Anda di halaman 1dari 24

AL- ISLAM KEMUHAMMADIYAAN III

PROSES PERKEMBANGAN ISLAM KE NUSANTARA,CORAK ISLAM


NUSANTARA, KEDATANGAN PENJAJAH BARAT DI NUSANTARA

NAMA : WAHYUDI

KELAS : B

SEMESTER : 3

POLTEKKES KESEHATAN MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PRODI DIII TEKNOLOGI ELEKTROMEDIS

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH Swt. karena telah memberikanrahmat,
hidayah, serta kesehatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugasmakalah
ini.

Makalah yang berjudul “Proses perkembangan Islam Ke Nusantara” ini


disusunberdasarkan data yang diperoleh oleh penulis dari berbagai sumber, sehingga penulis
dapatmenyusun makalah ini dengan baik.

Penulis juga berterima kasih kepada teman satu kelompok penulis yang telah bekerjasama
dengan baik dalam menyelesaikan tugas makalah ini.

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan informasi serta menambah wawasankepada
teman-teman atau pembaca tentang sistem endokrin.

Penulis sadar sebagai seorang mahasiswa yang masih dalam proses belajar,
bahwamakalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis berharap kritik dan
sarandari teman-teman atau pembaca agar dapat memperbaiki kekurangan dan kesalahan
dalammakaah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTA

RBAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................41.2


Rumusan Masalah..........................................................................................................41.3
Tujuan Masalah..............................................................................................................5

BAB II : PEMBAHASAN

2.1 Teori Masuknya Islam di Nusantara.............................................................................62.

1.1 Teori Gujarat

2.1.2 Teori Bengal

2.1.3 Teori Coromandel dan Malabar

2.1.4 Teori Arabia

2.1.5 Teori Persia

2.1.6 Teori Mesir

2.1.7 Teori Da’i

2.1.8 Teori Pedagang

2.2 Saluran dan Cara-cara Islamisasi di Indonesia.............................................................8

2.2.1 Saluran Perdagangan

2.2.2 Saluran Perkawinan

2.2.3 Saluran Tasawuf

2.2.4 Saluran Pendidikan

2.2.5 Saluran Kesenian

2.2.6 Saluran Politik

2.3 Fase dan Tahapan Islamisasi.........................................................................................10


2.4 Sebab-sebab Islamisasi Cepat Berkembang di Indonesia.............................................11

2.4.1 Faktor Agama

2.4.2 Faktor Politik

2.4.3 Faktor Ekonomis

BAB III : PENUTUP3.1


Kesimpulan...............................................................................................................................133.
2
Saran.........................................................................................................................................1DA
FTAR PUSTAKA3

B. Corak Islam Nusantra

C.Kedatangan penjajah Barat Di Nusantara

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah Negara di Asia Tenggara ini disebut sebagai tanah dengan populasiMuslim
tertinggi. Persentase Muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasidunia. Dari
205 juta penduduk Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam.

Indonesia menempati urutan nomor pertama dari sekian banyak negara Islam di
duniadengan populasi muslim terbesar, padahal Indonesia bukanlah Negara berbasis Islam.
Urutankedua adalah; Pakistan, India, Bangladesh, Mesir, Nigeria, Iran, Turki, Algeria, dan
urutankesepuluh adalah Maroko.1

Pada masa kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia terdapat beraneka ragamsuku
bangsa, organisasi pemerintahan, struktur ekonomi, dan sosial budaya.Suku
bangsaIndonesia yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman, jika dilihat
dari sudutantropologi budaya, belum banyak mengalami percampuran jenis-jenis bangsa dan
budayadari luar, seperti dari India, Persia, Arab, dan Eropa.Struktur sosial, ekonomi, dan
budayanyaagak statis dibandingkan dengan suku bangsa yang mendiami daerah pesisir.
Mereka yangberdiam di pesisir, lebih-lebih di kota pelabuhan, menunjukkan ciri-ciri
fisik dan sosialbudaya yang lebih berkembang akibat percampuran dengan bangsa dan
budaya dari luar.

persoalan ini bukan hal baru, namun mendiskusikannya kembali


akanselalumemberi manfaat, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan yang
tidakpernahmengenal titik terminasi. Kemungkinan sejarah selalu terbuka untuk
ditulisulangdidasarkan pada beberapa hal, di antaranya adalah ditemukannya
databaru,berkembangnya teori dan metodologi yang membuka peluang
dilakukannyainterpretasibaru (reinterpretasi), dan sudut pandang kajian yang berbeda.

1.2 Rumusan masalaha.

a.Apa saja teori tentang masuknya agama islam ke Nusantara?

b. Bagaimana Saluran dan Cara-Cara Islamisasi di Indonesia?

c. Bagaimana Fase dan Tahapan Islamisasi?

d. Apa saja Sebab-sebab Islamisasi Cepat Berkembang di Indonesia?

1.3 Tujuan masalaha.


a.Mengetahui apa saja teori-teori tentang masuknya agama islam ke Indonesiab.

b.Memahami bagaimana saluran dan cara-cara Islamisasi di Indonesiac.

c.Memahami fase dan tahapan Islamisasid.

d.Mengetahui sebab-sebab Islamisasi cepat berkembang di Indonesia.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Teori Masuknya Islam di Nusantara

Pembahasan tentang teori kedatangan islam di Nusantara, memiliki


beberapapendapat di kalangan beberapa ahli. Pendapat tersebut berkisar pada tiga
masalah pokok,yakni asal-muasal islam berkembang di wilayah Nusantara, pembawa dan
pendakwah islamdan kapan sebenarnya islam mulai muncul di Nusantara. Ada
sejumlah teori yangmembicarakan mengenai asala-muasal Islam yang berkembang di
Nusantara yaitu teorigujarat, teori persia, dan teori arabia.

22.1.1 Teori Gujarat

Teori ini dikemukaka oleh sejumlah sarjana Belanda, antara lain Pijnappel,
SnouckHurgronje dan Moquette. Teori ini mengatakan bahwa Islam yang berkembang di
Nusantarabuka berasal dari Persia atau Arabia, melainkan dari orang-orang Arab yang
bermigrasi danmenetap di wilayah India dan kemudian membawanya ke Nusantara.
Teori Gujarat inimendasarkan pendapatnya melalui teori mazhab dan teori nisan. Menurut
teri ini, ditemukanadanya persamaan Mazhab yang dianut oleh umat Islam Nusantara
dengan umat Islam diGujarat. Mazhab yang dianut oleh kedua komunitas Muslim ini adalah
mazhab Syafi’i. Padasaat yang bersamaan teori mazhab ini dikuatkan oleh teori nisan, yakni
ditemukannya modeldan bentuk nisan pada makam-makam baik di Pasai, Semenanjung
Malaya dan di Gresik,yang bentuk dan modelnya sama dengan yang ada di Gujarat. Karena
bukti-bukti itu, merekamemastikan Islam yang berkembang di Nusantara pastilah berasal dari
sana.

2.1.2 Teori Bengal

Teori ini mengatakan bahwa Islam Nusantara berasal dari daerah Bengal. Teori
inidikemukakan oleh S.Q.Fatimi. Teori Bengalnya Fatimi ini juga didasarkan pada teori
nisan.Menurut Fatimi model dan bentuk nisan Malik Al-Shalih, raja Pasai, berbeda
sepenuhnyadengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Bentuk dan model dari nisan itu
justru miripdengan batu nisan yang ada di Bengal. Oleh karena itu, menurutnya
pastilah Islam jugaberasal dari sana. Namun demikian teori nisan Fatimi ini kemudian menjadi
lemah dengandiajukannya teori mazhab. Mengikuti teori Mazhab, ternyata terdapat
perbedaan mazhab2.

yang dianut oleh umat Islam Bengal yang bermazhab Hanafi, sementara Islam
Nusantaramenganut Mazhab Syafi’i. Dengan demikian teori Bengal ini menjadi tidak kuat.
2.1.3 Teori Coromandel dan Malabar

Teori ini dikemukakan oel Marrison dengan mendasarkan pada pendapat yang
dipegangi oleh Thomas W.Arnold. Teori Coromandel dan Malabar yang mengatakan
bahwaIslam yang berkembang di Nusantara berasal dari Coromandel dan Malabar
adalah jugadengan menggunakan penyimpulan diatas teori mazhab. Ada persamaan Mazhab
yang dianutumat Islam Nusantara dengan umat Islam Coromandel dan Malabar yaitu
Mazhab Syafi’i.Dalam pada itu menurut Marrison, ketika terjadi islamisasi Pasai tahun 1292,
Gujarat masihmerupakan kerajaan Hindu. Untuk itu tidak mungkin kalau asal-muasal
penyebaran Islamberasal dari Gujarat.

2.1.4 Teori Arabia

Masih menurut Thomas W. Arnold, Coromandel dan Malabar nukam satu-


satunyatempat asal Islam ketika mereka dominan dalam perdagangan Barat - Timur sejak awal-
awalabad Hijriah atau abad ke-7 atau 8 Masehi. Hal ini didasarkan pada sumber-sumber
Cinamengatakan bahwa menjelang akhir abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi
pemimpinsebuah pemukiman Arab-Muslim di pesisir pantai Barat-Sumatra.

2.1.5 Teori Persia

Teori ini mendasarkan pada teori mazhab. Ditemukan adanya peninggalan


mazhabkeagamaan di Sumatra dan Jawa yang bercoral Syi’ah. Juga disebutkan adanya ulama
fiqihyang dekat dengan Sultan yang memiliki keturunan Persia. Seorang berasal dari Shiraz
danseorang lagi berasal dari Lifaham.

2.1.6 Teori Mesir

Teori yang dikemukakan oleh Kajizer ini uga mendasarkan pada teori mazhab,
denganmengatakan bahwa ada persamaan mazhab yang dianut oleh penduduk Mesir
Nusantara,yaitu mazhab Syafi’i. Teori Arab-Mesir ini juga dikuatkan oleh Niemann dan de
Hollander.Tetapi keduanya memberikan revisi, bahwa bukan Mesir sebagai sumber Islam
Nusantara,melainkan Hadramaut. Sementara itu dalam seminar yang diselenggarakan tahun
1969 dan1978 tentang kedatangan Islam ke Nusantara menyimpulkan bahwa Islam langsung
datangdari Arabia, tidak melalui dari India.

Mengenai siapakah yang menyebarkan Islam ke wilayah Nusantara, Azyumardi


Azramempertimbangkan tiga teori :

2.1.7 Teori Da’i


Islam adalah para guru dan penyebar profesional (para da’i). Mereka secarakhusus
memiliki misi untuk menyebarkan agama Islam. Kemungkinan ini didasarkan padariwayat-
riwayat yang dikemukakan historiografi Islam klasik, seperti misalnya hikayat raja-raja Pasai
(ditulis setelah 1350), sejarah Melayu (ditulis setelah 1500) dan Hikayat MerongMahawangsa
(ditulis setelah 1630).9

2.1.8 Teori Pedagang

Islam disebarkan oleh para pedagang. Mengenai peran pedagang dalam


penyebaranIslam kebanyakan dikemukakan oleh sarjana Barat. Menurut mereka para pedagang
Muslimmenyebarkan Islam sambil melakukan usaha perdagangan. Elaborasi lebih lanjut dari
teoripedagang adalah bahwa para pedagang Muslim tersebut melakukan perkawinan
denganwanita setempat dimana mereka bermukim dan menetap. Dengan
pembentukan keluargaMuslim, maka nukleus komunitas-komunitas Muslim pun terbentuk.

2.2 Saluran dan Cara-Cara Islamisasi di Indonesia

Kedatangan Islam ke Indonesia dan penyebarannya kepada golongan bangsawan


danrakyat umumnya, dilakukan secara damai. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang
adaenam, yaitu saluran perdagangan, saluran perkawinan, saluran tasawuf, saluran
pendidikan,saluran kesenian, dan saluran politik.

2.2.1 Saluran Perdagangan

Diantara saluran Islamisasi di Indonesia pada taraf permulaannya ialah


melaluiperdagangan.Hal ini sesuia dengan kesibukan lalu lintas perdagangan abad-7 sampai
abad ke-16, perdagangan antara negeri-negeri di bagian barat, Tenggara dan Timur benua
Asia dandimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia, India) turut serta menggambil
bagiannyadi Indonesia.Penggunaan saluran islamisasi melalui perdagangan itu sangat
menguntungkan.

Hal ini menimbulkan jalinan di antara masyarakat Indonesia dan pedagang.Dijelaskandi sini
bahwa proses islamisasi melalui saluran perdagangan itu dipercepat oleh situasi dankondisi
politik beberapa kerajaan di mana adipati-adipati pesisir berusaha melepaskan diridari
kekuasaan pusat kerajaan yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan. Secaraumum
Islamisasi yang dilakukan oleh para pedagang melalui perdagangan itu mungkin dapat

digambarkan sebagai berikut: mulal-mula mereka berdatangan di tempat-tempat


pusatperdagangan dan kemudian diantaranya ada yang bertempat tinggal, baik untuk
sementaramaupun untuk menetap. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang
menjadiperkampungan-perkampungan.Perkampungan golongan pedangan Muslim dari negeri-
negeriasing itu disebut Pekojan.

2.2.2 Saluran Perkawinan

Perkawinan merupakan salah satu dari saluran-saluran Islamisasi yang


palingmemudahkan.Karena ikatan perkawinan merupakan ikatan lahir batin, tempat
mencarikedamaian diantara dua individu. Kedua individu yauitu suami isteri membentuk
keluargayang justru menjadi inti masyarakat. Dalam hal ini berarti membentuk masyarakat
muslim. Saluran Islamisasi melalui perkawinan yakni antara pedagang atau saudagar
denganwanitia pribumi juga merupakan bagian yang erat berjalinan dengan Islamisasi.Jalinan
baikini kadang diteruskan dengan perkawinan antara putri kaum pribumi dengan para
pedagangIslam. Melalui perkawinan inilah terlahir seorang muslim. Dari sudut
ekonomi, parapedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada
kebanyakan pribumi,sehingga penduduk pribumi, terutama putriputri bangsawan,
tertarik untuk menjadi istrisaudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan
terlebih dahulu.Setelah setelahmereka mempunyai kerturunan, mereka makin luas.
Akhirnya timbul kampung-kampung,daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan muslim.

2.2.3 Saluran Tasawuf

Tasawuf merupakan salah satu saluran yang penting dalam proses Islamisasi.
Tasawuftermasuk kategori yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia
yangmeninggalkan bukti-bukti yang jelas pada tulisantulisan antara abad ke-13 dan ke-18. hal
itubertalian langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia. Dalam hal ini para ahli
tasawufhidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha menghayati kehidupan
masyarakatnyadan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya.Para ahli tasawuf
biasanya memiliki keahlian untuk menyembuhkan penyakit danlain-lain. Jalur tasawuf,
yaitu proses islamisasi dengan mengajarknan teosofi denganmengakomodir nilai-nilai
budaya bahkan ajaran agama yang ada yaitu agama Hindu kedalam ajaran Islam,
dengan tentu saja terlebih dahulu dikodifikasikan dengan nilai-nilai Islamsehingga mudah
dimengerti dan diterima. Diantara ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaranyang mengandung
persamaan dengan alam pikiran Indonesia pra-Islam itu adalah HamzahFansuri di Aceh, Syeh
Lemah Abang, dan Sunan Panggung di Jawa. Ajaran mistik seperti inimasih berkembang di abad
ke-19 bahkan di abad ke-20 ini

Hal serupa juga dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita yang mengatakan bahwa sebelumabad
ke-13 merupakan tahap proses Islamisasi. Abad ke-13 itu sendiri dipandang sebagaimasa
pertumbuhan Islam sebagai kerajaan bercorak Islam yang pertama di Indonesia.2.4 Sebab-
sebab Islamisasi Cepat Berkembang di Indonesia Dalam wakltu yang relative cepat, ternyata
agama baru ini dapat diterima denagn baikoleh sebgaian besar lapisan masyarakat Indonesia,
mulai dari rakyat jelata hingga raja-raja.Sehingga penganut agama ini pada akhir abad ke 6
H (abad ke 12 M), dan tahun-tahunselanjutnya, berhasil menjadi suatu kekuatan
muslim Indonesian yang ditakuti dandiperhitungkan. Ada bebrapa hal yang menyebabkan
agama Islam cepat berkembang di Indonesia.Menurut Dr.Adil Muhiddin Al-Lusi, seorang
penulis sejarah Islam dari Timur Tengah, sdalambukunya Al-Urubatu wal Islamu fi Janubi Syarki
Asiyah Al-Hindu wa Indonesia, menyatakanbahwa ada tiga faktor yang menyebabkan Islam
cepat berkembang di Indonesia, yaitu sebagaiberikut: 2.4.1 Faktor AgamaFaktor agama, yaitu
akidah Islam itu sendiri dan dasar-dasarnya yang memerintahkanmenjunjung tinggi kepribadian
dan meningkatkan harkat dan martabatnya, menghapuskankekuasaan kelas Rohaniwan
seperti Brahmana dalam system kasta yang diajarkan Hindu.

2.4.2 Faktor Politik

Faktor politik yang di warnai oleh pertarugan dalam negeri antara negara-negara
danpenguasa-penguasa Indonesia, serta oleh pertarungan negara-negara bagian itu
denganpemerintah pusatnya yang beragama Hindu. Hal tersebut mendorong para penguasa,
parabangsawan dan para pejabat di negara-negara bagian tersebut untuk menganut agama
Islam,yang di pandang mereka sebagai senjata ampuh untuk emlawan dan
menumbangkankekuatan Hindu, agar mendapat dukungan kuat dari seluruh lapisan
masyarakat. Hal itu dapatdi buktikan hingga kini, bahwa apabila semangat keislaman di
bangkiutkan di tengah-tengahmasyarakat Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, maupun
kepulauan Indonesia lainnya, dengamudah sekali seluruh kekuatan dan semangat keislaman itu
akan mangkit serentak sebagai sesuatu kekuatan yang dahsyat.

2.4.3 Faktor Ekonomis

Faktor ekonomis, yang pertama diperankan oleh para pedagang yang menggunakanjalan
laut baik anatar kepulauan Indonesia sendiri, maupun yang melampaui
perairanIndonesia ke China, India, dan Teluk Arab-Parsi yang merupakan pendukung utama,
karenatelah memberikan keuntungan yang tidak sedikit sekaligus mendatangkan bea masuk
yangbesar bagi pelabuhan-pelabuahan yang disinggahinya, baik menyangkut barang-barang
yangmasuk maupun yang keluar.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Islam datang ke Indonesia ketika masih ada pengaruh yang kuat antara Hindu
danBuddha. Masyarakat Indonesia berkenalan dengan agama dan kebudayaan Islam melalui
jalurperdagangan, sama seperti ketika berkenalan dengan agama Hindu dan Buddha.
PersebaranIslam pertama kali terjadi di masyarakat pesisir laut dimana mereka lebih
terbuka denganbudaya asing dan perdagangan. Setelah itu, islam meyebar ke daerah
pedalaman danpegunungan melalui aktivitas ekonomi, pendidikan, dan politik.

3.2 Saran

Demikian pembahasan makalh kami mengenai “Teori Masuknya Islam ke


Nusantara”.Penulis menyadari dalam penyusunan makalah masih ada kesalahan dalam
penulisan. Olehkarena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk menyempurkan
makalah ini. danselanjutnya. Semoga makalh ini dapat memberikan manfaat untuk para
pembaca

Bagus Sujatmiko dkk, 2018. “Masuknya Islam ke Indonesia”.


http://www.academia.edu/Documents/in/Makalah_Masuknya_Islam_Ke_Indonesia .

di akses pada tanggal 10 Oktober 2019 pukul 22.10Raksa, Aji. “Saluran dan Cara-cara Islamisasi
di Indonesia”. ____, http://ajiraksa.blogspot.com/2011/09/saluran-dan-cara-cara-islamisasi-
di.html
dkk, “Proses Islamisasi di Indonesia”. 2015,https://www.researchgate.net/deref/http%3A%2F
%2Fmyblognikarahmawati.blogspot.com%2F2015%2F06%2Fproses-islamisasi-di-indonesia.html
%3Fm%3D1

B.CORAK KEISLAMAN NUSANTARA

Corak keislaman yang tidak tunggal di Nusantara, telah melahirkan sejumlah teori masuknya Islam
dari asal-asal yang berbeda. Paling tidak ada 4 teori asal-usul masuknya Islam ke Nusantara seperti yang
dirangkum oleh Agus Sunyoto dalam “Atlas Wali Songo”.

Teori India (Gujarat, Malabar, Deccan, Coromandel, Bengal) hal ini berdasarkan asumsi persamaan
madzhab Syafii, batu-batu nisan dan kemiripan tradisi dan arsitektur India dengan Nusantara. (Para
peneliti yang mengajukan “teori India” seperti JP Mosquette, C. Snouck Hurgronje dan S.Q. Fatimy).
Teori Arab (Mesir dan Hadramaut Yaman), berdasarkan persamaan dan pengaruh madzhab Syafii.
(Para peneliti: John Crawfurd dan Naguib Al-attas)

Teori Persia (Kasan, Abarkukh, Lorestan), berdasarkan kemiripan tradisi dengan muslim Syiah,
seperti Peringatan Asyura (10 Muharram), mengeja aksara Arab jabar (fathah), jer/zher (kasrah), fyes
(dhammah), pemuliaan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw (Ahlul Bayt) dan keturunannya.
Penyebutan kata, rakyat (dari ra’iyyah), masyarakat (musyawarah), serikat (syarikah). (Para peneliti:
Husein Djajadiningrat, Hasjmi dan Aboe Bakar Atjeh).

Teori Tiongkok/Cina yang berdasarkan asumsi pengaruh budaya Cina dalam sejumlah kebudaaan
Islam Nusantara, dan sumber kronik dari Klenteng Sampokong di Semarang (Para peneliti: De Graaf dan
Slamet Muljana).

Keragaman teori masuknya Islam ke Nusantara ini bukan menunjukkan mana yang paling benar tapi
keragaman itu sesuai dengan kenyataan keragamaan corak keislaman yang ada di Nusatara. Sehingga
tidak ada satu teori yang monolitik yang bisa mewakili semua kenyataan yang ada. Pada kenyataannya,
baik teori India, Arab, Persia, hingga Tiongkok bisa didukung dan dibenarkan adanya pengaruh budaya
dalam masyarakat muslim di Nusantara.

Meskipun dipercaya Islam sudah tiba di Nusantara sejak abad ke-7 M dan ditemukan makam-makam
sultan yang merujuk pada abad ke-12, khususnya di Aceh, namun Islam belum menjadi agama yang
mayoritas dipeluk di Nusantara ini.

Dakwah Islam “Para Sufi Pengembara”

Islamisasi baru tampak pada abad ke-15 di wilayah pesisir Jawa. Perubahan ini bukan karena
motif ekonomi yang menjadi landasan pola perdagangan melalui jalur laut saat itu, atau bukan karena
para penguasa sudah berubah agamanya maka rakyatnya ikut berubah, namun karena fenomena yang
disebut sebagai “para sufi pengembara”. Para sufi menyajikan Islam dalam kemasan yang atraktif,
menekankan kesesuaian dan kontinuitas Islam dengan kepercayaan dan praktik agama lokal ketimbang
aspek perubahan. Kunci kesuksesan dakwah para sufi pengembara itu terletak pada subtansi dan karakter
ajaran para sufi pengembara itu: tasawwuf.

“Mereka (para sufi pengembara) berkelana ke seluruh dunia yang mereka kenal, yang secara sukarela
hidup dalam kemiskinan; mereka sering berkaitan dengan kelompok-kelompok dagang atau kerajinan
tangan, sesuai dengan tarekat yang mereka anut; mereka mengajarkan teosofi sinkretik yang kompleks
yang umumnya dikenal baik orang-orang Indonesia; mereka menguasai ilmu magis, dan memiliki
kekuatan yang menyembuhkan; mereka siap memelihara kontinuitas dengan masa silam, dan
menggunakan istilah-istilah dan unsur-unsur kebudayaan pra-Islam dalam konteks Islam.” (Azra: 2005,
14-15).

Adhesi bukan Koversi: “Islamisasi Terbatas”

Dalam pengamatan lain Azra—dengan meminjam istilah Nock—menggunakan istilah “adhesi”


daripada “konversi” sebagai fenomena Islamisasi masyarakat Nusantara pada periode ini. “Adhesi” yakni
perubahan keyakinan pada Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik keagamaan yang lama,
sedangkan “konversi” mengisyaratkan perubahan yang total dan ketertundukan yang penuh pada Islam
dengan menyingkirkan anasir-anasir lokal. Sebagai seorang “modernis” Azra menambahkan bahwa “Wali
Sanga di Jawa mengenalkan Islam kepada penduduk lokal bukan dalam bentuk yang ekslusivitas profetik,
melainkan umumnya dalam bentuk kompromi-kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan lokal yang
mapan yang banyak diwarnai takhayul atau kepercayaan-kepercayaan animistik lainnya. Dalam banyak
kasus, mereka menarik banyak orang untuk memeluk Islam dengan menggunakan jimat, pesona ilmu
kesaktian dan trik-trik supernatural lainnya. Azra: 2002, 20-21).

Wali Sanga, Islam Sufistik dan Nusantara

Menurut Agus Sunyoto kesuksesan islamisasi di tanah Jawa pada abad ke-15 H dengan
kedatangan rombongan muslim dari Champa, Raden Rahmat (Sunan Ampel) sekitar tahun 1440 yang
memiliki bibi yang diperistri Raja Majapahit. Selanjutnya Islamisasi dimulai melalui jaringan para juru
dakwah (wali) secara terorganisir dan sistematis, mereka memanfaatkan jaringan kekeluargaan,
kekuasaan, kepiawaian mereka merebut simpati masyarakat. Kekuatan gerakan ini terletak pada: (1)
ajaran sufisme, (2) asimilasi dalam pendidikan, (3) dakwah lewat seni dan budaya dan (4) membentuk
tatanan masyarakat muslim Nusantara.

Sufisme yang dimaksud adalah ajaran wahdatul wujud (kesatuan wujud) dan wahdatus syuhud
(kesatuan pandangan) sehingga tidak terlalu asing dengan kepercayaan lokal yang mengakui banyak
arwah di mana-mana, dan dalam memandang benda-benda alam terpengaruh aura ketuhanan.

Asimilisasi pendidikan adalah pembangunan pesantren yang mendidik generasi-generasi pelanjut


dakwah Islam, dalam konteks Raden Rakhmat (Sunan Ampel) terlihat peran anak dan muridnya dalam
perkembangan Islam di Jawa, seperti Sunan Bonang dan Raden Fatah sebagai sultan dari kerajaan Islam
pertama di Jawa, Demak.

Gerakan dalam seni dan budaya dalam bentuk wayang yang disesuaikan dengan kisah dan nafas
Islam, juga keterlibatan para wali dalam menyusun tembang, kidung, musik, hingga permainan anak-anak
yang bernafaskan Islam. Asimilasi juga tampak pada arsitektur, misalnya bentuk atap masjid yang
berundak tiga (simbol: iman, islam, ihsan) merupakan perubahan terhadap atap berundak tujuh yang
dikenal dalam bangunan Hindu. Arsitektur Hindu masih tampak pada gerbang-gerbang masjid, juga
ornamen-ornamen yang berasal dari kesenian Tionghoa.

Tatanan masyarakat muslim dimulai dari kediaman wali yang menjadi pusat masyarakat, dengan
masjid dan pesantren serta sebagai pemimpin dan sosok yang dituakan dan dihormati di masyarakat itu.
Pengaruh wali yang nantinya terlihat pada kyai, tidak hanya pada dunia pesantren, namun juga pada
masyarakat sekitarnya.

Selain sufisme Wali Sanga yang berpengaruh pada Jawa, sufisme juga sangat berpengaruh
terhadap gerakan islamisasi di kawasan-kawasan lain di Nusantara. Pada abad 16, Buton menerima Islam
yang toleran dengan tradisi lokal. Proses Islamisasi di Gowa (1602) yang dilakukan oleh Khatib Bungsu
yang tasawwufnya bercorak wahdatul wujud. Demikian pula di Banjar, Kalimantan Selatan, Palembang,
Sumatera Selatan (Miftah Arifin: 2015).

“Sintesis Mistik”: Corak Awal Islam Nusantara

Proses islamisasi terbatas dan bukan arabisasi menjadi kunci sukses gerakan dakwah para Wali
Sanga ini menghasilkan fenomena keislaman yang unik dan khas yang disebut oleh Ricklefs sebagai
“Sintesis Mistik”.

Ajaran Islam dan kepercayaan lokal tidak berhadap-hadapan dan bertentangan dalam pola
kepercayaan lokal (tesis) dan ajaran Islam sebagai anti-tesis, namun ada upaya untuk menemukan sintesis
dari keduanya, inilah cikal-bakal dari Islam Nusantara.

Dalam menerangkan “Sintesis Mistik” ini, menurut Ricklefs ada tiga pilar utama

kesadaran identitas Islami yang kuat: menjadi orang Jawa berarti menjadi muslim;

pelaksanaan lima rukun ritual dalam Islam: syahadat, shalat lima kali sehari, membayar zakat,
berpuasa Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu;

terlepas dari kemungkinan munculnya kontradiksi dengan dua pilar pertama, penerimaan
terhadap realitas kekuatan spiritual khas Jawa seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu (roh Gunung Lawu yang
pada dasarnya adalah dewa angin) dan masih banyak lagi makhluk adikodrati yang lebih rendah. Intinya
telah terjadi adaptasi dan akulturasi antara kepercayaan terhadap ajaran Islam dan kepercayaan lokal yang
terwujud juga dalam praktik sehari-hari.

Meskipun ada perbedaan antara “Islam Pedalaman” dan “Islam Pesisir” namun “Sistesis Mistik”
ini tetap dikenal dalam dua masyarakat itu, kepercayaan pada arwah dan makhluk-makhluk gaib
misalnya, Ratu Laut Selatan dikenal oleh masyarakat Pantai Selatan dan tidak dikenal oleh Pesisir Utara,
namun bukan berarti masyarakat Pesisir Utara tidak mengenal roh-roh di Laut Utara, mereka tetap
meyakini ada. Peziarahan yang dikenal di Jalur Selatan adalah makam-makam yang tidak jelas identitas
keislamannya, sementara tujuan-tujuan peziarahan di Pesisir Utara adalah para wali dan tokoh-tokoh yang
dikeramatkan (Islam Pesisir, Nur Syam: 2005).

Corak Kedua Islam Nusantara: “Neo-Sufisme”

Dalam perkembangan selanjutnya, mulai abad ke-17 M muncul fenomena pembaruan yang bisa
dipahami semacam upaya pemurniaan terhadap “Sistesis Mistik” ini. Gejala ini berupa ortodoksi
keislaman dalam bentuk “neo-sufisme” yang dipengaruhi telaah hadits, pengaruh ilmu syariat (dalam hal
ini fiqih) yang merupakan bentuk lain dari “sintesis baru” antara tasawwuf dan syariat yang telah
didamaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin setelah sebelumnya dua aspek ini
(tasawwuf dan syariat) terjadi pertentangan dan pertarungan misalnya dalam kasus Al-Hallaj dan
Suhrawardi al-Maqtul, dua tokoh sufi yang dihukum mati oleh para ulama fiqih dengan tuduhan
melanggar syariat. Dan untuk kasus tanah Jawa, munculnya Syaikh Siti Jennar yang dikabarkan dihukum
mati oleh para Wali Sanga karena mengajarkan tasawwuf yang bertentangan dengan syariat.

“Sintesis Mistik” sebagaia corak pertama Islam Nusantara merupakan ajaran tasawwuf “falsafi”
yang bersambungan dengan kepercayaan-kepercayaan lokal. Namun munculnya “neo-sufisme” yang bisa
disebut tasawwuf “sunni” yang merupakan perkawinan silang antara tasawwuf dan syariat (fiqih)—bukan
lagi kepercayaan lokal—yang tokoh-tokoh gerakan “Neo-Sufisme-Syariat” ini berasal dari para pelajar
Nusantara yang baru datang dari Haramayn (Makkah dan Madinah).

Meskipun para pelajar itu ke Haramayn membawa “sistesis mistik” alias corak pertama Islam
Nusantara dari daerah masing-masing, akan tetapi di Haramayn telah menjadi semacam “melting pot”
(panci pelebur) dari tradisi-tradisi “sintesis mistik” lama dan terbentuklah suatu “sistesis baru” yang
condong pada “tradisi besar” (neo-sufisme: sintesis tasawwuf dan syariat).

Salah satu dampak dari gerakan “neo-sufisme” ini, Nuruddin Ar-Raniri di Aceh mulai melarang
ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Abd Samad al-Sumatrani, demikian pula di Jawa Tengah pada kasus
Kyai Mutamakkin yang diserang oleh Ketib Anom Kudus. Abd Shamad al-Palimbani “memurnikan”
ajaran tasawwuf di Palembang, Muhammad Arsyad Banjari di Kalimantan Selatan, Yusuf al-Makassari di
Sulawesi Selatan, dan Sayyid Alawi di Buton dan lain-lainnya.

Namun yang perlu dicatat, perubahan dan pembaruan ini lebih banyak dalam proses damai,
gradual, dan terbatas, tidak dalam konteks yang radikal, ekstrim dan menggunakan kekerasan (kecuali
contoh kasus Syaikh Siti Jennar di Jawa dan Haji Abd Hamid di Kalimantan Selatan yang lebih kental
karena alasan politik).

Meskipun perubahan itu dilakukan oleh jaringan ulama dengan cara yang tidak radikal namun
efektif, karena menggunakan pola relasi dan pengaruh kyai terhadap santri-santrinya (dalam pesantren
dan masyarakat), antara syaikh dan para muridnya (dalam tarekat), dan yang lebih efektif lagi menjadikan
dan mengajarkan kitab-kitab standar yang berhaluan mendamaikan tasawwuf dan syariat (neo-sufisme)
yang dipelajari di pesantren-pesantren dan masyarakat dengan menyingkirkan kitab-kitab lama (kitab-
kitab yang berhaluan tasawwuf wahdatul wujud).
Polarisasi “Putihan” Vs “Abangan”

Fenomena ini berlangsung berabad-abad sehingga nantinya muncul polarisasi dua aliran dalam
masyarakat, yang dikenal sebagai “putihan” dan “abangan”. Yang pertama, ingin terus melakukan
perubahan dari yang bertahap hingga yang radikal, dan sering disebut kalangan santri. Sedangkan kedua
tetap ingin menekankan kontinuitas dengan lokalitas dan bersikap longgar dalam bersyariat. Selain faktor
di atas, sikap politik terhadap pemerintah kolonial Belanda menjadi salah satu tanda terpenting dari
perbedaan dua golongan ini.

Kolonialisme Belanda ikut memperuncing polarisasi “putihan” dan “abangan” dengan kebijakan
politiknya. Golongan yang sering disebut “priyayi” yang lebih dekat dengan kelompok “abangan” dari
sisi kepercayaan dan tradisi, namun berbeda dalam kelas sosial (priyayi: elit, abangan: awam/jelata)
memperoleh perlakuan-perlakuan yang istimewa dari Belanda. Sementara kalangan “putihan” yakni
kalangan santri menunjukkan sikap yang bermusuhan terhadap Belanda. Perang Dipanegara dianggap
sebagai perlawanan kaum “putihan”.

Fenomena polarisasi “abangan” dan “putihan” tidak khas Jawa saja, bisa ditemukan di luar Jawa
dengan perbedaan istilah, misalnya kelompok “adat” yang semisal “abangan” di Jawa, dan istilah “santri”
untuk kalangan “putihan”. Dalam banyak kasus di Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Aceh, Kalimantan,
dan NTB, kalangan “adat” memiliki sikap politik, kalau tidak sampai berkolaborasi, mereka tidak
menunjukkan sikap yang bermusuhan dengan pemerintah kolonial Belanda

Golongan yang ingin melakukan perubahan ekstrim adalah Kaum Padri di Sumatra Barat yang
dimulai dari Tuanku Nan Renceh yang mendapat dukungan dari tiga haji yang kembali dari Makkah pada
1218/1803: Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piobang. Perjalanan haji mereka bersamaan dengan
dikuasainya Makkah oleh kaum Wahhabi. Karena itu cukup beralasan jika mereka dianggap dipengaruhi
ajaran-ajaran Wahhabi yang menginginkan perubahan secara radikal di wilayah Minangkabau.

Kelompok ini meneriakkan jihad pada kaum muslim lain yang tidak mau mengikuti ajaran
mereka (persis seperti yang dilakukan Kaum Wahhabi di Najd dan Hijaz) akibatnya perang saudara
meletus di tengah masyarakat Minangkabau, surau-surau yang dianggap kubu-kubu bid’ah diserang dan
dibakar hingga rata dengan tanah, dan inilah yang memancing campur tangan Belanda. Pecahlah Perang
Padri yang baru berakhir 1830 M. (Azra: 2005, 371).

Peristiwa Perang Padri ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa dampak dari gerakan
pembaruan yang radikal dan ekstrim tidak menyebabkan Islam makin tersebar dan kuat, tapi malah
memantik perang saudara antar sesama muslim.

Gus Dur: Empat Model Relasi Islam dengan Kekuasaan dan Budaya Lokal Nusantara

Sebagai penutup dari bagian ini, saya ingin mengutip pendapat KH Abdurrahman Wahid tentang model
hubungan Islam dengan kekuasaan dan budaya lokal yang terbagi menjadi empat model di Nusantara:

Model Aceh yang mengenal kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dan besar, di sana adat ditundukkan oleh
syariat Islam yang ditafsirkan sesuai kitab-kitab fiqih yang diakui.
Model Minangkabau, dalam hal kekuatan adat dan syariat sama-sama berimbang yang termaktub dalam
falsafah di sana “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”.

Model Jawa yang mengenal relasi multikratonik, terjadi keragaman pola kehidupan antara negara (kraton-
kerajaan) dan pesantren. Selama pihak kedua mengakui kraton sebagai pusat kekuatan mereka dapat
menjalankan progam-program seperti yang zaman sekarang disebut LSM (kelompok civil society).
Pesantren basis santri sementara Keraton simbol Kejawen.

Model Gowa yang merupakan asimilasi antara adat-adat pra-Islam dan Islam secara damai. Budaya-
budaya lokal tetap menjadi identitas penting dalam berislam.

C.KEDATANGAN PENJAJAH BANGSA BARAT KE NUSANTARA

Sejak lama perdagangan di Maluku telah berlangsung secara bebas. Kedatangan bangsa Barat, di
mulai dengan Portugis dan Spanyol kemudian Belanda menimbulkan corak perdagangan lain. Mereka itu
memaksakan sistem monopoli.

Rakyat Hitu menentang sistem monopoli yang di paksakan VOC. Sejak tahun 1618 VOC
memaksakan monopoli. Namun demikian pedagang-pedagang Jawa dan Makasar masih tetap dapat
mengadakan hubungan dagang ini berkat keterampilannya melewati pengawasan Belanda di Maluku.
Belanda menggunakan cara-cara yang sangat kejam. Mereka melakukan pelayaran Hongi. Banyak pohon
cengkeh penduduk di musnahkan dan pengawasan perdagang. Rempah-rempah di hancurkan dengan apa
yang di sebut "Pelayaran Hongi". Pelayaran Hongi pada waktu itu di artikan sebagai pelayaran tahunan
yang di lakukan VOC untuk memelihara monopoli dengan memusnahkan pohon-pohon cengkeh
penduduk, yang dapat mengganggu kelancaran monopoli VOC. Kapal-kapalnya harus di sediakan
penduduk dan juga mereka harus siap melakukan pekerjaan mendayung kapal-kapal tersebut. (Dalam
Maliha Aziz dan Asril, 2006:81). Karena tindakan kasar dari VOC menimbulkan pemberontakan,
sehingga raja Ternate yang biasanya menjadi sekutunya sekarang memusuhinya dan penduduk dari Irian
sampai Jawa telah di mobilisasi atau di minta bantuannya untuk mengusir orang-orang Portugis dan orang
asing lainnya. (Nugroho Notosusanto, 60: 1993).

Pada tahun 1635-1646 rakyat Hitu bangkit melawan VOC. Perlawanan rakyat Hitu itu kemudian di
bantu oleh Ternate dan daerah Ambon. Kegentengan ini memaksa Gubernur Jenderal Van Diemen dua
kali memimpin sendiri ekspedisi militer ke Maluku pada tahun 1637 dan 1638. Dengan taktik yang licin
VOC berhasil meredakan situasi. VOC mengakui kedaulatan Sultan Ternate atas daerah Ambon. Kakiali
dapat di tangkap, tetapi perlawanan tetap dilanjutkan rakyat Hitu di bawah pimpinan Pattimura. Kakiali di
lepas oleh VOC di harapkan agar perlawanan terhenti. Sementara itu VOC berdamai dengan Ternate.
Namun demikian Hitu tetap melawan dengan bantuan pelaut dari Makasar. Belanda megerahkan segala
kekuatannya untuk menumpas perlawanan Hitu ini. Hanya dengan cara –cara yang licik dan politik
"Devide et impera" akhirnya mereka dapat mengatasi perlawanan. Kakiali terbunuh oleh penasehatnya
yang sebagai hasil kelicikan Belanda. Pemimpin lainnya di bunuh secara kejam, termasuk keluarganya,
ibu serta saudara-saudaranya di pancung dan di pertontonkan kepada umum.( Dalam Maliha Aziz dan
Asril, 2006:82). Hitu yang berdasarkan adat dihapus. Hitu di perintahkan langsung oleh VOC.
Perlawanan ternyata masih terus berkobar di pimpin oleh Telukabasi. Hitu baru dapat di tundukkan pada
tahun 1646, setelah Telukabesi menyerah dan kemudian di hukum pancung di halaman benteng Victoria.
Peperangan meluas ke Ternate dan Ambon, Sultan Ternate yang bersahabat dengan VOC diusir rakyat,
pada tahun 1650. Laksamana Saidi memimpin perlawanan, VOC dengan kelebihan persenjataan akhirnya
dapat mengalahkan pemberontakan. Saidi gugur secara tragis di bunuh oleh panglima tentara VOC di
Maluku, de Viamingh. Perlawanan paling lama dan sangat mengesankan di perlihatkan oleh perjuangan
Sultan Nuku dari Tidore. Perang antara Nuku dan Belanda (VOC) mulai berkobar sejak tahun 1780.
Perang terus berlangsung sampai tahun 1805, sampai beliau wafat. (Dalam Maliha Aziz dan Asril,
2006:82). MALUKU TENGAH Sejak VOC menguasai Maluku dalam abad ke 17, timbul pemukiman-
pemukiman baru dengan nama "negeri" di daerah kepulauan Maluku Tengah. Berangsur-angsur muncul
suatu struktur sosial di negeri-negeri yang merupakan gabungan antara unsur-unsur dari sistem budaya
lama dengan unsur-unsur baru yang di masukkan oleh VOC. Masyarakat negeri di pantai kepulauan
Ambon-Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untuk perkebunan-perkebunan cengkeh, di samping tanah-
tanah pusaka-pusaka milik keluarga masing-masing. Hasil cengkeh dari setiap dati di jual pada VOC
dengan harga tertentu, sedangkan hasil dari tanah pusaka berupa bahan makanan di pakai oleh keluarga
(famili) yang mengerjakannya. Selain itu VOC juga mengembangkan suatu sistem pemerintah desa
(negeri) serta sistem pendidikan desa. Bila para penguasa desa mempunyai ikatan kekerabatan dalam desa
masing-masing, maka para guru desa selalu di pindah-pindahkan dari suatu desa ke desa lainnya.

Sistem perkebunan cengkeh, serta pemerintahan desa, dan sistem pendidikan desa, merupakan unsur-
unsur yang mengikat kehidupan penduduk Ambon-Lease dengan serasi. Namun di samping itu terasa
pula kepincangan-kepincangan yang di timbulkan sistem-sistem itu. Ekspidisi Hongi yang diorganisir
VOC setiap tahun, umpamanya lebih banyak merupakan tragedi dalam sejarah Maluku. Ekspedisi yang
terdiri dari kora-kora (perahu perang) milik masing-masing negeri di kepulauan Ambon-Uliase, di
maksudkan untuk mengawasi pulau-pulau seram, Buru dan Manipa, dan lain-lain, yang di larang
menghasilkan cengkeh. Setiap pohon cengkeh di pulau-pulau tersebut di tebang oleh serdadu-serdadu
VOC yang di angkut armada kora-kora tersebut. Selama berlangsungnya ekspedisi itu banyak pemuda-
pemuda negeri yang menjadi pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan, atau di bunuh
musuh. Selain itu waktu yang di gunakan sering melebihi waktu yang telah di sepakati, yaitu tiga bulan
dan kebetulan jatuh pada masa panen cengkeh (akhir tahun) tatkala tenaga mereka justru di butuhkan di
dati masing-masing. Kepincangan lain sistem yang di bangun VOC di Maluku Tengah adalah
korupsi. Terutama sejak bagian kedua abad ke-18,penyakit ini mulai menjalar di kalangan pejabat-pejabat
Belanda. Mental pedagang yang merupakan ciri bekas pejabat-pejabat Belanda pada abad ke-7, mulai
berganti dengan mental pegawai pemerintah dalam abad ke-18 sehingga untung-rugi perusahaan sebagai
dorongan utama, berganti dengan usaha memperkaya diri masing-masing. Rencana-rencana mereka
mengelisahkan rakyat. Penyederhanaan sistem pendidikan dengan menghapuskan sekolah-sekolah desa
dan memusatkannya ke satu atau dua negeri di setiap pulau, di desas-desuskan oleh orang-orang Ambon
sebagai usaha menhapuskan seluruh sistem itu. Kemudian ada beberapa tindakan lain yang oleh
penduduk di anggap tidak pantas. Pemerintah Gubernur van Middelkoop pada penduduk Ambon-Lease
untuk membuat garam dan ikan asin bagi keperluan kapal-kapal perang Belanda yang sedang berlabuh di
Ambon, di anggap perbuatan sewenang-wenang. Perintah ini di angga[p memberatkan karena kerja rodi
lain tidak di kurangi, bayaran yang kecil jumlahnya untuk hasil ikan asin dan garam terutama di tolak
oleh penduduk Saparua.

Sejak awal bulan maret 1817 pelbagai kelompok penduduk Maluku Tengah sudah mulai
mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan situasi baru akibat adanya rencana-rencana
pemindahan kekuasaan dari tangan Inggris kepada Belanda. Pada pertemuan pada tanggal 14 Mei di
pulau Saparua para pemuda dan penguasa-penguasa desa (raja atau patih dan orang kaya) memutuskan
untuk menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di benteng Duurstede yang terletak di pulau Saparua.
Keputusan yang sangat di rahasiakan ini di teruskan pada setiap negeri di pulau itu. Selain itu dalam
musyawarah di tempat itu mereka juga memilih Thomas Matulesy sebagai pemimpin perang dengan
julukan Pattimura.

Nyaris rencana penyerbuan Duustede buyar karena beberapa golongan pemuda dari desa Proto tidak
sabar. Pada malam hari tanggal 14 kelompok pemuda ini mendatangi dan membongkar orambay pos
(perahu milik pemerintah) yang sedianya akan mengangkut kayu bahan bangunan dari Porto ke Ambon.
Keesokan harinya Residen van den Berg berkuda dari benteng Duurstede ke Porto dengan maksud
membereskan masalah itu. Tetapi para pemuda menangkapnya di Porto. Hanya karena Kapitan Pattimura
berhasil menengahi persoalan ini, Residen van den Berg lolos dari tangan para pemuda dan berhasilkan di
pulangkan di Duurstede.

Pada malam hari juga para pemuda mulai berdatangan ke sekitar benteng Duurstede dan pagi harinya
tanggal 15 Mei tembakan-tembakan mulai di lancarkan. Tidak lama kemudian Kapitan Pattimurapun tiba
untuk memimpin penyerbuan ke arah Duurstede. Dua kali pernyerbuan di lakukan tanpa hasil. Tembakan-
tembakan mariam dari arah benteng tak dapat di tandingi para pemuda yang hanya bersenjata beberapa
bedil, pedang, tombak, dan lain-lain. Namun karena tembakan-tembakan tesebut mesiu benteng habis dan
akhirnya tentara terpaksa menyerahkan diri. Setiap penghuni benteng tersebut, termasuk Residen Van den
Berg beserta keluarganya musnah, kecuali seorang putranya yang berumur lima tahun.

Jatuhnya Duurstede bagi Belanda merupakan suatu pukulan besar. Sebab itu tidak lama kemudian
mereka menyusun suatu kekuatan untuk merebutnya kembali. Pasukan yang di pimpin Mayor Beetjes itu
tiba di Saparua pada tanggal 20 Mei.perjalanan mereka memang sangat menyedihkan. Di pulau Ambon
tidak ada desa yang bersedia menyerahkan perahu-perahunya untuk mengangkut pasukan Beetjes. Suatu
tempat di hutan-hutan. Setelah bersusah payah mereka sampai ke pulau Haruku di mana terdapat benteng
Zeelandia. Di sinipun tidak ada yang bersedia menyerahkan perahu-perahu untuk mengangkut mereka ke
Saparua. Dengan susah payah akhirnya Residen Uitenbroek berhasil memperoleh suatu kruisarombai
(rembaya perang) dan 6 arombay biasa untuk mengangkut sekitar 100 orang pasukan Beetjes ke Saparua.
Pasukan Beetjes tiba sekitar pukul 11.00, Angin musim Barat, yang terkenal dengan ombaknyayang
dahsyat dari arah laut Banda, menyebabkan Beerjes tidak mudah mencari tempat pendaratan. Akhirnya di
pilihlah pantai Waisisil di sebelah Barat Duurstede. Namun tempat itu justru menjadi tempat yang ideal
untuk menahan suatu pendaratan.

Sejak Armada Arombay Beetjet memasuki teluk Saparua, Kapitan Pattimura sudah bersiap-siap
dengan strateginya. Seluruh pasukannya sudah di atur sepanjang pantai, setiap gerakan armada di ikuti
oleh pasukan itu dengan cermat. Sekitar 1000 orang yang sebagian yang bersenjata bedil dan sebagian
lagi bersenjatakan pedang dan tombak segera di konsentrasikan di tempat pendaratan. Para pengayuh
Armobay yang terdiri dari penduduk desa berusaha menyelamatkan dirisetelah nampak, bahwa pasukan-
pasukan Pattimura mulai menyerbu ke pantai. Dengan demikian hampir seluruh pasukan Betjes musnah
di Waisisil, termasuk Betjes sendiri. Kekealahan yang ke dua kalinya ini lebih lagi menimbulkan
kegemparan di kalangan pemerintah belanda.
Dan terjadi perlawanan yang tidak kunjung reda di Saparua, Haruku, dan Ambon dengan bantuan
pasukan-pasukan alifuru dari seram itu berlansung terus dalam bulan Agustus sampai November.
Sekalipun persenjataan Pattimura tidak lengkap, namun siasat-siasat penyergapan terhadap benteng atau
patroli musuh, sering cukup efektif.

Sebelum pasukan Meyer di seberangkan ke pulau Saparua dari Hulaliu, desa Porto dan desa Haria di
mana mereka akan di daratkan di tembaki oleh mariam-mariam kapal-kapal perang. Hal ini menyebabkan
para pemuda Porto dan Hariaa yang berjaga-jaga di belakang tembok-tembok benteng mereka terpaksa
mengundurkan diri. Para wanita dan anak-anak sudah terlebih dahulu diungsikan di pegunungan. Kapitan
Pattimura pun memindahkan markasnya dari Haria ke wilayah pegunungan Boy. Setelah Porto dan Haria
musnah terbakar, pasukan Meyer mendarat tanpa perlawanan. Sementara itu pasukan-pasukan Pattimura
tidak memahami benar siasat yang di gunakan Buyskes, karena beberapa kapal perang dan kapal
pengangkut mengambil tempat di berbagai sudut pulau itu, sehingga orang tidak mudah menduga di mana
tempat pendaratan itu di lakukan. Pendaratan Meyer di Porto-Haria dengan Duurstede, mereka
mengalami perlawanan yang gigih di Paperu. Perbentangan yang sangat kompleks di sini di pertahankan
tidak saja oleh pemuda-pemuda Paperu, tetapi juga di perkuat oleh pemuda-pemuda Porto dan Haria.
Namun keunggulan teknologi perang menentukan di sini pula. Kapal-kapal perang musuh segera
mengambil kedudukan di perairan Paperu dan memuntahkan peluru-peluru mariamnya ke arah
perbentengan Paperu. Wanita dan anak-anak diungsikan sementara pasukan Meyer menyerbu dari arah
Barat(Porto-Haria), pasukan-pasukan dari benteng Duurstede di kerahkan pula dari arah Timur untuk
memberi bantuan. Dari segala sudut desa Paperu di sergap. Pasukan Meyer yang terlebih dahulu
menerjunkan diri ke dalam perbentengan Paperu. Perang tanding menyusul, dan pemuda-pemuda mulai
terdesak oleh gelombang pasukan musuh yang terus-menerus berdatangan. Korban-korban berjatuhan
dalam jumlah yang banyak. Menghadapi tekanan-tekanan ini para pemuda mengundurkan diri kearah
hutan-hutan Paperu. Meyer dan pasukannya merayakan hari kemenangan didesa Paperu sementara
pasukan Pattimura mulai merosot semangatnya. Ketika pasukan Meyer tiba di Boi, seorang musuh
Kapitan Patti mura menghianatinya dengan cara menunjukkan tempat persembunyiannya. Beberapa
panglima lainnya juga tertangkap dengan cara yang sama. Pertempuran kemudian berkobar lagi didesa-
desa Sirisory, Ulat dan Ouw. Siasat yang dugunakan Buykas di Paperu diulangi lagi disini. Namun
pertempuran di Ouw termasuk yang mengesankan karena pada ketika itu komandan ternyata meninggal.
Kapiten Vermeulen-Kruger, yang juga luka-parah, mengambil alih pimpinannya. Namun para pemuda
tidak bisa menandingi siasat musuh yang terus menerus mengirimkan gelombang demi gelombang
pasukan untuk diterjunkan ketengah-tengah perbentengan Ouw. Mereka terkepung dan terpaksa
mengundurkan diri. Dalam salah satu pertempuran ini Kapitan Paulus Tiahahu dari nisa laut tertangkap
bersama putrinya Marta Kristina Tiahahu. Kapitan yang telah mendekati umur 80 tahun itu selama
pertempuran-pertempuran juga senantiasa di usung oleh pengikut-pengikutnya.

Dalam bulan Desember 1817 Kapitan Pattimura bersama 3 orang panglimanya dijatuhi hukuman
mati yang dijalankan dibenteng Niuew Victoria di Ambon. Beberapa orang pemimpin lainnya mengalami
nasib yang sama seperti kapitan Paulus Tiahahu yang dihukum pancung di nusa laut dan kapitan Ulu paha
yang diangkat dari luhu untuk digantung diambon. Pelaksanaan hukum mati dilakukan atas pemimpin-
pemimpin yang lebih rendah. Sejumlah pasukan yang tertangkap dikenakan hukuman buang ke Cianjur.
Sebgian besar dikenakan Amnesti.

Anda mungkin juga menyukai