Anda di halaman 1dari 10

Kondisi ekonomi pada masa demokrasi liberal

Kelompok 2
- Nathannael
- Isaac
BAB I

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat-nya.
Kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang cukup sederhana ini.
Makalah ini dibuat berdasarkan pengumpulan data, konsultasi kepada guru pembimbing.

Harapan kami, semoga makalah ini dapat membantu pembelajaran sejarah, Khususnya pada
materi “ Kondisi ekonomi pada masa demokrasi liberal “.

Tidak lupa, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:


1. Ibu Adel, Selaku guru makalah ini yang dalam kesibukannya dapat meluangkan
waktu untuk memberi usul, kritik, dan saran.
2. Teman - teman sekelompok penulis yang telah aktif memberi ide dan sarannya.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemikiran ekonomi pada 1950-an merupakan upaya mengembangkan


struktur perekonomian colonial menjadi perekonomian nasional. Hambatan
yang di hadapi adalah sudah berkarya sistem perekonomian colonial yang
cukup lama. Upaya membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak
kabinet pertama di era demokrasi parlemneter, Kabinet Natsir.
Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh
Soemitro Djojohadikusumo. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia
pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Oleh karena itu, bangsa
Indonesia harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha pribumi, serta
pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebut dengan
bimbingan konkret dan bantuan pemberian kredit.

Gagasan Soemitro dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam wujud


pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) disebut juga Plan Soemitro.
Program ini antara lain mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok
bisnis pribumi, serta membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun
bisnis modal di bawah perlindungan pemerintah. Sayangnya, terjadi penyelewengan
lain dalam pelaksanaan Politik Benteng yaitu mendaftarkan perusahaan milik
keturunan Cina dengan menggunakan nama orang asli pribumi. Perusahaan dari kerja
sama ini bernama “Ali-Baba”, Ali mewakili pribumi dan Baba mewakili Cina.

Usaha lain untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan


Asaat” yaitu, memberikan perlindungan khusus bagi warga Negara Indonesia asli dan
warga keturunan Cina pada khususnya. Pernyataan pemerintah pada Oktober 1956
bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Pada
tanggal 20 Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil
kebijakan memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, kami dapat merumuskan sebuah rumusan


masalah yaitu :

1. Bagaimana keadaan Ekonomi Indonesia pada Masa Demokrasi Liberal?


2. Bagaimana kebijakan Pemerintah dalam mengatasi keadaan Ekonomi Indonesia
pada Masa Demokrasi Liberal?

1.2 Tujuan

Penulis membuat makalah dengan tujuan :

- Untuk mengetahui keadaan ekonomi pada masa demokrasi liberal dan tindakan
Pemerintah dalam mengatasinya.
- Menjelaskan keadaan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi liberal.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Latar Belakang Terbentuknya Kondisi Ekonomi demokrasi liberal


berlangsung di Indonesia dari tahun 1949 hingga 1959. Saat itu Indonesia baru
merdeka. Perekonomian belum tertata dan tersendat-sendat. Apalagi setelah merdeka,
Belanda masih berusaha menguasai Indonesia. Melansir buku Demokrasi Liberal
(1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) (2018), Belanda akhirnya
mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Namun pengakuan itu
didasarkan pada syarat Indonesia harus membayar utang kepada Belanda seperti hasil
Konferensi Meja Bundar.

Utang tersebut sebesar Rp 1,5 triliun utang luar negeri dan Rp 2,8 triliun utang dalam
negeri.
Defisit yang harus ditanggung pemerintah saat itu sebesar Rp 5,1 miliar. Indonesia
saat itu hanya mengandalkan ekspor pertanian dan perkebunan. Jika permintaan
ekspor itu turun, maka perekonomian akan melemah secara signifikan. Upaya
menggerakkan sektor lain terhambat keterbatasan dana dan sumber daya manusia.

Pertumbuhan penduduk melejit. Namun tak ada tenaga ahli untuk membangkitkan
industri. Kendala lainnya yakni Indonesia harus menghadapi pemberontakan di
daerah-daerah. Kebutuhan keamanan tentu harus menambah biaya. Belum lagi
kabinet yang kerap berganti, menyebabkan program ekonomi tak berjalan optimal.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun tak bisa menyelamatkan perekonomian.

2. Kepemimpinan kabinet pada masa Ekonomi demokrasi liberal


Sistem multi partai pada masa demokrasi liberal menimbulkan persaingan antar
golongan. Masing-masing partai hanya mau mencari kemenangan dan popularitas
partai dan pendukungnnya, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan politik Indonesia.
Ketidakstabilan politik juga diwarnai jatuh bangunnya kabinet karena antara
masing-masing partai tidak ada sikap saling percaya. Sebagai bukti dapat dilihat
pergantian kabinet dalam waktu yang relatif singkat berikut ini.

1. Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951).


2. Kabinet Sukiman (April 1951 - Februari 1952).
3. Kabinet Wilopo (April 1952 - Juni 1953).
4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953 – Agustus 1955).
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (Agustus 1955 - Maret 1956)
6. Kabinet Ali Sastroamijoyo II (Maret 1956 - Maret 1957).
7. Kabinet Juanda (Maret 1957 - Juli 1959).

3. Kondisi ekonomi pada masa kepemimpinan cabinet di demokrasi


liebral
Setelah bubarnya RIS dan kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan, pemerintah
mengalami permasalahan ekonomi dan keuangan yang cukup berat. Permasalahan jangka
pendek seperti besarnya jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup serta
permasalahan jangka panjang seperti pertambahan jumlah penduduk yang pesat, masih
ditambah dengan bertambahnya nilai utang luar negeri maupun dalam negeri sebagai akibat
dari ditandatanginya persetujuan meja bundar.

Beberapa permasalahan yang mendera ekonomi Indonesia pada saat itu antara lain:

1. Hutang luar negeri sebesar 1,5 trilyun Rupiah dan hutang dalam negeri sebesar 2,8
trilyun Rupiah yang harus ditanggung Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar
(KMB).
2. Defisit sebesar 5,1 milyar rupiah yang harus ditanggung pemerintah.
3. Ekspor hanya mengandalkan satu jenis yaitu pertanian dan perkebunan sehingga
rentan jika terjadi penurunan permintaan.
4. Politik keuangan Indonesia yang merupakan warisan pemerintah Belanda.
5. Situasi keamanan yang tidak menentu dengan banyaknya pemberontakan di daerah,
membuat pengeluaran keamanan dan militer meningkat.
6. Terlalu sering terjadi pergantian kabinet sehingga program ekonomi yang dirancang
tidak bisa diselesaikan.
7. Angka pertumbuhan penduduk yang besar.

Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi perekonomian antara lain:

1. Kebijakan "Gunting Syfruddin" yang merupakan program pemotonagn nilai uang atau
sanering. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara dengan
cara memotong semua uang yang bernilai di atas 2,5 rupiah, hingga nilaninya tinggal
setengahnya. Tujuan program ini adalah untuk mengatasi defisit anggaran. Program ini dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar dan tidak merugikan rakyat kecil karena uang 2,5
rupiah pada saat itu hanya dimiliki kalangan menengah ke atas.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Banteng, yang merupakan upaya pemerintah untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah. Program ini dilakukan pada masa
pemerintahan kabinet Natsir dan diinisiasi oleh Sumitro Djoyohadikusumo yang merupakan
menteri perdangan. Inti kebijakan ini adalah membantu pengusaha pribumi dengan bantuan
kredit dan kesempatan dari pemerintah.
3. Nasionalisasi De Javanesche Bank menjadi Bank Indonesia pada tanggal 15
Desember 1951.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba, bertujuan untuk memajukan pengusaha pribumi
(Ali)dengan cara bekerja sama dengan pengusaha non-pribumi (Baba).
5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek) yang merupakan beberapa keputusan ekonomi
yang dilaksanakan sepihak oleh Indonesia karena tidak disetujui oleh Belanda.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT), yang disusun oleh Biro Perancang
Negara dipimpin oleh Ir. Djuanda sebagai Menteri Perancang Negara. Biro ini berhasil
menyusun RPLT yang direncanakan untuk dilaksanakan dalam periode 1956 - 1961.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan, untuk menghasilkan rencana pembangunan
menyeluruh untuk jangka panjang. Hal ini juga sekaligus untuk sementara menyelesaikan
ketegangan yang terjadi antara pusat dan daerah akibat dari ketimpangan pembangunan
ekonomi pusat dengan daerah.

4. Berakhirnya Kondisi Ekonomi demokrasi liberal


Berakhirnya demokrasi Liberal ditandai dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pada masa demokrasi liberal, banyak kebijakan ekonomi yang dikeluarkan


oleh Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan untuk mengatasi keadaan ekonomi
pada masa itu. Tetapi kebijakan-kebijakan itu banyak yang mengalami kegagalan,
dikarenakan pengusaha pribuminya yang lamban dalam usahanya ataupun karena ada
sebagian pengusaha pribumi yang menyalahgunakan kebijakan itu.
Pada masa demokrasi liberal, kehidupan politiknya mengalami silih berganti
kabinet, hingga ada sekitar 7 kabinet yang pernah memerintah Negara Republik
Indonesia. Silih bergantinya kabinet dikarenakan sesuai dengan konstitusi, parlemen
dapat menjatuhkan kabinet jika oposisi di parlemen kuat dan partai politik yang
memerintah kehilangan dukungan.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Abdurakhman, dkk. 2015. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kemdikbud.


Herimanto. 2009. Sejarah 3: Pembelajaran Sejarah Interaktif. Solo: Platinum PT Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri.
Sh Musthofa, dkk. 2009. Sejarah untuk SMA/MA Kelas XII Program IPA. Jakarta: Pusbuk
Depdiknas.
http://whatteenagersneed.blogspot.com/. Diunduh 01 Agustus 2015, jam 10.08
http://annisaapriliastory.blogspot.com/. Diunduh 01 Agustus 2015, jam 10.00
http://www.google.com/. Gambar Keadaan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal. Diunduh
19 Agustus 2015, jam 10.16
BAB V
LAMPIRAN FOTO

Anda mungkin juga menyukai