Seminar
1 Nasional
Arief Hukum
Hidayat Universitas Negeri Semarang
Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016, 1-6
Pendahuluan
Globalisasi merupakan fakta. Ia tidak lagi dapat dihindari. Eksespositif
maupun negatif dari globalisasi harus disikapi dan direspon dengan
tepat. Bangsa Indonesia dituntut untuk tidak bersikap pasif terhadap
arus globalisasi. Globalisasi adalah tantangan zaman. Sehubungan
dengan demokrasi, globalisasi melahirkan paradoksnya sendiri: di satu
sisi globalisasi demokrasi mengakibatkan kebangkrutan banyak paham
ideologi, di sisi yang lain juga mendorong bangkitnya nasionalisme
lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling dangkal dan sempit
semacam ethnonationalism, atau bahkan tribalism.
Pada konteks inilah, identitas nasional bangsa Indonesiayang
termanfestasi dalam nilai-nilai Pancasila harus dikuatkan. Sebagai
negarapluralistik, tantangan globalisasi harus dijawab dengan cara
mengembalikan mindset manusia Indonesia ke falsafah dasar bangsa
Indonesia, Pancasila, sebagai pemersatu bangsa. Konsekuensi logisnya,
*Surel: humas@mkri.id
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2016. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
3 Arief Hidayat
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2016. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 4
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2016. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
5 Arief Hidayat
lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat baik dari luar
maupun dari dalam negeri sendiri. Tanpa proteksi khusus dari hukum,
golongan yang lemah pasti akan selalu kalah jika dilepaskan bersaing
atau bertarung secara bebas dengan golongan kuat.
Keempat, hukum harus menjamin tolerasi beragama yang
berkeadaban antar pemeluknya.
Melakukan revitalisasi tentu bukan hal yang mudah, tetapi bukan
sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Ini semua bisa kita laksanakan
sepanjang kita memiliki visi yang sama dalam bernegara. Seperti
diungkapkan oleh Bung Karno ketika pidato dihadapan BPUPKI pada 1
Juni 1945, dasar-dasar yang disebut Pancasila dapat diperas menjadi
Eka Sila, yaitu gotong royong. Bung Karno mengingatkan akan
kelebihan gotong royong, warisan leluhur yang sudah melekat sebagai
jati diri bangsa Indonesia. Saat itu, Bung Karno mengatakan, Indonesia
yang tulen itu adalah gotong royong. Jadi kita ini sebenarnya negara
gotong royong.
Gotong royong merupakan karakter dan budaya yang tidak saja
merekatkan berbagai komponen bangsa Indonesia, tetapi juga membuat
setiap warganya berani menyimpan mimpi bersama. Indonesia adalah
sebuah cita-cita yang diikrarkan untuk dicapai melalui gotong royong,
dilakukansecara sadar dan bersama-sama.Jadi, jangan dilupakan,
Pancasila lebih dari sekedar ideologi. Pancasila adalah kesepakatan
(modus vivendi) dan gerakan bersama. Sementara, gotong royong adalah
pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-membantu bersama. Jadi memang, membangun negeri
iniharuslah dilakukan dengan kemauan dan semangat bergotong
royong.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2016. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang 6
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh
© 2016. Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang