Dalam “Kancil dan Buaya,” Kancil ingin menyeberangi sungai untuk mencapai kebun
mentimun. Sungai itu penuh buaya yang ingin memakannya. Dalam salah satu versi cerita,
Kancil menyuruh buaya untuk berbaris karena dia ingin memberi mereka daging dan dia
melompat di punggung buaya untuk mencapai kebun mentimun.
Versi lain mengatakan Kancil menipu para buaya untuk berbaris dengan mengumumkan
bahwa raja hutan menjadi tuan rumah sebuah festival dan Kancil ditugaskan untuk
menghitung jumlah buaya di sungai.
Cerita-cerita si kancil telah diubah menjadi buku dan pertunjukan wayang. Menurut jurnal
sejarah Historia, versi tertulis tertua dari cerita-cerita Kancil adalah “Serat Kancil
Amongsastra” oleh Kyai Rangga Amongsastra, seorang penulis istana untuk Solo Sunan
Pakubuwono V. Puisi-lagu tersebut ditulis pada tahun 1822 tetapi tidak diterbitkan sampai
tahun 1878.
Buku-buku Kancil lainnya termasuk “Serat Kancil van Dorp” yang diterbitkan oleh penulis
Belanda G. C. T. van Dorp di Semarang, Jawa Tengah, pada tahun 1871. Ada juga “Serat
Kancil Salokadarma” dan “Serat Kancil Amongraja,” yang ditulis untuk pengadilan
Pakualaman Yogyakarta.
Menurut sejarawan Philip Frick McKean, kancil melambangkan pria Jawa atau Melayu yang
ideal, yang memecahkan masalah dengan cara yang tenang dan berkepala dingin untuk
menghindari konflik terbuka.