“Hubungan PSI, dakwah dengan ilmu-ilmu lain. (Seperti dengan ilmu komunikasi, dengan
patologi sosial, dengan sosiologi, dan dengan Psikologi sosial)”
Alfarhatun (191510082)
Adapun tujuan pembuatan makalah ini ditulis dari hasil ungkapan pemikiran kami yang
bersumber dari E-book dan buku sebagai referensi. Tak lupa kami mengucapkan terimakasih
kepada dosen pengajar mata kuliah Psikologi atas bimbingan dan arahan dalam penulisan
makalah ini.
Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung pembuatan makalah ini sehingga
dapat diselesaikannya makalah ini. Kami berharap dengan adanya makalah ini. Dapat
memberi manfaat bagi kita semua. Semoga hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai
Sikap.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................2
A. Kesimpulan....................................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan ilmu dakwah ini sering dikaitkan dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Bisa
dilihat dalam pembahasan keagamaan terdapat beberapa ilmu yaitu tafsir, hadits, fiqh,
filsafah, nahu dan saraf. Dakwah secara praktis senantiasa melibatkan keilmuan lain seperti
ilmu komunikasi, patologi sosial, sosiologi dan psikologi sosial.
Sementara dalam ilmu dakwah, individu atau masyarakat adalah berfungsi sebagai subjek
dan objek dakwah. Oleh karena itu ilmu dakwah senantiasa bersentuhan dan bergelut dengan
realitas yang mengitarinya. Konsekwensi dari pengamulan dakwah itulah yang menyebabkan
ilmu-ilmu lain diperlukan dukungannya bagi pengembangan dakwah sebagai suatu disiplin
ilmu.
Mengingat begitu kentalnya ilmu dakwah dengan ilmu-ilmu lainnya, maka dalam tulisan
ini dicoba untuk menarik titik singgung atau korelasi diantara keilmuan dakwah dengan
bidang keilmuan lainnya. Dengan tujuan agar ilmu dakwah dapat menjawab dan berdaya
guna dalam mengatasi berbagai problematika hidup manusia dengan segala tantangan yang
dihadapinya. Dengan kata lain agama benar-benar menjadi rahmat bagi sekalian alam.
A. Rumusan Masalah
1. Hubungan Psikologi Dakwah dengan Ilmu Komunikasi
2. Hubungan Psikologi Dakwah dengan Patologi Sosial
3. Hubungan Psikologi Dakwah dengan Sosiologi
4. Hubungan Psikologi Dakwah dengan Psikologi Sosial
B. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Hubungan Antara Psikologi Dakwah dengan Ilmu
Komunikasi
2. Untuk Mengetahui Hubungan Antara Psikologi Dakwah dengan Patologi
Sosial
3. Untuk Mengetahui Hubungan Antara Psikologi Dakwah dengan Sosiologi
4. Untuk Mengetahui Hubungan Antara Psikologi Dakwah dengan Psikologi
Sosial
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara sederhana psikologi sering disebut sebagai ilmu yang mempelajari tingkah
laku manusia yang merupakan gejala dari jiwanya. Sedangkan definisi yang lebih terperinci
menyebutkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
lahiriah manusia dengan menggunakan metode observasi secara objektif, seperti terhadap
rangsang (stimulus) dan jawaban (respon) yang menimbulkan tingkah laku.
Psikologi dakwah ialah ilmu pengetahuan yang bertugas mempelajari atau membahas
tentang segala gejala hidup kejiwaan manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah.
Psikologi dakwah juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang tingkah
laku manusia yang merupakan cerminan hidup kejiwaannya untuk diajak kepada pengalaman
ajaran-ajaran islam demi kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Dalam referensi lain dijelaskan bahwa psikologi dakwah ialah ilmu yang berusaha
menguraikan, meramalkan dan mengendalikan tingkah laku manusia yang terkait dalam
proses dakwah. Psikologi dakwah berusaha menyingkap apa yang tersembunyi dibalik
perilaku manusia yang terlibat dalam dakwah, dan selanjutnya menggunakan pengetahuan itu
untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan dari dakwah itu.
2
B. Tujuan dan Manfaat Mempelajari Psikologi Dakwah
Pada proses dakwah yang bermaksud untuk mengubah sikap kejiwaan seorang mad’u,
maka pengetahuan tentang psikologi dakwah menjadi sesuatu yang sangat penting. Jika
dilihat dari segi psikologi, bahwa dakwah dalam prosesnya dipandang sebagai pembawa
perubahan, atau suatu proses. Dari segi dakwah, psikologi banyak memberi jalan pada tujuan
dakwah pemilihan materi dan penetapan metodenya. Bagi seorang da’i dengan mempelajari
metode psikologi dapat memungkinkan mengenal berbagai aspek atau prinsip yang dapat
menolongnya dalam meneliti tingkah laku manusia dengan lebih kritis dan juga dapat
memberikan kepadanya pengertian yang lebih mendalam tentang tingkah laku. Psikologi
memberikan jalan bagaimana menyampaikan materi dan menetapkan metode dakwah kepada
individu manusia yang merupakan makhluk yang berjiwa dan memiliki kepribadian.
Tujuan psikologi dakwah adalah membantu dan memberikan pandangan kepada para
da’I tentang pola dan tingkah laku para mad’u dan hal-hal yang mempengaruhi tingkah laku
tersebut yang berkaitan dengan aspek kejiwaan (psikis) sehingga mempermudah para da’I
untuk mengajak mereka kepada apa yang dikehendaki oleh ajaran islam.
Perubahan tingkah laku manusia baru terjadi bilamana ia telah mengalami proses
belajar dan pendidikan. Oleh karena itu, psikologi dakwah pun memperhatikan masalah
pengembangan daya cipta, daya karsa dan rasa dalam proses penghayatan dan pengamalan
ajaran agama.sedang factor belajar tersebut banyak dipengaruhi factor situasi dan kondisi
kehidupan psikologis yang melingkupi manusia itu sendiri.
3
rela serta dengan keyakinan sepenuhnya, karena hal tersebut benar-benar dapat menyentuh
serta memuaskan akan kebutuhan hidup rohaniahnya. Dengan penyampaian dakwah
menggunakan pendekatan psikologis, yakni sesuai dengan tingkatan dan kebutuhan jiwa
mad’u, sesuai dengan cara berfikir dan cara merasa mad’u, maka pesan dakwah pun akan
mudah dipahami oleh si penerima pesan.
Dengan psikologi dakwah juga akan lebih memungkinkan seorang da’I atau peneliti
memahami rahasia-rahasia hukum syara’, sehingga dapat menjadikannya lebih yakin akan
kesempurnaan dan keadilan Allah SWT dan dapat menerangkan dan menetapkan hokum-
hukum dengan baik dan benar kepada masyarakatnya. Psikologi dakwah juga dapat
membantu da’I untuk memahami keadaan jama’ah atau masyarakatnya, tentang minat
maupun kadar pengaruh ajaran yang disampaikan kepada mereka. Dengan memahami
psikologi, seorang da’I akan bijaksana menetapkan materi dakwah dan tingkatannya, dengan
harapan tidak membosankan mad’u.
1. Menemukan dirinya. Misalkan, seorang da’I yang dekat dengan elit kekuasaan, ia
pun tahu siapa dirinya dan apa yang harus dilakukan agar ia tetap dapat berperan dalam
posisinya sebagai da’I tanpa harus menjadi munafik.
4
2. Mengembangkan konsep diri. Konsep diri ialah pandangan dan perasaan
seseorang tentang diri sendiri. Konsep diri dipengaruhi oleh orang lain, misalnya pujian atau
cacian orang.
5
Perbedaan dakwah dengan komunikasi terletak pada muatan pesannya, pada komunikasi
sifatnya netral, sedangkan pada dakwah agama terkandung nilai keteladanan. Seorang pemain
sandiwara dianggap hebat manakala ia dapat memerankan dirinya sebagai oranglain, dan
pesannya dinilai komunikatif meskipun kehidupannya di luar panggung sangat jauh
kualitasnya dibanding tokoh yang diperakannya di atas panggung, karena ukuran
keberhasilan seorang aktor adalah keberhasilannya menjadi orang lain. Adapun seorang da’i,
ia bukan hanya seorang komunikator tetapi juga motivator dan contoh sehingga ia dituntut
untuk sinkron antara apa yang disampaikan di atas mimbar dengan apa yang dilakukannya
dalam kehidupan kesehariannya. Seorang da'i adalah komunikator sekaligus teladan.
Dalam konteks sosial, patologi juga harus dieliminasi karena berbahaya bagi
keberlangsungan masyarakat. Bagi Durkheim, patologi berbahaya bagi kelangsungan sistem
sosial secara lebih luas. Pengertian patologi dapat dideskripsikan sebagai penyakit sosial yang
ada di masyarakat.
Bagaimana mengidentifikasi suatu permasalahan sebagai patologi sosial? Di sini letaknya sisi
kontroversial teori Durkheim. Suatu permasalahan sosial bisa dikategorikan sebagai patologi
ketika permasalahan itu berpotensi meruntuhkan sistem sosial yang mapan. Sistem sosial
rentan runtuh bila norma sosial tidak dipelihara oleh anggota masyarakat.
Jika demikian, hampir semua permasalahan sosial adalah patologi sosial? Memang demikian,
karena hanya faktor-faktor yang dapat menjaga keberlangsungan masyarakat yang tidak
patologis. Namun perlu dicatat, bahwa patologi sosial tidak selamanya mengancam,
tergantung pada level bahayanya.
Patologi ada kalanya dibutuhkan untuk tetap memenuhi kebutuhan sistem sosial. Kriminalitas
adalah patologi sosial yang dieliminasi oleh masyarakat melalui instrumen negara. Namun
tingkat kriminalitas yang nol mengancam keberadaan reserse kriminal.
6
A. Contoh patologi sosial
Rasisme
Perilaku rasis adalah perilaku sosial yang patologis. Pembedaan masyarakat secara horizontal
secara ras seharusnya tidak melahirkan perlakukan yang berbeda. Warna kulit tidak
menentukan kelas sosial seseorang, itu seharusnya. Namun senyatanya rasisme eksis di
masyarakat
Korupsi
Korupsi adalah penyakit sosial yang dapat menjangkiti semua level masyarakat. Dari level
terendah sampai tertinggi, perilaku korup bisa muncul. Namun demikian, korupsi sebagai
penyakit yang berbahaya adalah korupsi yang dilakukan para elit.
Kemiskinan
Kemiskinan menjadi patologi sosial karena kehadirannya mengancam sistem sosial. Problem
sosial yang lahir dari akar kemiskinan tak terhitung jumlahnya. Orang melakukan tindak
kriminal karena kondisi hidupnya yang miskin, misalnya.
Diskriminasi
Perilaku diskriminatif adalah penyakit sosial. Diskriminasi bisa lahir dari berbagai faktor
yang sepele, misal perbedaan atribut. Sebagai contoh, tinggi badan seseorang adalah atribut
yang bisa menjadi basis munculnya diskriminasi. Gender adalah atribut yang bisa
menciptakan diskriminasi.
Berbagai contoh lain bisa menunjukkan praktik patologi sosial. Kadang tanpa sadar kita
menjadi bagian dari patologi itu sendiri. Misalnya, kita makan makanan yang tidak higenis
sehingga melahirkan wabah virus yang menular. Virus bukan patologi sosial, tetapi perilaku
kolektif mengonsumsi makanan kotor adalah patologi sosial.
Sampai di sini kita memahami bahwa patologi sosial diproduksi oleh perilaku sosial. Perlu
dicatat, produksi patologi sosial berlangsung dalam struktur sosial tertentu yang menopang
perilaku patologis tersebut.
Dengan kata lain, lahirnya patologi sosial tidak lepas dari struktur sosial. Misalnya, di suatu
masyarakat yang norma sosialnya mendukung serawung antar tetangga. Jika ada pendatang
7
yang menutup terus pintu rumahnya, perilaku pendatang tersebut bisa diangap patologis.
Norma serawung bisa hilang jika makin banyak perilaku menutup rumah dipraktikkan.
Berbeda dengan tinggal di suatu kampung yang berada di daerah kos-kosan dimana penduduk
kampung tersebut kebanyakan penghuni kos yang tinggal sementara lalu pergi. Penghuni kos
biasanya tidak mengenal tetangganya satu sama lain. Sehingga wajar jika di kampung
semacam itu tidak ada program guyub seperti senam sehat atau pengajian.
Psikologi sosial merupakan bagian dari psikologi. Psikologi mempelajari tingkah laku
manusia, sedangkan psikologi sosial memusatkan perhatiannya pada gejala sosial atau
tingkah laku manusia dalam lingkungan sosial kulturnya. Seorang da’i selalu berhadapan
dengan fenomena sosial yang belum tentu dipahaminya. Oleh karena itu, pengetahuan
psikologi sosial bagi seorang da’i cukup penting karena ia dapat membantu dai dalam bedah
gejala sosial masyarakat yang didakwahi. Dari sudut ini maka dakwah adalah peristiwa
sosial.
8
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan tentang psikologi dakwah di atas dapat kita lihat bahwa erat sekali
hubungannya antara psikologi dakwah dengan ilmu lalainnya. Karena ketika seseorang
berdakwah (da’i) maka ia perlu bahkan harus mengetahui kondisi psikologi objek yang
didakwahi (mad’u) agar apa yang disampaikan nantinya dapat tersampaikan dengan baik
karena dakwah itu sendiri merupakan suatu kegiatan yang mempengaruhi orang lain agar
mau merubah tingkah lakunya dan mengikuti sesuai dengan yang disyariatkan oleh agama
Islam.
Perlu kita ketahui juga bahwa hanya tujuan utama dari dakwah adalah bagaimana nantinya
seorang Made ungu dapat atau mau menjalankan apa yang disampaikan oleh seorang dai
bukan hanya sekedar dipahami direnungkan dan dirasakan saja dan bagaimana agar seorang
madu benar-benar menjalankan apa yang disampaikan oleh dai dengan penuh kesadaran
dirinya sendiri.
Sedangkan hubungannya dengan ilmu yang lain sudah sangat jelas sekali karena suatu ilmu
pengetahuan tidak lepas dari kaitannya dengan ilmu yang lain sebagai penunjang ilmu itu
sendiri tak terkecuali psikologi dakwah.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Amin, AI-Akhlaq Alih bahasa Farid . Ma’arif, Etika, Cet. VII, Bulan Bintang
Jakarta, 1993, Hamzah Yakub, Etika Islam, Cet. VI, CV. Ponegoro, Bandung, 1993
Amrullah Ahmad, Ed, Dakwah Islam dan Perubahan S osia/, cet. I, Prima Duta, Y
ogyakarta, 1983.
11