Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

LEGENDA SANGKURIANG

Diajukan untuk Memenuhi salah satu Syarat Tugas

Mata Pelajaran Seni Budaya

Disusun oleh:

Kelompok 4

Kelas VIID

Wina Handayani
Alin Sulastri
Nurazizah
Resti Agustina

SMP NEGERI 1 CIBINONG


2019
KATA PENGANTAR
Puji sukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan taufik dan hidayahnya dan memberi

kenikmatan yang tiada henti, baik nikmat jasmani dan nikmat rohani, sehingga penulis dapat menyusun

makalah ini yang insyaalah sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam penuliasan makalah ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu, guru-guru dan teman-teman yang sudah memberi dukungan dan motivasi kepada

penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Penyusunan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan baik dalam pemahaman

atau penulisan, sangat besar harapan penulis ada saran atau kritik dari guru-guru di SMP Negeri 1

Cibinong, teman-teman dan pembaca yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan makalah

yang selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfa’at bagi pembaca, terutama bagi penulis, Amin.

Cibinong, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………..…........................................... i

Daftar Isi……………………………………………………………………................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………................................................. 1

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………………. 1

C. Tujuan Penulisan Makalah …………………………………………………………………………………….. 1

D. Manfaat Penulisan Makalah………………………………………………………………………………….. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Tentang Materi……………………………................................................. 3

B. Isi Materi…………………………………………………………..................................................... 3

1. Pengertian Hermeneutik………………………………………................................................. 3

2. Asal Usul Cerita Legenda Sangkuriang…………………………………………………………………… 3

3. Makna Legenda Gunung Tangkuban Parahu Dengan Segala Aspek Yang


Dikandungnya……………………………………........................................................................ 5

C. Manfaat Materi……………………………………………………………………………………………………. 10

D. Makna Bagi Siswa Tentang Materi……………………………………………………………………….. 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………………..................................................... 12

B. Saran…………………………………………………………………………………………………………………….. 12

Daftar Pustaka………………………………………………………………............................................. 13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Mitos sebagai acuan pandangan hidup. Berbincang tentang mitos akan berkaitan erat dengan
legenda, cerita, dongeng semuanya termasuk kelompok folklore. Mengenai mitos C.A.van Peursen
mengatakan sebagai sebuah cerita (lisan) yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada
sekelompok orang. Inti dari mitos adalah lambang-lambang yang menginformasikan pengalaman
manusia purba tentang kebaikan-kejahatan, perkawinan dan kesuburan, dosa dan proses katarsisnya.
Sedangkan Rene Wellek & Austin Warren menyebutnya sebagai cerita anonim mengenai penjelasan
tentang asal mula sesuatu, nasib manusia, tingkah laku dan tujuan hidup manusia serta menjadi alat
pendidikan moral bagi masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.

Mengacu kepada pendapat di atas, ternyata mitos yang dikandung dalam legenda adalah
sumber pengetahuan mengenai kehidupan manusia pada masa lampau dalam segala aspeknya. Disusun
dalam bentuk cerita sastra (sastra lisan) sebagai alat transformasinya; sebab bentuk cerita lisan
mempunyai pola struktur dan alur yang cukup ajeg. dalam menuntun ingatan orang sehingga mudah
untuk seseorang menuturkannya kembali.

Kegiatan manusia tidak terlepas dari kemampuan untuk menafsirkan terhadap apa pun yang
dialaminya. Hasilnya adalah didapatkannya arti dan makna dari yang ditafsirkannya. Arti adalah
hubungan antara sesuatu dengan yang melingkunginya, hubungan teks dengan konteks). Adapun makna
adalah hubungan arti dengan nilai esensial yang dikandungnya.

Kemampuan mengartikan dan memaknai sesuatu, dalam budaya Sunda disebut dengan
kemampuan memanfaatkan Panca Curiga (lima senjata/ilmu), yaitu kemampuan untuk menafsirkan
secara: silib, yaitu memaknai sesuatu yang dikatakan tidak langsung tetapi dikiaskan pada hal lain
(allude); sindir yaitu penggunaan susunan kalimat yang berbeda (allusion); simbul yaitu penggunaan
dalam bentuk lambang (symbol, icon, heraldica); siloka adalah penyampaian dalam bentuk pengandaian
atau gambaran yang berbeda (aphorisma) dan sasmita adalah berkaitan dengan suasana dan perasaan
hati (depth aporisma).

Dalam tulisan ini pun penulis menggunakan konsep hermeneutika (panca curiga) untuk mencoba
menarik arti dan makna yang dikandung dalam legenda Gunung Tangkubanparahu dengan segala aspek
yang dikandungnya. Kaidah lain untuk melakukan analisis, penulis memanfaatkan leksikografi (cara
menuliskan kata); etimologi (tentang asal-usul kata), semantik (tentang arti kata) dan semiotika
( tentang arti dan makna lambang).

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan hermeneutika ?

2. Bagaimanakah asal usul serita legenda sangkuriang ?

3. Bagaimanakah makna legenda gunung tangkuban parahu dengan segala aspek yang dikandungnya ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Ingin mengetahui pengertian hermeneutika ?

2. Ingin mengetahui asal usul cerita legenda sangkuriang ?

3. Ingin mengetahui makna legenda gunung tangkuban parahu dengan segala aspek yang
dikandungnya ?

D. Manfaat Penulisan Makalah

Dalam penulisan makalah ini diharapkan manfaat yang diperoleh adalah:

1. Bagi penulis, bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan, khususunya pengetahuan tentang legenda
sangkuriang.

2. Bagi pembaca, memperoleh pengalaman dan pengetahuan tentang cerita legenda sangkuriang.

3. Bagi guru, menembah wawasan pengetahuan dalam pengajaran bahasa Indonesia terutama tentang
cerita legenda sangkuriang.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Tentang Materi

Dalam penulisan makalah ini akan dibahas tentang bagaimana asal usulnya cerita legenda
sangkuriang dan bagaimana makna legenda gunung tangkuban parahu dengan segala aspek yang
dikandungnya. Pada dasarnya sebuah cerita-cerita seperti legenda adalah cerita yang berkaitan dengan
hal-hal bersifat mitos, akan tetapi pada jaman sekarang kebanyakan orang tidak peduli terhadap cerita
yang bersifat mitos, mungkin hanya sebagian dari sekian bnyak orang yang masih percaya akan hal
tersebut.

Kalau dikaji lebih dalam, pada dasarnya sebuah cerita akan mengajarkan kita arti kehidupan dan
kita bisa mengambil pesan moral yang ada dalam sebuah cerita tersebut. Jadi, sebenarnya tidak usah
mempedulikan cerita tersebut bersifat mitos atau tidak, yang penting kita bisa tahu apa makna dan
pesan yang terkandung dalam sebuah cerita tersebut atau dalam legenda sangkuriang. Untuk lebih
jelasnya penulis akan menguraikan beberapa hal yang berkaitan denga legenda sangkuriang.

B. Isi Materi

1. Pengertian Hermeneutik

Seperti ditulis pada awal wacana, hermeunetika adalah ilmu menafsirkan tentang sesuatu agar
mempunyai arti dan makna, sehingga dapat dipetik manfaatnya. Karena itu sangat bersifat subyektif
dan inklusif, tetap terbuka bagi siapa pun untuk memasukkan tafsirannya secara pribadi. Boleh-boleh
saja dan itu akan besar manfaatnya dalam membentuk masyarakat bermartabat yang madani
mardotillah. Mungkin perlu ada kesepakatan bersama yaitu mengenai visi akhir yang ingin dicapai dari
pemaknaan heumanetika tersebut, yaitu kesadaran untuk menampakkan kandungan moral atau ahklak
kemanusiaannya. Humisnis yang religius. Itulah dasar kesepakatan para penafisr nilai moral budaya
bangsa yang terkandung dalam folkolor atau folkway.

2. Asal Usul Cerita Legenda Sangkuriang

Sangkuriang adalah legenda yang berasal dari tataran Sunda. Legenda tersebut berkisah tentang
terciptanya danau Bandung, gunung Tangkuban Perahu, gunung Burangrang, dan gunung Bukit Tunggul.

Dari legenda tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran
tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi, diperkirakan bahwa orang
Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun sebelum Masehi.

Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan. Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada
pada naskah Bujangga Manik yang ditulis pada daun palem yang berasal dari akhir abad ke-15 atau awal
abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga
Manik atau Ameng Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali
pada akhir abad ke-15.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik tiba di tempat yang sekarang menjadi
kota Bandung. Dia menjadi saksi mata yang pertama kali menuliskan nama tempa legendanya.
Laporannya adalah sebagai berikut:

Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan ke arah barat)

Datang ka Bukit Patenggeng (kemudian datang ke gunung Patenggeng)

Sakakala Sang Kuriang (tempat legenda Sang Kuriang)

Masa dek nyitu Ci tarum (Waktu akan membendung Citarum)

Burung tembey kasiangan (tapi gagal karena kesiangan).

a. Ringkasan Cerita

Diceritakan bahwa Raja Sungging Perbangkara pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja
membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan). Seekor babi hutan betina
bernama Wayung yang tengah bertapa ingin menjadi manusia meminum air seni tadi. Wayungyang
hamil dan melahirkan seorang bayi cantik. Bayi cantik itu dibawa ke keraton oleh ayahnya dan diberi
nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Banyak para raja yang meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada
yang diterima.

Akhirnya para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas permitaannya
sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang
asyik bertenun, toropong (torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah. Dayang
Sumbi karena merasa malas, terlontar ucapan tanpa dipikir dulu, dia berjanji siapa pun yang
mengambilkan torak yang terjatuh bila berjenis kelamin laki-laki, akan dijadikan suaminya. Si Tumang
mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-
laki diberi nama Sangkuriang.

Ketika Sangkuriang berburu di dalam hutan disuruhnya si Tumang untuk mengejar babi betina
Wayungyang. Karena si Tumang tidak menurut, lalu dibunuhnya. Hati si Tumang oleh Sangkuriang
diberikan kepada Dayang Sumbi, lalu dimasak dan dimakannya. Setelah Dayang Sumbi mengetahui
bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, kemarahannya pun memuncak serta merta kepala
Sangkuriang dipukul dengan senduk yang terbuat dari tempurung kelapa sehingga luka.

Sangkuriang pergi mengembara mengelilingi dunia. Setelah sekian lama berjalan ke arah timur
akhirnya sampailah di arah barat lagi dan tanpa sadar telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi,
tempat ibunya berada. Sangkuriang tidak mengenal bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah
Dayang Sumbi - ibunya. Terminological kisah kasih di antara kedua insan itu. Tanpa sengaja Dayang
Sumbi mengetahui bahwa Sangkuriang adalah puteranya, dengan tanda luka di kepalanya. Walau
demikian Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang
membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam dengan membendung sungai Citarum.
Sangkuriang menyanggupinya.

Maka dibuatlah perahu dari sebuah pohon yang tumbuh di arah timur, tunggul atau pokok pohon
itu berubah menjadi gunung ukit Tanggul. Rantingnya ditumpukkan di sebelah barat dan menjadi
gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang, bendungan pun hampir selesai dikerjakan. Tetapi
Dayang Sumbi bermohon kepada Sang Hyang Tunggal agar maksud Sangkuriang tidak terwujud. Dayang
Sumbi menebarkan irisan boeh rarang (kain putih hasil tenunannya), ketika itu pula fajar pun merekah di
ufuk timur. Sangkuriang menjadi gusar, dipuncak kemarahannya, bendungan yang berada di Sanghyang
Tikoro dijebolnya, sumbat aliran sungai Citarum dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi
Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun menjadi surut kembali. Perahu yang dikerjakan dengan
bersusah payah ditendangnya ke arah utara dan berubah wujud menjadi gunung Tangkuban Perahu.

Sangkuriang terus mengejar Dayang Sumbi yang mendadak menghilang di gunung Putri dan
berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di sebuah tempat yang
disebut dengan Ujung Berung akhirnya menghilang ke alam gaib (ngahiyang).

b. Kesesuaian Dengan Fakta Geologi

Legenda Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya danau Bandung dan gunung
Tangkuban Perahu. Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah
berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering 16.000 tahun yang lalu.

Telah terjadi dua letusan gunung Sunda purba dengan tipe letusan Plinian masing-masing 105.000
dan 55.000-50.000 tahun yang lalu. Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera gunung Sunda
purba sehingga menciptakan gunung Tangkuban Perahu, gunung Burangrang (disebut juga gunung
Sunda), dan gunung bukit Tunggul.

Sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi Bandung dan
menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah barat citarum (utara dan barat
laut Bandung) selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat gunung Tangkuban
Perahu tercipta dari sisa-sisa gunung Sunda Purba. Masa ini adalah masanya homo sapiens, mereka
telah teridentifikasi hidup di Australia selatan pada 62.000 tahun yang lalu, semasa dengan Manusia
Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun yang lalu.

c. Sangkuriang dan Falsafah Sunda

Menurut Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya
pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih
bimbang akan keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiannya (Wayungyang).
Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata hati (nurani) sebagai kebenaran sejati
(Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh atau eling
(teropong), maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus menerus
(digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu jiwa yang belum tercerahkan
(Sangkuriang). Ketika sang nurani termakan lagi oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si
Tumang) maka hilanglah kesadaran yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami sang nurani dilampiaskan
dengan dipukulnya kesombongan rasio sang ego (kepala Sangkuriang dipukul). Kesombongannya pula
yang memengaruhi “sang ego rasio” untuk menjauhi dan meninggalkan sang nurani. Ternyata
keangkuhan sang ego rasio yang berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama
pengembaraannya di dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar
maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu sang nurani (pertemuan Sangkuriang dengan
Dayang Sumbi).

7
Walau demikian ternyata penyatuan antara sang ego rasio (Sangkuriang) dengan sang nurani
yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan. Berbekal ilmu pengetahuan yang
telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang) harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang
dilandasi kasih sayang, interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu
satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai kumpulan manusia
dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk
pula oleh sang ego rasio sendiri (pembuatan perahu). Keberadaan sang ego rasio itu pun tidak terlepas
dari sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (bukit Tunggul, pohon sajaratun) sejak dari
awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit kehidupan). sang ego rasio pun harus pula
menunjukkan keberadaan dirinya (tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai
keturunan yang terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir
ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang)

Betapa mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya sang ego rasio dengan sang nurani
yang tercerahkan hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang Sumbi, gagal karena keburu
hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan (boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan
takdir yang menimpa sang ego rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada
dirinya. Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia transendental
tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (gunung Tangkuban Perahu).

Walau demikian lantaran sang ego rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus sang nurani
yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat luluh bersatu antara sang ego
rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata sang nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri
menjadi saksi atas perilaku yang pernah terjadi dan dialami sang ego rasio (bunga Jaksi).

Akhir kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya (Ujung berung).
Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat dominasi keangkuhan rasio (gunung
Manglayang). Maka kini terbukalah saluran proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun
(Sanghyang Tikoro atau tenggorokan; bahasa Sunda: Hade ku omong goreng ku omong) dan dengan
cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal bersih dan
bermanfaat.

3. Makna Legenda Gunung Tangkuban Parahu Dengan Segala Aspek Yang Dikandungnya

Seperti pada awal tulisan, bahwa legenda bukanlah kisah historis (a-historis), tetapi berupa mitos
yang menjadi acuan hidup masyarakat pendukung kebudayaannya. Demikian pula yang terjadi pada
legenda Gunung Tangkuban parahu. Di bawah ini saya susun kembali nama dan tempat serta aspek
lainnya yang terdapat dalam legenda tersebut. sebagai kata kunci heurmanetika, yaitu:

a. Sungging Perbangkara,

b. cariang

c. babi hutan Si Wayungyang,

d. Dayang Sumbi atau Rarasat

e. anjing Si Tumang,
f. Sangkuriang,

g. taropong (torak),

h. Wetan (Timur)

i. Kulon (Barat)

j. Citarum,

k. Sanghyang Tikoro,

l. Guriang

m. Gunung Putri,

n. Gunung Manglayang,

o. Ujungberung,

p. kembang Jaksi,

q. boeh rarang,

r. Gunung Bukit Tungggul,

s. Gunung Burangrang

t. Gunung Tangkuban Parahu, dan

u. Talaga Bandung.

Telah disinggung di atas, bahwa banyak penulis yang memberi arti dan makna terhadap legenda
ini. Pada kesempatan sekarang penulis mencoba untuk membuat penafsiran arti dan makna menurut
konsep nilai-nilai intrinsik pandangan hidup “urang Sunda” yang terkandung dalam alur cerita dan arti-
makna dari setiap kata-kata kunci. Di bawah ini disertakan deskripsi mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan legenda gunung Tangkuban perahu.

a. Sungging Perbangkara.

Artinya : Sungging = ukiran, ornamen. Perbangkara (Prabhangkara) = Prabha = cahaya. > ‘ng >
sang = penanda hormat, honorifik. > kara = matahari. Maknanya “ Penanda dari kebaikan/ kebenaran
sebagai cahaya pencerahan bagi yang menyimaknya”.

b. Cariang.

Artinya: pohon keladi hutan (taleus leuweung) yang tumbuh subur dan bergetah sangat gatal.
Maknanya: Manusia-manusia yang hidup di tengah hutan kehidupan dengan bermacam dorongan
nafsunya.

c. Babi Hutan Wayungyang.


Artinya: Wayungyang > w(b)ayeungyang = perasaan yang tidak tenteram, gundah gula.
Maknanya: Seseorang yang masih berada dalam sifat kehewanan tetapi telah mulai bimbang dan
menginginkan menjadi seorang manusia seutuhnya (berperi-kemanusiaan).

d. Dayang Sumbi (Danghyang) atau Rarasati

Artinya : > Dang = penanda hormat, honorific. Yang < Hyang = gaib. > Sumbi = 1) tendok = alat
untuk menusuk hidung kerbau agar menurut. 2) Bagian ujung terdepan dari perahu sebagai penunjuk
arah dalam berlayar agar tidak rersesat. Maknanya: Fitrah manusia yang bersifat gaibiah yang memberi
petunjuk dan kendali dalam menentukan arah kehidupan. Bisa dimaknai pula sebagai kata hati, nurani
yang mendapat pencerahan hidayah Allah Swt. Rarasati nama lain dari Dayang Sumbi. Artinya : 1) >
Raras = perasaan yang sangat halus. > ati = hati, qalbu. Maknanya: Raras Ati = Hati atau qalbu yang
penuh dengan kehalusan budi karena mendapat pancaran sinar Ilahi. 2) Rara = gadis > sati (santa) =
suci, pengorbanan, tenang. Maknanya: Rara Sati = Kesucian yang tenang penuh pengorbanan.

e. Si Tumang.

Artinya: > tumang = 1) Peti yang tertutup (b. Kawi), 2) mangmang = sumpah (b.Kawi) tu-mang-
mang = orang yang terkena sumpah karena waswas. Maknanya: karakter seseorang yang selalu asal
bersumpah, waswas, akhirnya termakan sumpahnya sendiri, hatinya seperti peti yang tertutup rapat
tidak mendapat pencerahan.

f. Sangkuriang.

Artinya: > 1) Sang = penanda hormat, honorifik. > Kuriang < kuring = saya, ego. 2) Sang = penanda
hormat, honorific. > Kuriang < guru + hyang = ego yang gaib. Maknanya: Sangkuriang = Jiwa (ego) non
material yang menjadi dasar tumbuhnya kesadaran mental manusia yang selalu mendapat cobaan dan
ujian kualitas dirinya.

g. Taropong

Artinya : 1) Alat bertenun dari sepotong bambu kecil (tamiang) tempat benang pakan (torak); 2)
Alat untuk melihat sesuatu agar lebih jelas (teropong). Maknanya: Kegiatan (semangat) manusia dalam
menata perilaku kehidupan agar terusun tertib sesuai dengan kualitas dirinya serta mampu melihat
dengan jelas alur (visi) kehidupannya.

h. Wetan

Artinya : timur, tempat matahari terbit; wetan > wiwitan = asal mula, harapan. Maknanya :
Menuju ke wetan (timur) , mencari yang diharapkan yang dicarinya sejak awal mula keberadaan
manusia.

i. Kulon

Artinya : Barat, tempat matahari tenggelam. Maknanya : Sampai di arah barat = sampai di batas
waktu, waktu terakhir, akhir kehidupan
j. Citarum

Artinya: > Ci < cai = air. > Tarum = sejenis tumbuhan, daunnya untuk memberi warna indigo tua
(hampir hitam) pada kain atau benang tenun. Maknanya: Kehidupan adalah seperti air mengalir dalam
perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan, keprihatinan dan juga hal-
hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hatinya.

k. Sanghyang Tikoro

Artinya: > Sang = penanda hormat, honorifik. > Hyang = gaib. >Tikoro = saluran di leher untuk
bernafas dan berbicara (tenggorokan) atau saluran di leher untuk makan (kerongkongan). Maknanya:
Kemampuan manusia dalam berbicara tentang apa pun yang baik atau pun yang jelek serta sering
dilalui makanan entah yang halal atau yang haram.

l. Guriang

Artinya > Guru = Yang memberi petunjuk, ilmu; > hyang = gaib. Maknanya : Guriang = orang
yang mengajari ilmu pengetahuan, fasilitator.

m. Gunung Putri

Artinya > Putri = gadis, wanita cantik jelita, bangsawan. Maknanya: Karakter manusia yang dihiasi
nilai keindahan dan cinta kasih. Dimaknai sebagai sifat kewanitaan (feminim, jamalliyah, cinta kasih yang
rohimmi) yang penuh rasa kasih sayang.

n. Gunung Manglayang

Artinya: > Manglayang = 1) ngalayang, melayang. 2) Mang-layang > palayangan = Saluran untuk
pembuangan air kolam/talaga. Maknanya : Kemampuan manusia untuk menguras dan membersihkan
dirinya dari karakter yang kotor.

o. Kembang Jaksi

Artinya: 1) Jaksi > bisa dimaknai jadi + saksi . Maknanya: 1) Segala sesuatu yang dikerjakan
seseorang akhirnya akan menjadi saksi pula bagi dirinya. 2) Jaksi = bunga sejenis pohon pandan.
Maknanya: Kesesuaian antara itikad/niat – ucapan dan perbuatan (tekad – ucap – lampah)

p. Ujungberung

Artinya: > Ujung = akhir. >berung > ngaberung = menurutkan hawa nafsu. Maknanya:Berakhirnya
gejolak hawa nafsu yang negatif.

q. Boeh Rarang
Artinya : > Boeh = kain kafan. > rarang = suci, mahal. Maknanya: Semuanya akan berakhir bila satu
saat mau tidak mau harus memakai kain kafan yang suci, yaitu datangnya waktu kematian mungkin
secara fisik atau secara psikis.

r. Gunung Bukit Tunggul

Artinya : 1) > Bukit = Bentuk gunung yang lebih kecil. > Tunggul = pokok pohon. Maknanya:
Siapapun orangnya, kaya-miskin, pembesar atau pun rakyat kecil semuanya mempunyai pokok sejarah
dirinya (leluhur). 2) Tunggul > tutunggul = batu nisan. Maknanya setiap orang mempunyai penanda
jati dirinya, tentang apa dan siapa dirinya.

s. Gunung Burangrang

Artinya > Burangrang > Bukit + rangrang. > rangrang = ranting. Maknanya : Siapa pun orangnya
tetap akhirnya akan ada sangkut pautnya dengan keturunan dan masyarakat. yang pada gilirannya
semuanya akan hilang ditelan masa (ngarangrangan).

t. Gunung Tangkuban Parahu

Artinya: >Tangkuban = tertelungkup, menelungkup. > Parahu = perahu. > Gunung Tangkuban
parahu = gunung yang bentuknya seperti perahu yang tertelungkup. Maknanya: Dalam kosmologi
Sunda, gunung dimaknai sebagai tubuh manusia. Gunung Tangkubanparahu dimaknai sebagai manusia
yang sedang menelungkupkan dirinya dan itu menandakan suasana hati yang sedang bingung penuh
penyesalan.

u. Talaga Bandung

Artinya: > talaga = danau, dimaknai sebagai kehidupan di dunia ini, >bandung = 1) dua buah
perahu atau dua buah rakit yang disatukan dan di atasnya dibuat tempat berteduh. 2) bandung >
bandung + an = memperhatikan, menyimak > silih bandungan – saling memperhatikan dengan penuh
perhatian. Maknanya: > Talaga Bandung = Dalam kehidupan di dunia ini, kita ibarat perahu yang dirakit
berpasangan dengan sesama makhluk lain, seyogyanya dapat membangun kehidupan bersama, yaitu
kehidupan yang saling memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, interdependency (saling
ketergantungan yang harmonis), equaliter (setara di depan hukum) dan egaliter (setara di dalam
kehidupan)

C. Manfaat Materi

Dalam penulisan makalah ini dengan materi yang bertemakan legenda Sangkuriang, pada
umumnya manfaat yang bisa dipetik dalam kehidupan harus saling memperhatikan, karena manusia
merupakan makhluk sosial yang saling ketergantungan satu sama lain. Karena kehidupan adalah ibarat
seperti air mengalir dalam perjalanannya akan mengalami beragam celupan kehidupan, kebahagiaan,
keprihatinan dan juga hal-hal negatif lainnya sebagai ujian keteguhan hati. Jadi, kita harus menciptakan
suasana hidup yang harmonis, damai, aman dan tentram baik di lingkungan masyarakat maupun di
dalam keluarga.
D. Makna bagi Siswa Tentang Materi

Seperti yang sebelumnya sudah ditulis di awal, bahwa sebuah legenda hanya bersifat mitos, akan
tetapi bila dikaji lebih dalam lagi ceritanya, banyak hal-hal yang bisa dipetik. Namun perlu adanya
pemamahan yang benar, akurat, tepat, dan juga berpegang pada pengetahuan dasar. Untuk mendukung
pengetahuan tersebut bisa mencari dan menggunakannya sumber-sumber tertentu yang berkaitan
dengan cerita tersebut, agar tidak adanya pemahaman yang salah.

Sangat penting sekali bagi siswa atau kaum pelajar sebagai generasi penerus yang ada di seluruh
Indonesia terutama siswa di Mts. Negeri Pandeglang II, untuk mempelajari dan mengkaji legenda
Sangkuriang. Selain bisa menambah wawasan ilmu pengetahuan dan pengalaman, banyak manfaat yang
bisa diambil sebagai pedoman hidup.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam mengakaji legenda sangkuriang penulis akhirnya menarik kesimpulan tentang apa yang
ada dalam materi tersebut. Adapun kesimpulannya sebagai berikut :

1. Hermeunetika adalah ilmu menafsirkan tentang sesuatu agar mempunyai arti dan makna, sehingga
dapat dipetik manfaatnya. Karena itu sangat bersifat subyektif dan inklusif, tetap terbuka bagi siapa
pun untuk memasukkan tafsirannya secara pribadi.

2. Bila kita runut seluruh informasi di atas, maka akan ditemukan alur kearifan pandangan hidup
masyarakat Sunda yang terkandung dalam legenda Gunung Tangkuban parahu. Kearifan yang dibungkus
dengan cerita legenda ini dapat menjadi acuan hidup bagi siapa pun dalam menjalani keberadaannya
baik secara manusia lahiriah (fisik) maupun manusia transendental (ruhi).

3. Setelah mengkaji legenda sangkuriang didapatkan nama dan tempat serta aspek lainnya yang
terdapat dalam legenda tersebut ialah; Sungging Perbangkara, cariang, babi hutan Si Wayungyang,
Dayang Sumbi atau Rarasati, anjing Si Tumang, Sangkuriang, taropong (torak), Wetan (Timur), Kulon
(Barat), Citarum, Sanghyang Tikoro, Guriang, Gunung Putri, Gunung Manglayang, Ujungberung,
kembang Jaksi, boeh rarang, Gunung Bukit Tungggul, Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Parahu,
dan Talaga Bandung.

B. Saran

Dengan adanya makalah ini penulis hanya bisa menyarankan kepada pembaca, khususunya bagi
siswa Mts. Negeri Pandeglang II dapat membangun kehidupan bersama, yaitu kehidupan yang saling
memperhatikan, silih asih, silih asah dan silih asuh, kemudian ciptakan suasana hidup yang harmonis,
damai, aman dan tentram. Tidak lupa untuk terus menggali ilmu pengetahuan di berbagai mata
pelajaran, khususunya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia dan bisa mengkaji lebih dalam lagi
sebuah cerita legenda Sangkuriang.
DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, James. 1986. Folkor Indonesia. Jakarta: Pustaka Grafitipress.

Ekadjati, Edi S. 2001. Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda Abad.

Ekajati, Edi S. 1983. Naskah Sunda Lama Kelompok Babad. Bandung: Depdikbud.

Hidayat, Suryalaga. 1996. Racikan Budaya Sunda. Jabar : Depdikbud Prop.

Http://www.sundaNet.com.

LBSS. 1975. Kamus Umum Basa Sunda: Tarate.

Satjadibrata, R.1946. Dongeng-dongeng Sasakala. Jakarta: Balai Pustaka.

Wahyu Wibisana. 1992. Sangkuriang Kabeurangan. Bandung: Mangle No. 1373.

Wellek, Rene. Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia.

Woyowasito, S. 1977. Kamus Kawi- Indonesia: CV. Pengarang.

Diposting oleh moh. arifin di 04.33

Kirimkan Ini lewat Email

BlogThis!

Berbagi ke Twitter

Berbagi ke Facebook

Bagikan ke Pinterest

Anda mungkin juga menyukai