Anda di halaman 1dari 13

Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Vol. 3 No. 1, April 2016: 11-23


ISSN : 2355-6226
E-ISSN 2477-0299

KEBIJAKAN PERUBAHAN FUNGSI PARSIAL HUTAN LINDUNG


(STUDI KASUS DI KABUPATEN TORAJA UTARA)

Fidelia Balle Galle1*, Bramasto Nugroho2, Hariadi Kartodihardjo2


1
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680
*
Email: fideliagalle@yahoo.com/gallefidelia@gmail.com
2
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor 16680

RINGKASAN
Perubahan fungsi kawasan hutan lindung bertujuan mengoptimalkan fungsi kawasan hutan.
Perubahan fungsi hutan lindung di Kabupaten Toraja Utara mengalami keterlambatan karena
adanya pandangan yang berbeda antara Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Tujuan penelitian ini adalah menggali
wacana yang mendasari antara Ditjen Planologi Kehutanan dan Ditjen PHKA yang
memunculkan narasi terhadap kebijakan perubahan fungsi, memunculkan aktor/jaringan dan
kepentingan/politik yang menyebabkan proses perubahan fungsi berjalan lambat. Proses yang
mengalami keterlambatan dilihat dari sudut wacana, aktor dan kepentingan sehingga dapat
digunakan pendekatan kerangka IDS 2006. Aktor yang terlibat dalam proses perubahan fungsi
hutan lindung memiliki kepentingan dan pengaruh yang berbeda sehingga perubahan fungsi
hutan lindung akan sulit dilakukan. Oleh karena itu perlu mengambil kebijakan yang
mempertimbangkan persamaan wacana dengan kepentingan yang sama dan dukungan aktor yang
mempunyai visi yang sama.

Kata kunci: fungsi kawasan hutan, hutan lindung, kebijakan kehutanan, perubahan fungsi

PERNYATAAN KUNCI REKOMENDASI KEBIJAKAN

® Perbedaaan pandangan antara Direktorat ® Hutan lindung di daerah hulu Kabupaten


Jenderal Panologi Kehutanan dan Direktorat Toraja Utara telah diokupasi oleh masyarakat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi dapat dilakukan melalui skema Tanah Objek
Alam menyebabkan keterlambatan proses dan Reforma Agraria, dengan demikian
perubahan fungsi hutan lindung. Kepentingan masyarakat sekitar hutan lindung dapat
dan pengaruh dari aktor yang berbeda dan menjaga kelestarian kawasan. Dalam rangka
didukung oleh masing- masing jaringan pengelolaan kawasan hutan lindung diharapkan
sehingga implementasi kebijakan perubahan pemerintah bekerjasama dengan masyarakat
fungsi tidak berjalan. melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung.

11
Fidelia Balle Galle, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

I. PENDAHULUAN Ekayani 2011; Ekayani et al. 2016).


Tuntutan dinamika pembangunan nasional
Desentralisasi pengelolaan hutan lindung mendorong perubahan fungsi kawasan hutan
yakni memberi kewenangan kepada Pemerintah untuk mengoptimalkan distribusi fungsi, sehingga
Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota kawasan hutan berubah fungsi menjadi fungsi
dimaksudkan untuk mendistribusikan kawasan hutan lainnya atau menjadi areal
pengelolaan sumberdaya alam/hutan yang lebih penggunaan lain (APL). Hal ini menandakan
adil (Barr et al. 2006) dan pengalihan hak bahwa penurunan luas hutan lindung lebih besar
sumberdaya hutan (Ravikumar et.al 2012). jika dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang
Dampak dari desentralisasi di Indonesia diubah fungsi menjadi hutan lindung. Penurunan
menimbulkan konflik atas pemanfaatan lahan luas hutan lindung dengan melakukan perubahan
hutan karena memunculkan tumpang tindih klaim fungsi menunjukkan bahwa tingginya kepentingan
atas hutan negara (Palmer dan Engel 2007; terhadap hutan lindung atau kondisi biofisik yang
Nurrochmat et al. 2012; Nurrochmat el al. 2014), tidak sesuai dengan fungsi hutan lindung.
termasuk kinerja desentralisasi pengelolaan hutan Kebijakan penataan ruang fungsi kawasan
lindung yang ditunjukkan oleh tingginya hutan berdasarkan SK. No. 434/Menhut-
deforestasi yang terjadi (Ekawati et al. 2012). II/20092 Tentang Penunjukan Kawasan Hutan
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi
kawasan hutan lindung tidak seluruhnya sesuai Sulawesi Selatan bahwa luas hutan lindung adalah
fungsi pokoknya karena kebijakan tata ruang ± 1.232.683 ha (Ditjenplanhut 2012). Kawasan
kawasan hutan belum mempertimbangkan baik hutan yang berada di Kabupaten Toraja Utara
kondisi biofisik1 maupun rencana pemanfaatan seluruhnya merupakan hutan lindung seluas ±
kawasan hutan. Pada prinsipnya fungsi kawasan 35.216 ha atau 2,86% dari luas hutan lindung di
hutan dapat diubah fungsi berdasarkan PP Provinsi Sulawesi Selatan. Syahadat dan
Nomor 10 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah Dwiprabowo (2013) mengatakan bahwa
menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi
2015, namun kawasan hutan tetap terjaga pokoknya melalui usulan perubahan fungsi
keberadaannya dengan luasan yang cukup dan kawasan hutan dalam revisi RTRW harus
sebaran yang proporsional (Syahadat dan memperhatikan kriteria teknis dari masing-masing
Dwiprabowo 2013). Kebijakan-kebijakan dengan fungsi pokok kawasan tersebut. Pemerintah
mempertahankan kawasan hutan lindung ataupun Daerah Kabupaten Toraja Utara mengusulkan
kebijakan perubahan fungsi tidak terlepas dari perubahan fungsi kawasan hutan lindung menjadi
adanya pengaruh aktor dan kepentingan para hutan produksi seluas ± 2.128 Ha dari total luas
pihak. Proses kebijakan dipengaruhi oleh hutan lindung ± 35.216 Ha (Dishutbun 2012).
narasi/diskursus, aktor/jaringan dan kepentingan Pertimbangan kondisi biofisik di lapangan
dalam pengambilan keputusan (IDS 2006; merupakan dasar pengusulan karena adanya

1 Kondisi biofisik yang dimaksud adalah kelerengan, tanah, iklim dan biodiversitas..
2Penunjukan Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tidak berdasarkan atas
Pengkajian Tim Terpadu (Informasi dari Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan)..

12
Vol. 3 No. 1, April 2016 Kebijakan Perubahan Fungsi Parsial Hutan Lindung

penguasaan lahan oleh masyarakat dalam bentuk berbeda dalam hubungannya dengan ilmu dan
sebuah desa, akses jalan pemerintah dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh koalisi aktor.
pemanfaatan hasil hutan secara illegal. Perubahan Proses mengalami keterlambatan terkait tata
fungsi parsial hutan lindung dapat diakomodir waktu sesuai dalam Peraturan Menteri Kehutanan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun Nomor: P.34/Menhut-II/2010 dan melewati
2010 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan batas proses normal yang dimulai dari Usulan
Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 dan Bupati kepada Menteri Kehutanan melalui surat
P.34/Menhut-II/2010. Kebijakan PP Nomor 10 Nomor.522/0779/DISHUTBUN tanggal 30 Juli
Tahun 2010 yang telah diubah dalam PP Nomor 2012 sampai dengan surat Direktur Jenderal
104 Tahun 2015 tersebut dapat mengakomodir Planologi Kehutanan dan tata Lingkungan
kondisi fakta di lapangan, mengingat landasan Nomor: S.6/PKTL-RPP/2016 tanggal 11 Januari
peraturan tersebut adalah optimalisasi distribusi 2016. Penelitian ini dilakukan untuk menggali
fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan wacana3 yang mendasari antara Ditjen Planologi
berkelanjutan serta keberadaan hutan dengan Kehutanan dan Ditjen PHKA yang memunculkan
luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. narasi4 terhadap kebijakan perubahan fungsi,
Syahadat dan Subarudi (2012) menyampaikan memunculkan aktor/jaringan dan kepentingan/
dalam penelitiannya bahwa kawasan hutan politik sehingga menyebabkan proses perubahan
dituntut untuk dapat memberikan manfaat bagi fungsi berjalan lambat. Bagaimana ruang
kesejahteraan masyarakat yang sekaligus dapat kebijakan (policy space) proses perubahan fungsi
melakukan perannya sebagai penyang ga hutan lindung?.
kehidupan.
Proses perubahan fungsi parsial tersebut
mengalami keterlambatan berdasarkan tata waktu II. SITUASI TERKINI
yang telah ditentukan paling lama 350 hari dan
pengusulan sampai dengan saat ini belum selesai Perubahan fungsi parsial diusulkan oleh
diproses. Adanya keterlambatan ini diduga karena Pemerintah Daerah yaitu sebagian kawasan hutan
perbedaan pandangan kedua institusi yang terlibat lindung menjadi hutan produksi. Pertimbangan
dalam proses perubahan fungsi kawasan hutan fakta keterlanjuran di lapangan dan rencana
lindung. Perbedaan pandangan terjadi antara penggunaan kawasan hutan lindung merupakan
Ditjen Planologi Kehutanan dan Ditjen PHKA dasar pengusulan dengan tujuan pembangunan
terkait proses perubahan fungsi hutan lindung. daerah. Usulan perubahan fungsi tersebut dapat
Ditjen PHKA mendukung konservasi dalam arti diakomodir dalam PP Nomor 10 Tahun 2010
sempit dan Ditjen Planologi Kehutanan yang telah diubah dalam PP Nomor 104 Tahun
mendukung kepentingan umum. Wittmer dan 2015 dan P. 34/Menhut-II/2010 dengan proses
Birner (2005) mengemukakan bahwa wacana yang pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan
berbeda terjadi karena orientasi nilai aktor yang pertimbangan teknis dari Direktorat Perlindungan
3 Wacana merupakan unit bahasa yang lebih besar dari kalimat, dapat diartikan juga sebagai pembicaraan atau diskursus
(Eriyanto, 2001).
4 Narasi adalah sebuah cerita yang memiliki awal, tengah dan akhir yang menguraikan peristiwa tertentu dan telah

mempengaruhi perubahan-perubahan kebijakan. Narasi inilah yang berkembang dalam perumusan suatu kebijakan.

13
Fidelia Balle Galle, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Hutan dan Konservasi Alam. Proses perubahan dari sisi konservasi namun harus dilihat juga dari
fungsi parsial tersebut mengalami keterlambatan sisi ekonomi, sosial dan kepentingan dari
karena perbedaan pandangan kedua institusi yang perubahan fungsi tersebut. Pemahaman terhadap
menangani proses perubahan fungsi kawasan hutan atau kawasan lindung yang ditetapkan
hutan lindung. Pandangan-pandangan terhadap adalah bagaimana mendefinisikan hutan lindung
perubahan fungsi lindung akan berbeda apabila serta bagaimana memberlakukan hutan lindung
didasarkan pada kepentingan masing-masing dilihat sebagai proses politik yang bertujuan sosial,
pihak. politik dan ekonomi agar kontrol ruang lebih
muda (Holmes 2014).
Wacana Perubahan Fungsi Hutan Lindung
Naskah kebijakan perubahan fungsi hutan
Analisis wacana menurut Teun van Dijk dalam
secara parsial dituangkan dalam Undang-Undang
Eriyanto (2001) dilakukan dengan analisis teks,
Nomor 41 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah
kognisi sosial dan konteks sosial dengan
Nomor 10 tahun 2010 yang telah diubah menjadi
menggabungkan ketiga dimensi wacana untuk
Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015,
memperoleh analisis yang komprehensif dalam
Permenhut P.34/Menhut-II/2010 mengalami
membingkai framing sebuah wacana (Ekayani et al.
perubahan dengan Permenhut P.29/Menhut-
2016. Proses perubahan fungsi kawasan hutan
II/2014 dan P.16/MenLHK-II/2015. Analisis
dalam pelaksanaannya merupakan tanggungjawab
teks terhadap dokumen terkait perubahan fungsi
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Tujuan
hutan lindung yang terdiri dari 13 peraturan terkait
kebijakan tersebut yaitu optimalisasi fungsi hutan
perubahan fungsi hutan, 2 dokumen rencana
dalam memantapkan kawasan hutan dengan
strategis, 10 media cetak, 5 media dan 2 jurnal.
maksud memenuhi tuntutan dinamika
Dokumen tersebut dibuat kata kunci dan
masyarakat, namun implementasi kebijakan
kodefikasi kemudian dikategorikan berdasarkan
tersebut tidaklah berjalan sesuai dengan tujuan
pernyataan dalam teks tersebut.
kebijakan itu sendiri. Fakta yang sering muncul
Tema-tema yang dibangun dalam teks tersebut
bahwa perubahan fungsi hutan lindung tidak
berdasarkan atas narasi bahwa perubahan fungsi
hanya mengurangi luas kawasan hutan dan
kawasan hutan lindung dapat dilakukan tanpa
menurunkan fungsinya sebagai pengatur tata air
mengubah fungsi pokok hutan lindung tersebut.
tetapi juga menurunkan keanekaragaman hayati
Kebijakan hutan lindung sebagai sistem
dan menimbulkan konflik. Kebijakan tersebut
penyangga kehidupan dapat dimanfaatkan dengan
memunculkan berbagai pandangan, oleh karena
tetap menjaga dan melindungi keanekaragaman
itu dalam menjalankan kebijakan perubahan
hayati serta menjaga keseimbangan ekosistem.
fungsi perlu pertimbangan-pertimbangan dari
Narasi-narasi yang membentuk tema kebijakan
berbagai pihak.
tersebut adalah memanfaatkan sumberdaya alam
Pertimbangan secara teknis yang akan
sesuai dengan fungsinya karena berdasarkan
diberikan oleh Ditjen PHKA terhadap kebijakan
penetapan kawasan hutan tidak seluruhnya sesuai
proses perubahan fungsi hutan lindung akan
dengan kondisi fakta di lapangan. Skema
melihat secara teknis dari sisi konservasi. Hal ini
kebijakan perubahan fungsi hutan lindung adalah
memunculkan pemahaman yang berbeda dengan
untuk mengoptimalkan fungsi kawasan hutan
Ditjen Planologi Kehutanan karena tidak hanya

14
Vol. 3 No. 1, April 2016 Kebijakan Perubahan Fungsi Parsial Hutan Lindung

Tabel 1 Kata kunci dalam teks kebijakan dan kata kunci hasil wawancara
Keyword dalam teks kebijakan Keyword hasil wawancara
No
Uraian N % Uraian N %
1 Perubahan 16 4,71 Hutan lindung 25 5,62
2 Pemanfaatan 13 3,82 Tidak diubah 23 5,17
3 Sistem Penyangga kehidupan 11 3,24 Masyarakat 16 3,60
4 Perlindungan 10 2,94 Pertimbangan teknis 13 2,92
5 Ekosistem 9 2,65 Konservasi 10 2,25
6 Hutan lindung 7 2,06 Fungsi 8 1,80
7 Konservasi 7 2,06 Perubahan 8 1,80
8 Sumberdaya alam hayati 7 2,06 Kawasan 7 1,57
9 Mengoptimalisasi 6 1,76 Proses 7 1,57
10 Pemerintah 6 1,76 Informasi 6 1,35
11 Penataan ruang 6 1,76 Kawasan konservasi 6 1,35
12 Wilayah 6 1,76 Kepentingan 5 1,12
Jumlah 104 30,59 134 30,11
Sumber: Data diolah 2016

lindung menjadi kawasan hutan lainnya apabila sebag ai pendukung konser vasi atau
tidak memenuhi kriteria lagi sebagai hutan lindung konservasionis dan Ditjen Planologi Kehutanan
tetapi memenuhi kriteria sebagai hutan konservasi sebagai pendukung pemberdayaan masyarakat
atau hutan produksi. Peraturan ini dibuat atau mendukung kepentingan umum atau
bertujuan untuk memenuhi tuntutan dinamika ekopopulis.
pembangunan nasional dan tetap berdasar pada Analisis konteks sosial adalah melihat
optimalisasi distribusi fungsi dengan pemanfaatan bagaimana wacana yang diproduksi dan
kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan. dikonstruksi dalam lingkup Ditjen PHKA dan
Teks kebijakan perubahan fungsi didasarkan Ditjen Planologi sebagai pengambil keputusan.
pada kepentingan dalam mengoptimalkan fungsi Wacana merupakan isu yang berkembang di
kawasan hutan dan memenuhi tuntutan aspirasi lingkungan Direktorat Jenderal Planologi
rakyat. Kebijakan perubahan fungsi dan Kehutanan dan Direktorat Jenderal Konservasi
turunannya dalam Permenhut P.34/Menhut- dan Perlindungan Hutan sehingga kebijakan
II/2010 yang disusun lebih didominasi oleh perubahan fungsi sering berubah. Kebijakan
Ditjen Planologi Kehutanan. Prinsip pelaksanaan perubahan fungsi dan perubahannya dipengaruhi
dari kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan oleh kekuasaan dan akses. Kekuasaan dalam
tersebut adalah untuk meng akomodir pengambilan keputusan tentang perubahan fungsi
kepentingan umum dan berdasar pada kelestarian hutan lindung didasarkan pada bagaimana akses
hutan dan kawasannya. Kontestasi dalam dan kekuasaan yang berkembang di kedua institusi
pelaksanaan kebijakan tersebut khususnya di tersebut. Ditjen Planologi Kehutanan
Ditjen PHKA dan Ditjen Planologi Kehutanan mengemban tugas untuk pemantapan status dan
sehingga menyebabkan keterlambatan proses f u n g s i k awa s a n h u t a n , m e r e n c a n a k a n
perubahan fungsi di Toraja Utara. Kedua institusi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan.
yang berbeda pandangan didasari oleh tugas dan Wacana yang diusung adalah untuk mendapatkan
tanggungjawab yang berbeda. Ditjen PHKA s t a t u s f u n g s i k awa s a n h u t a n d e n g a n

15
Fidelia Balle Galle, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

mengoptimalkan fungsi kawasan hutan tersebut mempengaruhi dalam lingkupnya sendiri. Ditjen
tanpa klaim atau konflik dengan pemangku PHKA lebih mudah dalam menjalin kerjasama
kepentingan lainnya dalam kawasan hutan. terkait tugas pokok dan fungsinya adalah
Tumpang tindih klaim dan penggunaan kawasan konservasi dan perlindungan hutan.
hutan di lapangan mendorong percepatan
Aktor dalam Proses Perubahan Fungsi
penetapan status dan fungsi hutan yang
Identifikasi Aktor
sebenarnya dengan meng gunakan data,
Hasil identifikasi aktor yang terlibat dalam
informasi, penggunaan teknologi dan groundcheck
proses perubahan fungsi dengan menggunakan
di lapangan. Koordinasi dengan daerah yaitu
analisis stakeholder yang dikembangkan oleh Reed et
dengan Dinas Kehutanan dan BPKH yang secara
al. (2009) bahwa aktor yang terlibat dalam proses
terus-menerus membantu penggalian data dan
perubahan fungsi hutan lindung Toraja Utara
informasi yang akurat. Akses tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu kategori
memperkuat tetap diberlakukannya peraturan
aktor utama dan aktor marginal.
perubahan fungsi ini.
Perubahan fungsi hutan lindung secara parsial
Ditjen PHKA mengemban tugas sebagai
dapat dilaksanakan sesuai mandat dalam PP
perlindungan dan konservasi alam yang
Nomor 10 Tahun 2010 yang diturunkan dalam
mempunyai wewenang terhadap kawasan hutan
P.34/Menhut-II/2010 yaitu tata cara perubahan
lindung. Kawasan hutan lindung tidak hanya
fungsi kawasan hutan dengan persyaratan
sebagai pengatur tata air tetapi konservasi
administrasi dan teknis dipenuhi. Perubahan
terhadap biodiversitas juga terutama flora dan
fungsi hutan lindung melibatkan Ditjen PHKA
fauna yang endemik. Hal senada diungkapkan
sebagai pemberi pertimbangan terhadap
Morales-Hidalgo et al (2015) bahwa saat ini
perubahan tersebut karena hutan lindung
menunjuk kawasan lindung merupakan salah satu
merupakan wewenang dan tanggungjawab dari
strategi untuk melindungi dan melestarikan
Ditjen PHKA. Direktorat Jenderal Planologi
keanekaragaman hayati serta sumberdaya alam
Kehutanan mempunyai wewenang dan
dalam hutan dapat dipertahankan.
tanggungjawab penuh terhadap proses perubahan
Ditjen PHKA dalam menjalankan tugas dan
fungsi dan merupakan tugas pokok dan fungsi
wewenang menjalin kerjasama internasional
dalam pemantapan kawasan hutan. Penetapan
dengan WWF sebagai konservasi fauna.
kawasan hutan lindung cenderung tidak
Kerjasama dengan WWF dapat menjadi kekuatan
berdasarkan kondisi fakta di lapangan, oleh karena
dalam mengambil keputusan tetap
itu untuk mengoptimalkan fungsi kawasan hutan
mempertahankan status hutan lindung meskipun
maka melalui proses perubahan fungsi kawasan
tanggungjawab penuh pada Ditjen Planologi
hutan akan lebih maksimal dalam pengelolaan dan
Kehutanan. Dominasi kekuasaan pada Ditjen
pemanfaatannya. Bupati sebagai pemangku
PHKA tidak lain karena hutan lindung
kepentingan daerah dalam mengusulkan
merupakan wewenangnya dengan status
perubahan fungsi kawasan hutan lindung sesuai
pengetahuan dan kerjasama yang dimiliki. Akses
dalam peraturan. Bupati memerlukan masukan
yang dimiliki aktor pengambil keputusan
hasil evaluasi dari Dinas Kehutanan dan
merupakan kesempatan untuk berkuasa dan
Perkebunan Toraja Utara untuk memberikan

16
Vol. 3 No. 1, April 2016 Kebijakan Perubahan Fungsi Parsial Hutan Lindung

Tabel 2 Identifikasi aktor yang terlibat dalam proses perubahan fungsi


Aktor/Pihak Kriteria Keterlibatan Keterangan
Direktorat Jenderal Memberikan pertimbangan teknis atas usulan Pemerintah Pusat
Perlindungan Hutan dan perubahan fungsi yang menjadi bahan
Konservasi Alam pertimbangan dan sebagai persyaratan
administrasi
Direktorat Jenderal Planologi Pihak yang berwenang secara penuh dan Pemerintah Pusat
Kehutanan bertanggungjawab dalam memproses
perubahan fungsi kawasan hutan
Bupati Pemohon Pemerintah Daerah
Dinas Kehutanan dan Memberikan pertimbangan teknis terhadap Pemerintah Daerah
Perkebunan Toraja Utara usulan perubahan fungsi hutan lindung
WWF Mitra kerjasama Ditjen PHKA mengenai NGO, mitra kerjasama
Kawasan Konservasi Ditjen PHKA
Masyarakat Pengusul Masyarakat sekitar hutan
lindung Kabupaten
Toraja Utara
Sumber: Data diolah 2016

pertimbangan teknis selaku pemegang tugas dan kepentingan sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi,
tanggungjawab di bidang kehutanan. Dinas kurang tinggi dan rendah. Aktor berpengaruh
Kehutanan dan Perkebunan Toraja Utara ditentukan oleh kemampuan untuk mencapai
memberi pertimbangan teknis terhadap usulan strategi, bebas dari dogmatisme, memiliki hak
Bupati atas dasar evaluasi dan kondisi eksisting di lebih luas dan memilih jaringan aktor yang
lapangan. mempunyai keahlian dan terlegitimasi (Hasanagas
2016).
Klasifikasi dan Kategori Aktor Ditjen Planologi Kehutanan memiliki
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, studi tanggungjawab terhadap pemantapan kawasan
literatur dan pengamatan di lapangan maka hutan dan salah satu kegiatan yang mendukung
tingkat pengaruh dan kepentingan dalam proses program tersebut yakni perubahan fungsi parsial
perubahan hutan lindung dapat dinilai secara hutan lindung. Kebijakan perubahan fungsi
kualitatif dengan meng gunakan derajat parsial merupakan tugas pokok dan fungsi Ditjen
Tabel 3 Tingkat kepentingan aktor dalam proses perubahan fungsi hutan lindung
Kepentingan
No Nilai
K1 K2 K3 K4 K5
1 Ditjen PHKA 2 3 3 3 2 13
2 Ditjen Planologi 5 5 5 5 5 25
3 Bupati 5 4 2 5 5 21
4 Dinas Kehutanan dan Perkebunan 5 5 3 5 5 23
5 WWF 1 3 2 1 2 9
6 Masyarakat 5 5 1 3 5 19
Sumber: wawancara mendalam, kemudian diinterpretasikan peneliti (2015)
Ket: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah
K1 : Peran tupoksi terhadap pengambilan keputusan
K2 : Manfaat dari kegiatan perubahan fungsi
K3 : Keterlibatan dalam proses perubahan fungsi
K4 : Implementasi kebijakan perubahan fungsi
K5 : Hasil/dampak kebijakan perubahan fungsi

17
Fidelia Balle Galle, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Planologi dan Kehutanan tetap diamanatkan Kehutanan dan Perkebunan mencari solusi agar
sebagai pedoman, pegangan, pengendalian serta kawasan hutan lindung tidak semakin rusak.
evaluasi terhadap fungsi kawasan hutan yang Dinas Kehutanan dan Perkebunan sebagai
bertujuan mengoptimalkan fungsinya. Hasil dari pemberi pertimbangan teknis atas usulan
perubahan fungsi parsial yang menyesuaikan Pemerintah Daerah, memberikan pendapat atas
kondisi di lapangan dengan mempertimbangkan dasar kondisi di lapangan. Wewenang dalam
faktor-faktor lain terutama dari segi sosial dan memberi pertimbangan teknis sesuai dengan
ekonomi maka ker usakan hutan dapat amanat dalam P.34/Menhut-II/2010 bahwa
dikendalikan. Distribusi fungsi kawasan hutan usulan perubahan fungsi yang diusulkan Bupati
tercapai, degradasi hutan menurun, dapat dilengkapi dengan pertimbangan teknis dari Dinas
m e n c e g a h ko n f l i k d a n m e n i n g k a t k a n Kehutanan. Pemerintah Daerah dalam hal ini
kesejahteraan masyarakat dan pihak-pihak lain. adalah Bupati sebagai pemohon mengusulkan
Proses perubahan fungsi hutan lindung di Toraja perubahan fungsi parsial hutan lindung menjadi
Utara dinilai dengan mempertimbangkan hutan produksi untuk memenuhi tuntutan aspirasi
otonomi daerah. Dinas Kehutanan dan masyarakat. Hutan lindung yang akan diubah
Pe r ke b u n a n To r a j a U t a r a m e m p u n y a i fungsi dengan tujuan memanfaatkan dan
kepentingan yang tinggi terhadap perubahan menggunakan kawasan hutan secara optimal
fungsi parsial hutan lindung. Permasalahan untuk kepentingan daerah demi kesejahteraan
kehutanan di Toraja Utara sangat kompleks masyarakat.
karena tingginya akses ke kawasan hutan lindung. Proses perubahan fungsi hutan lindung Toraja
Hutan lindung tersebut sejak Tata Guna Hutan Utara menunjukkan bahwa aktor yang mempunyai
Kesepakatan sampai pada Penunjukan Kawasan pengaruh yang tinggi atas keterlambatan proses ini
Hutan sudah ada akses dan jalan bahkan sebagian adalah Ditjen PHKA. Ditjen PHKA mempunyai
sudah digarap dan dimiliki oleh masyarakat. kewenangan yang tinggi terhadap pemberian
Tugas dan tanggungjawab terhadap pengurusan pertimbangan teknis karena hutan lindung
hutan semakin meningkat sehingga Dinas merupakan kawasan yang dibina oleh Ditjen

Tabel 4 Tingkat pengaruh aktor dalam proses perubahan fungsi


Pengaruh
No Nilai
P1 P2 P3 P4 P5
1 Ditjen PHKA 5 5 4 5 5 24
2 Ditjen Planologi 5 2 5 1 2 15
3 Bupati 3 2 1 1 1 8
4 Dinas Kehutanan dan Perkebunan 1 2 4 1 1 9
5 WWF 5 3 5 5 5 23
6 Masyarakat 1 1 1 1 1 5
Sumber: wawancara mendalam, kemud ian diinterpretasikan peneliti (2015)
Ket: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah
P1 : Kekuatan mempengaruhi pengambilan keputusan
P2 : Kekuatan organisasi
P3 : Dukungan informasi
P4 : Kekuatan jaringan
P5 : Dukungan peraturan

18
Vol. 3 No. 1, April 2016 Kebijakan Perubahan Fungsi Parsial Hutan Lindung

PHKA. Dukungan evaluasi yang akurat dan fungsinya dalam pembinaan hutan lindung.
diperlukan sebelum tim terpadu Ditjen PHKA memiliki dasar argumen dan
merekomendasikan untuk memberi data dan kemampuan pengetahuan yang kuat dalam
informasi sebagai bahan pertimbangan tim memberikan pertimbangan teknis serta
terpadu. Ditjen PHKA menjaring kerjasama mempunyai jaringan kerjasama internasional
dengan WWF sebagai mitra dalam konservasi sehingga memiliki pengaruh yang kuat dalam
fauna langka sehingga cenderung mempertahan- proses perubahan fungsi hutan lindung.
kan sebagai kawasan tersebut. WWF sebagai mitra 2. Kuadran II; pihak yang berkepentingan tinggi
kerja merupakan lembaga konservasi sumber namun memiliki pengaruh yang rendah. Posisi
daya alam dan ekosistem yang bekerjasama ini disebut sebagai subject yang ditempati oleh
dengan pemerintah dan masyarakat. Konservasi Dinas Kehutanan Perkebunan Toraja Utara dan
yang merupakan tujuannya adalah konservasi Pemerintah Daerah. Dinas Kehutanan dan
habitat dan spesies kunci dalam suatu kawasan Perkebunan memiliki kepentingan terkait tugas
hutan yaitu koridor ekosistem atau koridor satwa. pokok dan fungsi dalam perlindungan kawasan
Prinsipnya bahwa WWF melakukan kegiatan di hutan. Dishutbun memiliki data, dokumen
dalam dan di luar kawasan hutan termasuk pendukung dan hasil evaluasi lapangan dalam
kawasan hutan lindung. Hutan lindung tidak memberikan pertimbangan teknis atas usulan
hanya berfungsi sebagai tata air namun sebagai Pemerintah Daerah. Terkait tupoksi
koridor konservasi karena merupakan bagian Dishutbun, terhadap perubahan fungsi akan
yang tidak terpisahkan dari pengelolaan sumber lebih baik jika dilakukan karena untuk
daya alam. meminimalisir tekanan terhadap kawasan hutan
Hasil dari analisis dari matriks kepentingan dan lindung. Pemerintah Daerah memiliki
pengaruh unsur aktor dalam proses perubahan kepentingan tinggi yang didukung oleh biaya
fungsi seperti pada gambar 10 adalah sebagai dalam proses perubahan fungsi ini, namun
berikut: memiliki pengaruh yang rendah. Namun
1. Kuadran I; pihak yang sangat berkepentingan Pemerintah Daerah dapat juga memberi
maupun mempunyai pengaruh yang tinggi. pengaruh jika ada unsur kelompoknya untuk
Posisi ini disebut sebagai key players yang bernegosiasi terhadap key players.
ditempati Ditjen Planologi Kehutanan dan 3. Kudran III; pihak yang berkepentingan rendah
Ditjen PHKA. Sebagai pihak yang diberi namun dapat berpengaruh dalam proses
tanggungjawab dalam proses perubahan perubahan fungsi, posisi ini disebut sebagai
fungsi sesuai dalam P.34/Menhut-II/2010, context setter. Pada posisi ini tidak ada pihak yang
m a k a D i t j e n P l a n o l o g i Ke h u t a n a n menempati.
bertanggungjawab penuh atas proses karena 4. Kuadran IV; pihak yang berkepentingan
merupakan tugas, pokok dan fungsinya rendah dan pengaruh yang rendah pula, posisi
sehingga banyak kepentingannya. Ditjen ini disebut sebagai crowds. Pada posisi ini tidak
PHKA diberi mandat untuk memberikan ada pihak yang menempati menandakan bahwa
pertimbangan teknis atas evaluasi kawasan perubahan fungsi hutan lindung dengan tujuan
hutan lindung karena merupakan tugas pokok mengoptimalkan fungsi kawasan hutan belum

19
Fidelia Balle Galle, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

ada yang menentang. proses perubahan fungsi hutan lindung ini adalah
pemerintah sehingga hubungan antar para pihak
Tingkat Hubungan antar Stakeholder
berpotensi untuk saling mengisi dan bekerjasama.
Analisis tingkat hubungan para aktor antara
Hubungan saling mengisi dan bekerjasama dapat
dalam proses perubahan fungsi hutan lindung
diwujudkan jika tujuan dari perubahan fungsi
merupakan langkah terakhir dalam analisis
tersebut nyata dalam rangka optimalisasi fungsi
stakeholder dengan mengidentifikasi potensi
kawasan hutan dengan tidak mengesampingkan
konflik, potensi saling mengisi dan potensi
perlindungan terhadap fungsi kawasan setelah
kerjasama (Reed et al 2009). Ditjen PHKA sebagai
diubah fungsi. Kepentingan-kepentingan dari
aktor yang kurang mendukung perubahan fungsi
para pihak dapat terakomodir jika terjadi
hutan lindung di Toraja Utara karena merupakan
perubahan fungsi hutan lindung.
daerah hulu.
Ditjen PHKA sebagai penentang perubahan
III. ANALISIS DAN ALTERNATIF
fungsi hutan lindung memiliki potensi konflik
SOLUSI/PENANGANAN
dengan pihak lain. Pihak yang terlibat dalam
Hasil uji narasi/wacana keputusan dalam
Tabel 5 Tingkat hubungan antar stakeholder (para pihak)
Ditjen Ditjen Pemerintah Dishutbun WWF Masyarakat
PHKA Planologi Daerah Torut
Kehutanan
Rule Rule Rule Rule Rule Rule Rule Rule Rule Rule Rule Rule
in use in in use in in use in in use in in use in in use in
Form Form Form Form Form Form
Ditjen 2;3 2;3 1 2;3 1 3 3 2;3 1
PHKA
Ditjen 2;3 1 2;3 2;3 2;3 2;3 2;3 1 2;3 2;3
Planologi
Kehutanan
Bupati 2;3 1 2;3 2;3 2;3 2;3 2;3 1 2;3 2;3
Dishutbun 2;3 1 2;3 2;3 2;3 2;3 2;3 1 2;3 1
Torut
WWF 3 3 2;3 1 2;3 1 2;3 1 2;3 1
Masyarakat 2;3 1 2;3 2;3 2;3 2;3 2;3 1 2;3 1

kebijakan perubahan fungsi hutan lindung pemanfaatan secara adil. Pengaruh kuat dari
mempunyai dua pandangan yang berbeda yaitu wacana konservasi yang diusung oleh Ditjen
Ditjen PHKA dan Ditjen Planologi Kehutanan. PHKA karena didukung oleh jaringan organisasi
Ditjen PHKA menekankan kepentingan terhadap non pemerintah yaitu WWF dalam rangka
perlindungan tata air, pencegah erosi, konservasi meningkatkan fungsi konservasi biodiversitas.
biodiversitas, sedangkan Ditjen Planologi WWF mempunyai pengaruh yang sangat kuat
Kehutanan menekankan kepentingan pada dalam proses kebijakan konservasi.
optimalisasi fungsi kawasan hutan dengan tujuan Pemerintah Daerah dan Dishutbun Toraja

20
Vol. 3 No. 1, April 2016 Kebijakan Perubahan Fungsi Parsial Hutan Lindung

Utara memiliki wacana yang sama dengan Ditjen langsung dengan daerah hulu. Hutan lindung yang
Planologi. Ditjen Planologi Kehutanan merupakan sumberdaya yang memberikan
menekankan pada pemantapan kawasan hutan manfaat dari segi hidrologi, hasil hutan dan
dengan optimalisasi fungsi kawasan hutan. Bupati sumberdaya alam yang terkandung di dalam
sebagai pengusul karena tekanan pengusaha kawasan hutan diperlukan kebijakan pengelolaan
berupaya menurunkan status fungsi kawasan yang sinkron.
hutan lindung namun tidak kuat dalam
mempengaruhi proses perubahan fungsi hutan
lindung. Jaringan Pemerintah Daerah dengan REFERENSI
pengusaha yang bertujuan untuk penggunaaan
kawasan hutan ditekan oleh LSM terkait dampak Barr, C., Resosudarmo, I.A.P., McCharthy, J.F,
dan biaya dari perubahan fungsi terhadap D e r m awa n , A . 2 0 0 6 . Fo r e s t s a n d
masyarakat sehingga ruang kebijakan menjadi Decentralization in Indonesia: An Overview. Di
sempit. dalam Barr, C., Resosudarmo, I.A.P,
Keputusan dalam perubahan fungsi hutan Dermawan, A., McCarthy, J.F., Moeliono,
lindung dengan wacana yang akan dibangun perlu M., Setiono, B., editor. Decentralization of
wacana yang mengutamakan konservasi namun Forest Administration in Indonesia: Implications
juga mengoptimalkan fungsi kawasan dengan for Forest Sustainability, Economic Development
pemanfataan yang ramah lingkungan. Aktor- and Community Livelihoods. Bogor (ID):
aktor yang berhubungan dengan kebijakan [CIFOR] Central for International Forestry
tersebut adalah yang memiliki kapasitas sebagai Research.
konservasionis dan ekopopulis. Aktor yang Ekawati, S., Kartodihardjo, H., Nurrochmat, D.R.,
mengutamakan kelestarian dan perlindungan Hardjanto., Dwiprabowo, H. 2012. Analisis
terhadap fungsi hutan lindung dalam pemanfaatan Diskursus dan Implikasinya bagi Perbaikan
sumberdaya hutan lindung. Kepentingan yang Kebijakan. Bogor (ID). Badan Penelitian dan
diutamakan adalah kepentingan pemanfaatan dan Pengembangan Kehutanan.
perlindungan dengan kerjasama pemerintah, Ekayani, M. 2011. Comparison of Discourses in
masyarakat dan pengelola yang berbasis Global & Indonesian Media and Stakeholders
konservasi. Perspectives on Forest Fire. Cuvillier Verlag.
Per ubahan fungsi hutan lindung Gottingen (DE).
mengakomodir kawasan yang telah diokupasi Ekayani, M., Nurrochmat, D.R., Darusman, D. 2016.
masyarakat dan bekerjasama dengan pemerintah The role of scientists in forest fire media
dalam rangka konservasi hutan lindung. discourse and its potential influence for policy-
Pe m a n f a a t a n s u m b e r d a y a a l a m t e t a p agenda setting in Indonesia. Forest Policy and
mempertimbangkan nilai-nilai konservasi dan Economics. 68(2016) pp: 22–29.
faktor sosial. Pemerintah berkerjasama dengan http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2015.01.0
masyarakat dalam pengelolaan hutan lindung 01.
melalui KPHL. Pemanfaatan sumberdaya alam [Dishutbun] Dinas Kehutanan dan Perkebunan.
dapat dilakukan pada areal yang tidak berdekatan 2012. Laporan Akuntabilitas. Toraja Utara (ID):

21
Fidelia Balle Galle, Bramasto Nugroho, Hariadi Kartodihardjo Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan

Dishutbun Kabupaten Toraja Utara. Nurrochmat, D.R,. Darusman, D., Ruchjadi, D.


Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Pengantar Analisis 2014. Rekonstruksi Sistem Tenurial
Teks Media. Yogyakarta (ID): LkiS Pelangi Kehutanan. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian
Aksara Yogyakarta. dan Lingkungan. 1(1): 24–29.
Hasanagas, N.D. 2016. Managing information in Palmer, C., Engel, S. 2007. For bertter of for worse?
forest policy networks: Distinguishing the Local impacts of the decentralisation of
influential actors from the “postmen”. Jurnal Indonesia's forest sector. World Development.
Forest Policy and Economics. 68(2016) pp: 73-80. 35(12)2007 pp:2131–2149.
http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2014. doi:10.1016/j.worddev.2007.02.004.
09.007. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-
Holmes, G. 2014. Defining the forest, defending the Undang Nomor 41 Tahun 1999. Kehutanan.
forest: Political ecology, territoriality, and Jakarta (ID)
resistance to a protected area in the Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Peraturan
Dominican Republic. Geoforum. 53(2014) pp: Pemerintah No.10 Tahun 2010. Tata Cara
1–10. http://dx.doi.org/10.1016/ Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan
j.geoforum.2014.01.015. Hutan. Jakarta (ID)
[IDS]. Institute of Development Studies. 2006. Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Peraturan
Understanding policy processes: A Review of Menteri Kehutanan Nomor: P.34/Menhut-
IDS Research on The Environment. Institute II/2010. Tata Cara Perubahan Fungsi
of Development Studies University of Kawasan Hutan. Jakarta (ID)
Sussex. UK Pemerintah Republik Indonesia. 2014. Peraturan
Morales, Hidalgo, D., Oswalt, S.N., Somanathan, E. Menteri Kehutanan Nomor: P.29/Menhut-
2015. Status and trends in global primary II/2014. Perubahan Atas Peraturan Menteri
forest, protected areas, and areas designated Kehutanan Nomor: P.34/Menhut-II/2010
for conservation of biodiversity from the Tentang Tata Cara Perubahan Fungsi
Global Forest Resources Assessment 2015. Kawasan Hutan. Jakarta (ID)
Forest Ecology and Management. 352 (2015) pp: Pemerintah Republik Indonesia. 2015. Peraturan
68–77. http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2015.06.011. Nomor: P.16/MenLHK-II/2015. Perubahan
Nurrochmat, D.R., Hasan, M.F., Suhardjito, D., Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Budiaman, A., Hadianto, A., Ekayani, M., Nomor: P.34/Menhut-II/2010 Tentang Tata
Sudarmalik., Purwangsa, H., Mustaghfirin, Cara Perubahan Fungsi Kawasan Hutan.
Riyandi, E.D. 2012. Ekonomi Politik Kehutanan: Jakarta (ID)
Mengurai Mitos dan Fakta Pengelolaan Ravikumar, A., Andersson, K., Larson, A.M. 2012.
Hutan. Ed revisi. ke-2. Nurrochmat DR, Decentralization and forest-related conflicts in
Hasan MF, editor. Jakarta (ID): [INDEF] Latin America. Forest Policy and Economics.
Institute for Development of Economic and http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.
Finance. 2012.07.005.

22
Vol. 3 No. 1, April 2016 Kebijakan Perubahan Fungsi Parsial Hutan Lindung

Reed, M.S, Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H., tata guna hutan (TGH). Jurnal Analisis
Huback, K., Morris, J., Prell, C.H., Quin, Kebijakan Kehutanan. 10(2) 2013 pp: 89–117.
C.H., Stringer, L.C. 2009. Who's in and why? Syahadat, E., Subarudi. 2012. Permasalahan penataan
A typology of stakeholder analysis methods ruang kawasan hutan dalam rangka revisi
for natural resources management. Journal of rencana tata ruang wilayah provinsi. Jurnal
Environmental Management. Vol. (90) 2009 pp: Analisis Kebijakan Kehutanan. 9(2) 2012 pp:
1933 ̶ 1949 Doi:10.1016/j.jenvman. 2009. 131–143.
01.001. Wittmer, H., Birner, R. 2005. Between
Schlager E., Ostrom, E. 1992. Property-right conser vationism, eco-populism and
regimes and natural resources: A conceptual developmentalism-discourses in biodiversity
analysis. Land Economics. Vol (68) 1992 pp: policy in Thailand and Indonesia. CAPRi
249–262. University of Wisconsin Press. Working Paper No. 37. International Food
h t t p : / / l i n k s. j s t o r. o r g / s i c i ? = 0 0 2 3 - Policy Research Institute (USA). [internet].
7639%28199208%2968%3A3%3C249%3A [diunduh 2015 Januari 26]. http://
PRANRA%3E2.0.CO%3B2-J. w w w. i f p r i . o r g / s i t e s / d e f a u l t / f i l e s /
Syahadat, E., Dwiprabowo, H. 2013. Kajian publications/CAPRiWP37.pdf.
paduserasi tata ruang daerah (TRD) dengan

23

Anda mungkin juga menyukai