ISBN : 978-623-7743-71-2
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam Bahasa Indonesia
oleh Literasi Nusantara. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi
buku dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Penulis
iii
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi v
Pengertian Konstipasi 1
Anatomi Fisiologi Defekasi 7
Etiologi dan Patofisiologi Konstipasi 15
Penyebab Konstipasi 23
Tanda dan Gejala Konstipasi 29
Pencegahan Konstipasi 37
Komplikasi Konstipasi 45
Penatalaksanaan Konstipasi 49
Teori Asuhan Keperawatan 59
SLKI (Standart Luaran Keperawatan Indonesia) 65
SIKI (Standart Intervensi Keperawatan Indonesia) 69
Tentang Penulis 75
v
vi
PENGERTIAN KONSTIPASI
1
konstipasi ringan tetapi memerlukan penanganan yang adekuat, ada kasus
yang memerlukan diagnosis etiologi dan tindakan segera dan ada pula
kasus konstipasi kronis yang memerlukan kesabaran dan penanganan
yang cermat.
Pada anak pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai
pertanda anak sehat. Terutama pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi,
orang tua sangat menaruh perhatiannya pada frekuensi defekasi dan
karakteristik tinjanya. Adanya penyimpangan dari yang dianggap normal
pada anak, merangsang orang tua untuk membawa anaknya ke dokter.
Pada umunya orang tua khawatir bahwa tinja anaknya terlalu besar,
terlalu keras, nyeri waktu berhajat atau defekasinya terlalu jarang.
Kenyataanya konstipasi memang merupakan masalah yang biasa
ditemukan pada anak.
Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan
konstipasi. Rogers mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan
defekasi atau berkurangnya frekuensi defekasi atau melihat apakah
tinjanya keras atau tidak. Lewis dan Munir menambahkan bahwa
kesulitan defekasi terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak,
sedangkan Abel mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam
frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu
yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan konsistensi
tinja lebih keras dari biasanya.
Definisi lain adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali
perminggu. Steffen dan Loening Baucke mengatakan konstipasi sebagi
buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air
besar dengan tinja yang banyak dan keras. Ketidakmampuan melakukan
evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek yaitu
berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari
sebelumnya dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan
atau tidak disertai enkoptesis (kecepirit).
Salah satu yang harus diperhatikan pada usia lanjut adalah konsumsi
serat dan intake cairan setiap hari. Ini bertujuan agar lansia terhindar dari
terjadinya kanker kolon, wasir, hemoroid, dan konstipasi. Insiden
konstipasi puncaknya pada usia 60-70 tahun. Konstipasi merupakan
kondisi dimana feses mengeras sehingga susah dikeluarkan melalui anus,
dan menimbulkan rasa terganggu atau tidak nyaman pada rektum.
2
Konstipasi dapat terjadi pada semua lapisan usia, yang pada umumnya
ditandai dengan frekuensi BAB yang rendah (kurang dari 3 kali dalan satu
minggu) (Lilik, 2011).
Konstipasi masih dianggap remeh oleh masyarakat, mereka
menganggap kesulitan BAB bukan masalah besar, hanya akibat dari salah
makan atau kurang minum air sehingga disepelekan dan dianggap akan
sembuh dengan sendirinya. Angka kecukupan air untuk usia di atas 50
tahun keatas menurut AKG, tahun 2004 dalam Devi (2010) adalah 1,5-2
liter/hari. Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kurang
asupan serat, kurang asupan air, pengaruh obat yang dikonsumsi,
pengaruh dari penyakit yang diderita, hingga akibat kurang aktivitas fisik
(Brown, 2011). Konstipasi dapat menyebabkan kanker usus besar (colon
cancer) yang dapat berujung pada kematian (Brown. 2011). Prevelentif
konstipasi di Amerika Serikat tercatat 2-27% dengan 2,5 juta kunjungan ke
dokter, sementara di Beijing ditemukan kejadian konstipasi sebanyak
6,07%. Prevelensi konstipasi pada lansia di Indonesia adalah sebesar 3,8%
untuk usia 60-69 tahun dan 6,3% pada lansia diatas usia 70 tahun
(Kemenkes RI, 2013).
Lansia yang memakan makanan tinggi serat biasanya lebih jarang
yang mengalami konstipasi. Diet rendah serat juga memegang peranan
yang sangat penting untuk timbulnya konstipasi pada usia lanjut. Emosi
yang kuat dapat menyebabkan konstipasi dengan menghambat gerak
peristaltik usus melalui kerja dari epinefrin dan system syaraf simpatis.
Stress juga dapat menyebabkan usus spastik (spastik/konstipasi
hipertonik atau iritasi colon).
Usia lanjut yang dapat mempengaruhi proses pengosongan
lambung. Diantaranya adalah atony (berkurangnya tonus otot yang
normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada
melambatnya peristaltik dan mengerasnya feses sehingga memungkinkan
terjadinya konstipasi.
Rendah konsumsi gandum, serat, sayuran, buah-buahan, beras, dan
kalori dapat menjadi faktor resiko menuju konstipasi. Penelitian di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsumsi buah, sayuran, dan roti
telah meningkatkan kejadian konstipasi. Telah diusulkan bahwa kejadian
konstipasi meningkat karena pengolahan makanan secara modern yaitu
makanan cepat saji dengan serat yang rendah. Dalam survei epidemiologi
3
rendahnya asupan cairan pada orang dewasa juga diperkirakan
berhubungan dengan gejala konstipasi. Transit makanan yang yang
terganggu juga berhubungan dengan munculnya gejala konstipasi. Pada
hipokalemia terjadi disfungsi neuron yang dapat menurunkan stimulasi
asetilkolin pada otot usus halus sehingga transit feses yang melalui usus
yang menjadi lebih lama.
Depresi, gangguan fisiologis, dan kecemasan juga merupakan
beberapa hal yang berhubungan dengan kejadian konstipasi.
Hiperkalsemia juga merupakan penyebab terjadinya keterlambatan
konduksi pada persarafan ekstrinsik dan intrinsik usus. Hal ini terlihat
pada kuesioner penelitian di Jepang, 63% pasien hemodialisis mengeluh
konstipasi.
Konstipasi yang terjadi sesekali, mungkin tidak berdampak pada
gangguan sistem tubuh, namun bila konstipasi ini terjadi berulang dan
dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan beberapa komplikasi,
antara lain: hipertensi arterial, impaksi fekal, hemoroid, fisura ani serta
megakolon. Melihat banyaknya komplikasi yang dapat terjadi akibat
konstipasi, maka setiap individu harus menjaga keteraturan pola
defekasinya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah
masalah konstipasi adalah dengan mengkonsumsi serat sesuai kebutuhan.
Secara fisiologis serat makanan didefenisikan sebagai karbohidrat yang
resisten terhadap hidrolisis oleh enzim pencernaan manusia (karena serat
tidak dapat dicerna) dan lignin.
Kejadian konstipasi meningkat seiring dengan peningkatan usia,
wanita dilaporkan lebih sering mengalami konstipasi dari pada laki-laki.
Amerika Serikat pada tahun 2006 lebih dari 4 juta penduduk mempunyai
keluhan sering konstipasi, hingga prevalensinya mencapai sekitar 2%,
dimana kebanyakan penderitanya adalah wanita, anak-anak dan orang
dewasa di atas usia 65 tahun. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Higgins dan Johanson, perhitungan prevalensi konstipasi di Amerika
Utara berkisar antara 1,9% - 27,2% dengan perbandingan antara wanita
dan pria sebesar 2,2:1.11 Studi di Beijing melaporkan angka kejadian
konstipasi pada kelompok usia 18-70 tahun sekitar 6,07% dengan rasio
antara pria dengan wanita 1:4.12 Berdasarkan data International US
Census Bereau pada tahun 2003 seperti yang dikutip oleh Sari (2009),
terdapat sebanyak 3.857.327 jiwa yang mengalami konstipasi di Indonesia.
4
Prevalensi konstipasi pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada
pria, meskipun tidak terpaut jauh. Perbandingan prevalensi konstipasi
pada wanita dan pria di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM)
yaitu sekitar 60:40, di RSCM dari sebanyak 2397 pasien dengan gangguan
saluran cerna, terdapat 216 orang yang mengalami konstipasi, 87 di
antaranya adalah pria, dan 129 wanita.14 Jika dikonversikan 7,2% pria
mengalami konstipasi, sementara pada wanita yaitu 10,8%.
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi
konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi
akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja,
sedangkan konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas
kolon atau anorektal. Konstipasi yang dikeluhkan oleh sebagian besar
pasien umumnya merupakan konstipasi fungsional. Pada awalnya
beberapa istilah pernah digunakan untuk menerangkan konstipasi
fungsional, seperti retensi tinja fungsional, konstipasi retentif atau
megakolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena adanya usaha
anak untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk
berdefekasi. Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua puncak
kejadian, yaitu pada saat latihan berhajat dan pada saat anak mulai
bersekolah.
Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi bentuk primer
atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang
mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab
dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. Keadaan ini ditemukan pada
sebagian besar pasien dengan konstipasi. Konstipasi fungsional sekunder
ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan tersebut.
Penyakit sistemik dan efek samping pemakaian beberapa obat tertentu
merupakan penyebab konstipasi fungsional yang sering dilaporkan.
Klasifikasi lain yang perlu dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut
bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung
selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah
berlangsung lebih dari 4 minggu.
5
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Asih Nila. Pengaruh Asupan Tinggi Serat dan Cairan Terhadap
Terjadinya Konstipasi pada Lansia. Cirebon, STIKes Cirebon
Bernie, Badriul. (2004). Konstipasi Fungsional, Vol. 6, No. 2.
Eva, Floria. (2015). Prevalensi Konstipasi dan Faktor Resiko Konstipasi
Pada Anak. Denpasar: Universitas Udayana Bali
Indah, Arina, Masrul. (2016), Jurnal Kesehatan Andalas : Hubungan
Konsumsi Serat dengan Pola Defekasi pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran. Padang, Universitas Andalas Padang
Juffrie, Mohammad, et all. (2010). Buku Ajar Gastroentrologi-Hepatologi.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Mirna. (2018), Skripsi : Hubungan Konsumsi Air Putih dengan Kejadian
Konstipasi pada Lansia di Dusun Sidorejo Desa Karas. Madiun,
STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun
Oktavia Intan. (2014), Chronic Constipation With Hemorrhoid at Single
Man Because of Unhealthy Lifestyle, vol. 3 No. 1. Lampung,
Universitas Lampung.
Pokja, Tim. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta
Selatan: Dewan pengurus pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
6
ANATOMI FISIOLOGI DEFEKASI
7
2. Refleks defekasi parasimpatis
Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan
ke spinal cord (sacral 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden,
kolon sigmoid dan rectum. Sinyal–sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan spingter anus
internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingter anus
individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang
dengan sendirinya. Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otat-
otot perut dan diafragma yang akan meningkatkan abdominal oleh
kontraksi muskulus levator pada dasar panggul yang menggerakan
feses melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan
refleksi paha yang meningkatkan tekanan didalam perut dan posisi
duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum.
Gambar 2.1 Anatomi saluran cerna bawah dan anorectal (Purba, 2017)
8
Gambar 1.2 Anatomi Korektal (Kurniawan L, 2009)
9
Gambar 2.3. Ganglion Mesentreika inferior
10
Peredaran darah di organ kolon dimulai dari pembuluh arteri
menuju serum, kolon ascending dan kolon transversa yang berasal
dari cabang arteri mesentrika superior, kolon descenden, rektum
dan anus menuju cabang arteri mesentrika inferior.
11
Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu : superior kiri, medial
kanan dan inferior kiri
2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan
terfiksir
1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile
Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum
dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian
posterior.
Menurut Pearce (2002) proses dari defekasi yaitu : Jenis gelombang
peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian
kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan
lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa.
Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi
haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan
waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup
ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi
berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan setengah
cair.
Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang
ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di
kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm
atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya
dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam
segmen itu untuk menuruni kolon. Kontraksi secara progresif
menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik,
kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum
terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang
kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya menetap hanya
selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari
lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong
massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi.
12
DAFTAR PUSTAKA
13
14
ETIOLOGI DAN
PATOFISIOLOGI KONSTIPASI
P ada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali per hari
sampai tiga kali per minggu. Frekuensi defekasi pada anak bervariasi
menurut umur. Bayi yang minum ASI pada awalnya lebih sering defekasi
dibandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati usia 4 bulan,
apapun susu yang diminumnya, rerata buang defekasi adalah dua kali
per hari. Pada umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi
dua kali per hari,
15
Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rectum.
Regangnya tersebut menimbulkan reflek relaksasi dari sfingter anus
interna yang akan diproses dengan kontraksi sfingter anus eksterna.
Upaya menahan tinja tetap dipertahankan sampai inividu mencapai toilet.
Untuk proses defekasi, sfingter eksterna dan muskulus puborektalis
mengadakan relaksasi sedemikian rupa sengga sudut antara kanal anus
dan rectum terbuka, membentu jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui
anus. Kemudian dengan mengejan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen
dan kontraksi rectum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. Pada
keadaan normal, epitel sensorik di daerah anus-rektum memberitahu
individu mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas atau kombinasi
ketiganya.
Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang
diterimanya dari ileum. Makan atau minum merupakan stimulus
terjadinya kontraksi kolon (reflek gastrokolik) yang diperantarai oleh
neuropeptida pada sistem syaraf usus dan koneksi saraf visera.
Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan
menentukan frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat
(dietary fiber) sebagai kerangka tinja (stool bulking), kurang mnum dan
meningkatnya kehilangan cairan merupakan faktor penyebab konstipasi.
Berat tinja berkaitan denan asupan serat makanan. Tinja yang besar akan
dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui saluran pecernaan lebih
cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah pada bayi berusia
1-2 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan bertambahnya
usia, dan pada dewasa berkisar antara 30-48 jam. Berkurangnya aktivitas
fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan presdisposisi
konstipasi, misalnya pada keadaan sakit, pascabedah, kecelakaan atau
gaya hidup bermalas- malasan. Stress dan perubahan aktivitas rutin
sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah,
masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersediaan toilet dan masalah
psikososial, dapat menyebabkan konstipasi.
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi
akibat penalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura
ani. Orang tua sering memberi tahu adanya riwayat darah dalam tinja,
popok atau toilet. Pengalaman nyeri defekasi ini dipercaya menimbulkan
penambahan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan
16
tinja (retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rectum dan
kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja berikutnya. Tinja
yang berada di kolon terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan
membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya,
yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui
kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja
selanjutnya.
Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berda di rectum, kolon
sigmoid, dan kolon desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis
atau kebocoran (tidak disengaja: involuntary) tinja cair atau lembek di
sekitar massa tinja merupakan masalah yan mendorong orangtua
membawa anak berobat. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi tinja
menyebabkan menurunya kemampuan sensor terhadap volume tinja yang
sebetulnya merupakan panggilan atau rangsangan untuk defekasi.
Temuan terbanyak pada pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi
adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi rektum. Dengan
pengobatan jangka panjang, sensasi rectum dapat menjadi normal
kembali. Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rectum tetap
abnormal dan hal ini menjelaskan mengapa konstipasi dan enkopresis
mudah kambuh.
Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan temuan yang biasa
pada pemeriksaan manometri anorektum pada anak dengan konstipasi
kronis. Kontraksi puborektalis paradoksal didefinisikan sebagai
kurangnya kontraksi sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis
selama upaya defekasi, bahkan sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan
kontraksi abnormal sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis
selama latihan defekasi (toilet training) juga mengalami kesulitan
mengevakuasi balon berisi air (model tinja tiruan) dan lebih sering
mengalami kegagalan terapi.
Pada sekitar 5%-10% bayi dan anak, konstipasi dapat disebabkan
kelainan anatomis, neurologis, atau penyebab lain.
17
Tabel 3.2 Penyebab konstipasi pada anak
Patologi Primer Contoh
Kondisi endokrin Hipotiroid yaitu kekurangan hormon
akibat kelenjar tiroid tidak dapat
memproduksi dalam jumlah yang
cukup.
Hiperparatiroid yaitu kondisi yang
muncul akibat kelenjar partiroid terlalu
aktif.
Diabetes mellitus yaitu penyakit yang
mengakibatkan terlalu banyak kadar
gula dalam darah.
Glukogonoma yaitu tumor yang ada
pada pankreas yang menghasilakn
kelebihan hormon
glukagon.
Kondisi neurologis Multipel sklerosis yaitu gangguan pada
syaraf otak, mata, tulang belakang.
Europati otonom yaitu kondisi yang
muncul akibat kerusakan pada sistem
saraf involunter.
Penyakit Parkinson yaitu gangguan
atau kelainan yang terjadi pada sistem
saraf
Cedera spinal yaitu cidera kepala
Kondisi psikogenik Gangguan afektif yaitu gangguan
ringan atau depresi normal
Gangguan makan yaitu tidak berselera
makan
Demensia atau kesulitan mengingat
18
Metabolik Hiperkalsemia yaitu keadaan dimana
konsentrasi kalium darah yang tinggi.
Uremia yaitu retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah.
Hipokalemia yaitu kondisi dimana
kadar kalium dalam peredaran darah
dalam tubuh lebih rendah dari normal.
Porfiria yaitu metozoa yang sederhana
Amiloidosis yaitu kelainan turunan
yang berefek pada hati, saraf, jantung,
dan ginjal.
Keracunan timbal
Kolon Striktur
Tumor yaitu benjolan tidak normal
Iskemia yaitu kematian jaringan otak
Penyakit divertikel
Anal Fisura
Polip
Tumor
Fisiologis Kehamilan
Usia lanjut
Obat- obatan Opiat
(masing- Antikolinergik
masin Antikonvulsan
g menyebabkan Antidepresan trisklik
pemajangan transit ) Antasida (yang mengandung
aluminium dan kalsium)
OAINS
Zat besi
Antihipertensi
PATOFISIOLOGI
Konstipasi fungsional berhubungan dengan kebiasaan menahan
defekasi, kebiasaan manahan tinja yang berulang akan meregangkan rektu,
dan kemudian kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Statis
19
tinja di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit yang
menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan, membentuk
skibala dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum, yang normalnya
memicu evakuasi. Pengosogan rektum melalui evakuasi spontan
tergantung pada reflek defekasi yang di cetuskan oleh reseptor otot-otot
rektum. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, tinja yang keras
dan besar menjadi lebih sulit di keluarkan melalui kanal anus,
menimbulkan rasa sakit dan kemudian menimbulkan retensi tinja
selanjutnya. Dalam proses defekasi terjadi tekanan yang berlebihn dalam
usus besar. Tekanan tinggi ini dapat memaksa bagian dari dinding usus
besar (kolon) keluar dari sekitar otot membentuk kantong kecil yang
disebut divertikula. Hemoroid juga bisa sebagai akibat dari tekanan yang
berlebihan saat defekasi.
Terdapat pengaruh makanan yang di konsumsi terhadap konstipasi,
ketika serat cukup di konsumsi, kotoran/feses akan menjadi besar dan
lunak karena serat-serat tumbuhan dapat menarik air, kemudian akan
menstimulasi otot pencernaan dan akhirnya tekanan yang digunakan
untuk pengeluaran feses menjadi berkurang. Ketika serat yang di
konsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras.
Retensi tinja juga dapat disebabkan oleh lesi yang melibatkan otot-
otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang belakang bagian
sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada relaksasi
sfingter anus bisa juga menyebabkan retensi tinja.
Pengisian rektum yang tidak sempurna terjadi bila peristaltik kolon
tidak efektif, misalnya pada kasus-kasus hipotirodisme atau pemakaian
opium, dan bila ada obstruksi besar yang disebabkan oleh kelainan
struktur atau karena penyakit Hirschprung.
20
PATOFISIOLOGI KONSTIPASI
21
DAFTAR PUSTAKA
22
PENYEBAB KONSTIPASI
23
Penyebab konstipasi fungsional masih belum jelas. Diduga ada
beberapa hal yang menyebabkan terjadinya konstipasi fungsional seperti
faktor herediter, faktor psikologis, gangguan hormon, dan gangguan pola
bakteri di usus. Faktor risiko asupan serat yang rendah merupakan
penyebab tersering konstipasi karena asupan serat yang rendah dapat
menyebabkan masa feses berkurang sehingga sulit dibuang (Mulyani,
2019).
24
dan keras yang memudahkan terjadinya konstipasi. Uterus yang makin
membesar seiring perkembangan janin juga memberi tekanan usus besar
sehingga evakuasi feses terhambat (Kunci & Konstipasi, 2019).
25
keluarga. Sebagian lainnya melakukan aktivitas yang bersifat sedang
seperti membersihkan rumah, pergi ke pasar, mengikuti perkumpulan
lansia, dan sebagainya. Akan tetapi, hanya sekitar 10% dari total lansia di
Indonesia yang masih aktif dan rutin melakukan olahraga untuk menjaga
kebugaran tubuh. Sedangkan beberapa lainnya hanya pernah melakukan
sekali atau dua kali dalam sebulan, itupun karena ada kegiatan tertentu
seperti acara jalan sehat (Kartika Sari & Wirjatmadi, 2017).
Penyebab konstipasi pada lansia bukan hanya dari penurunan fungsi
organ tubuh seperti sistem gastrointestinal, tetapi dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain diet rendah serat, kurang minum, kebiasaan
buang air besar yang tidak teratur, kurang olahraga, dan penggunaan
obat-obatan. Selain itu, konstipasi juga dapat disebabkan oleh asupan
serat, asupan cairan, aktivitas fisik, stress, konsumsi kopi, konsumsi
minuman probiotik, dan posisi saat buang air besar. Asupan serat yang
kurang dapat menimbulkan konstipasi. Semakin tercukupi asupan serat,
maka frekuensi defekasi semakin normal yaitu diatas 3 kali dalam
seminggu. Tetapi sebaliknya. Jika tidak tercukupi asupan serat, maka
frekuensi defekasi akan semakin berkurang. Hasil riset Puslitbang Gizi
Depkes RI tahun 2001, rata-rata asupan serat masyarakat Indonesia hanya
10,5 gram per hari. Hal itu menunjukkan bahwa asupan serat masyarakat
Indonesia hanya sekitar 1/3 dari kebutuhan total (Masyarakat, 2016).
26
DAFTAR PUSTAKA
Brown, J. E., Isaacs, J.S., Krinke, U.B., Lechtenberg, E., Murtaugh, M.A.,
Sharbaugh, C., Splett, P.L., Stang, J., Wooldridge, N.H.(2011).
Nutrition Through the Life Cycle. 4th edition. USA: Wadsworth
Cengage Learning
Endyarni, B., & Syarif, B. H. (2016). Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri,
6(2), 75. https://doi.org/10.14238/sp6.2.2004.75-80
Indah, S., & Rohmania, anis zuni. (2017). pengaruh konsumsi buah pisang
raja, minum air mineral dan jalan pagi terhadap kejadian konstipasi pada
ibu hamil trimester III di BPS Sunarsih Yudhawati. 5, 13–17.
file:///C:/Users/LRNOVO/Downloads/848-2944-1-PB (1).pdf
Kartika Sari, A. D., & Wirjatmadi, B. (2017). Hubungan Aktivitas Fisik
Dengan Kejadian Konstipasi Pada Lansia Di Kota Madiun. Media Gizi
Indonesia, 11(1), 40. https://doi.org/10.20473/mgi.v11i1.40-47
Kasus, L. (2014). Chronic Constipation With Hemorrhoid At Single Man. J
Medula Unila, 3(September), 46–55.
Konstipasi, K., Bayi, P., & Bulan, U. (2008). 73 Hubungan Antara Pemilihan
Bahan Makanan Dengan Kejadian Konstipasi Pada Bayi Usia 6 – 12 Bulan
Siti Saidah 1.
Kunci, K., & Konstipasi, P. (2019). Analisis Penyebab Konstipasi Pada Ibu
Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Payung Sekaki Pekanbaru.
Masyarakat, J. K. (2016). Hubungan Asupan Serat, Lemak, Dan Posisi
Buang Air Besar Dengan Kejadian Konstipasi Pada Lansi. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 3(3), 257–265.
Mu’alimah, M. (2019). Hubungan Antara Asupan Cairan Dan Konsumsi
Tabletfe Dengan Kejadian Konstipasi Pada Ibu Hamil Trimester Iii Di
Puskesmas Tanjunganom Kabupaten Nganjuk Tahun 2018. J-
HESTECH (Journal Of Health Educational Science And Technology), 2(1),
25. https://doi.org/10.25139/htc.v2i1.1502
Mulyani, N. S. (2019). Asupan Serat Dan Air Sebagai Faktor Risiko
Konstipasi Di Kota Banda Aceh. Majalah Kesehatan Masyarakat Aceh
(MaKMA), 2(1), 75. https://doi.org/10.32672/makma.v2i1.884
Sembiring, L. P. (2017). Konstipasi pada Kehamilan. Jurnal
Ilmu Kedokteran, 9(1), 7. https://doi.org/10.26891/jik.v9i1.2015.7-10.
27
28
TANDA DAN
GEJALA KONSTIPASI
M enurut Akmal, dkk (2010), ada beberapa tanda dan gejala yang
umum ditemukan pada sebagian besar atau terkadang beberapa
penderita konstipasi sebagai berikut:
a. Perut terasa begah, penuh dan kaku.
b. Tubuh tidak fit, terasa tidak nyaman, lesu, cepat lelah sehingga malas
mengerjakan sesuatu bahkan terkadang sering mengantuk.
c. Sering berdebar-debar sehingga memicu untuk cepat emosi,
mengakibatkan stress, rentan sakit kepala bahkan demam
d. Aktivitas sehari-hari terganggu karena menjadi kurang percaya diri,
tidak bersemangat, tubuh terasa terbebani, memicu penurunan
kualitas, dan produktivitas kerja.
e. Feses lebih keras, panas, berwarna lebih gelap, dan lebih sedikit
daripada biasanya.
f. Feses sulit dikeluarkan atau dibuang ketika air besar, pada saat
bersamaan tubuh berkeringat dingin, dan terkadang harus mengejan
atupun menekan-nekan perut terlebih dahulu supaya dapat
mengeluarkan dan membuang feses (bahkan sampai mengalami
ambeien/wasir).
g. Bagian anus atau dubur terasa penuh, tidak plong, dan bagai
terganjal sesuatu disertai rasa sakit akibat bergesekan dengan feses
29
yang kering dan keras atau karena mengalami wasir sehingga pada
saat duduk tersa tidak nyaman.
h. Lebih sering buang angin yang berbau lebih busuk daripada
biasanya.
i. Usus kurang elastis (biasanya karena mengalami kehamilan atau usia
lanjut), ada bunyi saat air diserap usus, terasa seperti ada yang
mengganjal, dan gerakannya lebih lambat daripada biasanya.
j. Terjadi penurunan frekuensi buang air besar.
Adapun untuk sembelit kronis (obstipasi), gejalanya tidak terlalu
berbeda hanya sedikit lebih parah, diantaranya: (Salindri, 2018)
a. Perut terlihat seperti sedang hamil dan terasa sangat mulas.
b. Feses sangat keras dan berbentuk bulat-bulat kecil.
c. Frekuensi buang air besar dapat mencapai berminggu-minggu.
d. Tubuh sering terasa panas, lemas, dan berat.
e. Percaya diri turun dan terkadang ingin menyendiri.
f. Tetap merasa lapar, tetapi ketika makan akan lebih cepat kenyang
(apalagi ketika hamil perut akan tersa mulas) karena ruang dalam
perut berkurang dan mengalami mual bahkan muntah.
30
berfungsi membuka dan menutup lubang anus (otot sfingter ani).
Bisa juga di sebabkan karena tidak cukup serat dan sayuran atau
cairan. Salah satu penyebab konstipasi pada anak sering terjadi
adalah ketika anak beralih dari makanan serba cair ke makanan
padat seiring bertambahnya usia. Ketika anak kekurangan serat itu
akan menyebabkan feses mengeras karena kurangnya asupan cairan.
(Jannah et al., 2017)
3. Demam
Demam bisa terjadi karena kurangnya asupan cairan dan
kurangnya konsumsi serat. Banyak mengkonsumsi buah-buahan,
sayuran, sereal berserat tinggi, roti gandum (minimal 3-5 gram serat
per porsi), dan berbagai kacang-kacangan. Selain itu, makanan yang
mengandung probiotik seperti yogurt, juga dapat meningkatkan
kesehatan pencernaan yang baik. Perlu dicatat, jika anak banyak
makan-makanan kaya serat tetapi tidak mendapat cukup cairan,
anak harus minum banyak air sepanjang hari, bersama dengan
beberapa gelas susu, dan batasi minuman manis.
4. Perut kembung
Perut kambung adalah kondisi ketika gas atau udara
menumpuk di saluran pencernaan. Perut kembung dapat membuat
anak sulit istirahat dan malas makan. Meski umum terjadi dan dapat
sembuh sendiri, kondisi ini tidak bisa diabaikan, karena bisa saja
menandakan penyakit yang berbahaya misalnya konstipasi. Perut
kembung bisa disebabkan karena menelan udara terlalu banyak
ketika sedang makan. Hal ini bisa terjadi pada anak-anak yang
makan sambil bermain, menonton televisi, atau berlari di ruangan,
mengunyah makan terlalu cepat, menkonsumsi makanan yang dapat
memicu produksi gas dalam perut , seperti kubis, lobak, brokoli,
kembang kol, bawang dan kacang-kacangan. Mengalami penyakit
tertentu, seperti konstipasi, sumbatan pada usus.
5. Penurunan berat badan
Karena konstipasi menyebabkan rasa yang tidak nyaman di
perut. Itu akan membuat anak untuk susah makan. Jika anak sudah
susah makan maka penurunan berat badan akan terjadi. Maka dari
itu orang tua mau tidak mau harus memaksakan anaknya untuk
makan-makanan yang bergizi untuk penyembuhan konstipasi anak.
31
Konstipasi sendiri bisa di sebabkan kurangnya mengkonsumsi serat
dan kebiasaan minum air yang sedikit.
6. Nyeri perut ( seperti sakit perut, kram dan mual )
Nyeri perut bisa di karenakan alergi pada suatu makanan atua
alergi pada susu sapi (Panduan Awal Seputar Alergi Susu Sapi)
merupakan reaksi sisitem pertahanan tubuh terhadap faktor (fraksi
protein) yang terkandung dalam susu. Alergi susu sapi berbeda
dengan intoleransi laktosa. Intoleransi laktosa adalah reaksi non-
alergi yang disebabkan oleh kurangnya lactase (enzim yang bertugas
mencerna laktosa, suatu jenis gula di dalam susu). Hal ini yang
menimbulkan konstipasi pada anak yang menimbulkan mual, nyeri
dan kram pada anak.
7. Nafsu makan anak yang memburuk
Nasu makan yang buruk menyebabkan pergerakan usus tidak
teratur atau adanya konstipasi pada anak bisa menyebabkan
hilangnya nafsu makan. Anda tentu merasa tak nyaman bila tidak
bisa buang air besar (BAB) selama 2-3 hari berturut-turut. Hal yang
sama juga akan dirasakan oleh anak saat ia mengalami sembelit.
Perut anak tentunya tidak terasa enak, sehingga menyebabkan nafsu
makan pun berkurang. Kabar baiknya, nafsu makan anak akan
kembali secara perlahan ketika kondisi ini teratasi.
8. Pendarahan pada dubur akibat luka (fisura)
Fisura adalah kondisi luka terbuka atau robekan ada jaringan
kulit dan mukosa yang emalpisi saluran anus serta lubang anus.
Saluran anus merupakan bagian paling akhir dari susu besar, terletak
di antara tempat penyimpanan tinja (rectum) dan lubang tempat
keluarnya kotoran (anus) . fisura ani umunya timbul karena dipicu
oleh tinja berukuran besar dan keras ketika anak buang air besar
(BAB). Tinja tersebut mengikis dinding anus yang menyebabkan rasa
sakit, perdarahan, ketengan pada otot yang berfungsi membuka dan
menutup lubang anus (otot sfingter ani).
9. Bagian usus yang keluar dari anus (prolaps rektum)
Prolaps rectum adalah kondisi dimana adanya dinding rectum
keluar dari anus. ketika tidak ditangani, kondisi ini dapat
mengakibatkan buang air besar tidak terkontrol secara permanen.
32
Rectum ada di bagian bawah saluran pencernaan. Letaknya
berada di ujung usus besar dan sebelum lubang anus. Bagian rectum
terhubung langsung dengan kolon sigmoid, bagian terakhir dari usus
besar. Panjang rectum dapat mencapai 10-15 cm dengan diameter
sama dengan kolon sigmoid. Namun, bagian yang terdekat dengan
anus berukuran lebih besar, dan merupakan bagian dari lingkarang
rectum. Rectum berperan sebagai tempat penyimpanan feses
sementara. Sebagai bagian dari proses pembuangan kotoran yang
biasanya tercampur dengan air agar mudah dibuang, bergerak dari
usus besar sampai ke rectum, sebelum akhirnya keluar melalui anus.
Dalam dinding rectum, ada beberapa saraf sensitive dengan
pembesaran dinding rectum. Saat kotoran memenuhi dinding
rektum, saraf akan mengirim signyal yang memberikan sensai agar
kotoran segera dibuang. Namun, ketika tubuh atau anak menunda
prosesnya, kotoran akan bergerak kembali ke usus, dan kandungan
air akan diserap kembali. Makin lama kotoran tertahan di dalam
usus, semakin besar kemungkinan terjadi konstipasi.
10. Tinja atau kentut berbau busuk
Saat anak mengalami konstipasi, feses yang seharusnya
dikeluarkan justru akan tetap bertahan di usus besar. Kondisi
tersebut bisa membuat bakteri penyebab bau busuk berkembang
degan mudah sehingga kentut yang di keluarkan memiliki aroma tak
sedap.
11. Lemas
Konstipasi pada bayi juga sering dialami dengan gejala yang
mirip pada orang dewasa. Tetapi ada beberapa gejala konstipasi lain
yang mungkin akan dialami oleh anak-anak dan bayi, seperti sering
mengeluarkan bercak-bercak di celana karena tinja menumpul di
rectum, tinja uang menumpuk di rectum, tinja atau kentut berbau
busuk, serta cenderung terlihat lemas, rewel atau murung. (Bandura
et al., 2008)
12. Rewel atau murung
Konstipasi pada bayi juga sering dialami dengan gejala yang
mirip pada orang dewasa. Tetapi ada beberapa gejala konstipasi lain
yang mungkin akan dialami oleh anak-anak dan bayi, seperti sering
mengeluarkan bercak-bercak di celana karena tinja menumpuk di
33
rectum, tinja yang menumpuk d rectum, tinja atau kentut berbau
busuk, serta cenderung terlihat lemas, rewel atau murung.
34
4. Anoreksia
Keluhan mengenai berkurangnya frekuensi defekasi pada anak
dengan atau tanpa disertai dengan gejala akibat retensi feses seperti
nyeri dan distensi perut, yang sering hilang setelah defekasi. Juga
terdapat keluhan riwayat feses yang keras atau feses yang sangat
besar yang memungkinkan menyumbat. Anak yang mengalami
konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan
berat badan, yang akan membaik jika konstipasi diobati.
5. Masa abdomen teraba di daerah kiri dan kanan bawah dan daerah
supra pubis
Pada pemeriksaan fisik akan dijumpai keadaan perut yang
distensi, dengan bising usus yang normal, meningkat atau
berkurang, teraba massa perut pada perabaan perut sebelah kanan
ataupun kiri bawah dan di daerah supra pubis. Biasanya terdapat
distensi rectum dan ampula. Pada kasus erat, massa dapat teraba
hingga epigastrum. (Ruang et al., 2014)
6. Fissure ani serta ampularekti yang besar dan lebar
Konstipasi atau pengerasan tinja merupakan penyebab umum
fisura ani. Tinja yang keras dan besar dapat keluar dan menyobek
saluran anus.
35
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad, Juffri, S Sri Supar yati soenarto, Hanifah Oeswari, Sjam Arief,
Ina, Rosalina, 2010, Buku ajar gastroenterology-hepatologi etjk kota
Jakarta halaman 204-205.
ASKEP_Konstipasi_Sistem_Pencernaan (1). (n.d.).
Bandura, A., Barbaranelli, C., Caprara, G. V, & Pastorelli, C. (2008).
Sembelit Atau Konstipasi Pada Anak. Child Development, 72(1), 187–
206. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Endyarni, B., & Syarif, B. H. (2016). Konstipasi Fungsional. Sari Pediatri,
6(2), 75. https://doi.org/10.14238/sp6.2.2004.75-80
Jannah, I. N., Mustika, A., & Puruhito, E. F. (2017). Prevalence of
constipation in women aged 18-25 years old. Journal of Vocational
Health Studies, 01(02), 58–62.
Ruang, D. I., Rsud, B., & Kartini, R. A. (2014). Resiko Konstipasi. 16–21.
Salindri, A. (2018). BAB II Tinjauan Pustaka Anemia.
Universitas
Pasundan, 11–29. http://repository.unpas.ac.id/37105/1/BAB II.pdf Sma,
D. I., Semarang, K., Claudina, I., P, D. R., & Kartini, A. (2018).
Hubungan Asupan Serat Makanan Dan Cairan Dengan Kejadian
Konstipasi Fungsional Pada Remaja Di Sma Kesatrian 1 Semarang.
Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 6(1), 486–495.
36
PENCEGAHAN KONSTIPASI
37
Asti, 2016).
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi
konstipasi akibat kelainan struktural dan konstipasi fungsional. Konstipasi
yang dikeluhkan oleh sebagian besar pasien umumnya konstipasi
fungsional yang dihubungkan dengan adanya gangguan motilitas kolon
atau anorektal. Konstipasi kronis yaitu konstipasi yang telah berlangsung
lebih dari 4 minggu.
Dalam menentukan adanya konstipasi terdapat 3 aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu frekuensi buang air besar, konsistensi tinja, dan
temuan pada pemeriksaan fisik. Para ahli gastroenterologi di Eropa dan
Amerika telah membuat satu kriteria untuk yang menentukan adanya
konstipasi fungsional, yang dikenal dengan kriteria Roma. Pada dasarnya,
terapi konstipasi terdiri dari dua fase, yaitu fase pengeluaran masa tinja
dan fase pemeliharaan. Catatan harian tentang defekasi, latihan defekasi
(toilet training), makan makanan berserat, terapi laksatif, serta pendekatan
secara psikiatri/psikologi merupakan upaya yang perlu dilaksanakan
untuk memperoleh hasil yang optimal.
Konstipasi juga diartikan sebagai perubahan frekuensi defekasi,
volume, dan konsistensi feses. Konstipasi bukan penyakit, melainkan
gejala penurunan frekuensi defekasi (>3 hari sekali atau <2 kali seminggu)
yang diikuti dengan pengeluaran feses yang lama dengan konsistensi
keras dan kering. Penyebab utama terjadinya konstipasi adalah
kurangnya aktivitas fisik, konsumsi makanan berserat dan asupan cairan
(Arnaud, 2003). Gerak tubuh yang kurang, baik disengaja maupun tidak
disengaja menyebabkan penurunan peristaltic usus sebagai pemicu
terjadinya konstipasi (Harrington dan Haskvitz,2006).
Konstipasi terjadi akibat penurunan motilitas kolon sehingga
memperpanjang waktu transit feses di kolon dan berakibat kandungan air
tetap terus diabsorpsi dari massa feses sehingga menjadi kering, keras, dan
sukar dikeluarkan dalam proses defekasi. Kejadian konstipasi diakibatkan
oleh kurang atau tidak adanya konstraksi propagasi dengan amplitudo
besar High Amplitudo Propagated Contaction (HAPCs) di kolon. Kontraksi ini
akan memperpendek waktu feses transit di kolon sehingga penyerapan air
berkurang dan terjadi konstipasi.sebagian besar (90%) - (95%). Konstipasi
pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya (5% - 10%) yang
mempunyai penyebab organik.
38
Konstipasi merupakan keadaan yang sering ditemukan pada anak
dan dapat menimbulkan masalah sosial maupun psikologis. Konstipasi
ditemukan pada 3% anak usia prasekolah dan 1-2% anak usia sekolah.
Semasa usia prasekolah,angka kejadian konstipasi pada anak perempuan
dan laki-laki seimbang. Namun pada usia sekolah, konstipasi lebih sering
ditemukan pada anak laki-laki. Dari seluruh kasus anak yang dirujuk
dengan konstipasi, 95% kasus merupakan konstipasi fungsional.
Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi tiga kali per hari sampai
tiga kali per minggu. Frekuensi pada anak bervariasi menurut umur. Bayi
yang minum ASI pada awalnya lebih sering defekasi dibandingkan bayi
yang minum formula.namun mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang di
minumnya, rata – rata buang air besar adalah dua kali perhari. Pada usia 2
tahun frekuensi defekasi menurun menjadi dua kali per hari.
Kondisi imobilisasi menyebabkan latihan fisik sulit untuk dilakukan,
sehingga perlu dilakukan hal lain untuk menstimulasi kontraksi intestinal
untuk mencegah terjadinya konstipasi (Lemone dan Burke,2011). Berikut
ada beberapa cara dalam proses pencegahan konstipasi diantaranya:
1. Terapi air (Volume minimal 500 ml)
Air putih merupakan pilihan yang cocok untuk mengisi volume
lambung karena derajat fluiditas kimus di lambung mempengaruhi
pengosongan lambung. Selain itu air putih sudah berbentuk cair merata
tanpa harus dicerna lagi sebelum disalurkan ke duodenum
(Sherwood,2011). Air secara kimiawi tidak mempengaruhi sekresi hormon
oleh kelenjar endokrin disaluran pencernaan (Corvin,2009).
Terapi air adalah system penyembuhan alami, menggunakan
kebutuhan tubuh terhadap air, dan respons tubuh secara fisiologis
terhadap air untuk mencegah, mengoreksi, dan meningkatkan rentang
sehat manusia. Dengan minum 500 ml air putih Lower Maximum Volume
(LMV) yaitu volume minimal yang dimasukkan ke dalam lambung yang
mampu menyebabkan gerakan peristaltik pada lambung (Lunding et
al.,2011), maka rangsangan dari regangan lambung ini melalui saraf
otonom ekstrinsik menjadi pemicu utama gerakan masa di kolon melalui
reflex gastrokolik. Reflex gastrokolik mampu menstimulasi otot polos
kolon sehingga meningkatkan motilitas kolon dan mencegah terjadinya
konstipasi (Bassoti & Villanaci,2006).
39
2. Asupan Serat Makanan
Serat memiliki kemampuan mengikat air didalam usus besar yang
membuat volume feses menjadi lebih besar dan merangsang syaraf rectum
sehingga menimbulkan rasa ingin defekasi. Asupan serat yang rendah
dapat menyebabkan masa feses berkurang dan sulit untuk buang air besar.
Hal ini lah yang disebut dengan konstipasi. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk mencegah konstipasi adalah dengan mengkonsumsi serat
sesuai dengan kebutuhan. Sayur dan buah merupakan sumber serat
pangan yang mudah ditemukan dalam makanan.
Asupan serat makanan yang memenuhi kecukupan asupan serat
perhari dapat mengurangi resiko konstipasi fungsional. Konstipasi
fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal
dan dikenal sebagai konstipasi idiopatik atau adanya tahanan feses,
dimana konstipasi fungsional ini umumnya dengan perubahan kebiasaan
diet dan kurangnya mengonsumsi makanan yang mengandung serat.
40
melakukan pemijatan dari ujung kaki hingga kepala, dengan posisi awal
telungkup kemudian telentang, sedangkan teknik effleurage dengan cara
pengusapan dengan telapak tangan. Kedua teknik abdominal massage
tersebut mempunyai manfaat yang sama untuk mencegah konstipasi,
namun demikian belum ada penelitian lanjutan yang menunjukkan teknik
yang paling efektif diantara keduanya.
4. Massage Abdomen
Massase abdomen dilakukan untuk merangsang peristaltik usus
melalui kegiatan menepuk dan memberi pijatan lembut pada abdomen
searah jarum jam (Turan&Asti,2016). Massase abdomen berefek
meningkatkan fungsi pencernaan dengan baik, tidak seperti penggunaan
laksatif yang disertai efek samping negatif. Massase abdomen mengurangi
keparahan gejala gastrointestinal (konstipasi, nyeri abdomen, bowel
movement).
Abdominal massage yang diterapkan dalam pengelolaan sembelit
pada orang tua adalah metode yang efektif karena tidak ada efek samping
dari abdominal massage dan dapat meningkatkan kualitas hidup yang
memainkan peran penting dalam asuhan keperawatan. Pemberian
massase abdomen ini dapat menstimulkan aktivitas parasimpatis sehingga
meningkatkan motilitas otot pencernaan, meningkatkan sekresi digestif
dan merelaksasi spinkter saluran gastrointestinal. Tujuan dari manajemen
pasien dengan sembelit tidak hanya untuk menghilangkan sembelit tetapi
juga untuk membantu mengadopsi kebiasaan buang air besar yang sehat
dan mencegah timbulnya kembali sembelit.
5. Ambulasi Dini
Ambulasi dini adalah suatu pergerakan dan posisi untuk melakukan
suatu aktivitas atau kegiatan ke tahap mobilisasi sebelumnya untuk
mencegah komplikasi pasca bedah. Ambulasi dini yang merupakan
pengembalian secara berangsur-angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya
untuk mencegah komplikasi. Ambulasi juga diartikan sebagai peningkatan
dari pemberian bantuan dengan cara berjalan untuk mempertahankan
fungsi tubuh selama pasien dirawat dan selama fase penyembuhan.
Seperti ambulasi dini pada ibu postpartum, masa nifas (puerperium)
dimulai setelah kelahiran placenta dan berakhir ketika alat- alat
41
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil (Prawirohardjo,2005).
Masa nifas berlangsung selama kira-kira 6-8 minggu, untuk itu sangat
diperlukan latihan-latihan ringan guna memfasilitasi penyembuhan otot-
otot, terutama otot rahim yang telah meregang selama kehamilan.
Asuhan pada ibu postpartum yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah konstipasi yaitu dengan cara menfasilitasi ibu untuk
membicarakan masalah yang dihadapi pada ibu nifas dengan bersikap
proaktif menanyakan pada ibu mengenai masalah yang terjadi termasuk
biasanya kontrol defekasi. Hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi
konstipasi adalah dengan sesegera mungkin melakukan mobilisasi dini
setelah melahirkan
Dengan latihan fisik sederhana secara bertahap dan terus-menerus
akan mengantarkan ibu dalam proses pemulihan yang membantu
memperoleh kembali kebugaran ibu secara sempurna. Setelah persalinan
ibu postpartum harus menghadapi berbagai masalah. Salah satunya
masalah pencernaan yang harus dihadapi adalah kesulitan buang air besar
atau konstipasi (Saleha,2009). Karena terbaring yang terlalu lama
mengakibatkan konstipasi (pola eliminasi), dan otot sangat lemah
sehingga proses penyembuhan terganggu. Untuk membantu pencegahan
adanya konstipasi saat pengeluaran BAB dapat dilakukan dengan
ambulasi dini.
42
DAFTAR PUSTAKA
Arimbi, K. E., Sari, F., & Ayu, P. (2016). Perbandingan Abdominal Massage
Dengan Teknik Swedihs Massage Dan Teknik Effeurage Terhadap
Kejadian Konstipasi Pada Pasien Yang Terpasang Ventilasi Mekanik
Di Icu. Jkp , 4, 3.
Bernie, E., & Badriul, H. S. (2004). Sari Pediatri. Kostipasi Fungsional , 6, 2.
Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi - Hepatologi. (2012). Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia 2010.
Deni, Y., Dewi, I., & I, M. K. (2013). Konsumsi Air Putih Pagi Hari
Terhadap Konstipasi Pada Pasien Imobilitas . Jurnal Ners , 8, 1.
Fransisca, A. R., Elly, N., & Yusron, N. (N.D.). Dampak Minuman Probiotik
Dalam Upaya Pencegahan Kostipasi Pada Pasien Infarc Myocard Di Rspad
Gatot Soebroto Jakarta .
Hasmi, Agung, W., & Usman, B. O. Indonesia Contemporary Nursing
Joural. The Benefecial Effects Of Abdomial Massage On Constipasi And
Quality Off Life: A Literatur Review , 4, 2.
Intan, C., Dina, R. P., & Apoina, K. Hubungan Asupan Serat Makanan Dan
Cairan Dengan Kejadian Konstipasi Fungsional Pada Remaja Di Sma
Kesatria1 Semarang . (2018, Ed.) Jurnal Kesehatan Masyarakat (1).
Rizki, L. K. (2017). Jurnal Ners Dan Kebidanan. Pengaruh Ambulasi Dini
Terhadap Kejadian Konstipasi Pada Ibu Post Partum , 4, 2.
43
44
KOMPLIKASI KONSTIPASI
45
KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Tingginya proporsi kekambuhan telah dilaporkan setelah
keberhasilan penatalaksanaan awal. Kekambuhan ini dilaporkan lebih
sering pada laki-laki dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, anak
dengan konstipasi dibawah usia 5 tahun memiliki prognosis yang baik,
dengan kostipasi dapat diatasi pada 88% anak pada kelompok usia ini.
Konstipasi fungsional biasanya dapat diatasi dengan
penatalaksanaan rutin walaupun kegagalan dilaporkan pada 20% anak.
Anak yang tidak mengalami perbaikan datang dari keluarga dengan
masalah psikososial, dimana diduga akibat menurunnya tingkat
kepatuhan mengonsumsi obat. Prognosis sembuh total yang di definisikan
sebagai tidak adanya inkontensia fekal dan konstipasi, telah dilaporkan
sebanyak 45% pada follow up 5 tahun. Pada 50% anak umumnya dengan
konstipasi kronik akan sembuh setelah 1 tahun dan 65% sampai 70%
setelah 2 tahun, dengan angka keberhasilan lebih tinggi pada keluarga
yang termotivasi dan patuh. Dua penelitian menunjukkan 34% sampai
47% kasus menetap 3-12 tahun setelah memulai pengobatan.
Durasi konstipasi yang panjang sebelum didiagnosis berkaitan
dengan hasil yang telah lebih buruk. Selain itu Onset gejala yang lebih
awal pada tahun pertama, riwayat konstipasi pada keluarga berkaitan
dengan prognosis. Diagnosis yang cepat dan penatalaksanaan yang efektif
dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Jika konstipasi terus berlanjut maka beberapa komplikasi yang dapat
terjadi adalah inkontinensia fekal dan urin, hemoroid, fisura anus,
impakasi fekal, perdarahan rektum, infeksi saluran kemih, obstruksi atau
perforasi usus, prolapse rektum. Meningkatnya tekanan intratoraks akibat
usaha mengedan saat defekasi dapat mereduksi aliran arteri coroner,
serebral serta parifer dan dapat menyebabkan terjadinya hernia,
perburukan refluks gatroesofageal, serangan iskemik transien dan sinkop
pada pasien lebih tua.
46
Fisura Ani
Mengejan terlalu lama dan tinja yang keras atau besar dapat
mengakibatkan fisura atau robeknya kulit pada dinding anus.
Impaksi Fases
Menumpuknya tinja yang keringdan keras direktum akibat
kosntipasi yang berlarut-larut.
Ploraps Rektum
Pada posisi ini, rektum pindah dari posisinya di dalam tubuh dan
menonjol keluar dari anus akibat terlalu lama mengejan.
47
DAFTAR PUSTAKA
48
PENATALAKSANAAN KONSTIPASI
49
ml/kgBB/hari tetapi tidak dianjurkan untuk anak-anak <1
tahun
Larutan Magnesium hidroksida (400mg/5 ml), diberikan 1-3
ml/kgBB/hari tetapi tidak untuk anak dengan gangguan ginjal,
bila tidak ada respon bisa ditambah cisapride dengan dosis
0,2mg/kgBB/kali untuk 3-4×/hari selama 4-5 minggu Obat
rumatan mungkin perlu beberapa bulan dan bila defekasi telah
normal, terapi rumatan dapat dikurangi, kemudian dapat
dihentikan.
Terapi rumatan dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu
beberapa bulan hingga tahun, untuk mencegah berulangnya
konstipasi. Prinsip yang terpenting adalah menciptakan pola
defekasi yang teratur dengan berbagai cara, antara lain :
Modifikasi perilaku dan toilet training
Dilakukan setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan
untuk BAB, beri waktu 10-15 menit agar tidak terburu-buru
dan membuat anak menjadi tertekan
Pemberian diet serat
Anak dianjurkan minum yang banyak dan menkonsumsi
karbohidrat dan banyak serat misalnya pepaya, semangka,
bengkoang, melon. Makanan berserat berfungsi untuk
meningkatkan frekuensi BAB dan melunakkan tinja.
Laksatif dan pendekatan psikologis
Bagi orang tua diperlukan kesabaran dalam kasus ini,
dukungan dan jalinan kerjasama yang baik antara dokter,
orang tua, dan pasien. Bila hal ini teratasi, tentunya akan
memberikan efek yang baik terhadap tumbuh kembang anak
pada tahap berikutnya.
5. Edukasi pada orang tua dan evaluasi hasil terapi
Perlu dijelaskan kepada orang tua mengenai lamanya
tatalaksana konstipasi fungsional dan meyakinkan orang tua
dan pasien bahwa tidak ada solusi yang cepat dalam hal ini.
STRATEGI PENGOBATAN
1. Pengobatan non farmakologis
a. Latihan usus besar, dianjurkan waktu l5-10 menit setelah
50
makan untuk mereflekkan gastrokolik ketika defekasi.
b. Diet, untuk mengatasi konstipasi terutama pada lansia
c. Olahraga, seperti jalan kaki atau lari – lari kecil sesuai
kemampuan untuk menggiatkan sirkulasi dan perut agar otot
dinding perut kuat terutama penderita atoni pada otot perut.
d. Konsumsi serat, makanan berserat biasanya didapatkan dari
sayur-sayuran dan buah-buahan. Peningkatan makanan
beserat hingga 25 gram/hari dan minum air yang cukup
(sekitar1,5-2,0L/hari).
e. Konsumsi prebiotik, bukti ilmiah menerangkan bahwa
prebiotic bermanfaat dalam mengurangi konstipasi, diare, dan
mencegah irritable bowel syndrome.
f. Kebiasaan defekasi, diedukasi agar tidak menahan buang air
besar, menghindari mengejan, membiasakan buang air besar
setelah makan, atau saat yang dianggap sesuai, dan
menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi
2. Pengobatan farmakologis
Ada empat tipe golongan obat pencahar:
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, anatara lain:
cereal methyl selulose, psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga
mempermudah penyerapan air.
Contohnya: minyak kastor, golongan doc husate
c. Golongan osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman
untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara
lain : sorbitol, lactulose, griseril.
d. Merangsang peristaltic sehingga meningkatkan motilitas usus
besar. Golongan ini yang banyak digunakan. Perlu
diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bisa dipakai jangka
panjang, dapat merusak Pleksus mesentrikus dan berakibat
dismotilitas colon.
Contohnya : Bisakodil, fenolplatein.
51
Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat
diatasi dengan cara cara tersebut, kemungkinan dibutuhkan
tindakan pembedahan.
Selain empat strategi diatas penatalaksaan konstipasi
farmakologis dengan pemberian obat pencahar, yaitu :
a. Bulk Forming Agent (Psyllium dan methylselulosa)
Golongan ini bekerja dengan menyerap cairan intestinal,
sehingga konsistensi feses menjadi lunak dan lebih mudah
dikeluarkan
b. Stool Softener (Docusate)
Golongan ini direkomendasikan sebagai profilaksis atau pada
pasien yang harus menghindari mengejan saat defekasi
c. Laksatif Lubrikan (Parrafin pil yang dimasukkan dalam anus)
Laksatif berupa lubrikan berperan dalam tatalaksana konstipasi
dengan cara melubrikasi usus dan mencegah absorpsi air di
usus
d. Agen osmotic (laktulosa, sorbitol, polyethylene glycol)
Golongan ini direkomendasikan untuk terapi jangka panjang
pasien konstipasi dengan waktu transit kolon yang lambat dan
keluhan yang berulang walaupun sudah diberikan suplemen
serat.
e. Laksatis stimulant (tegaserod, bisacodyl, sennoside)
Golongan yang lebih sering digunakan dan termasuk obat-obat
prokinetik yang meningkatkan motilitas usus.
52
3. Laksatif
- Laksatif osmotic, (misalnya laktulosa) memiliki manfaat
terbatas dan bias menyebabkan kolik dan rasa melilit yang
tidak mengenakkan.
- Laksatif pembentukan – massa, (misalnya vybogel, isogel).
- Laksatif stimulant penggunaan secara umum harus dibatasi
walaupun ada sebagian pasien yang membutuhkannya
4. Tindakan bedah
Pada kasus yang sering kambuh mungkin dibutuhkan intervensi
bedah (kolektomi subtotal) untuk memperbaiki kualitas hidup
pasien.
Pendekatan umum
Frekuensi defekasi tiap orang berbeda-beda dan tergantung dari
makanan serta perubahan lingkungan lainnya. Pada populasi
53
manula, pasien juga dirujuk untuk menyingkirkan dugaan
keganasan kolon pada perubahan kebiasaan buang air besar.
Pemeriksaan fisis
Mungkin tidak akan menemukan apa-apa namun pemeriksaan fisis
lengkap termasuk pemeriksaan rektal dan sigmoidoskopi penting untuk
memastikan tidak ada kelainan.
Pemeriksaan penunjang
Tes darah : hitung darah lengkap, laju endap darah (LED), fungsi
tiroid, kalsium.
54
Barium enema : mungkin lebih bermanfaat daripada kolonoskopi
karena dapat menyingkirkan keganasan kolorektal dan megakolon
sekaligus.
Fisiologi anorektal.
Program defeksi
55
terapi evakuasi tinja (disimpaksi), terapi pemeliharaan secara oral
ataupun rektal. Dosisnya (1-1,5 g/kg/hari max 6 hari).
2. Terapi pemeliharaan
Terapi ini berfungsi untuk mencegah penumpukan tinja kembali dan
mempertahankan pergerakan usus regular. Terapi ini dilakukan
melalui modifikasi diet, toilet training, dan pencahar.
3. Terapi penyapihan (weaning)
Weaning dipertimbangkan saat gejala stabil dalam terapi
pemeliharaan, dalam arti anak defekasi rutin lebih dari 3
kali/minggu dan tidak memenuhi lagi kriteria Rome III. Tergantung
beratnya gejala, efek terapi dievaluasi 1-2 minggu setelah pengobatan
dan dilanjutkan hingga minimal 2 bulan, dan gejala sembelit harus
hilang 1 bulan sebelum mulai weaning.
56
DAFTAR PUSTAKA
57
58
TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Identitas pasien ( Nama, jenis kelamin, alamat )
2. Riwayat kesehatan
Keluhan utama
Didapat dengan menanyakan tentang gangguan terpenting
yang dirasakan pasien sampai perlu pertolongan. (misal Nyeri,
diare, mual, muntah, kembung, ketidaknyamanan abdomen,
konstipasi)
Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian riwayat kesehatan dilakukan dengan anamnesis
atau wawancara untuk menggali masalah keperawatan lainnya
sesuai dengan keluhan utama dari pasiennya. Perawat
memperoleh data subyektif dari pasien mengenai awitan
masalahnya dan bagaimana penanganan yang sudah
dilakukan. Persepsi dan harapan pasien sehubungan dengan
masalah kesehatan dapat mempengaruhi masalah kesehatan.
Yang perlu dikaji dalam sistem gastrointestinal: Pengkajian
rongga mulut, Pengkajian esofagus, Pengkajian lambung,
Pengkajian intestinal, Pengkajian anus dan feses, Pengkajian
organ aksesori
59
Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian kesehatan masa lalu bertujuan untuk menggali
berbagai kondisi yang memberikan berbagai kondisi saat ini.
Perawat mengkaji riwayat MRS (masuk rumah sakit) dan
penyakit berat yang pernah diderita, penggunaan obat2 dan
adanya alergi.
Riwayat kesehatan keluarga
Pengkajian ini dilakukan karena ada beberapa faktor jika ada
keturunan yang memiliki riwayat yang sama
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik keperawatan pada sistem GI dimulai dari survei
umum terhadap setiap kelainan yang terlihat atau mengklarifikasi
dari hasil pengkajian anamnesis.
Bibir
Keadaan kulit; warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman),
elastisitasnya (menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering
(dehidrasi), lembab (asites), dan adanya bekas-bekas garukan
(penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan parut
(tentukan lokasinya), striae (gravidarum/ cushing syndrome),
pelebaran pembuluh darah vena (obstruksi vena kava inferior
& kolateral pada hipertensi portal).
Rongga mulut
menggunakan senter dan spatel lidah atau kasa tunggal segi
empat.
Abdomen
- Inpeksi : pembesaran abdomen
- Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses
- Perkusi : redup
- Auskultasi : bising usus tidak terdengar Hasil pemeriksaan
umum :
a. Keadaan umum :
b. TTV : (Nadi, BB. TD )
60
ANALISA DATA
DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO SDKI
1 Konstipasi (D.0049)
1) KONSTIPASI
Diagnosis Konstipasi
Domain 0149
Definisi Penurunan defekasi normal yang disertai
pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses
kering dan banyak
Penyebab A. Fisiologis
1. Penurunan motilitas gastrointestinal
2. Ketidakadekuatan pertumbuhan gigi
3. Ketidakcukupan diet
61
4. Ketidakcukupan asupan serat
5. Ketidakcukupan asupan cairan
6. Aganglionik (mis. Penyakit Hircsprung)
7. Kelemahan otot abdomen
B. Psikologis
1. Konfusi
2. Depresi
3. Gangguan emoosional
C. Situasional
1. Perubahan kebiasaan makan (mis. Jenis
makanan, jadwal makan)
2. Ketidakadekuatan toileting
3. Aktivitas fisik harian kurang dari yang
dianjurkan
4. Penyalahgunaan laksatif
5. Efek agen farmakologis
6. Ketidakaturan kebiasaan defekasi
7. Kebiasaan menahan dorongan defekasi
8. Perubahan lingkungan
Gejala dan Subjektif
Tanda Mayor 1. Defekasi kurang dari 2 kali seminggu
2. Pengeluaran feses lama dan sulit
Objektif
1. Feses keras
2. Peristaltik usus menurun
Gejala dan Subjektif
Tanda Minor 1. Mengejan saan defekasi
Objektif
1. Distensi abdomen
2. Kelemahan umum
3. Teraba massa pada rektal
Kondisi Klinis 1. Lesi / cedera pada menula spinalis
Terkait 2. Spina bifida
3. Stroke
4. Skelorosis multipel
5. Penyakit perikson
62
6. Demensia
7. Hiperparatiroidisme
8. Hipoparatiroidisme
9. Ketidakseimbangan elektrolit
10. Hemoroid
11. Obesitas
12. Pasca operasi obstruksi bowel
13. Kehamilan
14. Pembesaran prostat
15. Abses rektal
16. Fisura anorektal
17. Striktura anorektal
18. Prolaps rektal
19. Ulkus rektal
20. Rektorel
21. Tumor
22. Penyakit hurscpung
23. Impaksi feses
63
DAFTAR PUSTAKA
64
SLKI (STANDART LUARAN
KEPERAWATAN INDONESIA)
Kriteria Hasil:
Kriteria hasil merupakan karakteristik pasien yang dapat diamati atau
diukur oleh perawat dan dijadikan sebagai dasar untuk menilai
pencapaian hasil intervensi keperawatan.
65
Keseimbangan elektrolit
Kontinensia fekal
Mobilitas fisik
Tingkat nyeri
Luaran Utama
Eliminasi Ekspektasi
fekal Membaik
Cukup Cukup
Definisi kriteria hasil menurun Menurun Sedang Meningkat Meningkat
proses defekasi 1. Control 1 2 3 4 5
normal yang pengeluara
disertai dengan n feses
pengeluaran 2. Keluhan meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
feses mudah defekasi Meningkat Menurun
dan kosistensi, lama dan 1 2 3 4 5
frekuensi serta sulit 1 2 3 4 5
bentuk feses 3. Mengejan
normal. saat
defekasi 1 2 3 4 5
4. Distensi
abdomen
5. Terasa 1 2 3 4 5
massa pada
rektal
6. Urgency 1 2 3 4 5
7. Nyeri 1 2 3 4 5
abdomen 1 2 3 4 5
8. Kram 1 2 3 4 5
abdomen
9. Konsistensi memburu Cukup Sedang Cukup Membaik
feses k memburuk Membaik
10. Frekuensi 2 3 4 5
defekasi 1
11. Peristaltic 2 3 4 5
usus 1
2 3 4 5
1
66
DAFTAR PUSTAKA
67
68
SIKI (STANDART INTERVENSI
KEPERAWATAN INDONESIA)
69
TINDAKAN KEPERAWATAN PADA KONSTIPASI
Intervensi Tindakan
Manajemen Definisi
konstipasi Mengidentifikasi dan mengelola
pencegahan dan mengatasi sembelit atau
impaksi.
Tindakan
Observasi
Periksa tanda dan gejala konstipasi
Periksa pergerakan usus, karakteristik
feses (konsistensi, bentuk, volume dan
warna)
Identifikasi faktor resiko konstipasi
(obat-obatan, tirah baring dan diet
rendah serat)
Monitor tanda dan gejala ruptur usus
dan atau peritonitis
Terapeutik
Anjurkan diet tinggi serat
Lakukan massase abdomen, jika perlu
Berikan enema atau irigasi, jika perlu
Edukasi
Jelaskan etiologi masalah dan alsan
tindakan
Anjurkan peningkatan asupan cairan,
jika tidak ada kontraindikasi
Latih buang air besar secara teratur
Ajarkan cara mengatasi konstipasi /
impaksi
Kolaborasi
Konsultasi dengan tim medis tentang
penurunan peningkatan frekuensi
70
suara usus
Kolaborasi penggunaan obat pencahar,
jika perlu
Manajemen eliminasi Definisi:
fekal (1.04151) Mengidentifikasi dan mengelola gangguan
pola eliminasi fekal
Tindakan:
Observasi:
Identifikasi masalah usus dan
penggunaan obat pencahar
Identifikasi pengobatan yang berefek
pada kondisi gastrointestinal
monitor BAB (warna, frekuensi,
konsistensi, volume)
monitor tanda gejala konstipasi atau
impaksi
Terapeutik:
berikan air hangat setelah makan
jadwalkan waktu defekasi
sediakan makanan tinggi serat
Edukasi:
jelaskan jenis makanan yang membantu
meningkatkan keteraturan peristaltic
usus
anjurkan meningkatkan aktivitas fisik
sesuai toleransi
anjurkan pengurangan asupan makanan
yang meningkatkan pembentukan gas
anjurkan makanan yang tinggi serat
anjurkan meningkatkan asupan cairan
jika tidak ada kontraindikasi
71
Kolaborasi:
kolaborasi pemberian obat suposutorial
anal jika perlu
72
DAFTAR PUSTAKA
73
74
TENTANG PENULIS
75
76