Anda di halaman 1dari 3

Pluralisme Hukum Perspektif Global dalam Aspek Hak Asasi Manusia

Elvin Karmawan - 110110190052

Griffiths pada tahun 1986 mengatakan bahwa pluralisme hukum pada masa awal hanya
sekadar menjadi ko-eksistensi dalam berbagai sistem hukum dalam lapangan sosial tersebut yang
dikaji, hal ini sangat menonjolkan dikotomi antara hukum negara di satu sisi dan berbagai jenis
hukum rakyat di sisi lain. Dengan begitu, pluralisme hukum dalam definisi ini hanya melakukan
fokus terhadap keanekaragaman hukum dalam lapangan kajian tertentu (mapping of legal
universe). Zaman semakin lama semakin berkembang, untuk itu definisi pluralisme hukum yang
kaku seperti itu tak lagi dipakai untuk pendekatan. Pluralisme hukum pada zaman yang
segalanya melakukan penyebaran luas secara global ini menjadi sebuah hukum yang bergerak
dalam ranah globalisasi.

Globalisasi adalah proses masuknya suatu hal ke ruang lingkup dunia dan tersebar secara
meluas. Untuk itu, bisa dikatakan pluralisme hukum ini diperlukan menyesuaikan era globalisasi
dengan cara melakukan pendekatan bagaimana hukum tersebut bergerak dan memberikan
persebarannya pada dunia luar. Globalisasi bergerak di berbagai bidang kehidupan seperti sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan hak asasi manusia. Semuanya memberi dampak yang signifikan
akibat pergerakan yang terjadi secara global seperti ini.

Hak asasi manusia sejatinya adalah hak-hak yang dimiliki manusia sejak awal mereka
lahir ke muka bumi. Manusia memiliki hak asasi manusia bukan karena diberikan masyarakat
atau hukum positif, melainkan mendapatkannya karena ia memiliki martabat sebagai manusia.
Sejarah perkembangan hak asasi manusia ini pun cukup panjang, bersumber dari teori hak
kodrati (natural rights theory) yang jika ditarik semakin ke belakang akan melihat bahwasannya
ini bersumber dari teori hukum kodrati (natural law theory) hingga pada filsafat kuno Stoika,
juga ditarik kembali menuju dunia modern berdasarkan tulisan-tulisan dari Santo Thomas
Aquinas. Tulisan-tulisannya itu kemudian menginspirasi sesosok John Locke untuk kemudian
mengajukan teori-teori hak kodrati. Gagasan inilah yang menjadi awal mula revolusi hak di
Inggris, Amerika, dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18 silam.
Di Inggris jauh sebelum abad ke-17 terdapat piagam Magna Charta pada tahun 1215 yang
menjadi awal mula munculnya pemikiran mengenai hak asasi manusia. Magna Charta adalah
sebuah piagam yang dikeluarkan karena perselisihan antara Paus, Raja John, dan Baronnya atas
hak-hak raja. Dalam piagam ini disebutkan bahwa raja dihasruskan membatalkan beberapa hak
dan lebih menghargai prosedur legal, juga mengerti bahwa keinginan raja haruslah dibatasi oleh
hukum. Selanjutnya, Raja Charles I Inggris melalui “Petition of Rights” memutuskan tentang hak
seseorang sebelum dibawa ke pengadilan apakah bisa dibebaskan atau tidak. Perkembangannya
pun semakin pesat seiring berjalannya revolusi di berbagai belahan dunia, contohnya Revolusi
Inggris pada tahun 1688 yang melahirkan “Bill of Rights”, lalu pada tahun 1776 pada Revolusi
Amerika yang mencetuskan “Rights of Man”, dan Revolusi Prancis pada 1789 dengan adanya
Deklarasi Manusia dan Warga Negara. Hak asasi manusia ini terus berkembang secara global
sampai pada 10 Desember 1948 didirikan Declaration of Human Rights.

Sedangkan di Indonesia sendiri, jauh sebelum kemerdekaan telah banyak tokoh-tokoh


yang berjasa dalam perkembangan hak asasi manusia di Indonesia, seperti RA Kartini dengan
tulisannya “Habis Gelap Terbitlah Terang”, sebuah pledoi berjudul “Indonesia Menggugat” yang
dibuat oleh Soekarno, serta “Indonesia Merdeka” karangan Hatta. Semakin berkembang,
Indonesia pun pada masa orde baru mulai mendirikan Komisi Nasional Hak Asas Manusia pada
tahun 1993 serta mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyatan Rakyat nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia juga Undang-Undang nomor 26 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, bahkan telah meratifikasi berbagai konvensi Internasional menjadi hukum nasional.
Seperti kovenan Hak sipil dan politik yang di ratifikasi menjadi Undang-Undang nomor 15 tahun
2005, juga telah meratifikasi kovenan hak sosial, ekonomi, dan budaya menjadi Undang-Undang
nomor 11 tahun 2005, dan berbagai kovenan mengenai hak asasi manusia lainnya. Hal ini
menjadi rujukan bagaimana seharusnya pemerintah dalam mengeluarkan kebijakannya haruslah
berpedoman teguh dengan melindungi hak asasi manusia ini. Bahkan secara konstitusional, hak
asasi manusia ini telah dilindungi dengan dimasukkannya topik tersebut ke dalam Undang-
Undang Dasar tahun 1945. Hak asasi manusia warga negara Indonesia telah dijamin dan
dilindungi dengan berbagai aspek perlindungan seperti hak tentang hidup dan berkehidupan,
keluarga, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pekerjaan, kebebasan memeluk agama,
kebebasan berpendapat dan berserikat, informasi dan komunikasi, rasa aman dari gangguan,
kesejahteraan sosial, persamaan keadilan, hingga kewajiban masing-masing warga untuk
menghargai hak dan pilihan masing-masing.

Dengan semakin modernnya zaman, seharusnya perlindungan terhadap hak asasi manusia
pun semakin kuat, namun sayangnya meskipun telah terdapat berbagai regulasi dan
perkembangan hak asasi manusia di seluruh dunia, nyatanya masih banyak terjadi pelanggaran
hak asasi manusia di berbagai aspek kehidupan, seperti diskriminasi terhadap berbagai ras
dengan merendahkan fisik ras tertentu, etnis dengan merasa etnisnya sendiri lebih hebat dan
merendahkan etnis lain, agama dengan memaksakan kehendak agamanya sendiri dan seakan
merasa lebih superior daripada agama lain serta kurang menghargai pilihan orang lain dalam
beragama, lalu orientasi seksual yang masih dipandang tabu jika halnya ada yang tidak sesuai
dengan kepercayaan mereka, padahal tidak setiap orang memiliki kepercayaan yang sama sampai
harus dilakukan persekusi publik sampai tidak memanusiakan manusia, atau bahkan masih
terjadi diskriminasi gender dengan pandangan-pandangan seksisme yang seharusnya sudah kuno
dan ditinggalkan. Untuk itu, perlu adanya penguatan yang lebih tentang regulasi mengenai hak
asasi manusia karena sebagai hukum yang bergerak, pluralisme hukum bisa menjadi salah satu
pendekatan tentang perkembangan dari hak asasi manusia itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai