Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan menjelaskan tentang teori-teori yang menjadi dasar dalam

mengerjakan penelitian ini serta akan menggunakan study literature yang relevan

yang digunakan sebagai pedoman dalam menyusun penelitian ini.

2.1. Landasan Teori

Teori yang digunakan untuk menunjang penelitian ini adalah teori

struktur modal yang meliputi modigliani-miller theory, signalling theory, trade off

theory, pecking order hypotesis dan asymmetric information. Selanjutnya teori

kebijakan dividen yang meliputi the bird in hand theory, information content or

signalling hypotesis dan clintele effect.

2.1.1 Signalling Theory

Signalling Theory atau teori sinyal dikembangkan oleh (Ross, 1977),

menyatakan bahwa pihak eksekutif perusahaan memiliki informasi lebih baik

mengenai perusahaannya akan terdorong untuk menyampaikan informasi tersebut

kepada calon investor agar harga saham perusahaannya meningkat. Hal positif

dalam signalling theory dimana perusahaan yang memberikan informasi yang

bagus akan membedakan mereka dengan perusahaan yang tidak memiliki “berita

bagus” dengan menginformasikan pada pasar tentang keadaan mereka, sinyal

tentang bagusnya kinerja masa depan yang diberikan oleh perusahaan yang

kinerja keuangan masa lalunya tidak bagus tidak akan dipercaya oleh pasar (Wolk

dan Tearney 2001).

12
13

Isyarat atau signal menurut Brigham dan Houston (2001: 38) adalah

suatu tindakan yang diambil manajemen perusahaan yang memberi petunjuk bagi

investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan.

Menurut Brigham dan Houston (2001), perusahaan dengan prospek yang

menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan

setiap modal baru yang diperlukan dengan cara-cara lain, termasuk penggunaan

hutang yang melebihi target struktur modal yang normal. Perusahaan dengan

prospek yang kurang menguntungkan akan cenderung untuk menjual sahamnya.

Pengumuman emisi saham oleh suatu perusahaan umumnya merupakan suatu

isyarat (signal) bahwa manajemen memandang prospek perusahaan tersebut

suram. Apabila suatu perusahaan menawarkan penjualan saham baru, lebih sering

dari biasanya, maka harga sahamnya akan menurun, karena menerbitkan saham

baru berarti memberikan isyarat negatif yang kemudian dapat menekan harga

saham sekalipun prospek perusahaan cerah.

2.1.2 Trade Off Theory

Trade off theory menyatakan bahwa perusahaan akan berhutang sampai

pada tingkat hutang tertentu, dimana penghematan pajak (tax shields) dari

tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress).

Biaya kesulitan keuangan (Financial distress) adalah biaya kebangkrutan

(bankruptcy costs) atau reorganization, dan biaya keagenan (agency costs) yang

meningkat akibat dari turunnya kredibilitas suatu perusahaan (Mamduh,

2004:297).
14

Dalam kenyataanya, ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa

menggunakan utang sebanyak-banyaknya. Satu hal yang terpenting adalah dengan

semakin tingginya utang, akan semakin tinggi kemungkinan (probabilitas)

kebangkrutan. Sebagai contoh, semakin tinggi utang, semakin besar bunga yang

harus dibayarkan. Kemungkinan tidak membayar bunga yang tinggi akan

semakin besar. Pemberi pinjaman biasa membangkrutkan perusahaan jika

perusahaan tidak bisa membayar utang.

Biaya kebangkrutan tersebut bisa cukup signifikan. Penelitian diluar

negeri menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai sekitar 20% dari nilai

perusahaan. Biaya tersebut mencakup 2 hal:

1. Biaya langsung : biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi,

biaya pengacara, biaya akuntan, dan biaya lainnya yang sejenis.

2. Biaya tidak langsung : biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan,

perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan

secara normal. Missal, supplier barangkali tidak akan mau memasok barang

karena mengkhawatirkan kemungkinan tidak terbayar.

Tingkat hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax

shields) mencapai jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan

(costs of financial distress). Trade-off theory mempunyai implikasi bahwa

manajer akan berpikir dalam kerangka trade-off antara penghematan pajak dan

biaya kesulitan keuangan dalam penentuan struktur modal. Perusahaan-

perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi tentu akan berusaha

mengurangi pajaknya dengan cara meningkatkan rasio hutangnya, sehingga


15

tambahan hutang tersebut akan mengurangi pajak. Dalam kenyataannya jarang

manajer keuangan yang berpikir demikian. Donaldson (1961) melakukan

pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan dengan tingkat

profitabilitas yang tinggi cenderung rasio hutangnya rendah. Hal ini berlawanan

dengan pendapat trade-off theory. Trade-off theory tidak dapat menjelaskan

korelasi negatif antara tingkat profitabilitas dan rasio hutang (Mamduh,

2004:297).

Meskipun teori trade-off dalam struktur modal memberikan pandangan

baru dalam struktur modal, tetapi teori tersebut tidak memberikan formula yang

pasti yang bisa memberi petunjuk berapa tingkat utang yang optimal. Dengan

demikian, sampai saat ini teori belum berhasil memberikan penjelasan yang

memuaskan mengenai tingkat utang yang ideal (Mamduh 2004:297).

2.1.3 Modigliani-Miller Theory

Teori Modigliani dan Miller (teori MM) adalah teori yang berpandangan

bahwa struktur modal tidak relevan atau tidak mempengaruhi nilai perusahaan.

MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka (Brigham dan

Houston, 2006:33) yaitu:

1. Tidak terdapat agency cost.

2. Tidak ada pajak.

3. Investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan

perusahaan.
16

4. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai

prospek perusahaan di masa depan.

5. Tidak ada biaya kebangkrutan.

6. Earning Before Interest and Taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan

dari hutang.

7. Para investor adalah price-takers.

8. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market

value).

Terdapat 2 model Mogdilianni Miller, (Brigham dan Houston, 2006:34) yaitu :

Model Modiglianni Miller tanpa pajak

Pada tahun 1958 mereka mengajukan suatu teori yang ilmiah tentang

struktur modal perusahaan.

Teori mereka menggunakan beberapa asumsi:

1. Risiko bisnis perusahaan diukur dengan s EBIT (Standard Deviation Earning

Before Interest and Taxes).

2. Investor memiliki pengharapan yang sama tentang EBIT perusahaan di masa

mendatang.

3. Saham dan obligasi diperjual belikan di suatu pasar modal yang sempurna.

4. Seluruh aliran kas adalah perpetuitas (sama jumlahnya setiap periode hingga

waktu tak terhingga). Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan adalah nol

atau EBIT selalu sama.

Teori Modiglianni Miller dengan pajak


17

Pada tahun 1963, MM menerbitkan artikel sebagai lanjutan teori MM

tahun 1958. Asumsi yang diubah adalah adanya pajak terhadap penghasilan

perusahaan. Dengan adanya pajak ini, MM menyimpulkan bahwa penggunaan

hutang akan meningkatkan nilai perusahaan karena biaya bunga hutang adalah

biaya yang mengurangi pembayaran pajak

Preposisi I : Nilai dari perusahaan yang berhutang sama dengan nilai dari

perusahaan yang tidak berhutang ditambah dengan penghematan

pajak karena bunga hutang. Implikasi dari preposisi I ini adalah

pembiayaan dengan hutang sangat menguntungkan dan MM

menyatakan bahwa struktur modal optimal perusahaan adalah

seratus persen hutang.

Preposisi II : Biaya modal saham akan meningkat dengan semakin meningkatnya

hutang, tetapi penghematan pajak akan lebih besar dibandingkan

dengan penurunan nilai karena kenaikan biaya modal saham.

Implikasi dari preposisi II ini adalah penggunaan hutang yang

semakin banyak akan meningkatkan biaya modal saham.

Menggunakan hutang yang lebih banyak, berarti menggunakan

modal yang lebih murah (biaya modal hutang lebih kecil

dibandingkan dengan biaya modal saham), sehingga akan

menurunkan biaya modal rata-rata tertimbangnya (meski biaya

modal saham meningkat).

Teori MM tersebut sangat kontroversial. Implikasi teori tersebut adalah

perusahaan sebaiknya menggunakan hutang sebanyak – banyaknya. Dalam


18

praktiknya, tidak ada perusahaan yang mempunyai hutang sebesar itu, karena

semakin tinggi tingkat hutang suatu perusahaan, akan semakin tinggi juga

kemungkinan kebangkrutannya. Inilah yang melatar belakangi teori MM

mengatakan agar perusahaan menggunakan hutang sebanyak-banyaknya, karena

MM mengabaikan biaya kebangkrutan.

Berdasarkan teori-teori struktur modal di atas, dalam penelitian ini

penulis memfokuskan untuk mengkonfirmasi trade off theory yang

mengemukakan tentang tingkat penggunaan hutang pada titik tertentu dimana

manfaat dari peningkatan hutang masih lebih besar daripada pengorbanan atau

kerugian yang dikeluarkan.

2.1.4 Pecking Order Hypotesis

Pada tahun 1984 Myers dan Maljuf mengemukakan mengenai pecking

order hypotesis, mereka menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan dimana

para manajer pertama kali akan memilih untuk menggunakan laba ditahan,

kemudian hutang, dan modal sendiri eksternal sebagai pilihan terakhir (Weston

dan copeland, 2002).

Menurut Myers (1984) dalam Mamduh (2004:297) , pecking order

hypotesis menyatakan bahwa ”perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang

tinggi justru tingkat hutangnya rendah, dikarenakan perusahaan yang

profitabilitasnya tinggi memiliki sumber dana internal yang berlimpah.” Dalam

pecking order hypotesis ini tidak terdapat struktur modal yang optimal. Secara

spesifik perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi (hierarki) dalam


19

penggunaan dana. Menurut teori pecking order, terdapat skenario urutan

(hierarki) dalam memilih sumber pendanaan, yaitu:

1. Perusahaan lebih memilih untuk menggunakan sumber dana dari dalam atau

pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Dana internal tersebut

diperoleh dari laba ditahan yang dihasilkan dari kegiatan operasional

perusahaan.

2. Jika pendanaan eksternal diperlukan, maka perusahaan akan memilih pertama

kali mulai dari sekuritas yang paling aman, yaitu hutang yang paling rendah

risikonya, turun ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti

obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.

3. Terdapat kebijakan dividen yang konstan, yaitu perusahaan akan menetapkan

jumlah pembayaran dividen yang konstan, tidak terpengaruh seberapa

besarnya perusahaan tersebut untung atau rugi.

4. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas karena adanya kebijakan

dividen yang konstan dan fluktuasi dari tingkat keuntungan, serta kesempatan

investasi, maka perusahaan akan mengambil portofolio investasi yang lancar

tersedia.

Pecking order hypotesis tidak mengindikasikan target struktur modal.

Pecking order hypotesis menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan

tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan

oleh kebutuhan investasi.


20

2.1.5 Asymmetric Information

Dalam karya perintis mereka, Myers dan Majluf (1984) dalam Harris dan

Raviv (1991) menunjukkan bahwa, jika investor kurang mendapat informasi dari

orang-orang dalam perusahaan saat ini tentang nilai aset perusahaan, maka ekuitas

mungkin salah dihargai oleh pasar. Jika perusahaan diminta untuk membiayai

proyek-proyek baru dengan menerbitkan ekuitas, underpricing akan sangat parah

bahwa investor baru menangkap lebih dari NPV dari proyek baru, dalam

menghasilkan kerugian bersih kepada pemegang saham yang ada. Dalam hal ini

proyek akan ditolak meskipun NPV-nya positif. Kurangnya investasi ini dapat

dihindari jika perusahaan bisa membiayai proyek baru menggunakan keamanan

yang tidak terlalu rendah dihargai oleh pasar.

Konsep signaling dan asimetri informasi berkaitan erat. Teori asimetri

mengatakan bahwa pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak

mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan. Pihak

tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan pihak lainnya.

Manajer biasanya mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan dengan

pihak luar (seperti investor). Karena itu bisa dikatakan terjadi asimetri informasi

antara manajer dengan investor. Investor, yang merasa mempunyai informasi yang

lebih sedikit, akan berusaha menginterpretasikan perilaku manajer. Dengan kata

lain, perilaku manajer, termasuk dalam hal menentukan struktur modal, bisa

dianggap sebagai signal oleh pihak luar / investor (Mamduh, 2004).


21

2.1.6 The Bird in Hand Theory

Teori bird in the hand adalah salah satu teori dalam kebijakan dividen,

teori ini dikembangkan oleh Myron Gordon (1956) dan John Lintner (1962).

Gordon dan Lintner menyatakan bahwa investor lebih menyukai dividen tunai

daripada dijanjikan adanya imbal hasil atas investasi (capital gain) di masa yang

akan datang, karena menerima dividen tunai merupakan bentuk dari kepastian

yang berarti mengurangi resiko.

Dalam teori ini menjelaskan bahwa investor menghendaki pembayaran

dividen yang tinggi dari keuntungan perusahaan sesuai tujuan investor yaitu

menanamkan sahamnya untuk mendapatkan dividen, investor tidak ingin

berinvestasi di perusahaan jika penerimaan dividen dalam jangka waktu yang

lama. Investor akan bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk perusahaan

yang membayar dividen saat ini. Harapan pembayaran dividen saat ini terjadi

karena ada anggapan bahwa mendapat dividen saat ini resikonya lebih kecil

daripada mendapat capital gain di masa yang akan datang meskipun capital gain

di masa mendatang dapat memberikan pengembalian yang lebih tinggi daripada

dividen saat ini, selain resiko juga adanya ketidakpastian tentang arus kas

perusahaan di masa depan (Atmaja, 2008: 287).

2.1.7 Information Content or Signaling Hypothesis

Salah satu asumsi dari Modigliani-Miller terkait irrelevance dividend

theory adalah bahwa investor dan manajer memiliki informasi yang sama atas

kesempatan berbagai kesempatan investasi sehingga investor dan manajer

memiliki penilai yang sama terhadap perusahaan dan kebijakan dividen yang akan
22

dibagikan. Pada kenyataannya manajer cenderung mempunyai informasi yang

lebih baik jika dibandingkan dengan investor sehingga investor akan menilai

bahwa capital gain mempunyai risiko yang lebih besar dibanding dengan dividen

yang dibagikan. Menurut Modigliani-Miller perusahaan cenderung tidak mau

menurunkan tingkat dividen sehingga perusahaan hanya akan meningkatkan

dividen bila prospek perusahaan lebih baik di masa yang akan datang. Modigliani-

Miller selanjutnya berpendapat bahwa kenaikan dividen akan dipandang sebagai

tanda atau sinyal bahwa perusahaan mempunyai prospek yang baik di masa yang

akan datang, sebaliknya, penurunan dividen akan dilihat sebagai tanda bahwa

prospek perusahaan menurun.

Dividend signaling theory pertama kali dicetuskan oleh Bhattacharya

(1979). Dividend signaling theory mendasari dugaan bahwa pengumuman

perubahan cash dividend mempunyai kandungan informasi yang mengakibatkan

munculnya reaksi harga saham. Teori ini menjelaskan bahwa informasi tentang

cash dividend yang dibayarkan dianggap investor sebagai sinyal prospek

perusahaan di masa mendatang. Adanya anggapan ini disebabkan terjadinya

asymetric information antara manajer dan investor, sehingga para investor

menggunakan kebijakan dividen sebagai sinyal tentang prospek perusahaan.

Apabila terjadi peningkatan dividen akan dianggap sebagai sinyal positif yang

berarti perusahaan mempunyai prospek yang baik, sehingga menimbulkan reaksi

harga saham yang positif. Sebaliknya, jika terjadi penurunan dividen akan

dianggap sebagai sinyal negatif yang berarti perusahaan mempunyai prospek yang
23

tidak begitu baik, sehingga menimbulkan reaksi harga saham yang negatif (Suluh

Pramastuti,2007:8).

2.1.8 Clientele Effect

Menurut teori Clientile Effect, investor dikelompokkan menjadi dua

kelompok besar, yaitu yang menyukai pembagian dividen yang tinggi dan

kelompok yang tidak menyukai pembagian dividen yang tinggi karena terkait

dengan tarif pajak yang cukup tinggi. Jika perusahaan menahan laba yang

diperoleh, maka investor yang menyukai pembayaran dividen yang tinggi akan

kecewa. Memang mereka akan menerima capital gain dari saham tersebut, namun

untuk memenuhi kebutuhannya, investor tersebut harus menjual sahamnya. Jika

penjualan saham tersebut cukup besar, maka akan mengakibatkan penurunan

harga saham perusahaan. Investor yang tidak menyukai pembagian dividen yang

tinggi lebih menyukai menginvestasikan kembali pembagian dividen tersebut. Ini

dimungkinkan karena kenaikan dividen yang besar mengakibatkan kenaikan tarif

pajak pendapatan sehingga pembayaran dividen tidak begitu menguntungkan

dibanding dengan kenaikan pajak yang dibayar. Dengan adanya kedua kelompok

investor tersebut maka perusahaan cenderung tidak melakukan perubahan

kebijakan dividen.

2.1.9 Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek salah satunya

adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan

mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki

(Wahyudi dan Pawestri, 2006). Dengan demikian salah satu tujuan utama
24

perusahaan adalah meningkatkan nilai perusahaan melalui kemakmuran pemilik

atau para pemegang saham. Harga pasar saham merupakan indikator atau

barometer dari kinerja perusahaan. Pelaku pasar akan menjadikan harga saham

sebagai sentral penilaian atas nilai perusahaan itu sendiri.

Christiawan dan Tarigan (2007) berpendapat adanya beberapa konsep

nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan, antara lain :

a. Nilai nominal yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar

perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan juga

ditulis jelas dalam surat saham kolektif.

b. Nilai pasar, sering disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses tawar-

menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham

perusahaan dijual di pasar saham.

c. Nilai intrinsik merupakan konsep yang paling abstrak, karena mengacu pada

perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai

intrinsik ini bukan sekedar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai

perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan

keuntungan di kemudian hari.

d. Nilai buku adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep

akuntansi. Secara sederhana dihitung dengan membagi selisih antara total

aktiva dan total utang dengan jumlah saham yang beredar.

e. Nilai likuidasi adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi

semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para
25

pemegang saham. Nilai likuidasi dihitung berdasarkan neraca performa yang

disiapkan ketika suatu perusahaan akan likuidasi.

Nurlela dan Islahuddin (2008) berpendapat bahwa nilai perusahaan

didefinisikan sebagai nilai pasar. Hal ini dikarenakan nilai perusahaan dapat

memberikan kemakmuran pemegang saham secara maksimum apabila harga

saham perusahaan meningkat. Semakin tinggi harga saham, maka semakin tinggi

kemakmuran pemegang saham. Untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para

pemodal menyertakan pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional

diposisikan sebagai manajer ataupun komisaris.

Perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut

dapat meningkatkan nilai perusahaan. Perusahaan dapat menggunakan informasi

tangggung jawab sosial sebagai keunggulan kompetitif perusahaan. Perusahaan

yang memiliki kinerja lingkungan dan sosial yang baik akan direspon positif oleh

investor melalui peningkatan harga saham. Apabila perusahaan memiliki kinerja

lingkungan dan sosial yang buruk, maka akan muncul keraguan dari investor

sehingga direspon negatif melalui penurunan harga saham perusahaan

(Rustriarini, 2010 dalam Riswari, 2012).

Nilai perusahaan dapat diukur dengan beberapa indikator, berikut ini

adalah 3 indikator yang sering digunakan untuk mengukur nilai perusahaan :

a. PER (Price Earning Ratio)

Pendekatan PER atau disebut juga pendekatan earnings multiplier

merupakan salah satu pendekatan yang populer, yang menggunakan nilai


26

earnings atau nilai laba perusahaan untuk memperkirakan nilai perusahaan

(Alwi, 2003:74).

b. Tobin’s Q

Rasio Tobin’s Q memasukkan semua unsur hutang dan modal saham

perusahaan, tidak hanya saham biasa saja dan tidak hanya ekuitas perusahaan

yang dimasukkan namun seluruh asset perusahaan. Dengan memasukkan

seluruh asset perusahaan berarti perusahaan tidak hanya terfokus pada satu tipe

investor saja yaitu investor dalam bentuk saham namun juga untuk kreditur

karena sumber pembiayaan operasional perusahaan bukan hanya dari

ekuitasnya saja tetapi juga dari pinjaman yang diberikan oleh kreditur

(Sukamulya, 2004 dalam Permanasari, 2010).

Jadi semakin besar nilai Tobin’s Q menunjukkan bahwa perusahaan

memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin

besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset

perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan

pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut (Sukamulya, 2004

dalam Permanasari, 2010).

c. PBV (Price to Book Value)

Hermuningsih dan Wardani (2009) menyatakan bahwa nilai perusahaan

lazim diindikasikan dengan price to book value. Price to Book Value (PBV)

merupakan rasio yang membandingkan harga pasar saham dengan nilai

bukunya. Alwi (2003:78) menyatakan bahwa PBV menggambarkan seberapa


27

besar pasar menghargai nilai buku saham suatu perusahaan. Makin tinggi rasio

ini, berarti pasar percaya akan prospek perusahaan tersebut.

Penelitian ini menggunakan rasio price book value (PBV). Price book

value adalah hasil dari perbandingan antara harga saham perusahaan dengan nilai

buku saham perusahaan. Dengan kata lain PBV merupakan rasio pasar yang

digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai buku saham

tersebut.

Menurut Weston dan bringham (2000) Price book value yang tinggi

mencerminkan tingkat kemakmuran para pemegang saham, dimana kemakmuran

bagi para pemegang saham merupakan tujuan utama dari perusahaan. Salah satu

indikator perusahaan yang berjalan dengan baik pada umumnya memiliki rasio

PBV lebih dari satu, yang mencerminkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari

nilai bukunya.

2.1.10 Price Earning Ratio

Price earning ratio menggambarkan apresiasi pasar terhadap

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba (Darmaji, 2001:139).

Sedangkan menurut Ang (1997: 24), “Price earning ratio merupakan

perbandingan antara harga pasarsuatu saham dengan earning per share (EPS) dari

saham yang bersangkutan”. Price earning ratio merupakan hubungan antara pasar

saham dengan earning per share saat ini yang digunakan secara luas oleh investor

sebagai panduan umum untuk mengukur nilai saham (Garrison, 1998:788). Price

earning ratio yang tinggi menunjukkan bahwa investor bersedia untuk membayar

dengan harga saham premium untuk perusahaan.


28

Berdasarkan pendapat diatas pengertian price earning ratio yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah rasio yang membandingkan antara harga

saham per lembar saham biasa yang beredar dengan laba per lembar saham.

Kegunaan price earning ratio adalah untuk melihat bagaimana pasar

menghargai kinerja perusahaan yang dicerminkan oleh earning per share nya.

price earning ratio menunjukkan hubungan antara pasar saham biasa dengan

earning per share. Makin besar price earning ratio suatu saham maka harga

saham tersebut akan semakin mahal terhadap pendapatan bersih per sahamnya.

Angka rasio ini biasanya digunakan investor untuk memprediksi kemampuan

perusahaan dalam menghasilkan laba dimasa yang akan datang (Prastowo,

2002:96).

Perusahaan dengan peluang tingkat pertumbuhan tinggi biasanya

mempunyai price earning ratio yang tinggi pula, dan hal ini menunjukkan bahwa

pasar mengharapkan pertumbuhan laba di masa mendatang. Sebaliknya

perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang rendah cenderung mempunyai

price earning ratio yang rendah pula. Semakin rendah price earning ratio suatu

saham maka semakin baik atau murah harganya untuk diinvestasikan. price

earning ratio menjadi rendah nilainya bisa karena harga saham cenderung

semakin turun atau karena meningkatnya laba bersih perusahaan. Jadi semakin

kecil nilai price earning ratio maka semakin murah saham tersebut untuk dibeli

dan semakin baik pula kinerja per lembar saham dalam menghasilkan laba bagi

perusahaan. Semakin baik kinerja per lembar saham akan mempengaruhi banyak

investor untuk membeli saham tersebut.


29

2.1.11 Debt to Equity Ratio

Debt to Equity Ratio (DER) merupakan salah satu rasio leverage yang

menunjukkan perbandingan antara total utang dengan ekuitas/modal sendiri.

Menurut Kasmir (2010:157) Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang

digunakan untuk mengetahui jumlah dana yang disediakan oleh kreditor dengan

pemilik perusahaan sehingga rasio ini berfungsi untuk mengetahui setiap rupiah

modal sendiri yang dijadikan jaminan hutang.

Horne dan Wachowiez (2012:169) menyatakan bahwa Debt to Equity

Ratio (DER) adalah rasio yang menunjukkan sejauh mana perusahaan dibiayai

oleh utang. Penggunaan rasio ini tergantung pada tujuan penggunaannya, saham

preferen kadang dimasukkan sebagai utang daripada sebagai ekuitas ketika rasio

utang dihitung, saham preferen mewakili klaim awal atas investor saham biasa,

akibatnya para investor dapat memasukkan saham preferen sebagai utang ketika

menganaliasis perusahaan.

Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Debt to

Equity Ratio (DER) merupakan rasio yang menyatakan perbandingan utang dan

ekuitas dalam proses pembiayaan perusahaan dan memperlihatkan sejauh mana

perusahaan dibiayai oleh utang.

2.1.12 Dividend Payout Ratio

Menurut Gitman (2006:597) kebijakan dividen perusahaan adalah “A

plan of action to be followed wherever on dividend decision is made”. Sedangkan

Lee dan Finerty (1990) dalam Arifah (2015) mengartikan kebijakan dividen

sebagai suatu keputusan perusahaan apakah akan membagikan earnings yang


30

dihasilkan kepada para pemegang saham atau akan menahan earnings untuk

kegiatan reinvestasi dalam perusahaan.

Dengan demikian, kebijakan dividen merupakan penggunaan laba bersih

setelah pajak yang akan dibagikan kepada para pemegang saham dan berapa besar

bagian laba bersih yang akan digunakan untuk membiayai investasi perusahaan.

Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba yang diperolehnya dalam

bentuk dividen, maka akan mengurangi retained earnings dan selanjutnya

mengurangi total sumber dana internal. Sebaliknya, jika perusahaan memilih

untuk menahan laba yang diperolehnya, maka kemampuan pembentukan dana

internal akan semakin besar.

Menurut Indriyono dan Basri (2002: 232), “dividend payout ratio adalah

perbandingan antara dividen yang dibayarkan dengan laba bersih yang didapatkan

dan biasanya disajikan dalam bentuk persentase”. Semakin tingginya dividend

payout ratio akan menguntungkan para investor tetapi dari pihak perusahaan akan

memperlemah internal financial karena memperkecil laba ditahan.Tetapi

sebaliknya, dividend payout ratio semakin kecil akan merugikan para pemegang

saham (investor) tetapi internal perusahaan semakin kuat.

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Sartini & Purbawangsa (2014) dengan

judul “Pengaruh Keputusan Investasi, Kebijakan Dividen, Serta Keputusan

Pendanaan Terhadap Nilai Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia”.

Sampel terdiri dari 20 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia selama periode tahun 2009-2011. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
31

bahwa keputusan investasi yang diproksikan dengan PER berpengaruh positif

signifikan terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan PBV,

mengindikasikan bahwa semakin tinggi PER yang diambil oleh perusahaan maka

terjadi kecenderungan semakin tinggi harga saham perusahaan. Keputusan

pendanaan yang diproksikan dengan DER berpengaruh positif signifikan terhadap

nilai perusahaan yang diproksikan dengan PBV, mengindikasikan bahwa

keputusan perusahaan mengenai komposisi pendanaan yang akan digunakan akan

mempengaruhi nilai perusahaan. Kebijakan dividen yang diproksikan dengan

DPR berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan, mengindikasikan

bahwa semakin tinggi pembagian dividen kepada pemegang saham, maka akan

terjadi kecenderungan harga saham perusahaan meningkat.

Penelitian oleh Sari & Wijayanto (2015) yang berjudul “Pengaruh

Keputusan Investasi, Pendanaan, Dan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan Dengan

Risiko Sebagai Variabel Mediasi”. Sampel terdiri dari 60 perusahaan manufaktur

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2011-2013. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa keputusan investasi yang diproksikan dengan PER

mempunyai pengaruh positif terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan

PBV. Hal ini menandakan bahwa semakin besar keputusan investasi yang

dikeluarkan oleh perusahaan akan berdampak pada peningkatan nilai perusahaan

manufaktur. Keputusan pendanaan yang diproksikan dengan DER berpengaruh

positif terhadap nilai perusahaan yang dproksikan dengan PBV. Artiya semakin

besar keputusan pendanaan yang dikeluarkan oleh perusahaan akan berdampak

terhadap peningkatan nilai perusahaan. kebijakan dividen yang diproksikan


32

dengan DPR tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diproksikan

dengan PBV. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peningkatan atau

penurunan kebijakan dividen perusahaan manufaktur tidak memberikan dampak

apapun terhadap nilai perusahaan.

Widodo (2016) dengan penelitian yang berjudul “Pengaruh Keputusan

Investasi, Pendanaan, Dan Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan”.

Populasi penelitian adalah perusahaan consumer goods di BEI Tahun 2010-2014.

Sampel diperoleh sebanyak 12 perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

keputusan investasi (PER) berpengaruh positif signifikan terhadap nilai

perusahaan (PBV). Hal ini menunjukkan jika manajer berhasil menciptakan

keputusan investasi yang tepat maka aset yang diinvestasikan akan menghasilkan

kinerja yang optimal sehingga memberikan suatu sinyal positif kepada investor

yang nantinya akan meningkatkan harga saham dan nilai perusahaan. Keputusan

pendanaan (DER) berpengaruh tidak signifikan terhadap nilai perusahaan (PBV).

Hal ini disebabkan karena hutang merupakan salah satu sumber pembiayaan yang

memiliki tingkat risiko yang tinggi. Dengan asumsi apabila perusahaan

menghasilkan laba, prioritas utama adalah membayar hutang dari pada

mensejahterakan kemakmuran pemegang saham, sehingga nilai perusahaan akan

menurun. Kebijakan dividen (DPR) berpengaruh signifikan terhadap nilai

perusahaan (PBV) dengan arah koefisien bernilai positif. Hal ini menunjukkan

dividen yang tinggi akan membuat para investor tertarik sehingga meningkatkan

permintaan saham.
33

Penelitian oleh Rafika & Santoso (2017) yang berjudul “Pengaruh

Keputusan Investasi, Keputusan Pendanaan, Dan Kebijakan Dividen Terhadap

Nilai Perusahaan”. Sampel terdiri dari 10 perusahaaan food and beverages yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama tahun 2012-2015. Hasil pengujian

menunjukkan bahwa keputusan investasi (PER) berpengaruh positif signifikan

terhadap nilai perusahaan. Bagi para investor semakin tinggi price earning ratio,

maka pertumbuhan laba yang diharapkan juga akan mengalami peningkatan,

sehingga investor bersedia untuk membayar lebih untuk saham perusahaan dengan

PER yang lebih tinggi. Keputusan pendanaan (DER) berpengaruh positif

signifikan terhadap nilai perusahaan. Jadi, apabila nilai debt to equity ratio (DER)

mengalami kenaikan maka price book value (PBV) juga akan mengalami

kenaikan. Kebijakan dividen (DPR) berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai

perusahaan. Pengaruh kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan menunjukkan

jika kebijakan dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham meningkat,

maka nilai perusahaan akan menurun, dan sebaliknya.

Penelitian oleh Nelwan & Tulung (2018) dengan judul “Pengaruh

Kebijakan Dividen, Keputusan Pendanaan Dan Keputusan Investasi Terhadap

Nilai Perusahaan Pada Saham Bluechip Yang Terdaftar Di Bei”. Sampel terdiri

dari 11 perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2012-2016. Berdasarkan hasil

pengujian yang dilakukan diketahui bahwa keputusan investasi (PER)

berpengaruh positif signifikan terhadap Nilai Perusahaan (PBV). Hal ini

disebabkan karena nilai perusahaan semata-semata ditentukan oleh keputusan

investasi, untuk mencapai tujuan perusahaan, yaitu maksimalisasi nilai perusahaan


34

dapat dicapai melalui kegiatan investasi perusahaan. Keputusan pendanaan (DER)

berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan (PBV). Keputusan

pendanaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan karena apabila ada pajak

penghasilan perusahaan maka penggunaan hutang akan meningkatkan nilai

perusahaan, karena biaya hutang merupakan biaya yang mengurangi pembayaran

pajak. Kebijakan dividen (DPR) positif tidak berpengaruh signifikan terhadap

nilai perusahaan (PBV). Meningkatnya nilai dividen tidak selalu diikuti dengan

meningkatnya nilai perusahaan. Karena nilai perusahaan ditentukan oleh

kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dari asset-asset perusahaan atau

kebijkan investasinya.

Salama, et.al (2019) dengan judul “Pengaruh Keputusan Investasi,

Keputusan Pendanaan Dan Kebijakan Dividen Terhadap Nilai Perusahaan Pada

Industri Perbankan Yang Terdaftar Di Bei Periode 2014-2017”. Jumlah sampel

yang didapat sebanyak 8 perusahaan. Hasil penelitian menemukan bahwa

keputusan investasi (PER) tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan

(PBV) pada industri perbankan. Tidak berpengaruhnya keputusan investasi

disebabkan adanya faktor ketidakpastian dimasa depan, ketidakpastian tersebut

berupa adanya perubahan teknologi, kondisi sosial ekonomi maupun kebijakan-

kebijakan pemerintah. Keputusan pendanaan (DER) tidak berpengaruh signifikan

terhadap nilai perusahaan (PBV) pada industri perbankan. Tidak berpengaruhnya

keputusan pendanaan disebabkan oleh adanya kekhawatiran investor akan risiko

kebangkrutan akibat penggunaan utang sebagai sumber pendanaan sehingga

menurunkan minat investor untuk berinvestasi. Kebijakan dividen (DPR)


35

berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan (PBV) pada industri

perbankan. Berpengaruhnya kebijakan dividen disebabkan investor menilai bahwa

kinerja perusahaan tersebut baik, karena setiap investor menginginkan keuntungan

dari apa yang telah di investasikan diperusahaan.

Peneltian oleh Ahmad, et.al (2020) yang berjudul “Pengaruh Keputusan

Investasi, Keputusan Pendanaan, Kebijakan Dividen, Dan Ukuran Dewan

Komisaris Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur Yang

Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2016-2018”. Sampel terdiri dari 70

perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Keputusan investasi (PER)

berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan (PBV), Ukuran dewan

komisaris berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan, dimana jika

nilai variabel bebas mengalami kenaikan maka akan terjadi kenaikan pada

variabel terikat. Keputusan pendanaan (DER) berpengaruh negatif tidak signifikan

terhadap nilai perusahaan (PBV), Kebijakan dividen (DPR) berpengaruh negatif

tidak signifikan terhadap nilai perusahaan (PBV) dimana jika nilai variabel bebas

mengalami kenaikan maka akan terjadi penurunan pada variabel terikat.

Anda mungkin juga menyukai