Anda di halaman 1dari 2

Di antara para mahasiswa ini terdapat pemuda 

Soe Hok Gie.  Ia adalah seorang anak muda yang


berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan bercita-cita besar tak hanya untuk dirinya
sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang banyak terutama kaum terpinggirkan. Ia rajin mencatat apa
yang dialaminya, apa yang dipikirkannya. Dengan perantaraan catatan-catatan hariannya, kita dapat
memperoleh pengetahuan mengenai kehidupan dan tindakan para mahasiswa dengan berbagai
permasalahan yang dihadapi mereka. Dengan berbagai pertimbangan, buku hariannya itu kemudian
diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran, pada Mei1983.

Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung
pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969, Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi.
Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66. Gie
lebih banyak berjuang lewat tulisan.

Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media
massa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie tidak lantas
mau mendukung pemerintahan Orde Baru. Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung bersama
teman-temannya.

Gie mencintai gunung dan alam bebas. Puisi-puisinya banyak berkisah tentang kecintaannya terhadap
pendakian gunung. Di puncak gunung juga salah satu pendiri Mapala UI ini menghadap penciptanya. 16
Desember 1969, di tengah kabut tebal puncak Gunung Semeru, sehari sebelum ulangtahun Gie ke-27,
Gie dan Idhan Lubis meninggal  karena menghirup gas beracun. Teman-teman Gie yang ikut mendaki
saat itu adalah : Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil,
Aristides Katoppo.

Buku Catatan Seorang Demonstran terdiri dari beberapa bagian yaitu :

Kata pengantar dan bagian I

menceritakan pandangan orang lain tentang diri Soe Hok Gie (untuk selanjutnya disingkat SHG), seperti
Harsja W Bachtiar (Dekan Fakultas Sastra UI semasa SHG menjadi mahasiswa), Arief Budiman (abang
kandung SHG) dan tulisan Daniel Dhakidae yang mengenal SHG lewat karya-karyanya.  Di bagian ini,
Arief Budiman menceritakan pembicaraan dia dengan adiknya Gie, sebelum Gie meninggal : “Akhir-akhir
ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik
kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak
musuh saya dan semakin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah
keadaan, Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi
kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang
konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.

Seorang teman dari Amerika menjawab keluhannya, “Gie, seorang intelektual yang bebas adalah
seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan
yang korup untuk menegakkan kekuasaan lain yang lebih bersih. Tapi sesudah kekuasaan baru ini
berkuasa, orang seperti kau akan terasing lagi dan akan terlempar dari sistem kekuasaan. Ini akan
terjadi terus menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang
intelektual yang merdeka : sendirian, kesepian, dan penderitaan.
“Di tengah-tengah pertentangan politik agama, kepentingan golongan, ia tegak berdiri di atas prinsip
perikemanusiaan dan keadilan dan secara jujur dan berani menyampaikan kritik-kritik atas dasar
prinsip-prinsip itu demi kemajuan bangsa. Karena itu kami mendukung dan akan meneruskan cita-cita
dan ide-idenya”    ujar Harsya W. Bachtiar

Bagian II

merupakan catatan harian Gie sendiri mulai dari 4 Maret 957 hingga 8 Desember 1969. Catatan ini
dibagi menjadi enam episode, yaitu Masa Kecil, Di ambang remaja, dan lahirnya seorang aktivis
merupakan latar belakang kejiwaan Soe Hok Gie

Bagian III

dimulai dari 24 Februari 1968 meliputi perjalanan ke Amerika, politik pesta dan cinta, serta akhirnya
mencari makna merupakan catatan pengalaman sehari-hari yang melukiskan peristiwa, pendapat,
gejolak perasaan dalam lika-liku hidupnya sebagai seorang pemuda yang tak lepas dari
kegembiraan,kesedihan,benci, cinta dan kecewa.

Catatan Seorang Demonstran, 

sebuah buku tentang pergolakan pemikiran seorang pemuda, Soe Hok Gie. Dengan detail menunjukkan
luasnya minat Gie, mulai dari persoalan sosial politik Indonesia modern, hingga masalah kecil hubungan
manusia dengan hewan peliharaan. Gie adalah seorang anak muda yang dengan setia mencatat
perbincangan terbuka dengan dirinya sendiri, membawa kita pada berbagai kontradiksi dalam dirinya,
dengan kekuatan bahasa yang mirip dengan saat membaca karya sastra Mochtar Lubis.

Dia banyak menulis kritik yang keras di media massa seperti koran, bahkan kadang dengan menyebut
personal (tidak menyamarkan nama). Dia pernah mendapat surat kaleng yang memaki-maki dia “Cina
yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Gie bukanlah stereotipe tokoh panutan atau
pahlawan yang kita kenal di negeri ini. Ia adalah pecinta kalangan yang terkalahkan dan mungkin ia ingin
tetap bertahan menjadi pahlawan yang terkalahkan, dan ia mati muda.

Apa yang ditulisnya (baik atau tidak, benar atau salah) adalah apa yang dipikirkan, apa yang dirasakan
oleh seorang pemuda, seorang terpelajar yang mencoba bertindak adil dalam pemikiran maupun
perbuatan. Jika ingin memperoleh pengetahuan, gambaran, kesan-kesan mengenai kehidupan para
pemuda atau para mahasiswa Indonesia, catatan Soe Hok Gie merupakan perwujudan kenyataan dari
kehidupan sebagian dari mereka. Gie adalah sebuah potret pemuda Indonesia pada sebuah masa yang
berani mengambil sikap. Kecaman yang dilontarkan Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur, atas dasar
itikad baik. Ia tidak selalu benar, tapi selalu jujur.Terlepas dari sisi kontroversialnya yang terlalu banyak
mengkritik, tapi enggan untuk bergabung dalam sistem, ada hal yang patut diapresiasi dan
diperjuangkan di masa kini dan nanti. Agar apa yang diperjuangkannya dahulu, tidak sia-sia.

Berbahagialah generasi kini yang dapat menimba hikmah dari berbagai bentuk peninggalan maupun
penerbitan bahan sejarah di dalam negeri!

Anda mungkin juga menyukai