit pada
serangga melalui kontak langsung sehingga mekanisme untuk masuk ke dalam
inang dilakukan secara kontak (Mondal et al., 2016; Shylesha et al., 2018).
Sehingga berdasarkan hal tersebut sulit dilakukan pengendalian secara kontak
Dihubungkan dengan karena larva S. frugiperda hanya keluar di pagi hari untuk mencari makan dan
pengetahuan saat ini,
dibuat penelitian
selebihnya bersembunyi ke dalam gulungan daun muda jagung. Oleh karena itu,
sebelumnya apa saja pada penelitian ini digunakan jamur entomopatogen yang bersifat endofit.
ynag sudah dibuat atau
dikerjakan Jamur entomopatogen endofit ialah jamur yang hidup pada jaringan
tanaman yang tidak merusak tanaman serta dapat bersifat parasit dan membunuh
serangga (Branine et al., 2019). Isolat jamur entomopatogen endofit pada
penelitian ini adalah Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae asal jagung
dan cabai dengan kode isolat JgSPK (jagung simpang karet), JgCrJr (jagung curup
jare), dan CaTpPga (cabai tanjung agung Pagaralam) di mana JgSPK dan JgCrJr
termasuk Beauveria bassiana sedangkan CaTpPga termasuk isolat jamur
Metarhizium anisopliae.
Studi literatur menunjukkan bahwa kemampuan endofit dari Beauveria
bassiana dan Metarhizium brunneum untuk mengontrol Spodoptera littoralis pada
tomat, melon, dan gandum (Resquin-Romero et al., 2016; Sanchez-Rodriguez et
al., 2018). Kemudian Beauveria bassiana melawan Spodoptera exigua pada tomat
(Shrivastava et al., 2015). Selain itu dilaporkan juga bahwa Beauveria bassiana
dapat megendalikan hama Tuta absolut (cacing kremi) pada tanaman tomat sekitar
90% kematian selama 10 hari ketika konidia telah diinokulasikan pada permukaan
daun (Silva et al., 2020). Dan menurut hasil penelitian Safitri, Herlinda and

2
Setiawan (2018), menunjukkan bahwa Beauveria bassiana dan Metarhizium
anisopliae mampu menyebabkan kematian pada larva Spodoptera frugiperda
hingga 78,67% - 81,2%.
Penentuan metode inokulasi terhadap kemampuan jamur entomopatogen
penting dilakukan agar kemampuan jamur entomopatogen yang bekerja secara
endofit lebih efektif masuk ke dalam tanaman sehingga dapat menghambat
pertumbuhan serangga hama dan mampu meningkatkan produktivitas tanaman.
Memperkenalkan apa Menurut (Vega, 2018), kolonisasi oleh jamur entomopatogen dapat dilakukan
yang akan dikerjakan
dengan menggunakan teknik inokulasi yang berbeda seperti semprotan daun,
perendaman tanah, dan perendaman benih, dan injeksi. Pada penelitian ini
dilakukan uji pengaruh isolat jamur dengan metode inokulasi yang berbeda
terhadap kemampuan jamur entomopatogen bersifat endofit yang masuk ke
jaringan yang berbeda yakni benih, daun, dan akar. Oleh karena itu, dilakukan
penelitian mengenai Jamur Entomopatogen Bersifat Endofit untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Jagung (Zea mays) dan Menghambat Pertumbuhan Serangga
Spodoptera frugiperda.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaruh isolat jamur entomopatogen yang bersifat endofit
terhadap pertumbuhan bibit jagung.
2. Bagaimana pengaruh isolat jamur entomopatogen yang bersifat endofit
terhadap pertumbuhan dan perkembangan Spodoptera frugiperda

1.3 Tujuan
1. Untuk mengamati pengaruh isolat jamur entomopatogen yang bersifat
endofit terhadap pertumbuhan bibit jagung.
2. Untuk mengamati pengaruh isolat jamur entomopatogen yang bersifat
endofit terhadap pertumbuhan dan perkembangan Spodoptera frugipera

1.4 Hipotesis
1. Diduga terdapat pengaruh dari isolat jamur entomopatogen yang bersifat
endofit terhadap pertumbuhan bibit jagung

3
2. Diduga terdapat pengaruh dari isolat jamur entomopatogen yang bersifat
endofit terhadap pertumbuhan dan perkembangan Spodoptera frugipera

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jagung (Zea mays)


Jagung (Zea mays Liin) merupakan salah satu tanaman pangan terpenting di
dunia setelah gandum dan padi selain itu juga sebagai sumber karbohidrat yang
memegang peranan penting sebagai salah satu makanan Indonesia (Nugroho,
2015), termasuk family rumput-rumputan (graminae) yang merupakan tanaman
semusim (Sinaga, 2018). Tanaman jagung berasal dari Amerika Selatan, yang
mana sejak 10.000 tahun silam telah menjadi sumber pangan bagi suku Indian
(Goldberg, 2017).

Gambar 1. Tanaman jagung (Zea mays)

Tanaman jagung dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Sinaga, 2018)


Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu atau monokotil)
Sub Kelas : Kommolinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L

5
2.2 Morfologi Jagung (Zea mays)
Jagung memiliki morfologi dengan sistem perakaran serbut. Terdapat 3
macam akar pada jagung yakni akar seminal, akar adventif, dan akar udara. Akar
adventif berperan dalam pengambilan air dan unsur hara, dimana pertumbuhan
akar ini melambat setelah plumula muncul ke permukaan tanah. Akar yang
muncul pada dua tiga buku diatas permukaan tanah disebut akar udara yang mana
akar ini berfungsi sebagai penyangga supaya tanaman jagung tidak mudah roboh
(Riwandi et al., 2014).
Jagung memiliki batang tunggal yang terdiri atas buku dan ruas, batang
jagung terdiri dari tiga lapisan yakni epidermis, bundles vaskuler, dan pith
(Goldberg, 2017). Jagung memiliki tinggi batang berkisar antara 150 -250 cm
yang terbungkus atas pelepah daun berselang-seling pada setiap buku. Ruas
bagian atas berbentuk silindris dan bagaian bawah bulat pipih. Jagung memiliki
daun berwarna hijau, jumlah daun bervariasi antara 8 sampai 15 helai. Daun
jagung terdiri dari kelopak daun, ligula (lidah daun), dan helai daun berbentuk
seperti pita dengan ujung meruncing. Bunga jantan dan betina terdapat dalam satu
tanaman tetapi letaknya terpisah sehingga disebut tanaman berumah satu. Bunga
jantan dalam bentuk malai terletak di pucuk tanaman sedangkan bunga betina
pada tongkol yang terletak pada pertengahan tinggi batang (Riwandi et al., 2014).
2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
Tanaman jagung menyukai cahaya dan temppat terbuka. Ketinggian tempat
yang cocok untuk tanaman jagung yaitu 0 – 1300 m diatas permukaan laut, 23 –
27oC merupakan temperatur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman
jagung. pH tanah yang optimal untuk pertumbuhan jagung berkisar antara 5,6 –
6,2. Curah hujan yang ideal untuk tanaman jagung umumnya antara 200 samapi
300 mm per bulan atau yang memiliki curah hujan tahunan antara 800 samapai
1200 mm (Riwandi et al., 2014).
2.4 Spodoptera frugiperda
Spodoptera frugiperda atau dikenal dengan ulat tentara musim gugur
(FAW) diakui sebagai salah satu hama ngengat terpenting di Amerika. Larva
Spodoptera frugiperda menyerang sejumlah besar spesies tanaman budidaya,
tetapi kerusakan terbesar yang diamati yaitu pada tanaman jagung dan sorgum.

6
Spodoptera frugiperda berpotensi menyebabkan kehilangan hasil jagung sebesar
8,3 sampai 20,6 ton per tahun, nilai kerugian diperkirakan antara US 2,48 miliyar
hingga US 6,19 miliar (Montezano et al., 2018).
Spodoptera frugiperda merupakan hama asal Amerika Serikat kemudian
menyebar ke Argentina. Pada tahun 2016 dilaporkan bahwa hama ini pertama
kalinya masuk ke Afrika Barat dan Tengah. Setelah itu pada tahun 2018 hama ini
mulai masuk ke Asia dan telah menginfeksi pertanaman jagung di India,
Myanmar, dan Thailand (Nonci et al., 2019).
Hama Spodoptera frugiperda dapat merusak tanaman jagung dengan cara
menggerek daun. Mula-mula larva instar 1 akan memakan jaringan daun dan
meninggalkan lapisan epidermis yang transparan lalu larva instar 2 dan 3 akan
membuat lubang gerekan pada daun kemudian memakannya dari tepi hingga ke
dalam bagian daun. Sedangkan larva instar akhir dapat memakan daun dan
menyisakan tulang daun dari tanaman jagung. Siklus hidup hama dan bagian
tanaman yang dirusak dapat diliaht pada gambar di bawah ini (Nonci et al., 2019).

Gambar 2. Siklus hidup hama dan bagian tanaman yang dirusak


(Sumber: Nonci et al., 2019)

7
Gambar 3. Gejala Kerusakan daun akibat S. frugiperda. A). Daun dengan
bekas gigitan transparan dan lubang-lubang akibat S. frugiperda;
B).Kehilangan daun akibat S.frugiperda; dan C). S.frugiperda menyebabkan
lubang di bagian daun muda yang masih menggulung.
(Sumber: Nonci et al., 2019)

Spodoptera frugiperda bermetamorfosis sempurna yaitu dari telur kemudian


fase larva terdiri dari 6 instar larva, pupa, dan imago (Nonci et al., 2019).
1. Telur
Imago betina akan meletakkan telur pada permukaan daun jagung
di bagian atas atau bawah daun. Ketika telur baru diletakkan akan
berwarna putih bening kemudian berubah menjadi hijau kecoklatan dan
pada saat akan menetas telur akan berubah warna menjadi coklat. Fase
telur 2-3 hari.

Gambar 4. Telur S. frugiperda


(Sumber: Nonci et al., 2019)

2. Larva
Setelah telur menetas maka terbentuk larva instar 1 atau yang
disebut dengan neonatus (Gambar. 6 ). Larva S. frugiperda terdiri dari 6
instar stadia. Larva muda berwarna putih kemudian menjadi cokelat

8
hingga hijau muda dan berubah menjadi lebih gelap pada tahap akhir
perkembangan (Gambar. 7). Lama perkembangan larva 12 hingga 20 hari.

Gambar 5. Larva Noenatus


(Sumber: Nonci et al., 2019)

Gambar 6. Larva Instar 1 – 5


(Sumber: Nonci et al., 2019)

3. Pupa
Larva instar 6 yang berwarna cokelat tua selanjutnya akan
membentuk pupa (Gambar). Lama perkembangan pupa dapat
berlangsung selama 12 – 14 hari.

Gambar 7.. Pupa S.frugiperda


(Sumber: Nonci et al., 2019)

9
4. Imago
Imago memiliki lebar bentangan sayap antara 3 – 4 cm yang mana
sayap bagian depan berwarna cokelat gelap sedangkan sayap belakang
berwarna putih keabuan (Gambar 9.). Imago hidup selama 2 – 3 minggu
sebelum mati.

a b

Gambar 8. a).Imago Jantan; b). Imago Betina


(Sumber: Nonci et al., 2019)

2.5 Jamur Entomopatogen


Pengendalian hayati pada hama tanaman dapat dilakukan dengan jamur
entomopatogen yang mana penegendalian ini dapat dijadikan pendekatan
alternatif yang perlu dikembangkan karena bersifat ramah lingkungan (Suciatmih,
2015). Jamur entomopatogen dapat menyebabkan kematian pada serangga, jamur
entomopatogen merupakan jamur yang hidup sebagai parasit ada serangga
(Permadi et al., 2019). Jamur entomopatogen yang telah banyak digunakan
sebagai pengendali hama S. frugiperda ialah Beauveria bassiana (Mwamburi,
2021) dan Metarhizium sp. (Herlinda et al., 2020).
1. Metarhizhium anisopliae
Secara morfologi Metarhizium sp memiliki koloni bening
kemudian berkembang menjadi warna putih kekuningan, hifa berwarna
putih membentuk miselium dan terus tumbuh menyebar merata. Umur
jamur 5 sampai 7 hari maka tumbuh jamur semakin merata dan menyebar
serta menghasilkan konidia berwarna hijau tua. Konidia berbentuk
silinder, tunggal, bersel satu, dan panjang berkisar 8 samapi 10 m
(Herlinda et al., 2020).
Metharizhium anisopliae merupakan salah satu jamur
entomopatogen yang memiliki ciri khusus berwarna kehijauan. Jamur
Metharizhium anisopliae dapat diklasifikasikan sebagai berikut

10
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Order : Hypocreales
Family : Clavicipitaceae
Genus : Metharizhium
Species : Metharizhium anisopliae

a b
Gambar 9. a). Spora jamur Metarhizium anisopliae; b). Gejala serangan
jamur pada larva S.frugiperda

2. Beauveria bassiana
Beauveria bassiana merupakan filum ascomycota dan termasuk
ordo hypocreales. Beauveria bassiana adalah jamur entomopatogen yang
dapat bersifat endofit pada tumbuhan tanpa menimbulkan gejala pada
tanaman (Russo et al., 2015). Beauveria bassiana dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (Imoulan et al., 2017).
Kingdom : Fungi
Phylum : Ascomycota
Class : Sordariomycetes
Order : Hypocreales
Family : Cordycipitaceae
Genus : Beauveria
Species : Beauveria bassiana
Morfologi dari Beauveria bassiana berwarna putih kemudian spora
berbentuk oval agak bulat sampai dengan bulat telur dan struktur dari
jamur ini seperti buah anggur (Gargita et al., 2017).

11
a b

Gambar 10. a). Koloni jamur Beauveria bassiana pada media PDA; b).
Spora Beauveria bassiana

2.4 Mekanisme Jamur Entomopatogen Endofit


Waktu infeksi jamur entomopatogen terhadap serangga yakni 4 – 10 hari.
Konidia membutuhkan waktu untuk berkecambah pada permukaan kutikula
serangga kemudian miselia akan menembus rongga tubuh sehingga menyebabkan
kematian pada serangga. Setelah itu jamur akan menghasilkan ribuan spora baru
yang menyelimuti permukaan tubuh serangga (Sumikarsih, Herlinda and
Pujiastuti, 2019), Dilanjutkan (Suryadi et al., 2013) serangga yang terinfeksi
jamur entomopatogen gejalnya mati kaku, tidak berbau, dan tubuh serangga akan
diselimuti hifa dan spora.
Proses infeksi jamur entomopatogen terhadap serangga inang yaitu terbagi
atas dua fase diantaranya fase parasit dan fase saprofit. Fase parsit dimulai dari
konidia jamur menempel pada kutikula serangga inang lalu konidia berkecambah
pada kutikula inang. Setelah itu penetrasi jamur ke dalam kutikula serangga dapat
dilakukan dalam memproduksi hifa infeksi yang berasal dari appressoria dari
jamur. Lalu miselia didistribusikan ke dalam hemolimfa dengan cara
pembentukan blastospora. Akibatnya menyebabkan serangga mengalami
kematian dalam 4 hari setelah penetrasi. Sedangkan untuk fase saprofit dimulai
dengan jamur tumbuh secara mekanis di dalam tubuh serangga yang mati dan
menyerap nutrisi dari tubuh serangga dan jamur menghasilkan racun (Safitri,
Herlinda and Setiawan, 2018)
Siklus infeksi B. bassiana pada serangga (Gambar 12.) dimulai dari spora
aseksual yakni konidia disebarkan oleh angin dan bisa juga oleh vektor
arthropoda. Kemudian konidia menempel pada kulikula serangga lalu
berkecambah membentuk appressorium atau paku penetrasi sehingga hifa masuk
ke integumen serangga. Jamur masuk menembus semua lapisan kutikula dengan

12
bantuan enzim hidrolitik (seperti protease, kitinase, dan lipase) hingga mencapai
lingkungan yang kaya nutrisi (hemolimf). Setelah mencapai lingkungan hemolimf
jamur akan berkolonisasi dan menyebar ke jaringan internal. Selama tahap infeksi
jamur juga mengeluarkan racun metabolit yang membantu penekanan kekebalan
tubuh untuk mendukung keberhasilan kolonisasi Beauveria sp. Akibatnya
menyebabkan kematian pada serangga (Mascarin dan Jaronski, 2016).
Pada fase saprofit berlangsung di tanah (Gambar 13) di mana konidia
membentuk miselium. Setelah itu B. bassiana menginfeksi serangga tanah
kemudian hifa berpindah ke tanaman melalui akar. Jika B. bassiana memiliki
kemampuan endofit maka akan menyebar dari bawah keatas jaringan tanaman
termasuk daun, batang, dan biji. Serangga yang terinfeki oleh spora menyebabkan
serangga tersebut mengalami kematian

Gambar 11. Siklus infeksi B. bassiana pada serangga


(Sumber: Mascarin dan Jaronski, 2016)

Gambar 12. Interaksi B. Bassiana dengan tanaman


(Sumber: Mascarin dan Jaronski, 2016)

13
BAB 3
PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,
Universitas Sriwijaya. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September
sampai dengan selesai.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang diperlukan pada penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi,
autoclave, laminar air flow, bunsen, bor gabus, bunsen, spatula, erlenmeyer,
neraca analitik, mikropipet, spatula, pinset, oven
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih jagung,
aquades steril, agar, yeast, glukosa, tisu, isolat jamur entomopatogen endofit
(kode isolat JgSPK, JgCrJr, dan CaTpPga) , Spodoptera frugiperda, etanol 70%,
natrium hipoklorit 1%, cup plastik, dan botol stril

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini merupakan rancangan acak lengkap faktorial (RAL faktorial),
Menjelaskan yang terdiri dari 2 faktor yaitu faktor pertama teknik inokulasi (benih, permukaan
rancangan penelitian
yang diguankan daun, dan akar) dan faktor kedua isolat jamur entomopatogen (isolat JgSPK, isolat
JgCrJr, isolat CaTpPga, dan kontrol aquades steril). Penelitian ini terdiri dari 12
kombinasi perlakuan dengan 3 ulangan.
Tabel 1. Kombinasi Perlakuan
Teknik Isolat Jamur
Inokulasi JgSPK JgCrJr CaTpPga Kontrol
Benih Benih JgSPK Benih JgCrJr Benih Benih
CaTpPga kontrol
Permukaan Permukaan Permukaan Permukaan Permukaan
daun daun JgSPK daun JgCrJr daun daun
CaTpPga kontrol
Akar Akar JgSPK Akar JgCrJr Akar Akar
CaTpPga kontrol

14
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Sterilisasi Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini dilakukan

Prosedur kerja
sterilisasi. Metode sterilisiasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode
dijelaskan secara rinci fisik dan sterilisasi permukaan. Untuk sterilisasi dengan metode fisik dilakukan
dengan cara yaitu alat yang berbahan kaca seperti cawan petri, tabung reaksi,
erlenmeyer, bos gabus, dan spatula direndam dengan larutan hipoklorit selama 30
menit lalu dibilas dengan sabun dan dikeringkan. Setelah kering dibungkus semua
alat dan dimasukkan ke plastik. Setelah itu disterilisasi di dalam autoclave suhu
121oC tekanan 1 atm selama 15 menit (Tille, 2013). Sedangkan untuk sterilisasi
permukaan dilakukan untuk benih jagung dengan cara disiapkan benih jagung lalu
benih jagung tersebut direndam dengan etanol 70% selama 2 menit kemudian
direndam dengan natrium hipoklorit 1% selama 2 menit. Setelah itu dibilas
dengan air steril sebanyak 3 kali (Russo et al., 2021).

3.5.2 Pembuatan Media GYA


Untuk membuat media GYA 250 ml maka ditimbang agar 5 gram, tepung
jangkrik 1,3 gram, sukrosa 2,5 gram, dan yeast 1 gram. Kemudian dilarutkan ke
dalam erlenmeyer yang berisi 250 ml aquades. Setelah itu, media tersebut
disterilisasi di dalam autoclave. Kemudian media dituang ke cawan petri secara
aseptis di laminar air flow.

3.5.3 Peremajaan Isolat Entomopatogen


Isolat yang digunakan pada penelitian ini adalah jamur entomopatogen yang
diperoleh dari Laboratorium Entomologi Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
dengan kode isolat JgSPK, JgCrJr, dan CaTpPga. Jamur entomopatogen tersebut
diremajakan ke media GYA baru di dalam laminar air flow secara aseptis dengan
cara isolat jamur yang pada media GYA dilubangi dengan bor gabus kemudian
dipindahkan dengan spatula ke dalam media GYA baru. Setelah itu diinkubasi
selama 14 hari.

15
3.5.4 Persiapan Serangga Uji
Serangga uji yang digunakan pada penelitian ini adalah Spodoptera
frugiperda. Telur Spodoptera frugiperda diambil dari lahan jagung petani.
Kemudian telur tersebut dibawa ke laboratorium entomologi dan diletakkan di
dalam toples plastik hingga menetas yang diberi makan kangkung. Setelah
menetas menjadi larva instar 2 dipindahkan ke wadah cup untuk mencegah
terjadinya kanibalisme. Lalu diberi makan daun jagung dan diganti pakannya
setiap hari. Ketika larva berubah menjadi pupa, maka pupa tersebut dipindahkan
ke dalam sungkup dimana di dalam sungkup terseut telah terdapat daun jagung
yang digunakan sebagai media imago betina untuk meletakkan telur. Setelah itu
telur yang dihasilkan kemudian diambil dan dipindahkan ke dalam toples yang
berisi daun kangkung sebagai pakan larva instar pertama, untuk larva instar dua
dan selanjutnya diberi pakan duan jagung yang dipelihara dalam cup plastik
secara individual. Pemeliharaan Spodoptera frugiperda dilakukan hingga
didapatkan generasi ke dua dan seterusnya (Herlinda et al., 2020). Adapun untuk
serangga Spodoptera frugiperda yang digunakan untuk aplikasi dimulai dari telur,
setelah telur menetas menjadi larva maka diberi perlakuan percobaan.

3.5.5 Pembuatan Suspensi


Pembuatan suspensi dilakukan dengan merujuk penelitian (Sumikarsih et
al., 2019)
1. Disiapkan biakan isolat jamur entomatogen endofit dengan kode isolat
JgSPK, JgCrJr, dan CaTpPga
2. Kemudian konidia dipanen dengan mengikis pada permukaan kultur
3. Lalu dimasukkan sebanyak ke dalam tabung yang berisi 10 ml aquades
dan di vorteks selama 30 detik (dijeda per 10 detik agar suspensi
homogen).
4. Setelah itu dilakukan pengenceran, sebanyak 1 ml suspensi awal diambil
untuk dilakukan pengenceran hingga 10 -2
5. Suspensi terakhir diambil sebanyak 10 ml untuk dihitung kerapatan spora
sampai mencapai 1 × 108 per ml
𝐴
KS = 𝐵
× × 4.106 × 𝐶

16
Keterangan:
A : Jumlah konidia dalam kotak
B : Total kotak yang diamati
C : Faktor pengenceran

3.5.6 Metode Inokulasi Tanaman dengan Jamur Entomopatogen


Perlakuan inokulasi tanaman dengan jamur entomopatogen pada penelitian
ini ada 3 metode yaitu benih, permukaan daun, dan akar (Russo et al., 2021),
1. Benih
Perlakuan benih dilakukan dengan perendaman dengan suspensi. Pertaman
dilakukan seleksi benih kemudian benih disterilisasi permukaan dengan cara
benih direndam dengan etanol 70% selama 2 menit lalu dilanjutkan dengan
natrium hipoklorit 1% selama 2 menit dan dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali
kemudian dikering anginkan di tisu steril. Setelah itu benih direndam dengan 10
ml suspensi dan untuk perlakuan kontrol benih tersebut direndam dengan 10 ml
aquades steril selama 24 jam. Kemudian benih jagung dikecambahkan di dalam
botol steril selama 2 hari lalu dihitung daya kecambah benih. Selanjutnya pada
hari ketiga, benih yang berkecambah dipindahkan ke rockwool sebanyak 3 benih
per botol steril setiap perlakuan dan volume per botol steril berisi 200 ml per
perlakuan dengan konsentrasi 500 ppm.
2. Permukaan daun
Perlakuan untuk permukaan daun dilakukan dengan cara penyemprotan.
Pertaman dilakukan seleksi benih kemudian benih disterilisasi permukaan dengan
benih direndam dengan etanol 70% selama 2 menit lalu dilanjutkan dengan
natrium hipoklorit 1% selama 2 menit dan dibilas dengan air steril sebanyak 3
kali. Lalu benih jagung dikecambahkan di dalam botol steril selama 2 hari dan
dihitung daya kecambah benih. Selanjutnya pada hari ke tiga, benih yang
berkecambah dipindahkan ke rockwool sebanyak 3 benih per botol steril setiap
perlakuan dan volume per botol steril berisi 200 ml per perlakuan dengan
konsentrasi 500 ppm. Setelah bibit berumur 7 hari kemudian disemprot pada
permukaan daun sebanyak 3 ml suspensi. Penyemprotan dilakukan pagi hari pada

17
pukul 9.00. Dan untuk perlakuan kontrol, permukaan daun disemprot dengan
aquades steril sebanyak 3 ml.
3. Akar
Perlakuan pada akar dilakukan dilakukan dengan cara yaitu pertama
dilakukan seleksi benih kemudian benih disterilisasi permukaan dengan benih
direndam dengan etanol 70% selama 2 menit lalu dilanjutkan dengan natrium
hipoklorit 1% selama 2 menit dan dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali. Setelah
itu benih jagung dikecambahkan di dalam botol steril selama 2 hari lalu dihitung
daya kecambah benih. Selanjutnya pada hari ke tiga, benih yang berkecambah
dipindahkan ke rockwool sebanyak 3 benih per botol steril setiap perlakuan dan
volume per botol steril berisi 200 ml per perlakuan dengan konsentrasi 500 ppm.
Ketika bibit berumur 7 hari dikeluarkan dari rockwool dan dibilas dengan aquades
steril sebanyak 3 kali. Lalu akar tersebut direndam ke dalam 2 ml suspensi konidia
selama 24 jam. Dan untuk perlakuan kontrol akar direndam dengan 2 ml aquades
selama 24 jam. Setelah itu bibit ditanam kembali pada media hidroponik di
rockwool masing-masing.

3.4.7 Uji Konfirmasi Jamur yang Mengkolonisasi Daun Jagung


Pada penelitian ini uji endofit dilakukan dengan mengambil tanaman
jagung yang berumur 7 hari dan 14 hari lalu diambil masing-masing satu daun
tanaman perlakuan lalu dipotong 1 cm kemudian daun tersebut disterilisasi
permukaan. Setelah itu ditanam pada media GYA dengan 0,1% stok antibiotik
(tetrasiklik, streptomicin, dan penicilin) dan diinkubasi. Pengamatan dilakukan
setiap hari dan didokumentasikan. Spora jamur yang tumbuh diujung daun
diisolasikan kembali pada media GYA untuk mendapatkan biakan murni.
Selanjutnya isolat jamur ditumbuhkan pada media agar murni untuk membuktikan
bahwa struktur jamur yang tumbuh di media sama dengan pelakuan isolat jamur
pada benih.
3.4.8 Uji Konfirmasi Jamur yang Menginfeksi Serangga
Larva Spodoptera frugiperda yang mati terinfeksi ditanam pada media
GYA lalu jamur yang tumbuh diisolasi ke media GYA baru. Setelah murni
ditanam ke media agar murni.

18
3.5 Perameter Pengamatan
3.5.1 Agronomi
Peubah agronomi dilakukan pengamatan pada umur tanaman 35 hari.
Pengamatan dilakukan dengan mengukur panjang akar, panjang dan lebar daun,
jumlah daun, dan berat kering.
3.5.2 Larva
Uji pengaruh kolonisasi Endofit pada jagung terhadap perkembangan
Spodoptera frugiperda dilakukan yaitu sebanyak sepuluh kelompok telur
Spodoptera frugiperda yang diperoleh dari pengembangbiakan masal diamati
setiap hari hingga menetas. Kemudian 25 larva neonatus instar pertama (menetas
dalam waktu 24 jam) ditempatkan ke dalam cawan petri setiap per perlakuan.
Selanjutnya larva tersebut diberi pakan berupa daun jagung yang telah diberi
perlakuan berumur 10 hari. Lalu larva dibiarkan memakan daun jagung hingga
habis. Setelah larva memasuki instar 2 kemudian larva tersebut dipindahkan
secara individual ke dalam cup plastik dan diberi pakan daun jagung biasa yang
berukuran 2 x 5 cm, pemberian pakan dilakuan setiap hari pada masing-masing
larva(Russo et al., 2021). Pengamatan dimulai dari telur hingga imago meletakkan
telur. Parameter pengamatan sebagai berikut:
1. Larva
a. Panjang dan lebar larva, pengukuran panjang dan lebar larva
dilakukan dengan cara larva diletakkan di kertas milimeter kemudian
diamati dan didokumentasikan, satu kotak besar berukuran 1 cm dan
satu kotak kecil berukuran 1 mm.
b. Berat larva (mg/ekor), berat larva instar satu yang digunakan
ditimbang sebelum dilakukan aplikasi dan setiap hari sampai larva
berubah menjadi pupa. Seluruh berat larva di rata-rata kemudian
dibagi jumlah larva sehingga diketahui berat per larva.
c. Berat kotoran larva (mg/ekor/hari), berat kotoran larva ditimbang
setiap hari. Seluruh kotoran larva dihitung dan di rata-rata untuk
mengetahui kotoran larva per ekor.

19
d. Luas Daun yang Dimakan, perhitungan luas daun yang dimakan
menggunakan aplikasi bioleaf. Persentase daun yang dimakan dapat
dilihat dari nilai defoliasi yang muncul pada aplikasi tersebut.
LDK = D × ILD

Keterangan:
LDK : Luas daun yang dimakan
D : Defolisasi
ILD : Indeks luas daun (2 x 5 cm2)
e. Mortalitas larva
f. Persentase larva menjadi pupa
2. Pupa
a. Berat pupa
b. Panjang pupa
c. Pupa yang menjadi imago
3. Imago
a. Jumlah imago jantan yang muncul
b. Jumlah imago betina yang muncul
c. Rentang sayap imago
d. Umur imago
4. Telur
a. Jumlah telur
b. Persentase Telur Menetas
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑢𝑛𝑐𝑢𝑙
𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑡𝑎𝑠 = × 100 %
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟

3.6 Analisis Data


Data panjang dan lebar larva, berat larva, berat kotoran larva, luas
daun yang dimakan, mortalitas larva, berat pupa, panjang pupa, rentang
sayap imago janta dan betina, persentase pupa dan imago muncul dianalisis
menggunakan Analysis of Variance (ANOVA), bila terjadi perbedaan maka
diuji lanjut menggunakan BNJ 5% (Gustianingtias et al., 2021).

20
DAFTAR PUSTAKA

Bhusal, S. and Chapagain, E. (2020) ‘Threats of fall armyworm (Spodoptera


frugiperda) incidence in Nepal and it’s integrated management-A review’,
Journal of Agriculture and Natural Resources, 3(1), pp. 345–359. doi:
10.3126/janr.v3i1.27186.

Branine, M., Bazzicalupo, A. and Branco, S. (2019) ‘Biology and applications of


endophytic insect-pathogenic fungi’, PLoS Pathogens, 15(7). doi:
10.1371/journal.ppat.1007831.

Brévault, T., Ndiaye, A., Badiane, D., Bal, A.B., Sembène, M., Silvie, P., and
Haran, J. (2018) 'First Records of the Fall Armyworm, Spodoptera
frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae), in Senegal' Journal Entomologia
Generalis 37(2): 129-142. DOI: 10.1127/entomologia/2018/0553.

Gargita, I. W. D., Sudiarta, I. P., and Wirya, G. N. A. S. (2017) 'Pemanfaatan


Patogen Serangga (Beauveria bassiana Bals.) untuk Mengendalikan Hama
Penghisap Buah Kakao (Helopeltis Spp) di Desa Gadungan, Kecamatan
Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan' E-Jurnal Agroekoteknologi Trop,
6(1) pp.11 – 20.

Gazali, A. (2015) 'Pengendalian Hayati' Mujahid Press: Bandung.

Goergen, G. , Kumar, P. L., Sangkung, S. B., Togola, A., and Tamo, M. (2016)
‘First report of outbreaks of the fall armyworm Spodoptera frugiperda (J E
Smith) (Lepidoptera, Noctuidae), a new alien invasive pest in West and
Central Africa’, PLoS ONE, 11(10). doi: 10.1371/journal.pone.0165632.

Goldberg, A. (2017) ‘Classification, evolution, and phylogeny of the families of


Monocotyledons /’, Classification, evolution, and phylogeny of the
families of Monocotyledons /. doi: 10.5962/bhl.title.131638.

Gustianingtyas, M., Herlinda, S., and Suwandi, S. (2021) 'The endophytic fungi
from South Sumatra (Indonesia) and their pathogenecity against the new
invasive fall armyworm, Spodoptera frugiperda' , Biodiversitas, 22(2) pp.
1051-1062. DOI: 10.13057/biodiv/d220262.

Imoulan, A., Hussain, M., Kirk, P. M., Meziane, A., and Yao, Y. J. (2017)
'Entomopathogenic Fugus Beauveria: Host specificity, ecology and
significance of Morpho-molecular Characterization in Accurate
Taxonomic Classification' J. Asia. Pac. Entomol, 20(4) pp. 1204 – 1212.

Herlinda, S. , Octarianti, N., Suwandi, S., Hasbi. (2020) ‘Exploring


entomopathogenic fungi from south sumatra (Indonesia) soil and their
pathogenicity against a new invasive maize pest, Spodoptera frugiperda’,
Biodiversitas, 21(7), pp. 2955–2965. doi: 10.13057/biodiv/d210711.

21
Kuate, A. F. , Hanna, R., Armand, R. P., Fotio, D., Abang, A. F., Nanga, S. N.,
Ngatat, S., Tindo, M., Masso, C., Ndemah, R., Suh, C., and Fiaboe, K. K.
M. (2019) ‘Spodoptera frugiperda Smith (Lepidoptera: Noctuidae) in
Cameroon: Case study on its distribution, damage, pesticide use, genetic
differentiation and host plants’, PLoS ONE, 14(4). doi:
10.1371/journal.pone.0215749.

Maharani, Y. , Dewi, V. K., Puspasari, L. T., Rizkie, L., Hidayat, Y., and Dono,
D. (2019) ‘Cases of Fall Army Worm Spodoptera frugiperda’, Jurnal
Cropsaver, 2019(1), pp. 38–46.

Mascarin, G. B., Jaronski, S. T. (2016) 'The production and uses of Beauveria


bassiana as a microbial insecticide', World J Microbiol Biotechnol,
32(177), pp. 1-26. DOI: 10.1007/s11274-016-2131-3.

Megasari, D. and Khoiri, S. (2021) ‘Tingkat serangan ulat grayak tentara


Spodoptera frugiperda J. E. Smith (Lepidoptera: Noctuidae) pada
pertanaman jagung di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, Indonesia’,
Agrovigor: Jurnal Agroekoteknologi, 14(1), pp. 1–5. doi:
10.21107/agrovigor.v14i1.9492.

Midega, C. A. O. , pittchar, J O., Pickett, J. A., Hailu, G. W., and Khan, Z. R.


(2018) ‘A climate-adapted push-pull system effectively controls fall
armyworm, Spodoptera frugiperda (J E Smith), in maize in East Africa’,
Crop Protection, 105, pp. 10–15. doi: 10.1016/j.cropro.2017.11.003.

Mukkun, L., Kleden, Y. L., and Simamora, A. (2021) ‘Detection of Spodoptera


frugiperda’, Indonesia. Intl J Trop Drylands, 5(1), pp. 20–26. doi:
10.13057/tropdrylands/t050104.

Mondal, S. Baksi, S., Koris, S., and Vatai, G. (2016) ‘Journey of enzymes in
entomopathogenic fungi’, Pacific Science Review A: Natural Science and
Engineering, 18(2), pp. 85–99. doi: 10.1016/j.psra.2016.10.001.

Montezano, D. G. , Specht, A., Sosa-Gomez, D. R., Roque-Specht, V. F., Sousa-


Silva, J. C., Paula-Moraes., Peterson, J. A., and Hunt, T. E. (2018) ‘Host
Plants of Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae) in the
Americas’, African Entomology. Entomological Society of Southern
Africa, pp. 286–300. doi: 10.4001/003.026.0286.

Mwamburi, L. A. (2021) ‘Endophytic fungi, Beauveria bassiana and Metarhizium


anisopliae, confer control of the fall armyworm, Spodoptera frugiperda (J.
E. Smith) (Lepidoptera: Noctuidae), in two tomato varieties’, Egyptian
Journal of Biological Pest Control, 31(1). doi: 10.1186/s41938-020-
00357-3.

22
Nonci, N. , Kalgutny., Hary, S., Mirsam, H., Muis, A., Azrai, M., and Aqil,M.
(2019) Pengenalan Fall Armyworm (Spodoptera frugiperda J.E. Smith)
Hama Baru pada Tanaman Jagung di Indonesia, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Serealia.

Nugroho, A. B ‘Analysis of Production Functions and Efficiency of Corn at


Patean District Kendal Regency’ (2015) JEJAK: Jurnal Ekonomi dan
Kebijakan, 8(2), pp. 160–172. doi: 10.15294/jejak.v8i2.6168.

Pakpahan, A. V. (2019). Implementasi metode forwaed chaining untuk


mendiagnosis organisme pengganggu tanaman (OPT) kopi' Jurnal
SIMETRIS, 10(1): 117 - 126.

Permadi, M. A., Lubis, R. A., and Siregar, I. K. (2019) 'Studi keragaman


cendawan entomopatogen dari berbagai rizosfer tanaman hortikultura di
Kota Padangsidimpuan' Jurnal Penelitian dan Pembelajaran MIPA, 4(1)
pp. 1-9.

Reddy, G. V. P. , Antwi, F. B, Shrestha, G., and Kuriwada, T. (2016) ‘Evaluation


of toxicity of biorational insecticides against larvae of the alfalfa weevil’,
Toxicology Reports, 3, pp. 473–480. doi: 10.1016/j.toxrep.2016.05.003.

Resquín-Romero G, Garrido-Jurado I, Delso C, Ríos-Moreno A, Quesada-Moraga


E. (2016) 'Transient endophytic colonizatios of plants improve the
outcome of foliar applications of mycoinsecticides against chewing
insects' J Invertebr Pathol 136:23–31

Riwandi, Handajaningsih, M., dan Hasanudin. (2014) 'Teknik Budidaya Jagung


dengan sistem Organik di Lahan Marijinal', Unib Press.

Russo, M. L. , Pelizza, S. A., Cabello, M. N., Stenglein, S. A., and Scorsetti, A. C.


(2015) ‘Endophytic colonisation of tobacco, corn, wheat and soybeans by
the fungal entomopathogen Beauveria bassiana (Ascomycota,
Hypocreales)’, Biocontrol Science and Technology, 25(4), pp. 475–480.
doi: 10.1080/09583157.2014.982511.

Russo, M. L. ,Jaber, L. R., Scorsetti, A. C., Vianna, F., Cabello, M. N., and
Pelizza, S. A (2021) ‘Effect of entomopathogenic fungi introduced as corn
endophytes on the development, reproduction, and food preference of the
invasive fall armyworm Spodoptera frugiperda’, Journal of Pest Science,
94(3), pp. 859–870. doi: 10.1007/s10340-020-01302-x.

Safitri, A., Herlinda, S. and Setiawan, A. (2018) ‘Entomopathogenic fungi of soils


of freshwater swamps, tidal lowlands, peatlands, and highlands of south
sumatra, Indonesia’, Biodiversitas, 19(6), pp. 2365–2373. doi:
10.13057/biodiv/d190647.

Salmah, M. and Ngah, N. (2019) ‘Survey on pest and disease of corn (Zea mays

23
linn) grown at bris soil area’, Journal of Agrobiotechnology, 10(101), pp.
75–87.

Sánchez-Rodríguez AR, Raya-Díaz S, María Zamarreño A, María García-Mina


JM, del Campillo MC, Quesada-Moraga E. (2018) 'An endophytic
Beauveria bassiana strain increases spike production in bread and durum
wheat plants and efectively controls cotton leafworm (Spodoptera
littoralis) larvae' Biol Control 116:90–102

Sharanabasappa, Kalleshwaraswamy, C.M., Maruthi, M., and Pavithra, H. B.


(2018) ‘ Biology of invasive fall army worm Spodoptera frugiperda (J.E.
Smith) (Lepidoptera: Noctuidae) on maize ’, Indian Journal of
Entomology, 80(3), p. 540. doi: 10.5958/0974-8172.2018.00238.9.

Shrivastava G, Ownley BH, Augé RM, Toler H, Dee M, Vu A, Köllner TG, Chen
F. (2015) 'Colonization by arbuscular mycorrhizal and endophytic fungi
enhanced terpene production in tomato plants and their defense against an
herbivorous insect. Symbiosis 65:65–74

Shylesha, A. N., Jalali, S. K., Gupta, A., & Varshney, R., Venkatesan, T., Shetty,
P., Ojha, R., Ganiger, P. C., Navik, O., Subaharan, K., Bakthavatsalam,
N., and Ballal, C. R. (2018) ‘Studies on new invasive pest Spodoptera
frugiperda (J. E. Smith) (Lepidoptera: Noctuidae) and its natural enemies’,
Journal of Biological Control, 32(3), pp. 145–151. doi:
10.18311/jbc/2018/21707.

Silva, A. C. L., Silva, G. A., Abib, P. H. N., Carolino, A. T., and Samuels, R. I.
(2020) ‘Endophytic colonization of tomato plants by the
entomopathogenic fungus Beauveria bassiana for controlling the South
American tomato pinworm, Tuta absoluta’, CABI Agriculture and
Bioscience, 1(1), pp. 1–9. doi: 10.1186/s43170-020-00002-x.

Sinaga, H. (2018) ‘Analisis Komoditi Jagung (Zea mays L) Asmina Herawaty


Sinaga Dosen. Kopertis Wil. I dpk.Fakultas Pertanian Universitas Darma
Agung’, XXVI(April), pp. 319–325.
Suciatmih., Kartika, T., and Yusuf, S. (2015) 'Jamur Entompatogen dan Aktivitas
Enzim Ekstraselulernya. Berita Biologi' 14(2) pp.131- 142.

Sumikarsih, E., Herlinda, S. and Pujiastuti, Y. (2019) ‘Conidial density and


viability of Beauveria bassiana isolates from Java and Sumatra and their
virulence against nilaparvata lugens at different temperatures’, Agrivita,
41(2), pp. 335–350. doi: 10.17503/agrivita.v41i2.2105.

Sun, X. X., Hu, C. X., Jiang, H. R., Wu, Q. L., Shen, X. J., Zhao, S. Y., Jiang, Y.
Y, Wu, K. M. (2021) ‘Case study on the first immigration of fall
armyworm, Spodoptera frugiperda invading into China’, Journal of
Integrative Agriculture, 20(3), pp. 664–672. doi: 10.1016/S2095-
3119(19)62839-X.

24
Suryadi, Y. , Priyanto, T. P., Samudra, I. M., Susilowati, D. N., Lawati, N., and
Kustaman, E. (2013) Pemurnian Parsial dan Karakterisasi Kitinase Asal
Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana Isolat BB200109.

Trisyono, Y. A., Suputa., Aryuwandari, V. E. F., Hartaman, M., and Jumari.


(2019) ‘Occurrence of Heavy Infestation by the Fall Armyworm
Spodoptera frugiperda, a New Alien Invasive Pest, in Corn Lampung
Indonesia’, Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 23(1), p. 156. doi:
10.22146/jpti.46455.

Vega, F. E. (2018) ‘The use of fungal entomopathogens as endophytes in


biological control: a review’, Mycologia, 110(1), pp. 4–30. doi:
10.1080/00275514.2017.1418578.

25

Anda mungkin juga menyukai