Kelompok 2
- Nathannael
- Isaac
BAB I
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat-nya.
Kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang cukup sederhana ini.
Makalah ini dibuat berdasarkan pengumpulan data, konsultasi kepada guru pembimbing.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat membantu pembelajaran sejarah, Khususnya pada
materi “ Kondisi ekonomi pada masa demokrasi liberal “.
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
- Untuk mengetahui keadaan ekonomi pada masa demokrasi liberal dan tindakan
Pemerintah dalam mengatasinya.
- Menjelaskan keadaan ekonomi Indonesia pada masa demokrasi liberal.
BAB II
PEMBAHASAN
Utang tersebut sebesar Rp 1,5 triliun utang luar negeri dan Rp 2,8 triliun utang dalam
negeri.
Defisit yang harus ditanggung pemerintah saat itu sebesar Rp 5,1 miliar. Indonesia
saat itu hanya mengandalkan ekspor pertanian dan perkebunan. Jika permintaan
ekspor itu turun, maka perekonomian akan melemah secara signifikan. Upaya
menggerakkan sektor lain terhambat keterbatasan dana dan sumber daya manusia.
Pertumbuhan penduduk melejit. Namun tak ada tenaga ahli untuk membangkitkan
industri. Kendala lainnya yakni Indonesia harus menghadapi pemberontakan di
daerah-daerah. Kebutuhan keamanan tentu harus menambah biaya. Belum lagi
kabinet yang kerap berganti, menyebabkan program ekonomi tak berjalan optimal.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun tak bisa menyelamatkan perekonomian.
Beberapa permasalahan yang mendera ekonomi Indonesia pada saat itu antara lain:
1. Hutang luar negeri sebesar 1,5 trilyun Rupiah dan hutang dalam negeri sebesar 2,8
trilyun Rupiah yang harus ditanggung Indonesia sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar
(KMB).
2. Defisit sebesar 5,1 milyar rupiah yang harus ditanggung pemerintah.
3. Ekspor hanya mengandalkan satu jenis yaitu pertanian dan perkebunan sehingga
rentan jika terjadi penurunan permintaan.
4. Politik keuangan Indonesia yang merupakan warisan pemerintah Belanda.
5. Situasi keamanan yang tidak menentu dengan banyaknya pemberontakan di daerah,
membuat pengeluaran keamanan dan militer meningkat.
6. Terlalu sering terjadi pergantian kabinet sehingga program ekonomi yang dirancang
tidak bisa diselesaikan.
7. Angka pertumbuhan penduduk yang besar.
1. Kebijakan "Gunting Syfruddin" yang merupakan program pemotonagn nilai uang atau
sanering. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara dengan
cara memotong semua uang yang bernilai di atas 2,5 rupiah, hingga nilaninya tinggal
setengahnya. Tujuan program ini adalah untuk mengatasi defisit anggaran. Program ini dapat
mengurangi jumlah uang yang beredar dan tidak merugikan rakyat kecil karena uang 2,5
rupiah pada saat itu hanya dimiliki kalangan menengah ke atas.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Banteng, yang merupakan upaya pemerintah untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah. Program ini dilakukan pada masa
pemerintahan kabinet Natsir dan diinisiasi oleh Sumitro Djoyohadikusumo yang merupakan
menteri perdangan. Inti kebijakan ini adalah membantu pengusaha pribumi dengan bantuan
kredit dan kesempatan dari pemerintah.
3. Nasionalisasi De Javanesche Bank menjadi Bank Indonesia pada tanggal 15
Desember 1951.
4. Sistem Ekonomi Ali-Baba, bertujuan untuk memajukan pengusaha pribumi
(Ali)dengan cara bekerja sama dengan pengusaha non-pribumi (Baba).
5. Persaingan Finansial Ekonomi (Finek) yang merupakan beberapa keputusan ekonomi
yang dilaksanakan sepihak oleh Indonesia karena tidak disetujui oleh Belanda.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT), yang disusun oleh Biro Perancang
Negara dipimpin oleh Ir. Djuanda sebagai Menteri Perancang Negara. Biro ini berhasil
menyusun RPLT yang direncanakan untuk dilaksanakan dalam periode 1956 - 1961.
7. Musyawarah Nasional Pembangunan, untuk menghasilkan rencana pembangunan
menyeluruh untuk jangka panjang. Hal ini juga sekaligus untuk sementara menyelesaikan
ketegangan yang terjadi antara pusat dan daerah akibat dari ketimpangan pembangunan
ekonomi pusat dengan daerah.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA