Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Penelitian


Kawasan Dataran Tinggi Dieng yang sebagai daerah penelitian secara
geografis terletak antara 7o 12’ LS dan 109o 54’ BT. Sebagian besar terletak
di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa
Tengah. Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah dibagi menjadi 4 zona yang
berarah timur-barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke
selatan (Gambar 2.1) meliputi:
1. Dataran Pantai Utara Jawa Tengah, terletak di Lembah Pemali yang
memisahkan daerah Bogor, Jawa Barat dari Pegunungan Utara Jawa
Tengah (van Bemmelen, 1949).
2. Daerah Serayu Utara, pada bagian utara dibatasi oleh Gunung Slamet dan
di bagian timur dibatasi oleh vulkanik muda Rogojembangan, Komplek
Vulkanik Dieng, dan Ungaran. Garis batas yang memisahkan dengan
Zona Bogor berada di Prupuk-Bumiayu-Adjibarang (van Bemmelen,
1949).
3. Pegunungan Serayu Selatan, dibentuk oleh depresi antar pengunungan
(Intramountaine Depressions). Pengunungan yang membatasi depresi-
depresi tersebut pada umumnya berupa tinggian yang tersusum atas
batuan berumur tersier yang tidak berbeda jauh dengan pegunungan yang
ada di selatan Jawa Barat. Secara struktural, zona ini merupakan puncak
Antiklin Jawa (van Bemmelen, 1949).
4. Dataran Pantai Selatan Jawa Tengah, bagian dari Pantai Selatan Jawa
terbentang dari Pelabuhan Ratu hingga Nusakambangan, Cilacap. Bagian
pengunungan dari Pantai Selatan Jawa dapat dibedakan menjadi tga
bagian, yaitu Jampang, Pangalengan, Karangnunggal (van Bemmelen,
1949). Pada Kabupaten Jepara khususnya untuk Kecamatan Keling
memiliki topografi yang bervariasi dari mulai landai hingga perbukitan.

8
8
Gambar 2.1 Fisiografi Jawa Bagian Timur (van Bemmelen, 1949 dalam ESDM, 2010)

9
Kawasan Dataran Tinggi Dieng termasuk ke dalam Zona Serayu Utara
yang dibatasi sebelah barat oleh Daerah Karangkobar dan sebelah timur
dibatasi oleh Daerah Ungaran yang dengan didominasi oleh batuan Komplek
Gunung Api Dieng (van Bemmelen, 1949).
Kawasan Dataran Tinggi Dieng memiliki 25 kerucut gunungapi yang
dapat dikenali dengan baik. Kerucut-kerucut gunungapi tersebut sebagian
besar terbentuk pada Kala Pleistosen, hanya tujuh kerucut yang kemungkinan
terbentuk pada Kala Holosen. Aliran lava terakhir di kawasan Dieng terjadi
pada tahun 50 SM (± 100 tahun), berdasarkan spesimen yang ditemukan oleh
Delarue (1980) di dekat Gunung Pakuwojo. Dari 25 kerucut gunungapi di
Dieng, enam di antaranya terdiri dari material berkomposisi andesitik, yaitu
Gunung Prambanan, Gunung Sikunir, Kawah Siglagah, Gunung Pangonan
dan Telaga Merdada, Gunung Petarangan dan Telaga Menjer, dan Gunung
Jimat. Sementara itu, kerucut-kerucut gunungapi lain di Dieng tersusun dari
material yang komposisinya beragam.
Para ahli geologi, vulkanologi dan geotermal pada masa lalu maupun
pada masa kini, seperti van Bemmelen (1949), Boedihardi dkk. (1991),
Sukhyar dkk. (1994), van Bergen dkk. (2000) telah memelajari evolusi Plato
Dieng dan mempublikasikannya untuk kalangan terbatas. Kejadian Plato
Dieng diperjelas dalam Satyana (2010), dapat dikelompokkan ke dalam tiga
tahap yang meliputi aktivitas yang terjadi dari 3,60 juta tahun yang lalu
sampai 2450 tahun yang lalu.
Kejadian Plato Dieng diawali oleh terbentuknya tiga gunungapi yang
sekarang membatasi bagian utara, selatan dan barat Dieng, yaitu masing-
masing: Gunung Prahu/Prau, Gunung Bisma dan Gunung Nagasari pada 3,6-
2,5 juta tahun yang lalu (pada kala Pliosen, menurut urutan waktu geologi)
(Boedihardi dkk., 1991). Gunung Prahu sendiri merupakan gunungapi yang
muncul pada jalur patahan berarah baratlaut-tenggara. Ke sebelah tenggara
dari Gunung Prahu terdapat Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Gunung
Prahu (2565 mdpl) kemudian meletus hebat dan lereng barat/ baratdayanya
runtuh, mungkin sebagai akibat aktifnya kembali patahan yang ditempatinya

10
bekerja sama dengan kesetimbangan gravitasi. Sejak saat itulah terjadi
Depresi Dieng atau Plato Dieng karena secara topografi merupakan dataran
tinggi di pegunungan (plato) yang ke arah barat menerus ke Depresi Batur.
Letusan-letusan pada episode kedua terjadi di wilayah
kaldera/runtuhan/Plato Dieng membentuk puncak-puncak volkanik yang
meletuskan berbagai batuan seperti batuan basal, andesit basaltik, andesit
piroksen. Abu volkanik telah diletuskan dari semua kerucut-kerucut volkanik
ini dan telah menyelimuti depresi Dieng dan Batur di sebelah barat.
Boedihardi dkk., (1991) pernah melakukan pengukuran umur beberapa
gunung di Plato Dieng, antara lain: Gunung Pagerkandang di sebelah utara
dekat kawah Sileri berumur 460.000 tahun, Sikidang-Merdada yang
berasosiasi dengan Pangonan berumur 370.000 tahun, dan Pakuwaja di
sebelah timur berumur 90.000 tahun. Umur-umur ini menunjukkan umur
yang makin muda ke arah timur-tenggara, sesuai dengan migrasi magma di
bawahnya. Danau-danau volkanik terjadi juga pada episode ini, misalnya
Telaga Menjer di lereng selatan Gunung Bisma dan Telaga Warna di sebelah
timurlautnya.
Lava dari episode vulkanik pasca kaldera yang kedua mengalir secara
tidak merata. Daerah-daerah lembah yang jalur aliran airnya terbendung oleh
lava berubah menjadi cekungan. Karena curah hujan di Dieng cukup tinggi
(melebihi 3000 mm per tahun) maka cekungan tersebut dengan segera terisi
oleh air dan menjadi danau. Ada dua buah danau yang terbentuk lewat
mekanisme ini, yaitu Telaga Cebong dan Telaga Balekambang. Umur Telaga
Cebong lebih tua dibanding Telaga Balekambang; Sajekti (2009) menemukan
sedimen yang berasal dari abad 17 SM di sebelah barat Telaga Cebong,
sementara itu sedimen tertua di Telaga Balekambang berasal dari masa yang
tidak lebih tua dari abad ke-5 M (Pudjoarinto dan Edward, 2001).
Episode Ketiga yang merupakan episode paling muda terjadi sejak
8500 tahun yang lalu berupa letusan dari kerucut-kerucut volkanik di bagian
selatan Dieng menghasilkan lava dan abu volkanik, lalu letusan dari kerucut
volkanik Pakuwaja yang terjadi sebelum 2450 tahun yang lalu. Letusan-

11
letusan pada waktu modern tercatat di kawah-kawah: Sileri (6-7
erupsi/letusan), Pakuwaja (3 letusan), Petarangan (3 letusan), Sikidang (2
letusan), Sinila dan Sigludug (1 letusan), dan Candradimuka (1 letusan).
Umumnya letusan bersifat freatik, yaitu letusan berupa semburan air panas
dan gas. Tetapi di beberapa tempat, juga dihasilkan lahar.

2.1.1 Stratigrafi
Stratigrafi regional pada daerah penelitian yang dirangkum dari
peneliti terdahulu oleh Condon dkk., (1996), terdiri atas sebelas satuan
batuan yang dari tua ke muda yang adapat dilihat dari peta geologi
regional (Gambar 2.2) antara lain:
1. Satuan Anggota Breksi Formasi Tapak
Satuan ini terdiri dari breksi gunungapi dan batupasir tufaan, breksi
bersusunan andesit, berkomposisi urat-urat kalsit.
2. Satuan Anggota Batugamping Formasi Tapak
Satuan ini terdiri dari batugamping terumbu, napal, dan batupasir.
3. Satuan Formasi Tapak
Satuan ini terdiri dari batupasir gampingan dan napal hijau yang
berkomposisi moluska dengan umur Pliosen, memiliki tebal sekitar 500
m (Haar, 1935 dalam Condon dkk., 1996).
4. Satuan Formasi Kalibiuk
Satuan ini terdiri dari napal dan batulempung, bersisipan tipis tuff
pasiran, napal dan batulempung kelabu kebiruan, kaya akan fosil
moluska, menujukan umur Pliosen (Oosthing, 1935, dalam Condon
dkk., 1996).
5. Satuan Anggota Lempung Formasi Ligung
Satuan ini terdiri dari batulempung tufaan, batupasir tufaan berlapis
seimpang siur dan konglomerat.
6. Satuan Anggota Breksi Formasi Ligung
Satuan ini terdiri dari breksi gunungapi (agglomerat) yang tersusun dari
andesit, lava andesit hornblenda, dan tuff.

12
Gambar 2.2 Peta Geologi Regional Modifikasi (sebagian Peta Geologi Lembar Banjarnegara-Pekalongan
oleh Condon dkk., 1996)

13
7. Satuan Batuan Gunungapi Jembangan
Satuan ini terdiri dari lava andesit dan batuan klastika gunungapi
terutama batuan andesit-hipersten augit, setempat berkomposisi
hornblenda dan juga basal olivin. Berupa aliran lava, breksi aliran dan
piroklastika, lahar, dan aluvium (Qjo dan Qjm). Lahar dan endapan
aluvium terdiri dari bahan rombakan gunungapi, aliran lava dan breksi
(Qjya dan Qjma) terendapkan pada lereng yang agak landai dan jauh
dari pusat erupsi.
8. Satuan Endapan Danau dan Aluvium
Satuan ini terdiri dari pasir, lanau, lumpur dan lempung, setempat
berkomposisi batuan yang bersifat tufaan.
9. Satuan Batuan Gunungapi Dieng
Satuan ini terdiri dari satuan lava andesit dan andesit kuarsa, serta
batuan klastika gunungapi. Komposisi silika batuan berkurang dari
muda ke tua (Qdo-bagian bawah, Qdm-bagian tengah, Qdy-bagian atas
satuan).
10. Satuan Batuan Gunungapi Sundoro
Satuan ini terdiri dari lava andesit hipersten-augit dan basal olivin-augit
dan basal olivin-augit, breksi aliran, breksi piroklastika, dan lahar.
11. Satuan Endapan Aluvium
Satuan ini terdiri dari kerikil, pasir, lanau, dan lempung yang berasal
dari endapan sungai dan rawa.
2.1.2 Struktur Geologi
Struktur geologi regionalnya menurut Gunawan (1968) dalam
Pardiyanto (1970) pada daerah Kompleks Dieng dan sekitarnya
dipengaruhi oleh pergerakan tektonik Kuarter yang masih aktif sampai
sekarang. Pelipatan besar tidak terjadi, akan tetapi dengan jelas ada dua
patahan Kuarter yang dapat diamati. Patahan pertama ditemukan di bagian
barat yaitu dalam pembentukan Blok Ratamba disertai dengan adanya
fracturing. Patahan yang ke dua dipengaruhi di daerah timur yaitu graben
Sigedang dari Gunungapi Tlerep-Butak dan Graben Watumbu dari Prahu.

14
Penelitian yang dirangkum oleh Condon dkk. (1996), dapat dilihat pada
(Gambar 2.2) menginterpretasikan struktur geologi yang ada terdiri dari
sesar, kelurusan dan kekar, yang melibatkan batuan berumur Kapur sampai
Holosen.

2.2 Kondisi Fisik (Topografi dan Morfologi)


Secara geografis Kawasan Dataran Tinggi Dieng terletak antara 7° 12´
Lintang Selatan dan 109° 54´ Bujur Timur yang sebagian besar terletak pada
wilayah adminstrasi dari Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara dengan
ruang lingkup wilayah terdiri dari 15 desa dan luas wilayah sebesar 68,58 km²
(Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Jumlah dan Luas Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng (Kabupaten Banjarnegara
dan Kabupaten Wonosobo dalam angka Badan Pusat Statistik tahun 2015)
No Kabupaten Kecamatan Desa Luas (Km²)
1 Banjarnegara Batur Dieng Kulon 2,21
Bakal 6,44
Karang Tengah 3,52
Kepakisan 5,05
Pekasiran 5,37
2 Wonosobo Kejajar Dieng 3,66
Patak Banteng 1,66
Parikesit 3,38
Tieng 3,16
Sembungan 6,03
Sikunang 8,01
Jojongan 0,99
Campursari 12,37
Garung Mlandi 3,98
Menjer 2,77
Jumlah 68,58

Menurut Evaluasi Perda Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata


Ruang, Daerah Dataran Tinggi Dieng memiliki kemiringan antara 25-40%,
bahkan di beberapa wilayah >40% dengan jenis tanah andosol. Berdasarkan
kriteria kelas lereng maka Kawasan Dataran Tinggi Dieng termasuk curam
dengan skor 80, jenis tanah yang peka terhadap erosi dengan skor 60, dan
curah hujan sangat tinggi dengan skor 50. Dari hasil penilaian tersebut, dataran
tinggi dieng memiliki jumlah skor 190. Selain itu Dataran Tinggi Dieng juga

15
berada pada ketinggian lebih dari 2.000 mdpl, yang menyimpan banyak cagar
geologi, alam dan budaya.

2.3 Klimatologi dan Kerawanan Bencana


2.1.1 Klimatologi
Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika,
keadaan iklim di daerah Dieng, secara umum hampir sama dengan iklim di
wilayah lain di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara yang
silih berganti antara musim penghujan dan musim kemarau sepanjang
tahun. Dengan ketinggian +2.093 meter di atas permukaan laut,
menyebabkan udara di daerah ini cukup dingin. Suhu udara maksimal rata-
rata 24,41oC dan suhu terendah adalah 14,19oC. Puncak terendah dialami
pada bulan Juli hingga Agustus yang mencapai 5 oC. Hal ini menyebabkan
pada bulan-bulan ini sering terjadi hujan es bahkan terkadang salju. Selain
itu cuaca cepat sekali berubah antara keadaan berawan dan cerah.
Curah hujan di daerah Dieng cukup tinggi yakni mencapai 3.217,5
mm/tahun dengan jumlah hujan rata-rata tahunan sebanyak 114 hari
(Badan Pusat Statistik, 2015). Pada musim penghujan, suhu udara cukup
tinggi sehingga terasa lebih hangat dibanding pada musim kemarau. Hanya
saja saat ini setiap datang musim hujan, Dieng selalu mengalami banjir
lumpur. Hal ini terjadi karena adanya erosi dari pegunungan yang
dijadikan lahan pertanian kentang. Sehingga tidak bisa menahan aliran air.
2.1.2 Kerawanan Bencana
Kawasan Dataran Tinggi Dieng berada pada kawasan gunungapi
yang terlihat jelas dengan banyaknya kawah yang ada di kawasan tersebut.
Ancaman bencana geologi menjadi suatu yang perlu diperhatikan pada
kawasan ini. Badan Geologi yang bekerjasama dengan Pusat Vulkanologi
dan Mitigasi Bencana Geologi telah menetapkan kawasan menetapkan
kawasan rawan bencana gunungapi akibat masih adanya aktivitas vulkanik
disekitarnya.. Selain itu, dibuat pula sebaran gas CO 2 karena kawasan
dekat kawah pada Dataran Tinggi Dieng juga mendapatkan ancaman

16
serius dari potensi keluarnya gas-gas beracun seperti gas CO 2 yang dapat
menimbulkan kematian.

2.4 Perkembangan Geopark di Indonesia


Geoheritage dalam konsep Geopark adalah warisan geologi yang
terbentuk secara alami dan memiliki nilai sangat tinggi dan luar biasa karena
merepresentasikan rangkaian rekaman proses geologi yang saling
berhubungan, sehingga secara keilmuan merupakan bagian penting dari
sejarah dinamika bumi. Pengertian geopark lebih luas lagi karena merupakan
konsep pengembangan kawasan dimana beberapa potensi geoheritage yang
terletak berdekatan di wilayah yang telah dibangun, dikelola dengan cara
mengintergrasikan prinsip-prinsip konservasi dan rencana tata ruang yang
sudah ada dari pemerintah (Komoo, 1993). Unsur penting dalam
pengembangan Geopark secara jelas dalam Oktariadi (2014) ada keterkaitan
antara potensi geologi (geodiversity), cagar alam (biodiversity), dan budaya
(cultural diversity) yang bersinergi dengan regulasi kebijakan pemerintah,
infrasruktur dan sosial budaya ekonomi masyarakat (community development)
(Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Pilar Pengembangan Konsep Geopark (Oktariadi, 2014)


Geopark dalam konsep pembangunan berkelanjutan memiliki tujuan
yang mulia yaitu merubah pola pikir (mindset) pemanfaatan sumber daya
alam (khususnya sumber daya geologi) yang selama ini baru dimanfaatkan
melalui kegiatan ekstraktif (tambang) yang dirubah menjadi upaya

17
konservatif untuk meningkatkan perekonomian lokal maupun regional.
Semangat (spirit, ruh) geopark adalah menyatukan perlindungan warisan
geologi ke dalam strategi pengembangan sosiobudaya dan ekonomi yang
harmonis dengan konservasi lingkungan alam. Tujuannya selain untuk
melindungi warisan geologi, juga memicu kebangkitan kembali budaya dan
memperkuat hubungan manusia dengan lingkungannya. Praktik
pengembangan sosial budaya ekonomi masyarakat (community development)
dalam geopark terwujud melalui pengelolaan kawasan yang mandiri serta
tercermin dalam aktivitas-aktivitas (konservasi, pendidikan, dan pariwisata
berkelanjutan) yang diciptakan secara kreatif dan menarik serta berbasis pada
upaca pelestarian nilai-nilai luhur sebuah kawasan tersebut, salah satu
contohnya adalah kegiatan pariwisata pedesaan berkelanjutan yang memicu
aktivitas ekonomi kreatif misalnya; pengembangan penginapan tradisional
(home stay), inovasi penciptaan cindera mata, obat-obatan herbal tradisional,
pagelaran pertunjukan seni budaya setempat, hingga kuliner khas setempat
menjadi penyelenggaraan pariwisata berkelanjutan yang sesuai dan
menghargai karakteristik budaya daerah setempat. Konsep geopark telah
diakui dunia sebagai konsep yang terbaik pada saat ini dalam hal pemanfaatan
sumber daya geologi yang berkelanjutan, terbukti hingga saat ini telah
terdapat 120 kawasan geopark global yang tersebar di 40 negara serta melalui
sidang umum UNESCO bersama International Geoscience And Geopark
Programe (IGGP) dan Pedoman Operasional Geopark Global UNESCO
tersebut termuat dalam Dokumen 38C/14 UNESCO.
Pembahasan geopark di Indonesia secara umum dimulai tahun 2006
melalui tulisan Hasibuan (2006) pada majalah Mineral dan Energi dengan
judul “Mungkinkah Indonesia turut menjadi anggota World Geopark”,
kemudian Kusumahbrata (2006) juga menulis tentang geopark serta
mengunjungi beberapa geopark yang telah masuk Geopark Global Network
(GGN). Selanjutnya secara bertahap telah dilakukan upaya sebagai berikut:
1. Pada PIT IAGI ke-36 di Bali, PP IAGI menujuka salah satu anggota
IAGI Pengda Nusa Tenggara, Rachmat (NPA.0784) sebagai Ahli

18
Kehormatan Bidang Geowisata yang bertugas sebagai anggota Dewan
Sertifikasi untuk Geowisata.
2. Pada tahun 2008 di Jalan Diponegoro 57 Bandung, diadakan pertemuan
yang dihadiri 12 pemerhati geowisata untuk membentuk MAPEGI
(Masyarakat Pemerhati Geowisata) yang berada di bawah naungan PP
IAGI. Pada pertemuan tersebut terpilih Dr. Ir. Yunus Kusumahbrata,
M.Sc., sebagai ketua, dan sekaligus ditetapkan Gunung Rinjani sebagai
lokasi yang diusulkan menjadi geopark pertama ke UNESCO.
3. Pada tahun 2008 secara berurutan dilakukan kegiatan mulai dari
koordinasi dengan IAGI Pengurus Daerah Nusa Tenggara yang akan
membiayai kegiatan survei lapangan, konsultasi dengan pemangku
kepentingan, sampai dengan acara Diskusi Nasional Geopark pada 28
Oktober di Mataram.
4. Pada tahun 2009, konsep Geopark G. Rinjani dipresentasikan pada
pertemuan GEOSEA di Kualalumpur oleh salah satu anggota IAGI
Pengda Nusra disampingi ketua dan sekjen PP IAGI (Prof. Lambok dan
Ir. Syaeful).
5. Pada tahun 2010, LGPN LIPI mengadakan Workshop Geopark di
Bandung yang diikuti oleh berbagai departemen, lembaga, perguruan
tinggi dan Pemda terkait.
6. Pada tahun 2011, atas kerjasama Kementerian ESDM, Parekaf, Dan
Diknas telah diselenggarakan Workshop Geopark Nasional yang diikuti
oleh berbagai instansi terkait dan Pemda yang daerahnya akan diajukan
sebagai kawasan geopark ke UNESCO yaitu, G. Batur, Karst Pacitan,
G. Rinjani, Danau Toba, Merangin Jambi, dan Raja Ampat.
Pada event GGN 2016 (Global Geopark Network Expo and Conference
2016) yang diselenggarakan di English Riviera, UK (27-29 September 2016),
Indonesia memperkenalkan “Wonderful Geoparks of Indonesia” melalui
Bidang ESDM yang menyebutkan bahwa Indonesia telah memilki 2 geopark
yang berstatus UNESCO Global Geopark di G. Batur Bali dan Gunung Sewu,
Jawa Tengah. Predikat UNESCO Global Geopark yang melekat, setiap 4

19
tahun seklai direvalidasi oleh tim assessor dari UNESCO untuk
mempertahankan standar yang telah UNESCO dan kualitas pengelolaan
geopark itu sendiri. Pada sesi akhir diumumkan dari hasil penilaian
(revalidasi), Batur Geopark, serta hasil penilaian Geopark Nasional Rinjani,
Nusa Tenggara Barat.
Perkembangan selanjutnya, pada tanggal 12 April 2018 Geopark
Rinjani Lombok bersama dengan Geopark Ciletuh-Palabuhan Ratu resmi
ditetapkan menjadi bagian UNESCO Global Geopark (UGG) bersama 12
geopark lainya di seluruh dunia. Pengesahan ini disampaikan dalam sidang
Executive Board UNESCO ke-204, Komisi Programme and External
Relations di Paris, Perancis. Hingga tahun 2018, Indonesia telah memiliki 4
(empat) kawasan UNESCO Geopark Global dan 7 (tujuh) kawasan Geopark
Nasional (Tabel 2.2).
Tabel Kawasan Provinsi Status
2.2
Statu
s
Geop
ark
di
Indo
nesia
(Bad
an
Geol
ogi
ESD
M,
2018)
XNo
1 Geopark Kaldera Batur Bali UGG
2 Geopark Pegunungan Sewu DIY, Jateng, Jatim UGG
3 Geopark Ciletuh-Palabuhan Ratu Jawa Barat UGG
4 Geopark Rinjani Lombok NTB UGG
5 Geopark Kaldera Toba Sumatera Utara Nasional
6 Geopark Merangin Jambi Jambi Nasional
7 Geopark Belitung Bangka Belitung Nasional
8 Geopark Bojonegoro Jawa Timur Nasional
9 Geopark Maros-Pangkep Sulawesi Tenggara Nasional
10 Geopark Tambora NTT Nasional

20
11 Geopark Raja Ampat Papua Barat Nasional

Saat ini badan geologi Indonesia telah menginvetarisasi keragaman


geologi sebanyak hampir 180 lokasi dan sebanyak 36 lokasi telah di verifikasi
memiliki nilai warisan geologi (Gambar 2.4).

Gambar 2.4 Lokasi potensi Geoheritage di Indonesia (Oktariadi, 2014)

2.5 Kebijakan Pemerintah terhadap Geopark


Sejak tahun 2008, Indonesia melalui Badan Geologi, Kementerian
ESDM yang bekerjasama dengan Komisi Indonesia untuk UNESCO (KNIU)-
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pariwisata,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kemenko Kemaritiman,
Kemenko Perekonomian, Bapenas, serta pemerintah daerah telah menerapkan
konsep geopark dalam pemanfaatan sumber daya alam. Konsep tersebut
dirasakan sangat cocok untuk dikembangkan, terbukti dengan perkembangan
yang cukup pesat di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara asia
tenggara lainnya (pada tahun 2011, Asia tenggara memiliki 2 Geopark Global
yaitu 1 di malaysia dan 1 di Vietnam, pada tahun 2016 ini terdapat 4 geopark
global yaitu 1 malaysia, 1 Vietnam, dan 2 di Indonesia). Hingga tahun 2018,
Indonesia telah memiliki 4 (empat) kawasan Geopark Global UNESCO, yaitu

21
Gunung Batur, Gunung Sewu, Ciletuh-Palabuhan Ratu dan Rinjani, dan 7
(tujuh) kawasan Geopark Nasional, yaitu Kaldera Toba, Merangin Jambi,
Belitong, Maros-Pangkep, Raja Ampat, Bojonegoro, dan Gunung Tambora,
serta setidaknya terdapat 20 kawasan yang menjadi kandidat geopark nasional.
Selain itu, data yang dihimpun oleh Tim Task Force RMGG, Kementerian
ESDM, menunjukan bahwa kunjungan pada seluruh kawasan geopark di
Indonesia sebesar 5.624.493 orang kunjungan domestik dan 642.000 orang
kunjungan mancanegara, dengan peredaran uang di kawasan-kawasan
geopark tersebut sebesar 3,5 T. Namun, hingga saat ini, tim masih melakukan
pengumpulan data untuk mengetahui seberapa besar pendapatan daerah yang
dihasilkan oleh kawasan-kawasan tersebut. Angka tersebut merupakan nilai
yang cukup luar biasa dalam upaya pemanfaatan sumber daya geologi yang
berkelanjutan, sehingga kegiatan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu
motor penggerak ekonomi secara nasional. Tidak hanya itu saja, berdasarkan
pemantauan tim, manfaat lainnya adalah terjadinya pergeseran pola pikir
(mindset) dan budaya (revolusi mental) dari masyarakat yang tadinya kurang
peduli terhadap upaya konservasi pada lingkungan sekitarnya menjadi sebuah
masyarakat yang sangat peduli akan lingkungannya.
Oleh karena itu, Badan Geologi mengadakan Rapat Koordinasi
Penyusunan Rencana Kerja Pengembangan Geopark Indonesia pada tanggal
20 s.d 21 Januari 2017 di Hotel Santika Premiere Yogyakarta. Tujuan kegiatan
ini adalah upaya sinkronisasi kegiatan di setiap Kementerian terkait maupun
Pemerintah Daerah dalam pengembangan dan pembangunan Geopark di
Indonesia. Acara dihadiri oleh para perwakilan instansi terkait.
Hasil Rapat Koordinasi Penyusunan Rencana Kerja Pengembangan
Geopark Indonesia:
1. Akan segera dibentuk Tim Ad Hoc Komite Nasional Geopark Indonesia
(KNGI) yang direncanakan finalisasi pada akhir Maret 2017.
2. Percepatan penyelesaian PERPRES Pengembangan Geopark Indonesia.
3. Penambahan Tugas dan Fungsi Tim Komite Nasional Geopark Indonesia
(KNGI) yaitu sebagai Pendamping atau Fasilitator Pemerintah Daerah

22
dalam menyampaikan usulan rencana kerja terkait Geopark ke Pemerintah
Pusat.
4. Pola penganggaran Kawasan dapat ditempuh melalui
MUSRENBANGPROV dan MUSRENBANGNAS, diharapkan Tim
Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI) dapat melakukan
pendampingan.
5. Dibutuhkan konsep yang jelas mengenai Penataan Geosite dan Aminitas di
setiap Kawasan Geopark serta sarana promosi terpadu.
6. Penegasan Komitmen dan dukungan yang konkrit dari Pemda Kabupaten
yang terkait Geopark Kaldera Toba.
7. Dibutuhkan keterlibatan Kemendagri dalam Pengembangan Geopark di
Indonesia, oleh karena itu perlu penambahan materi dalam PERPRES.
8. Target Geopark Nasional Tahun 2017 antara lain Geopark Belitong,
Geopark Maros Pangkep, Geopark Tambora, Geopark Bromo Tengger,
dan Geopark Dieng.

2.6 Metode Penilaian Geosite Menurut Kubalíková (2013)


Penilaian kuantitatif dengan metode penilaian ini sudah dilakukan dalam
beberapa penilaian di berbagai daerah seperti di kekar kolom Desa Sidomulyo,
Kabupaten Purworejo (Payana dkk, 2016), kawasan karst Kabupaten Wonogiri
(Dinas ESDM Pemprov Jateng, 2017), Danau Biru Sawahlunto (Linggadipura
dkk, 2017) dan kawasan karst Biduk-Biduk, Kaltim (Hidayat, 2017).
Menurut Kubalíková (2013) pada umumnya, penilaian dibagi menjadi
beberapa langkah di antaranya penilaian nilai-nilai ilmiah, penilaian nilai
tambah (kadang-kadang termasuk penilaian potensi wisata atau penilaian nilai
ekonomi, kadang-kadang ini dinilai secara independen) dan penilaian
kerentanan, ancaman dan risiko pada situs. Perlu digaris bawahi bahwa
penilaian harus dilakukan dengan dasar pengetahuan dan inventarisasi rinci
terhadap geosite yang memiliki potensi.
Penilaian nilai-nilai ilmiah didasarkan pada kriteria yang berkaitan
dengan nilai intrinsik situs dengan kriteria penilaian berupa nilai integritas atau

23
kelangkaan, selain itu juga terdapat kriteria seperti nilai pedagogis atau
pengetahuan ilmiah dari situs. Penilaian nilai tambah didasarkan pada aspek
budaya/ sejarah/ agama/ estetika yang terhubung ke situs. Nilai-nilai ini
umumnya kurang tepat dan bergantung pada kepekaan penilai tetapi
merupakan nilai yang penting untuk melakukan penilaian secara lengkap.
Kriteria budaya/ sejarah/ agama biasanya hanya terdiri dari informasi tentang
tingkat kepentingan aset-aset ini, penilaian aspek estetika atau keindahan lebih
rumit dan dapat dipengaruhi oleh subjektivitas penilai. Kriteria penilaian untuk
nilai estetika umumnya didasarkan pada visibilitas dan jumlah sudut pandang
serta kontras warna dengan sekitarnya, struktur vertikal atau jumlah warna.
Penilaian nilai ekonomi atau potensi untuk penggunaan umumnya
didasarkan pada kriteria seperti aksesibilitas, keterbatasan penggunaan dan
keberadaan infrastruktur atau keberadaan produk ekonomi dan pendukung
yang terkait dengan situs ataupun terkait dengan promosi situs. Beberapa
metode penilaian memasukkan penilaian kerentanan dan ancaman alami dan
antropogenik ke situs. Kriteria penilaian terkait dengan perlindungan legislatif
yang ada di situs saat ini maupun potensi ancaman yang akan datang.
Berdasarkan penilaian-penilaian yang umumnya digunakan untuk
melakukan penilaian terhadap geosite, Kubalíková (2013) menyimpulkan
bahwa metode penilaian yang sesuai untuk menilai potensi geowisata harus
mempertimbangkan kelompok kriteria berikut:
1. Kriteria yang mempertimbangkan penilaian nilai-nilai ilmiah dan intrinsik
(keragaman dan pentingnya fitur dan proses geologi dan geomorfologi,
pengetahuan ilmiah dari situs), berdasarkan prinsip-prinsip geologically
based dan integrity of place, berorientasi pada definisi geowisata/
geotourism.
2. Kriteria yang mempertimbangkan penilaian potensi pengajaran dari situs
(kejelasan dan visibilitas dari fitur dan proses geologi serta geomorfologi,
ketersediaan produk yang mendukung pendidikan: selebaran, pemandu
wisata, peta, jalur perjalanan, panel informasi, pusat informasi), berdasarkan
prinsip environmentally educative, protection and enhancement of

24
destination appeal, interactive interpretation and evaluation. Ini merupakan
kriteria yang paling penting karena aspek pendidikan atau kognitif muncul
di sebagian besar definisi geowisata.
3. Kriteria yang mempertimbangkan penilaian aksesibilitas dan visibilitas situs
dan keberadaan infrastruktur wisata (akomodasi, restoran, toko, produk
local dan lain-lain), berdasarkan prinsip tourist satisfaction, locally
beneficial, market selectivity and diversity, community involvement and
benefit. Ini juga merupakan kriteria yang sangat penting sebagai definisi dan
pendekatan baru yang menekankan keterlibatan masyarakat setempat.
Pendekatan ini juga merupakan dasar untuk geopark.
4. Kriteria yang mempertimbangkan penilaian terhadap ancaman dan risiko
yang ada, menilai kegiatan konservasi atau perlindungan legislatif yang ada
di situs, sesuai dengan prinsip sustainable, land use and planning dan
conservation of resources.
5. Kriteria yang mempertimbangkan penilaian nilai tambah (ekologis, budaya,
sejarah, arkeologi, artistik, nilai religius dari situs, estetika, lanskap, dan
nilai keindahan), menurut definisi National Geographic Society (2005)
geowisata tidak hanya mempertimbangkan aspek alam, tetapi juga aspek
budaya dan estetika dari situs.
Berdasarkan kriteria penilaian tersebut, Kubalíková (2013) mencoba
untuk mengevaluasi beberapa metode penilaian geosite dalam hal
kesesuaiannya dalam menilai geosite untuk tujuan geowisata (Tabel 2.3).
Untuk setiap kriteria diberi nilai 1 untuk metode yang mempertimbangkan
kriteria, 0,5 untuk metode yang mempertimbangkan sebagian dari kriteria dan
0 untuk metode yang tidak mempertimbangkan kriteria.
Tabel 2.3 Evaluasi Metode Penilaian Geosite (Kubalíková, 2013)

Kriteria Coratza Bruschi Serrano


Pereira Reynard
dan dan dan Zouros Pralong
Khusus/ Giusti Cendrero Gonzalez (2007) (2005)
dkk dkk
Metode (2007) (2007)
(2005) (2005) (2005)
1.a integritas, 1 1 1 1 1 1 1
kelangkaan
b. pengetahuan 1 1 1 0 0 1 0
ilmiah
c. morfologi, 0 1 1 0 0 1 0

25
genesa
2.a sebuah 1 1 1 1 1 1 1
contoh,
kejelasan

Tabel 2.3 (Lanjutan)

Kriteria Coratza Bruschi Serrano


Pereira Reynard
dan dan dan Zouros Pralong
Khusus/ Giusti Cendrero Gonzalez (2007) (2005)
dkk dkk
Metode (2007) (2007)
(2005) (2005) (2005)
b. fasilitas 0 0 0 0 1 1 0
pendidikan
c. digunakan 0 1 0 0 1 1 0
untuk
pendidikan
3.a. layanan 0 1 0,5 1 1 1 0
wisata
b. produk lokal 0 0,5 0,5 0,5 1 0,5 1
c. aksesibilitas 1 1 1 1 1 1 0
4.a. kegiatan 0 1 1 1 1 1 0
konservasi
b. risiko dan 1 1 1 1 1 1 0
ancaman
c. status saat 1 1 1 0 1 1 1
ini
5.a. nilai budaya 0,5 0,5 1 1 1 1 1
b. nilai 0,5 1 0 1 1 1 1
ekologis
c. nilai 0,5 0 1 1 1 1 1
estetika/
lanskap

Kubalíková (2013) kemudian membuat parameter penilaian kuantitatif/


penskoran untuk penilaian geosite untuk tujuan geowisata yang didasarkan
pada konsep geosite, analisis berdasarkan evaluasi dari metode penilaian
geosite yang dipilih tentang definisi dan prinsip geowisata. Beberapa kriteria
juga didasarkan pada Kubalíková (2011). Parameter penilaian kuantitatif/
penskoran dengan metode penilaian ini disajikan sebagai berikut:

Tabel 2.4 Unsur penilaian dan pembobotan untuk nilai intrinsik dan keilmuan (Kubalíková,
2013)
Skor
Nilai Intrinsik dan Keilmuan Kubalíková
(2013)
Integritas [A] Secara keseluruhan lokasi mengalami kerusakan 0
Lokasi rusak, tetapi masih terlihat bentukan 0,5
abiotiknya
Lokasi tanpa mengalami kerusakan 1
Keunikan (jumlah kemiripan Lebih dari 5 lokasi 0

26
lokasi) [B] 2 – 5 lokasi yang mirip 0,5
Hanya 1 lokasi dalam area yang menarik 1
Hanya 1 lokasi yang memiliki fitur/ proses yang 0
terlihat
Tabel 2.4 (Lanjutan)
Skor
Nilai Intrinsik dan Keilmuan Kubalíková
(2013)
Keragaman (proses geomorfik 2 - 4 fitur/ proses yang terlihat yang berbeda yang 0,5
yang berbeda yang terlihat dapat terlihat
keberagamannya) [C]
Lebih dari 5 fitur/ proses yang terlihat 1

Pengetahuan ilmiah [D] Lokasi tidak diketahui 0


Paper ilmiah dalam skala nasional 0,5
Lokasi sudah banyak diketahui masyarakat global 1

Tabel 2.5 Unsur penilaian dan pembobotan untuk nilai pendidikan (Kubalíková, 2013)
Skor
Nilai Pendidikan Kubalíková
(2013)
Keterwakilan dan visibilitas / Keterwakilan rendah atau tidak jelas 0
kejelasan fitur / proses [A] Keterwakilan sedang, khususnya bagi akademisi 0,5
Keterwakilan tinggi, dapat dikenali bagi 1
masyarakat awam
Penggunaan pedagosis Nilai karakter rendah dan tanpa penggunaan 0
(pengajaran) [B] Ada nilai karakter, tetapi dengan penggunaan 0,5
unsur pendidikan yang terbatas
Nilai karakter yang tinggi dan memiliki potensi 1
tinggi untuk penggunaan pendidikan dan
geowisata
Keberadaan produk pendidikan Tidak ada petunjuk informasi 0
[C] Leaflet, peta, halaman web 0,5
Ada panel informasi di lokasi tersebut 1
Penggunaan lokasi saat ini. Tidak ada manfaat bagi pendidikan di lokasi 0
Tujuan Pendidikan (ekskursi, tersebut
pendampingan wisata) [D] Lokasi merupakan lokasi bagi ekskursi khusus 0,5
(siswa)
Tempat umum dikunjungi untuk publik 1

Tabel 2.6 Unsur penilaian dan pembobotan untuk nilai ekonomi (Kubalíková, 2013)
Skor
Nilai Ekonomi Kubalíková
(2013)
Keterjangkauan [A] Lebih dari 1000 m dari tempat parkir 0
Kurang dari 1000 m dari tempat parkir 0,5
Lebih dari 1000 m dari pemberhentian 1
transportasi umum
Keterdapatan infrastruktur Lebih dari 10 km dari lokasi telah ada fasilitas 0
pengunjung [B] wisatawan
5 – 10 km fasilitas wisatawan/ turis 0,5
Kurang dari 5 km fasilitas wisatawan/ turis 1

27
Tabel 2.6 (Lanjutan)
Skor
Nilai Ekonomi Kubalíková
(2013)
Produk lokal [C] Tidak terdapat produk lokal yang berhubungan 0
dengan lokasi
Beberapa produk 0,5
Pusat dari beberapa produk lokal 1

Tabel 2.7 Unsur penilaian dan pembobotan untuk nilai konservasi (Kubalíková, 2013)
Skor
Nilai Konservasi Kubalíková
(2013)
Ancaman dan risiko terkini [A] Risiko alam dan lingkungan tinggi 0
Risiko yang ada dapat merusak lokasi 0,5
Risiko rendah dan hampir tidak ada ancaman 1
Potensi ancaman dan risiko [B] Risiko alam dan lingkungan tinggi 0
Sebelumnya terdapat risiko yang dapat merusak 0,5
lokasi
Risiko rendah atau secara umum tidak ada 1
ancaman
Status terkini mengenai lokasi Kerusakan lanjutan di lokasi 0
[C] Lokasi mengalami kerusakan, tetapi sekarang 0,5
manajemen sedang mengukur untuk mencegah
kerusakan
Tidak terdapat kerusakan 1
Perlindungan legislatif [D] Tidak ada perlindungan legislatif 0
Tidak ada proposal untuk perlindungan legislatif 0,5
Telah ada perlindungan legislatif (monumen 1
alam, perlindungan alam)

Tabel 2.8 Unsur penilaian dan pembobotan untuk nilai tambah (Kubalíková, 2013)
Skor
Nilai Tambah Kubalíková
(2013)
Nilai kebudayaan: kehadiran Tidak ada unsur budaya 0
sejarah/ arkeologi [A] Ada unsur budaya tetapi tidak berkaitan dengan 0,5
unsur abiotik
Ada hubungan budaya yang kuat dengan unsur 1
abiotik
Nilai ekologi [B] Tidak penting 0
Ada pengaruh tetapi tidak terlalu penting 0,5
Pentingnya pengaruh dari aspek geomorfik 1
terhadap ekologi di sekitarnya
Nilai estetika [C] Satu warna 0
2 – 3 warna 0,25
Lebih dari 3 warna 0,5
Struktur ruang [D] Hanya 1 pola 0
2 – 3 pola 0,25
Lebih dari 3 pola 0,5
Sudut pandang [E] Tidak ada 0
1 – 2 pola 0,25

Tabel 2.8 (Lanjutan)


Nilai Tambah Skor

28
Kubalíková
(2013)
Lebih dari 3 pola 0,5

Metode penilaian Kubalíková (2013) dilakukan dengan menentukan nilai


masing-masing geosite dengan skor berdasarkan parameter dalam metode
penilaian ini. Untuk mendapatkan persentasi kelayakan, total nilai penskoran
dibagi dengan nilai total.
Jumlah Nilai Hasil Penskoran ………. (2.1)
Persentase ( % )= x 100 %
Total Nilai ( 18,5 )
Geosite yang layak diprioritaskan dalam pengembangan kawasan geoheritage
sites adalah geosite dengan persentase > 50%, sedangkan geosite yang nilainya
< 50% dengan kondisi yang ada untuk saat ini belum direkomendasikan untuk
dijadikan prioritas dalam pengembangan kawasan geoheritage sites namun
sewaktu-waktu dapat dikembangkan apabila kelemahan atau kekurangan nilai
yang dimiliki oleh geosite tersebut teratasi oleh pembangunan yang
dilaksanakan di daerah.

29

Anda mungkin juga menyukai