SOSIOLOGI PENDIDIKAN
Di Susun Oleh
Emelia Putri
Luthfia Maulida
Rahmida Siregar
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 3
BAB I ................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................... 4
BAB II.................................................................................................................................. 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 5
2.1. Kedudukan dan Peranan Guru ............................................................................................. 5
2.2. Peranan Guru Dengan Murid............................................................................................... 7
2.3. Peranan Guru Dalam Masyarakat ...................................................................................... 10
2.4. Guru Bukan Buruh Belaka ................................................................................................ 13
2.5. Peranan Guru Dalam Hubungan Dengan Guru-Guru Lain Dan Kepala Sekolah.............. 16
BAB III .............................................................................................................................. 18
PENUTUP.......................................................................................................................... 18
3.1. Kesimpulan .......................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
Setiap orang memiliki suatu posisi dalam ruang sosial seperti kelompok, keluarga,
komunitas, dan masyarakat. Posisi merupakan kedudukan seseorang dalam suatu kelompok
atau kedudukan dalam hubungannya dengan kelompok lain, misalnya posisi sebagai guru.
Guru sebagai pendidik dan pembina generasi muda harus menjadi teladan, di dalam maupun
di luar sekolah. Guru harus senantiasa sadar akan kedudukannya sebagai guru sepanjang
hidupnya. Di mana dan kapan saja, ia akan selalu dipandang guru yang harus memperlihatkan
kelakuan yang dapat ditiru oleh masyarakat, khususnya oleh anak didiknya.
Kedudukan guru juga ditentukan oleh fakta, bahwa ia adalah orang dewasa. Oleh
karena itu, guru lebih tua dari muridnya. Maka berdasarkan usianya ia mempunyai
kedudukan yang harus dihormati. Hormat anak terhadap orang tuanya sendiri harus pula
diperhatikan oleh gurunya dan sebaliknya guru harus pula dapat memandang murid sebagai
anak.
Posisi sebagai guru memiliki hak dan kewajiban yang diembannya, dikenal sebagai
status. Adapun perilaku yang diharapkan dari orang yang memiliki suatu status disebut
sebagai peranan. Ketika peranan ini dimainkan, ia memiliki konsekuensi terhadap
penyesuaian atau adaptif terhadap sistem yang dikenal sebagai fungsi. Fungsi guru memiliki
dua dimensi, yaitu laten dan manifes.
5
2. Guru sebagai penguji, maksudnya adalah melakukan penilaian atau evaluasi terhadap
perkembangan hasil belajar murid-muridnya.
3. Guru sebagai orang yang berdisiplin, seorang murid harus tunduk kepada otoritas
gurunya. Dengan kata lain, seorang guru harus memiliki dan berdisiplin sehingga
menjadi tauladan dalam menegakkan kedisiplinan.
4. Guru sebagai orang kepercayaan, Seorang guru di sekolah hendaknya menjadi orang
yang dapat dipercaya, baik kata-kata maupun tindakannya. Apa yang dikatakan dan
dilakukan oleh guru akan menjadi contoh bagi muridnya dan dianggap sebagai
kebenaran yang harus diteladani.
5. Guru sebagai pengenal kebudayaan, Guru diharapkan dapat memperkenalkan dan
menanamkan nilai-nilai kebudayaan yang ada di masyarakat. Nilai-nilai dan norma
budaya dari masyarakat yang dijumjung tinggi dan dijaga keberadaannya.
6. Guru sebagai pengganti orang tua di sekolah para guru berperan sebagai pengganti
orang tua atau dengan kata lain guru adalah orang tua di sekolah. Sehingga semua
yang berkenaan dengan murid merupakan tanggung jawab guru, terutama terhadap
hal-hal pengetahuan, keterampilan, pembentukan pribadi, keamanan dan keimanan.
Peran guru menurut Pullias dan Young, Manan,serta Yelon and Weinstein, dapat
diidentifikasikan peran guru sebagai berikut, yakni:
1. Guru sebagai Pendidik, Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan
identifikasi bagi peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus
memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa,
mandiri, dan disiplin.
2. Guru sebagai pengaja, Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk
mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan
memahami materi standar yang dipelajari.
3. Guru sebagai Evaluator, Kemampuan yang harus dikuasai guru sebagai evaluator
adalah memahami teknik evaluasi, baik tes maupun non tes yang meliputi jenis
masing-msing teknik, karakteristik, prosedur pengembangan, serta cara menentukan
baik atau tidaknya ditinjau dari berbagai segi, validitas, reliabilitas, daya beda dan
tingkat kesukaran soal.
4. Guru sebagai kulminator, Guru adalah orang yang mengarahkan proses belajar secara
bertahap dari awal hingga akhir (kulminasi). Dengan rancangannya peserta didik akan
6
melewati tahap kulminasi, suatu tahap yang memungkinkan setiap peserta didik bisa
mengetahui kemajuan belajarnya.
5. Guru sebagai aktor, Sebagai seorang aktor, guru harus melakukan apa yang ada dalam
naskah yang telah disusun dengan mempertimbangkan pesan yang akan disampaikan
kepada penonton. Sebagai seorang actor, guru juga harus melakukan penelitian tidak
terbatas pada materi yang harus ditransferkan,melainkan juga tentang kepribadian
manusia sehingga mampu memahami respon-respon pendengarnya, dan
merencanakan kembali pekerjaannya sehingga dapat dikontrol.
6. Guru sebagai pribadi, Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan, guru
harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Ujian terberat bagi
guru dalam kepribadian ini adalah rangsangan yang memancing emosinya. Kestabilan
emosi sangat diperlukan. Untuk keperluan tersebut, upaya dalam bentuk latihan
mental akan sangat berguna1
Guru merupakan pendidik, tokoh, panutan serta identifikasi bagi para murid yang di
didiknya serta lingkungannya. Oleh sebab itu, tentunya menjadi seorang guru harus memiliki
standar serta kualitas tertentu yang harus dipenuhi. Sebagai seorang guru, wajib untuk
memiliki rasa tanggung jawab, mandiri, wibawa, serta kedisiplinan yang dapat dijadikan
contoh bagi peserta didik.
1 Acil/Kedudukan Guru/http://acil10111.blogspot.com/2018/11/peran-guru-di-sekolah-dan-masyarakat-
.html?m=1.Diakses pada 9 Oktober 2021
7
Kegiatan belajar mengajar akan dipengaruhi oleh beragam faktor di dalamnya, mulai
dari kematangan , motivasi, hubungan antara murid dan guru, tingkat kebebasan, kemampuan
verbal, ketrampilan guru di dalam berkomunikasi, serta rasa aman. Jika faktor faktor tersebut
dapat terpenuhi, maka kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik. Guru harus
dapat membuat sesuatu hal menjadi jelas bagi murid, bahkan terampil untuk memecahkan
beragam masalah.
Peran guru sebagai sebuah sumber belajar akan sangat berkaitan dengan kemampuan
guru untuk menguasai materi pelajaran yang ada. Sehingga saat siswa bertanya sesuatu hal,
guru dapat dengan sigap dan tanggap menjawab pertanyaan murid dengan menggunakan
bahasa yang lebih mudah dimengerti.
Peran seorang guru sebagai fasilitator adalah dalam memberikan pelayanan agar
murid dapat dengan mudah menerima dan memahami materi-materi pelajaran. Sehingga
nantinya proses pembelajaran akan menjadi lebih efektif dan efisien.
Guru memiliki peran sebagai demonstator adalah memiliki peran yang mana dapat
menunjukkan sikap-sikap yang bisa menginspirasi murid untuk melakukan hal-hal yang sama
bahkan dapat lebih baik.
Dalam proses kegiatan belajar mengajar, guru memiliki peran dalam memegang
kendali atas iklim yang ada di dalam suasana proses pembelajaran. Dapat diibaratkan jika
guru menjadi nahkoda yang memegang kemudi dan membawa kapal dalam perjalanan yang
8
nyaman dan aman. Seorang guru haruslah dapat menciptakan suasana kelas menjadi kondusif
dan nyaman.
Guru berperan menjadi penasehat bagi murid-muridnya juga bagi para orang tua,
meskipun guru tidak memiliki pelatihan khusus untuk menjadi penasehat. Murid-murid akan
senantiasa akan berhadapan dengan kebutuhan dalam membuat sebuah keputusan dan dalam
prosesnya tersebut membutuhkan bantuan guru. Agar guru dapat memahami dengan baik
perannya sebagai penasehat serta orang kepercayaan yang lebih dalam maka sudah seharunya
guru mendalami mengenai psikologi kepribadian.
Proses kegiatan belajar mengajar akan berhasil jika murid-murid di dalam nya
memiliki motivasi yang tinggi. Guru memiliki peran yang penting untuk menumbuhkan
motivias serta semangat di dalam diri siswa dalam belajar.
9
Setelah proses pembelajaran berlangsung, tentunya seorang guru harus melakukan
evaluasi pada hasil yang telah dilakukan selama kegiatan pembelajaran tersebut. Evaluasi ini
tidak hanya untuk mengevaluasi keberhasilan siswa untuk mencapai tujuan dalam kegiatan
belajar mengajar. Namun juga menjadi evaluasi bagi keberhasilan guru di dalam pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar.2
Dalam lingkungannya (masyarakat umum dan sekolah), guru merupakan teladan yang
patut dicontoh dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini menuntut kemampuan sosial guru
dengan masyakat, sebagai upaya mewujudkan proses pembelajaran yang efektif dan akan
mempengaruhi hubungan sekolah dengan masyarkat lebih baik lagi. Namun, tidak sedikit
stigma negatif dan bahkan melemahkan citra guru, baik sebagai opini maupun berita yang
muncul di media massa. Dalam kondisi seperti ini dibutuhkan sikap adil, baik dari guru
maupun masyarakat secara umum, yang menunjukkan identitas dan karakter guru sebagai
profesional dan anggota masyarakat yang edukatif. Kompetensi sosial guru tidak bisa
dipahami secara general, tapi lebih spesifik dan tergantung kelompok sosial yang ada di
masyarakat. Kompetensi sosial terintegrasi dalam profesi guru.
10
filosof Arab menyebutnya sebagai guru pertama. Sedangkan Al Farabi (874-950 M)
sebagai orang yang paling mengetahui tentang falsafah Aristoteles digelarinya guru
yang kedua. Dalam sejarah Islam, guru-guru atau yang biasa disebut para ulama
selalu diikut sertakan dalam segala kegiatan Nabi SAW dan menjadi duta-duta Nabi
ke negara- negara tetangga sebagai perutusan juga sebagai syiar. Juga, dalam
perkembangan pendidikan Islam di kawasan Asia Tenggara melalui pondok, surau,
madrasah, dan lain-lain menunjukkan pola yang serupa, yaitu ada ulama-ulama
terkenal dikunjungi oleh murid-murid dari seluruh pelosok seperti Syekh Daud
Fathani di Thailand, Tok Kenali di Jurnal Pendidikan Teknologi dan Informasi
Page 31 Kelantan, Madrasah Al Masyhur di Pulau Pinang, Pesantren Hasyim Asy’ari
di Tebu Ireng Jawa, Madrasah Al Yunusiah di Padang Panjang, Sumatera Barat,
Madrasah Hj. As’ad di Sulawesi Selatan dan lain-lain adalah peninggalan sejarah
yang masih dapat disebutkan tentang pengaruh ulama dan guru-guru terkenal pada
perkembangan Islam di rantau ini.
Di Indonesia, tokoh-tokoh yang dianggap Founding Father-nya adalah para
guru, diantaranya Moch. Yasin, Moch. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan banyak lagi
tokoh yang berlatar belakang guru, sehingga dikenallah istilah para Priyayi atau
kaum Priyayi. Begitu pula pada saat ini, banyak sosok guru yang masih menjadi
magnet bagi para politisi untuk menempatkannya sebgai orang- orang yang
ditempatkan di badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal ini berarti menunjukkan
bahwa suara para guru masih memiliki pengaruh dalam kebijakan strategis atau
sebatas politis di negeri ini. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, hubungan guru
dengan masyarakat elit semakin luas dan terbuka lebar.
12
Sebagian besar para guru di daerah pedesaan menyukai sekolah sebagai tempat bekerja,
beberapa guru menemukan kesulitan untuk beradaptasi dengan struktur masyarakat pedesaan
tradisional, administrasi merupakan sesuatu yang informal, bantuan dengan kegiatan
ekstrakurikuler yang sangat diharapkan, banyak melakukan pekerjaan sampingan (second
jobs), dan banyak gagal untuk mengenali pentingnya pertanian dalam perekonomian
masyarakat pedesaan (McCracken and Miller, 1988). Perlu disadari bahwa dalam proses
pembangunan masyarakat terutama di daerah pedesaan tempat sebagian besar masyarakat
kita bertugas, guru memegang kepeloporan melalui berbagai institusi kemasyarakatan yang
ada (Gaffar dalam Sepriadi, 1999).
Kepercayaan masyarakat dan pemerintah di tingkat lokal sangat tinggi terhadap guru
dengan dibuktikannya guru sebagai mitra dalam berbagai kegiatan di pedesaan dan
kecamatan. Dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata, orang yang dipercaya untuk menjadi mitra
kerja para mahasiswa umumnya para guru SD, SLTP atau SLTA. Begitu juga dalam kegiatan
di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan. Permasalahan yang muncul saat ini justru tidak
meratanya jumlah guru yang tersedia di daerah, terutama yang terkategorikan terluar,
tertinggal dan terdalam yang sangat kekurangan dan membutuhkan guru. Berbanding terbalik
dengan di daerah perkotaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya lembaga swadaya masyarakat
yang ingin berperan dalam pendidikan, meskipun hanya melakukan pengajaran. Pragmatisme
para guru adalah alasan terkuat sekaligus sekaligus faktor penyebab utama munculnya
kesenjangan ini. Idealisme para guru merupakan pemicu utama yang dibutuhkan untuk
pemerataan guru.
Makna guru secara sederhana namun mendalam dapat dipahami dari singkatan kata
guru itu sendiri yakni digugu dan ditiru. Ini berarti seorang guru adalah sosok teladan yang
patut menjadi contoh bagi orang lain dalam hal ini murid atau anak didiknya itu sendiri.
Dalam konteks ini sangatlah naif jikalau masih ada pendapat bahwa tugas guru sekedar
\\\"tukang ajar\\\" yang mentransfer saja ilmu pengetahuan dari dirinya atau buku. Hal ini
dikarenakan konsep guru bagi bangsa Indonesia sangat jelas terkait dengan keteladanan
perilaku sebagaimana UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) nomor 20 tahun 2003
memfungsikan pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
13
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab 2 pasal 3
UU SPN no 20/2003).
Dengan demikian kerja-kerja guru bukan hanya kerja akademik semata yang berfokus
pada otak melainkan juga kerja-kerja non akademik yang menumbuhkembangkan watak
sebagai sinergitas antara daya akal dan kekuatan hati (qolbu). Jika kita cermati secara
seksama ternyata memang UU SPN kita itu memiliki tujuan akhir mulia membangun watak
yang tentunya hal ini bisa dibentuk melalui otak dan qolbu. Persoalannya adalah apa yang
telah dilakukan guru untuk menyiapkan watak peserta didik yang pada akhirnya membangun
karakter bangsa (the national character building). Guru acapkali dipandang seolah sebagai
pekerja atau buruh. Perlakuan terhadap guru yang keliru ini bahkan juga dilakukan oleh
penguasa kebijakan pendidikan yang semestinya mengenal dengan baik tugas dan fungsi
guru. Ambil satu contoh tentang lontaran sang penguasa itu yang menambah jam mengajar
guru dari 24 jam per minggu menjadi 27,5 jam sungguh tidak mengindikasikan pemahaman
mendalam tentang dunia pendidikan. Guru diidentikkan dengan buruh dan pegawai birokrasi
yang mesti berada di kantor 8 jam sehari. Tentu pekerja pabrik dan pegawai layak untuk
bekerja selama itu mengingat jenis pekerjaannya yang \\\'monoton\\\', rutin dan datar.
Sedangkan pekerjaan guru berbeda dengan mereka itu. Pekerjaan dan tugas guru bukanlah
masalah ringan dan mudah daripada pekerjaan buruh dan pegawai lain meski sama-sama
mesti memiliki keahlian tertentu dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini dikarenakan guru
sejatinya tidak hanya bekerja di sekolah tetapi juga melakukan pekerjaannya sebelum dan
setelah mengajar. Bukankah seorang guru yang baik mesti melakukan persiapan khusus dan
terencana (RPP) sebelum mengajar?
Belum lagi saat mengajar guru dintuntut kreatifitasnya untuk mengembangkan
pengajaran agar lebih \\\"hidup\\\" dan bermakna bagi anak didiknya. Setelah itu guru juga
harus memikirkan tugas-tugas untuk anak didik, lalu menguji dan mengoreksi ujian,
pekerjaan rumah dan sebagainya. Dari sini sangat jelas bahwa guru berbeda dengan buruh.
Tampak sekali betapa berat sebenarnya tugas guru itu dan amat penting dan vital bagi
pembangunan bangsa kedepannya. Dengan demikian maka kita sepakat bahwa tugas guru ini
memiliki nilai strategis bagi kemajuan bangsa ini. Namun amat disayangkan perhatian
pemerintah atas guru masih normatif dan belum menyentuh aspek mendasar tentang hakekat
profesi guru. Jikalau mereka mengerti tentang apa yang telah dipaparkan diatas maka
14
\\\"memaksa\\\" guru untuk bekerja layaknya buruh dengan menambah jam mengajar semata-
mata hanya melihat dari satu sisi kuantitatif tetapi tidak menyorotinya dari sisi kualitatif
dalam mengajar. Selama ini memang pemangku kebijakan kerapakali melihat persoalan
pendidikan selalu dari kacamata kuantitatif. Mungkin tidak begitu mengagetkan hal tersebut
muncul mengingat rata-rata pejabat pendidikan kita adalah mereka yang terbiasa melakukan
kerja-kerja penelitian ala ilmu eksakta dan ilmu alam yang sangat kuat aspek kuantatifnya.
Pemecahan masalah dari sudut pandang kualitatif sudah cukup lama ter\\\"nina bobokan\\\",
padahal persoalan pendidikan adalah masalah sosial yangsanagt membutuhkan kajian
kualitatif.
Proses pendidikan seyogyanya mengedepankan kualitas guru. Untuk meningkatkan
kualitas guru maka tugas dan fungsi guru mesti dianggap sebagai suatu profesi sebagaimana
profesi lainnya sepertii dokter, akuntan, pengacara dan lainya bukan sebagai buruh yang
tugasnya mirip mesin dimana kreatifitas dalam melakukan tugas nyaris tidak diperbolehkan,
tentu hal ini berbeda dengan profesi guru. Ironisnya, sebagaimana diungkap diatas guru
masih dilihat bak buruh yang digaji walau banyak gaji (honor) guru malah jauh tertinggal dari
buruh yang kini menembus angka jutaan itu, sementara guru ada yang masih digaji ratusan
ribu. Memang ada sertifikasi guru sesuai UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang
memerhatikan kesejahteraan guru namun sayang sekali lagi tuntutan yang diarahkan kepada
guru lebih pada persaoalan kuantitatif semacam bertambahnya jumlah jam mengajar.
Sudah saatnya pemangku kebijakan memikirkan program-prgiran jangkan pendek menengah
dan panjang yang mengarahkan pada pengakuan profesi guru. Diharapkan pada saatnya nanti
profesi guru tidak kalah mentereng dengan profesi dokter oleh karena untuk menjadi guru
tidak mudah dan mesti melalui seleksi ketat yang tidak hanya mengandalkan kompetensi
profesional belaka seperti menguasai mata pelajaran yang akan diajarkan tetapi juga guru
wajib mantap dalam ketiga kompetensi lainnya yakni pedagogik, kepribadian dan sosial.
Tentu saja alokasi anggaran pendidikan untuk mengejawantahkan harapan guru sebagai
profesi bermartabat dan bergengsi ini mestilah diperbesar dan pemanfaatannya butuh
disupervisi secara baik dan benar.3
15
2.5. Peranan Guru Dalam Hubungan Dengan Guru-Guru Lain Dan Kepala Sekolah
Sebagai pegawai negeri dan anggota KORPRI tiap guru harus menaati segala
peraturan kepegawaian dalam melakukan tugasnya. Bagi guru ini berarti bahwa ia harus hadir
pada tiap pelajaran agar jangan merugikan murid. Seorang pegawai administrasi masih dapat
mengejar ketinggalannya dengan mengerjakannya di rumah di luar jam kantor.
Selain peraturan umum bagi pegawai tiap-tiap sekolah mempunyai peraturan-
peraturan khusus tentang berbagai tugas lain yang harus dilakukan oleh guru seperti
membantu administrasi sekolah, tugas piket, membimbing kegiatan ekstrakulikuler, menjadi
anggota HUT sekolah, menjadi wali kelas dan sebagainya.
Sebagai pengajar ia harus membuat persiapan, memberi dan mememriksa ulangan,
mengabsensi murid, mengahdiri rapat guru, dan sebagainya. Dalam segala tugas kewajuban
ia senangtiasadi bawah pengawasan kepala sekolah yang harus memberi conduite yang baik
agar memperoleh kenaikan tingkat. Dengan sendirinya guru akan mematuhi tiap peraturan
dan intruksi dari atasannya.
Berdasarkan kekuasaan yang dipegang oleh kepala sekolah terbuka kemungkinan
baginya untuk bertindak otoriter. Sikap ini dapat menjelma dalam sikap otoriter guru
terhadap murid. Namun pada umumnya guru menginginkan kepala sekolah yang demokratis
yang mengambil keputusan berdaarkan musyawarah, walaupun dalam situasi tetentu
diinginkan pimpinan yang berani bertindak tegas dengan penuh otoritas.
Guru-guru cenderung bergaul dengan sesame guru. Guru terikat oleh norma-norma
menurut harapan masyarakat yang dapat menjadi hambatan untuk mencari pergaulan dengan
golongan lain yang tidak dibebani oleh tuntutan-tuntutan tentang kelakuan tertentu. Guru dan
sesame guru mudah saling memahami dan dalam pergaulan antara sesama rekan dapat
memelihara kedudukan dan peranannya sebgai guru. Itu sebabnya guru-guru akan membantu
cliquenya sendiri.
Perkumpulan guru juga menggambarkan peranan guru. PGRI misalnya bersifat
professional yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan sekalipun juga disebut
perbaikan nasib guru, namun guru-guru pada umumnya kurang dapat menerima perkumpulan
guru sebagai serikat buruh. Mengajar dan mendidik sejak dulu dipandang sebagai profesi
kehormatan yang tidak semata-mata ditunjukan kepada keuntungan material.
Memperjuangkan nasib melalui perkumpulan guru dengan menonjolkan soal upah
bertentangan dengan hati sanubari guru, sekalipun ia turut merasa kesulitan hidup sehari-hari.
Lagi pula usaha menggunakan perkumpulan guru sebgai alat memperjuangkan
perbaikan nasib mungkin akan terbendung bila pengurus perkumpulan itu terpilih dari
kalangan kepala sekolah atau mereka yang telah mempunyai kedudukan yang cukup tinggi
16
karena tidak ingin mendapat teguran dari atasan itu. Danya perkumpulan guru memberi
kesempatan bagi guru Untuk lebih mengiindentifikasikan profesinya.4
4 Ari Nugraha/PERAN GURU DALAM HUBUNGAN DENGAN GURU-GURU LAIN DAN KEPALA SEKOLAH/
http://the-arinugraha-centre.blogspot.com/2011/12/peran-guru-dalam-hubungan-dengan-
guru.htm/9Oktober2021
17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
18
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan, Ridwan. "Profesi Guru Perspektif Sosiologi Pendidikan." Madaniyah 7.2 (2017):
299-318.
Yestiani, Dea Kiki, and Nabila Zahwa. "Peran Guru dalam Pembelajaran pada Siswa Sekolah
Dasar." FONDATIA 4.1 (2020): 41-47.
Rahadian, Dian. "Peran Dan Kedudukan Guru Dalam Masyarakat." Jurnal Petik 1.1 (2015):
26-37.
19