Anda di halaman 1dari 11

MANAJEMEN STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA

MARITIM DI INDONESIA

Mayor Laut (P) Ari Widodo

Perwira Mahasiswa Dikreg Seskoal Angkatan ke-59 TA 2021

Abstrak

Penelitian ini akan mengkaji tentang potensi dan pengelolaan sumberdaya laut masyakarat
pesisi. Tujuan dari pembangunan sumberdaya laut berkelanjutan adalah: Dalam perspektif
bertujuan untuk menyiapkan wilayah pertahanan laut dan kekuatan pendukungnya secara dini
dalam rangka memenangkan peperangan. Dalam perspektif kepentingan masyarakat
bertujuan untuk membantu mengatasi kesulitan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat maritim. Dalam perspektif kepentingan TNI bertujuan untuk tercapainya tugas
pokok TNI Angkatan Laut, dalam meningkatkan pertahanan negara. Tujuan umum dari
penelitian ini adalah menganalisis implikasi pembangunan sumberdaya laut berkelanjutan
Dalam Meningkatkan sistem tata kelola maritim. Penelitian menggunakan metode kualitatif.
Data diperoleh dari para informan yang ditetapkan dan selanjutnya dianalisis dengan teknik
analisis kualitatif.

Kata Kunci: Strategi Pengelolaan, Sumberdaya Pesisir Laut dan Sistem Tata Kelola Maritim

PENDAHULUAN

Sumber daya laut di Indonesia memiliki tingkat biodiversitas yang sangat tinggi.Hal
ini dibuktikan dengan sebutan Indonesia sebagai Marine Mega-Biodiversity terbesar di dunia.
Indonesia memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut dan 950 spesies biota
terumbu karang. Tiga puluh tujuh persen spesies ikan di dunia dapat ditemukan di Indonesia
dan beberapa spesies ikan tersebut memiliki nilai ekonomis tinggi.Ikan-ikan dengan nilai
ekonomis tinggi seperti tuna, cakalang, udang, tenggiri, kakap, cumi-cumi dan ikan-ikan
karang seperti kerapu, baronang dan lobster. Sedangkan untuk potensi perikanan tangkap laut
sekitar 6,5 juta ton/tahun, perikanan budidaya air payau mencapai 2,9 juta hektar dan potensi
budidaya laut mencapai 12,55 juta hektar (Sutardjo, 2014).

Namun sangat disayangkan melihat kenyataan bahwa sumber daya laut yang
melimpah tersebut belum bisa dimanfaatkan secara maksimal untuk mesejahterakan
negara.Sektor maritim tergolong sangat tertinggal mulai dari pemanfaatan sumber daya,
teknologi, tingkat kemiskinan dan keterbelakangan nelayan. Munculnya permasalahan-
permasalahan tersebut disebabkan oleh persoalan yang bersifat strukturat dan Indonesia saat
ini memiliki kecenderungan mengutamakan pertumbuhan ekonomi di sektor non maritim
(Puspitarini & Yunus, 2019).Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi mengenai kelautan
dan kemaritiman di Indonesia sangat kurang dan tertinggal. Penelitian-penelitian ilmiah
kelautan dan kemaritiman pun belum mampu memberikan banyak kontribusi pada
masyarakat dan belum mampu memberikan saran kebijakan yang praktis untuk pembangunan
kelautan dan kemaritiman Indonesia (Asmara, 2012).

Laut, pesisir, dan sungai merupakan urat nadi yang menjadi kekuatan bangsa ini sejak
dulu. Di tiga wilayah ini pelabuhan-pelabuhan besar dibangun yang diramaikan dengan
aktivitas pedagang dari berbagai pulau di Nusantara dan dari belahan dunia. Hal itu membuat
perekonomian dan peradaban maju dan berkembang. Kemampuan mengelola maritim itu
disadari oleh Belanda, karena itu Belanda mendesak pribumi menjauhi laut menuju daratan
hingga pegunungan. Sejak itu pertanian daratan menjadi berkembang.

Budaya maritim menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat,
khususnya yang terkait dengan maritim dan kelautan. Para nelayan dan masyarakat pesisir,
misalnya, memiliki kearifan lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya laut,
sehingga keberlanjutan sumber kehidupan mereka tetap terjamin hingga ke anak cucu. Salah
satu bukti warisan budaya sebagai bangsa pelaut yang hingga kini masih ada adalah Kapal
Pinisi.

Potensi maritim dan kelautan yang begitu besar seharusnya dimanfaatkan untuk
menyejahterakan masyarakat. Namun, kenyataannya potensi itu belum dimanfaatkan dengan
optimal. Hal itu berkontribusi pada angka kemiskinan yang masih tinggi. Sebagian
diantaranya adalah nelayan dan masyarakat pesisir terkait yang tergolong kelompok paling
miskin. Eksploitasi dan kegiatan ilegal terhadap sumberdaya laut tanpa memperhatikan
keberlanjutan memperburuk tingkat kesejahteraan dan kehidupan nelayan, khususnya nelayan
kecil dan nelayan tradisional. Pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan asing, misalnya, di
samping mengurangi pendapatan nelayan, juga merugikan negara. Pencemaran laut dan
kerusakan mangrove dan terumbu karang juga menambah masalah di sektor kelautan.
Berdasarkan isu tersebut, perlu adanya tata kelola maritim secara terpadu serta bentuk
implementasi pembangunan berkelanjutan diperlukan untuk mengelola sumber daya laut di
Indonesia. Sehingga tujuan untuk mengedepankan kesejahteraan bangsa dan negara untuk
kedaulatan negara melalui sektor kemaritiman dapat tercapai.

TUJUAN LITERATUR

Strategi Pengelolaan

Kata strategi berasal dari kata Strategos dalam bahasa Yunani merupakan gabungan
dari Stratos atau tentara dan ego atau pemimpin. Suatu strategi mempunyai dasar atau skema
untuk mencapai sasaran yang dituju. Jadi pada dasarnya strategi merupakan alat untuk
mencapai tujuan jangka panjang. Menurut Marrus (2002), strategi didefinisikan sebagai suatu
proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang
organisasi, disertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat
dicapai. Selanjutnya Quinn (1999), mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana
yang mengintegrasikan tujuan-tujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan
dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Strategi diformulasikan dengan
baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumberdaya yang dimiliki perusahaan
menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan.

Secara umum konsep strategi pengelolaan diartikan sebagai suatu rangkaian kebijakan
atau tindakan yang dilakukan secara terus menerus, dengan manfaatkan peluang, ancaman
dan sumberdaya serta kemampuan yang dimiliki, pada setiap tahap perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya secara berkelanjutan. Dengan demikian pengamatan lingkungan eksternal dan
internal merupakan proses awal dari konsep strategi pengelolaan, dilanjutkan dengan
perencanaan yang keberadaanya diperlukan untuk memberikan arah dan patokan dalam suatu
kegiatan. Pengorganisasian berkaitan dengan penyatuan seluruh sumberdaya dan kemampuan
yang ada untuk bersinergi dalam mempersiapkan pelaksanaan kegiatan. Tahap selanjutnya
adalah pengarahan dan pelaksanaan kegiatan yang selalu berpedomaan pada perencanaan
yang telah ditetapkan. Tahap terakhir adalah pengawasan yang meliputi kegiatan monitoring
dan evaluasi untuk memperbaiki program kegiatan berikutnya sehingga tujuan yang telah
direncanakan tercapai dengan baik.

Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut

Daerah pesisir dan laut memiliki berbagai macam keanekaragaman hayati yang
mempunyai peranan dan fungsi masing-masing dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Keanekaragaman hayati tersebut merupakan potensi sumberdaya yang mampu menyokong
kehidupan masyarakat pesisir dalam peningkatan kualitas kehidupan yang lebih baik.
Sumberdaya pesisir dan laut secara garis besar dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: sumber
daya alam hayati, non hayati (mineral), dan energi. Ketiga jenis sumberdaya tersebut
merupakan kekayaan alam yang potensial untuk dikembangkan dan dikelola sebagai sektor
pembangunan andalan di masa datang.

Suatu wilayah pesisir, di dalamnya terdapat satu atau lebih sistem lingkungan
(ekosistem) dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan
(man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu
karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy
beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuari, laguna dan delta. Ekosistem buatan
antara lain berupa; tambak sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri,
kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman. Sumberdaya pesisir merupakan salah satu
kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat, akan tetapi pemanfaatan
sumberdaya tersebut sampai saat ini kurang memperhatikan kelestariannya, akibatnya terjadi
penurunan fungsi, kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada.

Sumberdaya yang dapat pulih terdiri dari berbagai sumberdaya perikanan (plankton,
benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun
(seagrass), hutan mangrove dan terumbu karang, termasuk kegiatan budidaya pantai dan
budidaya laut (marine culture).
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut

Pengelolaan sumberdaya alam adalah usaha manusia dalam mengubah ekosistem


untuk memperoleh manfaat maksimal, dengan mengupayakan kesinambungan produksi dan
menjamin kelestarian sumberdaya tersebut (Afiati, 1999). Pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut pada hakekatnya adalah suatu proses pengontrolan tindakan manusia atau
masyarakat di sekitar kawasan pesisir agar pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan
secara bijaksana dengan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan (Supriharyono, 2002).

Dalam pengelolaan lingkungan sumberdaya pesisir tidaklah bersifat serta merta atau
latah, namun kita perlu mengkaji secara mendalam isu dan permasalahan mengenai
sumberdaya yang hendak dilakukan pengelolaan. Penting atau tidaknya sumberdaya alam
yang ada, potensi dan komponen sumberdaya mana yang perlu dilakukan pengelolaan dan
apakah terdapat potensi dampak perusakan lingkungan, serta untung atau tidaknya
sumberdaya tersebut bagi masyarakat merupakan pertimbangan penting dalam pengelolaan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakanan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif


merupakan penelitian yang dilakukan untuk mencari makna, pemahaman, pemngertian
tentang suatu fenomena, kejadian, maupun kehidupan manusia dalam setting atau latar
alamiah, kontekstual dan menyeluruh. Dalam hal ini, peneliti kualitiaitif berupaya mengerti
makna dari suatu peristiwa. Pemahaman makna tentang sesuatu dalam penelitian kualitatif
selalu menempatkan subjek penelitian dalam posisi yang sama dengan peneliti (Yusuf, 2014).

Penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif, sehingga disebut juga dengan deskriptif
kualitatif. Penelitian dengan format deskriptif kualitatif (Bungin,2017) bertujuan untuk
menggambarkan, meringkas berbagai kondisi atau realitas sosial yang ada di masyarakat
yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena
bertujuan untuk memberikan deskripsi dan mengungkapkan makna serta melihat proses
tentang pembangunan sumber daya laut berkelanjutan, dimana pembinaan yang dilakukan
berbasis budaya lokal dalam sistem tata kelola maritim.

Sumber data pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
Primer merupakan sekumpulan infomasi yang diperoleh secara langsung dari informan
berdasarkan wawancara dan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti. Data sekunder
merupakan sekumpulan data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung, yaitu data atau
informasi yang telah dikumpulkan oleh orang lain (Martono,2015). Data sekunder diperoleh
melalui berbagai tulisan yang relevan dengan penelitian.

Pada penelitian kualitatif, instrument penelitian utama adalah manusia, yaitu peneliti.
Peneliti dapat meminta bantuan orang lain untuk membantu melakukan wawancara yang
disebut dengan pewawancara (Afrizal,2014). Dalam mengumpulkan data di lapangan,
peneliti memerlukan instrumen tambahan yang dapat membantu pengumpulan data lebih
efektif. Instumen tersebut dapat berupa pedoman wawancara, alat perekan, alat tulis, kamera
untuk dokumentasi kegiatan, dan alat-alat lainnya yang relevan. Teknik pengumpulan data
pada penelitian ini dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi kepustakaan.

HASIL DISKUSI

Implementasi Pembangunan Sumber Daya Laut Berkelanjutan

Pengaturan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab (responsible fisheries)


tidak saja mendapatkan pengaturan secara nasional tetapi juga pengaturan secara
internasional. Pemanfaatan sumber daya ikan yang terdapat di ZEE sesuai dengan amanah
UNCLOS III, maka dalam rangka konservasi sumber daya ikan, Indonesia menetapkan
bahwa diizinkannya negara lain dapat berpartisipasi di ZEE Indonesia jika JTB untuk jenis
tersebut melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya. Sehingga pemanfaatan
yang melibatkan negara lain tetap dalam koridor pengelolaan yang didasarkan pada
ketersediaan objeknya (sumber daya ikan). Pada prinsipnya pengaturan sumber daya ikan
secara nasional berlandaskan pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagai berikut
(FAO,1995): Pasal 5 (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia, LNRI Tahun 1983 Nomor 44, TLNRI Nomor 3260. Bandingkan Pasal
61 ayat (1) dan Pasal 62 ayat (1,2).

1. meningkatkan taraf hidup nelayan kecil,


2. meningkatkan penerimaan dan devisa negara,
3. mendorong perluasan dan kesempatan kerja,
4. meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan,
5. mengoptimalkan pengelolaan sumber daya ikan,meningkatkan produktivitas, mutu,
nilai tambah dan daya saing,
6. meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan,
7. mencapai pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungan sumber daya ikan secara
optimal dan menjamin kelestarian sumber daya ikan.

Selanjutnya dalam penjabaran ketentuan Pasal 6 ayat (1) tersebut di atas oleh
pemerintah Indonesia telah diatur dan ditetapkan potensi sumber daya ikan dan JTB menurut
kelompok jenis ikan dan wilayah pengelolaan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia (WPP). Dalam rangka pengelolaan perikanan yang menjamin kelestarian sumber
daya ikan di lingkungan seluruh Indonesia, wilayah pengelolaan perikanan kemudian diubah
dari 9 WPP menjadi 11 WPP. Sesuai dengan amanah UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka Menteri
menindaklanjuti dengan menetapkan ketentuan pengelolaan perikanan. Dalam rangka
mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan tersebut, Menteri menetapkan:

1. rencana pengelolaan perikanan;


2. potensi dan alokasi sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia;
3. jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia; potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
4. jenis, jumlah dan ukuran alat penangkapan ikan;
5. jenis, jumlah, ukuran dan penempatan alat bantu penangkapan ikan;
6. daerah, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan;
7. persyaratan atau standar prosedur
8. pelabuhan perikanan;
9. sistem pemantauan kapal perikanan;
10. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan serta lingkungannya;
11. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
12. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap;
13. kawasan konservasi perairan;
14. jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan
dari wilayah Negara Republik Indonesia; dan
15. jenis ikan yang dilindungi

Konsep pembangunan perikanan berkelanjutan telah dipesankan dalam CCRF bahwa


pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab adalah pengelolaan yang dapat menjamin
keberlanjutan perikanan dengan suatu upaya agar terjadi keseimbangan antara tingkat
eksploitasi dengan sumber daya ikan. Kepentingan keberlanjutan perikanan tidak hanya
untuk kepentingan pemerintah saja, tetapi justru kepentingan pengguna perikanan yang
mempunyai kaitan langsung dengan perikanan.

Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya yang bertujuan untuk


mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama pada aspek utama
pembangunan, yang meliputi tidak hanya aspek ekonomi, tetapi termasuk aspek yang
melingkupinya, yaitu termasuk aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Aspekaspek
utama tersebut harus dipandang sebagai terkait erat satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari
kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan
lainnya.

Pembangunan perikanan berkelanjutan sebagai upaya yang bertujuan untuk


mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama pada aspek utama
pembangunan, yang meliputi sistem perairan (aquatic system), sistem manusia (human
system), dan sistem kelembagaan dan kebijakan perikanan (institutional and policy system).
Dapat dicontohkan pada saat terjadinya kekosongan hukum pengaturan perikanan
internasional yang terjadi sekitar tahun tujuh puluhan, yang diakibatkan tidak dapat
dipertahankannya kesepakatan UNCLOS I dan tidak dicapainya kata sepakat dalam
UNCLOS II (Josef, 1996). Apa yang terjadi pada saat itu, tidak dapat dihentikannya
pengeksploitasian sumber daya ikan secara besar-besaran ketika perikanan dunia sudah
menjadi sektor industri pangan yang berkembang dengan pesat dan digerakkan oleh pasar.
Akibatnya dalam beberapa tahun kemudian, ketersediaan sumber daya ikan tidak dapat lagi
memenuhi kebutuhan akan permintaan pasar. Keadaan ini mendesak diperlukan upaya
pengaturan konservasi sumber daya ikan.
Sistem Tata Kelola Maritim

Sistem tata kelola maritim Bangsa Indonesia selama ini masih belum terpadu, masih
bersifat sektoral oriented, dan fragmented, sehingga pelaksanaannya sering terjadi tumpang
tindih. Semua ini disebabkan belum adanya grand design pembangunan bidang kemaritiman
dan kelautan Indonesia yang melibatkan peran semua stakeholders secara rinci dan terpadu.
Sistem tata kelola maritim nasional harus terintegrasi, komprehensif, efektif dan efisien
dengan harmonisasi sistem hukum nasional di bidang kemaritiman dan pembangunan sistem
tata pemerintahan di bidang kelautan tingkat daerah maupun pusat juga harus dilakukan
secara efisien dan terintegrasi.

Melihat potensi konflik perairan di kawasan Asia Pasifik yang melibatkan dua negara
besar yakni Tiongkok dan Amerika, ada persaingan pengaruh langsung di Samudera Hindia
dan Laut Cina Selatan, dimana Indonesia berada di tengah-tengahnya memungkinkan
eskalasi ketegangan kawasan di Asia Pasifik. Konsep Indonesia sebagai negara maritim harus
mampu memanfaatkan wilayah laut sebagai pengembangan kekuatan geopolitik, kekuatan
militer, kekuatan ekonomi, hingga kekuatan budaya bahari. Kondisi geografis dan
demografis Indonesia membawa konsekuensi munculnya berbagai tantangan nyata bagi
Indonesia yang harus dikelola secara komprehensif.

Membangun infrastruktur maritim seperti pelabuhan-pelabuhan yang menjadi simpul


aktivitas perdagangan dan penyediaan sarana perhubungan berstandar internasional, serta
sarana jasa penunjang aktivitas perdagangan di kawasan pinggiran Indonesia. Konektivitas
harus menjadi tulang punggung pembangunan yang Indonesiasentris, bukan Jawasentris.
Pengembangan wilayah dan peningkatan aktivitas ekonomi memerlukan tata ruang laut yang
komprehensif untuk mendukung pemanfaatan sumber daya kelautan secara optimal dan
berkelanjutan. Tata ruang laut akan memberikan kepastian hukum dan alokasi ruang bagi
pemanfaatan sumber daya kelautan sehingga tidak ada tumpang tindih pemanfaatan di lokasi
yang sama.

Sumber daya alam hayati di laut Indonesia seperti perikanan perlu dijaga dengan
baik dari praktik-praktik perikanan yang tidak lestari seperti Illeqal Unreported and
Unregulated Fishing (IUUF) dan fisheries crimes baik dilakukan asing maupun domestik.
Selain itu, budi daya perikanan laut (marine aquaculture) termasuk juga rumput laut perlu
dikembangkan secara maksimal dan kekayaan laut di bidang perikanan perlu dimanfaatkan
untuk kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan minyak, gas, mineral, arus, dan ombak untuk
keperluan energi dan mineral masa depan. Sumber daya alam nonhayati yang tidak
terbarukan seperti minyak, gas, dan mineral, serta sumber daya alam nonhayati yang
terbarukan seperti energi angin, arus, dan ombak masih belum dimanfaatkan secara optimal
oleh bangsa Indonesia.

Hasil tambang energi dan mineral dasar laut, memiliki nilai ekonomi yang sangat
tinggi bagi kemajuan dan kesejahteraan Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus terus
menyediakan data, baik secara tekstual maupun geospasial dalam bentuk peta geologi,
oseanografi, hidrografi, dan keanekaragaman hayati, serta data tentang kandungan kekayaan
perairan Indonesia, terutama di laut dalam Indonesia. Indonesia juga menghadapi tantangan
untuk menambah luas yurisdiksi landas kontinen di luar 200 mil laut dan mampu
melakukan eksplorasi di wilayah “The Area” yang berada di luar perairan intemasional.
Usaha ini harus dilakukan bersama-sama dengan usaha mengembangkan kemampuan sumber
daya manusia, kemampuan pendanaan, serta kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk mengelola sumber daya alam pada kawasan dasar laut internasional.

Pengembangan jasa logistik pelabuhan, galangan kapal, dan wisata bahari. Ekonomi
maritim Indonesia tidak hanya dari kekayaan sumber daya alam hayati dan nonhayati, tetapi
juga harus mengembangkan bidang jasa logistik pelabuhan kapal niaga, kapal perintis, dan
kapal pesiar, wisata bahari, serta galangan kapal modern dan tradisional yang mencerminkan
tradisi bahari, ahli navigasi, pelaut, dan awak kapal. Pengembangan sektor jasa tersebut
memerlukan upaya tersendiri, baik dari sisi teknologi, kapasitas sumber daya manusia
maupun akses pendanaannya. Kegiatan jasa kemaritiman dan eksploitasi sumber daya alam
hayati dan nonhayati secara langsung dalam jangka pendek dan jangka panjang dapat
membawa dampak pencemaran lingkungan hidup dan perusakan keanekaragaman hayati.
Luas laut Indonesia juga membawa konsekuensi polusi dari wilayah negara lain, baik polusi
darat, polusi kapal maupun anjungan dari kegiatan eksploitasi sumber daya alam.

Penghitungan ekonomi maritim pada tingkat nasional diperlukan untuk menilai


secara objektif besaran ekonomi maritim Indonesia secara menyeluruh, termasuk kontribusi
sektor maritim pada Produk Domestik Bruto (PDB). Perhitungan tersebut digunakan sebagai
dasar perencanaan pembangunan kelautan. Gerakan desentralisasi kelautan berawal dari era
reformasi, dimana pemerintah daerah provinsi diberi kewenangan mengelola sumber daya
kelautan, termasuk pulau-pulau kecil dalam radius 12 mil laut, serta kabupaten/kota diberikan
hak bagi hasil laut dari pengelolaan sumber daya kelautan dalam wilayah 4 mil laut. Di
samping itu pemerintah daerah dan masyarakat secara terukur dilibatkan dalam pengawasan
wilayah laut. Hal tersebut, perlu mendapatkan perhatian khusus dalam desain hubungan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta masyarakat dalam kaitannya dengan rancang
bangun kelembagaan pusat dan daerah.

Perkembangan lingkungan strategis Indonesia mengalami perubahan pesat yang


tidak pernah terbayangkan satu dekade lalu. Kondisi geopolitik dan geostrategik di Asia
Timur dan Asia Tenggara yang diwarnai oleh sejumlah ketegangan berpotensi berkembang
menjadi sumber konflik baru yang dapat mengganggu ketahanan regional. Untuk itu,
Indonesia harus mampu menunjukkan kepemimpinan (leadership) dalam bidang kelautan
regional dan global, meningkatkan kerja sama bilateral dengan negara-negara strategis, serta
memainkan peran kepemimpinan dalam menciptakan suatu arsitektur keamanan di Asia.
Dimensi maritim yang kuat harus mampu mewakili implementasi politik luar negeri bebas
aktif yang tercermin dalam sumber daya diplomasi yang memadai.

Kemampuan nasional dalam pendidikan maritim, serta penguasaan dan


pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan, dimulai dari penyiapan SDM melalui
pendidikan menengah dan tinggi yang diwujudkan dengan pemberian beasiswa sekolah
teknis maritim sampai dengan peningkatan kapasitas riset dan pengembangan. Di samping
itu, dalam rangka penyiapan sumber daya manusia bidang kelautan dan peningkatan
kemampuan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan juga strategi untuk
meningkatkan keseimbangan kualitas sumber daya manusia sektor kelautan antarwilayah di
Indonesia, terutama di wilayah pinggiran dan Indonesia Bagian Timur. Sasaran sebagai misi
dari Kebijakan Kelautan Indonesia, yaitu:

1. Terkelolanya sumber daya kelautan secara optimal dan berkelanjutan;


2. Terbangunnya kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi
kelautan yang andal;
3. Terbangunnya pertahanan dan keamanan kelautan yang tangguh;
4. Terlaksananya penegakan kedaulatan, hukum, dan keselamatan di laut;
5. Terlaksananya tata kelola kelautan yang baik;
6. Terwujudnya kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang merata;
7. Terwujudnya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan industri kelautan yang berdaya
saing;
8. Terbangunnya infrastruktur kelautan yang andal;
9. Terselesaikannya aturan tentang tata ruang laut;
10. Terlaksananya pelindungan lingkungan laut;
11. Terlaksananya diplomasi maritim; dan
12. Terbentuknya wawasan identitas, dan budaya bahari.
Kebijakan sumber daya kelautan bertujuan untuk mendorong pemanfaatan dan
pengusahaan sumber daya kelautan secara optimal dan berkelanjutan melalui penerapan
prinsip ekonomi biru. Pertumbuhan ekonomi di bidang kelautan diwujudkan melalui
pembangunan berkelanjutan yang efisien, bernilai tambah, inklusif, dan inovatif sebagai
penunjang seluruh aktivitas ekonomi yang meliputi perdagangan barang, jasa, dan investasi
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Program-program utama dalam melaksanakan
strategi pengelolaan sumber daya kelautan, sebagai berikut:

a. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan secara lestari;


b. Peningkatan pengolahan, pemasaran, nilai tambah, serta standar dan keselamatan produk
kelautan dan perikanan;
c. Peningkatan pelindungan terhadap kelestarian keanekaragaman hayati laut melalui
konservasi ekosistem, jenis, dan genetik;
d. Pengembangan dan pemanfaatan energi dan sumber daya mineral sesuai dengan pnnsip
ekonomi biru dengan memperhatikan teknologi ramah lingkungan;
e. Pemanfaatan secara berkelanjutan sumber daya alam nonkonvensional berdasarkan
prinsip kelestarian lingkungan;
f. Pengembangan pariwisata bahari berkelanjutan dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat lokal, kearifan tradisional, kawasan konservasi perairan, dan kelestarian
lingkungan;
g. Pengembangan industri bioteknologi kelautan dan biofarmakologi laut dengan
pemanfaatan potensi keanekaragaman hayati;
h. Peningkatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil
secara seimbang dan berkelanjutan; dan
i. Penguatan sistem data dan informasi kelautan, inventarisasi, dan evaluasi sumber daya
kelautan.

KESIMPULAN

Sumberdaya pesisir dan laut merupakan ekosistem yang sangat strategis bagi
pembangunan nasional, maka dalam penetapan program dan kebijakannya harus diupayakan
adanya efisiensi dalam pemanfaatan ruang dan sumberdaya pesisir, peningkatan
pendapatan/kesejahteraan masyarakat pesisir, member-dayakan masyarakat pesisir, dan
memperkaya dan meningkatkan mutu sumberdaya alam.

Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya yang bertujuan untuk


mensinkronkan, mengintegrasikan, dan memberi bobot yang sama pada aspek utama
pembangunan, yang meliputi tidak hanya aspek ekonomi, tetapi termasuk aspek yang
melingkupinya, yaitu termasuk aspek sosial budaya dan aspek lingkungan hidup. Aspekaspek
utama tersebut harus dipandang sebagai terkait erat satu sama lain, sehingga unsur-unsur dari
kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan
lainnya.

Kondisi geografis dan demografis Indonesia membawa konsekuensi munculnya


berbagai tantangan nyata bagi Indonesia yang harus dikelola secara komprehensif , yaitu;
Membangun infrastruktur maritim seperti pelabuhan-pelabuhan; Pengembangan wilayah
dan peningkatan aktivitas ekonomi; Sumber daya alam hayati di laut Indonesia seperti
perikanan perlu dijaga dengan baik dari praktik-praktik perikanan yang tidak lestari;
Pemanfaatan minyak, gas, mineral, arus, dan ombak untuk keperluan energi dan mineral
masa depan.

Hasil tambang energi dan mineral dasar laut, memiliki nilai ekonomi yang
sangat tinggi bagi kemajuan dan kesejahteraan Indonesia. Indonesia juga menghadapi
tantangan untuk menambah luas yurisdiksi landas kontinen di luar 200 mil laut dan mampu
melakukan eksplorasi di wilayah “The Area” Pengembangan jasa logistik pelabuhan,
galangan kapal, dan wisata bahari. Kegiatan jasa kemaritiman dan eksploitasi sumber daya
alam hayati dan nonhayati secara langsung dalam jangka pendek dan jangka panjang
serta penghitungan ekonomi maritim pada tingkat nasional diperlukan untuk menilai secara
objektif. Gerakan desentralisasi kelautan berawal dari era reformasi, perkembangan
lingkungan strategis Indonesia mengalami perubahan pesat yang tidak pernah terbayangkan
satu dekade lalu. Kemampuan nasional dalam pendidikan maritim, serta penguasaan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan.
REFERENSI

Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan Penelitian Kualitatif
dalam Berbagai Ilmu. Jakarta: RajaGrafindo, 2014

Asmara, A. Y. (2012). PENGUATAN ZONA EKONOMI EKSLUSIF DALAM


PENGELOLAAN SUMBER DAYA MARITIM INDONESIA DI WILAYAH
PERBATASAN (Pembelajaran darim Kebijakan Pemerintah Norwegia Perihal
Regulasi, Pemanfaatan Iptek, Manajemen Kelembagaan dan Kerjasama
Internasional). J. Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 2(2), 131–144.

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitataif: Komunikasi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya.
Jakarta: Kencana, 2017

FAO, 1995, Code of Conduct for Responsible Fisheries, Rome: Food and Agriculture
Organization of The United Nations.

Josef Thessing dan Wilhelm Hofmeister (ed.), 1996, Environment and Development
Protection as An Element of Order Policy, Rathausallee: KonradAdenauer Stiftung,
hlm. 64, dalam A. Sonny Keraf, Ibid, hlm. 192.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Kebijakan Kelautan
Indonesia.

Puspitarini, R. C., & Yunus, M. (2019). IMPLEMENTASI TUJUAN PEMBANGUNAN


BERKELANJUTAN DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN MARITIM
BERKELANJUTAN MELALUI LARANGAN PENGGUNAAN CANTRANG. Jurnal
Ilmiah Politik, Kebijakan, &Sosial (Publicio), 1(2), 15–26.

Sutardjo, S. C. (2014). KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN PERIKANAN KE


DEPAN DEVELOPMEN POLICY OF MARINE AND FISHERIES. Jurnal Kebijakan
Perikanan Indonesia, 6(1), 37. https://doi.org/10.15578/jkpi.6.1.2014.37-42

Anda mungkin juga menyukai