Anda di halaman 1dari 45

sunnah apabila ditinjau dari zatnya terbagi menjadi tiga bagian :

 Sunnah qauliyah (berupa perkataan),  seperti perkataan Rasulullah SAW :

َ ‫ ئِ َّم ِة ال ُم ْسلِ ِم‬2َ‫ص ْي َح ِة هللاِ َو َرسُولِ ِه َو َِِال‬


‫ين َو َعا َّمتِ ِه ْم‬ ِ َ‫ال ِّدي ُْن ن‬
Agama adalah Nasihat bagi Allah swt, utusannya dan para pemuka kaum muslimin
seluruhnya. (H.R. Bukhari )
    Perkataan rasulullah saw menjadi sumber hukum syara’ apabila maksud dan tujuannya
sebagai penerang hukum-hukum ataupun tasyri’nya. Sedangkan apabila perkataan tersebut
berada dalam urusan dunia secara murni yang tidak ada hubungannya dengan tasyri’ dan
tidak timbul berdasarkan wahyu, maka sunah tersebut tidak dapat dijadikan dalil dalam
hukum tasyri’ dan tidak mesti mengikutinya. Contoh hadist diriwayatkan baha rasulullah sa
melihat sekelompok kaum di madinah sedang melakukan penyerbukan kurma kemudian
beliau memberi isyarat untuk meninggalkannya, akhirnya hasil panen buah kurma tidak
memuaskan, rasul pun bersabda “serbukilah kalian lebih mengetahui urusan duniamu.

 sunnah fi’liyah (berupa perbuatan ), seperti sunnah pelaksanaan sholat dengan


gerakannya dan rukunnya. Sunnah ada yang menjadi sumber hukum dan terdapat pula
yang tidak dijadikan sumber hukum, diantaranya :

1. Al-Af'al al-jabliyah, yaitu perbuatan yang bersumber dari rasulullah saw


sebagai manusia biasa, seperti makan, minum, tidur, seyum, cara berpakaian,
dan sebagainya. Maka perbuatan semacam ini tidak mesti diikuti kecuali
hanya sebatas boleh meniru beliau seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin
Umar.

     Diriwayatkan oleh Abu hurairah r.a. beliau berkata, Rasulullah saw
bersabda :
"apabila seseorang ingin tidur, hendaklah dia menyimpulkan penghujung
kainnya lalu lalu membuang debu-debu yang ada kemudian membaca : 

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


karenua dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi ditempat tidurnya selepas
itu. Apabila dia ingin berbaring hendaklah dia beraring diatas lambung kanan,
kemudian berdoa :

َ ‫ْت َج ْنبِي َوب‬


‫ك اَرْ فَ ُعهُ اِ ْن‬ ُ ‫ضع‬َ ‫ك َو‬ َ ِ‫ك اللهُ َّم َربِّ ب‬ َ َ‫ُس ْب َحان‬
‫ت نَ ْف ِسي فَا ْغفِرْ لَهَا َوان اَرْ َس ْلتَهَأ فَ ْهفَضْ هَا ِب َما‬ َ ‫اَ ْم َس ْك‬
‫ين‬
َ ‫ك الصَّالِ ِه‬ َ ‫تَ ْهفَظُ ِب ِه ِعبَ َد‬
2. Perkara yang tetap hanya untuk Rasulullah SAW (kekhususan) tidak untuk
umat, seperti kekhususan Rasul untuk melakukan puasa wisal, nikah lebi dari
empat istri dan sebagainya.

‫ي صلى‬ َّ ‫ أَ َّن النب‬: ‫حديث بن عمر رضي هللا عنهما‬


ِ ‫ك تَ َو‬
‫اص ُل‬ َ َّ‫ال قَلُوا إِن‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫هللاُ عليه وسلّم نَهَى َع ِن‬
َ ‫الو‬
‫ط َع ُم َوأُ ْسقَى‬
ْ ُ‫ْت َكهَيئتِ ُك ْم انِّي أ‬
ُ ‫قَا َل اني لَس‬
Dari ibnu umar r.a. ia berkata : rasulullah saw melarang puasa wishal,
mereka bertanya : apakah engkau berpuasa wishal ? Beliau menjawab, "aku
tidak seperti kalian," aku diberi makan dan minum. Puasa wishal adalah
seseorang menyambung puasa dua hari atau lebih tanpa makan dan minum
antara kedua hari itu. Juga dari abu hurairah r.a. dan Aisyah r.a. bahwa
rasulullah melarang puasa wishal.

3. perkara yang diketahui bahwa perbuatan rasulullah saw hanya sebagai


penjelas (memperinci) bagi Al-Qur'an yang global. maka penjelasan rasul
tersebut adalah hukum tasyri' yang wajib dilaksanakan oleh umat. Seperti
hukum Nas yang menerangkan perbuatan baik yang wajib, sunat (mandub),
dan sebagainya.
     sunnah tersebut menjadi penerang bagi hukum global baik secara jelas
yang diucapkan atau jelas situasinya. contoh pertama seperti hadist "sholatlah
kalian sebagaimana kalian melihat sholatku". hadist ini sebagai penerang ayat
Al-Qur'an yang berbunyi: "kerjakanlah sholat !. Contoh kedua adalah seperti
keputusan yang berupa perintah seperti memotong tangan dari pergelangan.
Sunnah ini sebagai penjelas bahkan penguat bagi maksud ayat Al-qur'an Q.S.
Al-maidah : 38 yang artinya : "pencuri (laki-laki dan perempuan) maka
potonglah tangannya".

4. perkara yng diperkuat oleh rasulullah saw sebagi pemula, dan dikenal dengan
sifatnya yang syar'iyah baik wajib, mandub, dan boleh, karena hal tersebut
merupakan tasyri' bagi umat. Sebagaimana firmman Allah swt yang artinya
"Sungguh rasul muhammad saw adalah contoh suri tauladan yang baik bagi
kamu sekalian".
5. perkara yang  diperbuat oleh rasulullah saw akan tetapi tidak diketahi sifatnya
sebagai hukum syara', seperti perbuatannya dalam senantiasa melakukan
ibadah qiyamul lail bagi rasul wajib, tidak bagi umat kecuali hanya mustahab
saja. Sebagai mana firman allah swt :

َ َ‫ك َع َسي ان يَ ْب َعث‬


‫ك ربك مقا‬ َ َّ‫يل فَتَ َح َّج ْد نَافِلَةً ل‬
ِ َّ‫َو ِم َن ال‬
‫َّمحْ ُمو ًدا‬
Dan pada sebaian malam, lakukanlah sholat Tahajud (sebagai suatu ibadah)
tambahan bagimu, mudah-mudahan tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang
terpuji.

 sunnah Taqririyah (ketetapan) adalah diamnya rasulullah dari mengingkari


ucapanataupun perbuatan yang timbul dari para sahabat yang berada dengannya (hadir
bersamanya) ataupun tidak karena diannya rasul saw menunjukan bahwa perkara
tersebut dalam baasan kebolehan, karena rasul tidak diam dalam masalah kebatilan
dan kemungkaran. seperti beliau tidak menggubris dua orang anak yang sedang
bermain perang-perangan diasjid. dan masih banan contoh yang lain.

Pengertian Hadits Mutawatir. Mutawatir menurut bahasa berarti ‫ المتتابع‬yang berarti yang
berlanjut, berurutan. Artinya Sesuatu yang datang kemudian atau secara beriring-iring antara
yang satu dengan lainnya tanpa adanya jarak.

Sedangkan Sohari Sahrani dalam bukunya “ulumul hadits” mengutip beberapa


definisi yang menjelaskan tentang hadits mutawatir secara terminologi yaitu terdapat
beberapa formulasi definisi, antara lain sebagai berikut.
‫الحديث المتواتر هو الذي رواه جمع كثير اليمكن تواطئهم على الكذب عن مثلهم إلى انتهاء السند وكان مستندهم الحس‬
Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumah rawi yang tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal sanad sampai akhir sanad dan cara penyandaran
mereka adalah pancaindra.
‫ما رواه جمع عن جمع تحيل العادة تواطئهم على الكذب‬
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat istiadat mustahil
mereka bersepakat untuk berdusta.
Dalam kitab Al-Minhal al-Lathif  fi Ushulil Hadits asy-Syarif, Muhammad ‘Alawy juga
menjelaskan tentang hadits mutawatir secara istilah, yaitu;
‫ع‬22‫ك في جمي‬22‫بر ذال‬22‫ ويعت‬,‫ا‬22‫ذب منهم إتفاق‬22‫ول الك‬22‫ أو حص‬,‫ي‬2‫ما رواه جمع يحيل العقل تواطئهم على الكذب عادة من أمر حس‬
.‫الطبقات ان تعددت‬
Hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya, yang menurut
akal dan kebiasaan mereka tidak dimungkinkan untuk berdusta, dan dalam periwayatannya
mereka bersandarkan pada panca indra. 
Dari beberapa definisi yang ada, dapat dirumuskan beberapa syarat yang harus ada dalam
hadits muawatir, yaitu ada 4 syarat:
a) Periwayatannya didukung oleh jumlah yang banyak
b) Menurut logika dan kebiasaannya, tidak dimungkinkan para perawi bersekongkol untuk
berdusta
c) Terdapat Jumlah perawi yang banyak pada setiap tingkatan, dari awal sanad sampai akhir
sanad
d) Sandaran dalam periwayatan mereka menggunakan panca indra dan bukan akal. 
Ulama hadits masih berbeda pendapat tentang jumlah perawi, ada yang menetapkan dengan
jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkannya. Ulama yang tidak mensyaratkan jumlah
tertentu, mereka berpatokan pada adat istiadat yang dapat memberikan keyakinan terhadap
apa yang diberitakan para perawi yang mustahil mereka sepakat berdusta. Sedangkan ulama
yang mensyaratkan adanya jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya. 
Beberapa pendapat ulama tentang jumlah perawi yang harus ada adalah:
a) Abu at-Thaiyyib, menentukan sekurang-kurangnya 4 orang, diqiyaskan dengan banyaknya
saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis pada terdakwah. Ini didasarkan pada
QS. 24. An-Nur : 13. 
b) Ashab as-Syafi’i menentukan minimal 5 orang, diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang
mendapat gelar ulul azmi. Juga ada yang berdasarkan pada permasalahan li’an, QS. 24. An-
Nur : 6-9. 
c) As-Suyuthy dan Astikhary menetapkan bahwa jumlah yang paling baik adalah minimal 10
orang, sebab bilangan itu merupakan awal bilangan banyak. Pendapat inilah yang banyak
diikuti oleh para muhaddisin.
d) Ada pendapat lain yang mengatakan minimal 12 orang, seperti jumlah pemimpin yang
dijelaskan dalam firman Allah QS. 5. Al-Maidah : 12. 
e) Ada sebagian ulama yang menetapkan 20 orang, ini didasarkan pada QS. 8. Al-Anfal :
65. 
f) Ada juga yang mengatakan minimal 40 orang, ini didasarkan pada QS. 8. Al-Anfal : 64. 
g) Ada juga yang menetapkan jumlah minimal 70 orang, ini didasarkan atas firman Allah
dalam al-Quran QS. 7. Al-A’raf : 155. 
Pada prinsipnya hadits mutawatir ini bersifat qath‘i al-wurud (sesuatu yang pasti benar-benar
bersumber dari Nabi), maka keseluruhan dari hadits mutawatir adalah maqbul (diterima)
dengan tidak diperlukan lagi kajian tentang sanad atau rijal (periwayat hadits). Bahkan
menurut Imam Nawawi, sekalipun periwayatnya adalah bukan seorang muslim. Maka ulama
muhaddisin sepakat bahwa hadits mutawatir adalah hujjah bagi kaum muslim yang
bersifat qath’I (pasti), maka dari itu wajib hukumnya untuk membenarkan dan
mengamalkan kandungan-kandungan yang ada pada hadits mutawatir. Terkait dengan ada
atau tidak tentang hadits mutawatir juga masih dipertentangkan oleh ulama. Adapun menurut
1). Ibnu Hibban dan al-Hazimi tidak ada, 2). Ibnu Sholah ada, namun sangat jarang, dan 3).
Ibnu Hajar dan as-Suyuti ada. setelah selesai membaca pengertian hadits mutawatir mari kita
ketahui pembagian hadits mutawatir

HADITS MUTAWATIR, AHAD DAN MASYHUR

HADITS MUTAWATIR, AHAD DAN MASYHUR


1.      Hadits Mutawatir Dan Macam-macamnya
a.)    Arti Mutawatir
Mutawatir dalam segi bahasa memiliki arti yang sama dengan kata “mutataabi’,artinya:”
beruntun atau beriring-iringan”, maksudnya beriring-iringan antara satu dengan yang lain
tanpa ada jaraknya”. sedang menurut istilah ialah:

‫ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ‬                     


Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut
adat, mustahil mereka bersepakat lebih dahulu untuk berdusta.

‫ﻤﺎﺭﻭﺍﻩ ﺠﻤﻊ ﺘﺤﻴﻝ ﺍﻟﻌﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻋﻥ ﻤﺜﻠﻬﻡ ﻤﻥ ﺍﻭﻝ ﺍﻠﺴﻨﺩ ﺍﻠﻰ ﻤﻨﺘﻬﺎﻩ‬
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang menurut adat,
mustahil mereka sepakat untuk berdusta, mulai awal sampai akhir mata rantai sanad,pada
setiap tabaqat atau generasi.
            Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa hadits mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, yang menurut adat, pada umumnya dapat
memberikan keyakinan yang mantap, terhadap apa yang telah mereka beritakan, dan mustahil
sebelumnya mereka bersepakat untuk berdusta, mulai dari awal matarantai sanad sampai pada
akhir sanad.
            Dalam hadits mutawatir, para ahli berbeda-beda dalam memberikan tanggapan, sesuai
dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki mereka masing-masing, diantaranya ialah:
1.      Ahli hadits mutaqaddimin, tidak terlalu mendalam dalam memberikan bahasan, sebab hadits
mutawatir itu pada hakikatnya tidak dimasukkan ke dalam peembahasan masalah-masalah:
-          Ilmu isnad yaitu ilmu mata rantai sanad, artinya sebuah disiplin ilmu yang hanya membahas
masalah shahih tidaknya, di amalkan dan tidaknya.
-          Ilmu rijal al-hadits, artinya semua pihak yang terkait dalam soal periwayatan hadits dan
metode penyampaian hadits.
Oleh sebab itu, jika status hadits itu mutawatir, maka kebenaran didalamnya wajib di yakini
dan semua isi yang terkandung didalamnya wajib di amalkan, sekalipun diantara perawinya
orang kafir.
2.      Ahli hadits mutaakhirin dan ahli Ushul berkomentar bahwa hadits dapat disebut dengan
mutawatir jika memiliki kriteria-kriteria sebagaimana yang dijelaskan berikut ini:
b.      Kriteria Hadits mutawatir
Adapun criteria yang harus ada dalam hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
1.      Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
Maksudnya secara umum sejumlah besar periwayat tersebut bisa memberikan suatu
keyakinan yang mantap bahwa mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, tanpa
melihat berapa jumlah besar perawinya.
2.      Adanya kesinambungan antara perawi pada thabaqat (generasi) pertama dengan thabaqat
(generasi) berikutnya.
Maksudnya jumlah perawi generasi pertama dan berikutnya harus seimbang, artinya jika
pada generasi pertama berjumlah 20 orang, maka pada generasi berikutnya juga harus 20
orang atau lebih. akan tetapi jika generasi pertama berjumlah 20 orang, lalu pada generasi
kedua 12 atau 10 orang, kemudian pada generasi berikutnya 5 atau kurang, maka tidak dapat
dikatakan seimbang.
Sekalipun demikian, sebagian ulama berpendapat bahwa keseimbangan jumlah pada tiap-
tiap generasi tidak menjadi persoalan penting yang sangat serius untuk diperhatikan, sebab
tujuan utama adanya keseimbangan itu supaya dapat tehindar dari kemungkinan teejadinya
kebohongan dalam menyampaika hadits.
3.      Berdasarkan Tanggapan Pancaindra
Maksudnya hadits yang sudah mereka sampaikan itu harus benar hasil dari pendengaran
atau penglihatan mereka sendiri.
2. Macam-Macam Hadits Mutawatir
a.  Mutawatir Lafzhi Dan Contohnya
Mutawatir Lafzhi ialah:

‫ﻤﺎ ﺘﻭﺍﺘﺭﺕ ﺭﻭﺍﻴﺘﻪ ﻋﻟﻰ ﻠﻓﻅ ﻭﺍﺤﺩ‬


“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih dalam satu lafal”
Jadi jika ditemukan sejumlah besar perawi hadits berkumpul untuk meriwayatkan dengan
berbagai jalan, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk berbuat dusta,
maka nilai yang terkandung di dalamnya termasuk “ilmu yakin” artinya meyakinkan bagi kita
bahwa hadits tersebut telah di sandarkan kepada yang menyabdakannya, yaitu Rasulullah
saw.
Contoh:

‫ﻤﻥ ﻜﺫﺏ ﻋﻟﻲ ﻤﺘﻌﻤﺩﺍ ﻔﻟﻴﺘﺒﻭﺃ ﻤﻘﻌﺩﻩ ﻤﻥ ﺍﻠﻨﺎﺭ‬


‘‘Siapa saja yang berbuat kebohongan terhadap diriku, maka tempat duduknya yang layak
adalah Neraka’’
Dalam men-sikapi hadits ini, para ahli berbeda-beda dalam memberikan komentar,
diantaranya ialah:
-          Abu Bakar al-Sairy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 40 sahabat secara
marfu’
-          Ibnu Shalkah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 sahabat, termasuk
didalamnya adalah 10 sahabat yang dijamin masuk Surga.
-          Ibrahim al-Haraby dan Abu Bakar al-Bazariy berpendapat bahwa hadit ini diriwayatkan oleh
450 sahabat.
            b. Mutawatir Ma’nawiy dan Contohnya

‫ ﻋﻟﻰ ﺍﻟﻜﺫﺏ ﻭﻗﺎﺌﻊ ﻤﺨﺘﻟﻔﺔ ﺍﺸﺘﺭﻜﺕ ﻓﻰ‬2‫ﻫﻭ ﺍﻥ ﻴﻨﻘﻝ ﺠﻤﺎﻋﺔ ﻴﺴﺘﺤﻴﻝ ﻋﺎﺩﺓ ﺘﻭﺍﻁؤﻫﻡ‬
‫ﺍﻤﺭ ﻴﺘﻭﺍﺘﺭ ﺫﻟﻙ ﺍﻟﻘﺩﺭ ﺍﻟﻤﺸﺘﺭﻙ‬                                                  
Hadits Mutawatir ma’nawiy ialah kutipan sekian banyak orang yang menurut adat
kebiasaan, mereka mustahil bersepakat dusta atas kejadian-kejadian yang berbeda-beda,
tetapi bertemu pada titik persamaan
Maksudnya adalah hadits yang para perwinya berbeda-beda dalam menyusun redaksi
pemberitaan, tetapi pada prinsipnya sama.
Contoh:

‫ ﻤﻥ‬2‫ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ‬2‫ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ‬2‫ﻤﺎ ﺭﻔﻊ ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ‬
‫ﺩﻋﺎﺌﻪ ﺍﻻ ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ‬                                                         
Rasulullah saw tidak mengangkat ke duatangan beliau dalam berdo’a selain dalam do’a shalat
istisqa’ dan beliau sawmmengangkat tangannya tampak putih-putih ke-dua ketiaknya.

‫ﻜﺎﻥ ﻴﺭﻔﻊ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺫﻭ ﻤﻨﻜﺒﻴﻪ‬


Ketika beliau saw mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.[1]
2. HADITS AHAD
Definisi Hadits Ahad
Ahad adalah bahasa arab yang berasal dari kata dasar ahad (‫ )ﺍﺤﺩ‬, artinya satu ( ‫ﻭﺍﺤﺩ‬

,atau wahid ), Jadi khabar wahid adalah: ‫ ﻭﺍﺤﺩ‬2‫ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻴﺭﻭﻴﻪ ﺸﺨﺹ‬/ suatu habar yang
diriwayatkan oleh orang satu. sedang menurut istilah hadits ahad ialah hadits yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Atau berarti:
‫ﺍﻠﺤﻴﺙ ﺍﻷﺤﺎﺩﻯ ﻫﻭ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻨﺘﻬﻰ ﺍﻠﻰ ﺍﻟﺘﻭﺍﺘﺭ‬                               
            Hadits yang tidak mencapai tingkatan hadits mutawatir.
3.      HADITS MASYHUR
Arti Masyhur
‫ﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺜﻼﺜﺔ ﻔﺄﻜﺜﺭ ﻭ ﻠﻡ ﻴﺘﺼﻝ ﺩﺭﺠﺔ ﺍﻠﺘﻭﺍﺘﺭ‬                          
Hadits masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, selama tidak
mencapai tingkatan mutawatir.
Dalam menanggapi masalah ini, sebagian ulama mengatakan bahwa hadits masyhur
itu sama dengan hadits mustafidl. sedang yang lain mengatakan berbeda, jika mustafidl
perawinya berjumlah tiga orang atau lebih sedikit,mulai dari generasi pertama sampai
terakhir. Dan hadits masyhur lebih umum dari pada mustafidl, artinya jumlah perawi dalam
tiap-tiap genarasi tidak harus sama atau seimbang, sehingga jika generasi pertama sampai
generasi ketiga perwinya hanya seorang, tetapi generasi terakhir jumlah perawinya beanyak,
maka hadits ini dinamakan hadits masyhur, sebagai contoh:
-          Hadits masyhur, ditakhrij imam Bukhari dari Ibnu ‘Umar:
- ‫ﻘﺎﻝ ﺭﺴﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﺍﻨﻤﺎ ﺍﻷﻋﻤﺎﻝ ﺒﺎﻠﻨﻴﺎﺕ ﻭ ﺇﻨﻤﺎ ﻟﻜﻝ ﺍﻤﺭﺉ ﻤﺎ‬
        

‫ﻨﻭﻯ‬                                                                  
Rasulullah saw bersabda sesungguhnya sahnya amal perbuatan itu dengan niat dan bagi tiap-
tiap orang mendapatkan apa-apa yang telah ia niati.

pengertian pembagian Hadits Ahad


a. Pengertiannya
kata "‫ "االحاد‬ditinjau dari segi etimologi merupakan bentuk plural/jamak dari kata “‫ ”أحد‬yang
berarti tunggal, yang berarti diriwayatkan oleh 1 orang perawi. Sedangkan hadits ahad
ditinjau dari segi terminologi adalah hadits yang tidak terkumpul padanya beberapa syarat
hadits mutawatir. Ada sebagian ulama yang mendifinisikan hadits ahad adalah hadits yang
sanadnya syah dan bersambung sampai Nabi, akan tetapi
kandungan haditsnya memberikan pengertian dzanni (praduga) dan tidak sampai pada qath’i
(pasti). 
b. Pembagian Hadits Ahad
Hadits ahad terbagi menjadi tiga macam: Hadits Masyhur, Hadits ‘Aziz, dan Hadits Gharib.
a) Hadits masyhur
Kata Masyhur secara bahasa memiliki arti terkenal, tersiar, tersebar . Maka hadits masyhur
secara etimologi adalah hadits yang sudah terkenal/ populer. Sedangkan  hadits mashur
ditinjau dari segi terminologinya adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau
lebih, serta belum mencapai derajat hadits mutawatir. 
Menurut ulama’ fiqih, hadits masyhur memiliki kesamaan arti dengan hadits mustafid, akan
tetapi ulama yang lain membedakannya. Jadi suatu hadits dikatakan sama dengan mustafid
apabila jumlah perawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqat (tingkatan)
pertama sampai pada tingkatan terakhir. Sedangkan ulama lain mengatakan bahwa hadits
masyhur lebih umum dibanding dengan hadits mustafid, sebab jumlah perawi pada setiap
tingkatan tidak harus selalu sama banyaknya atau seimbang. Akan tetapi yang menjadi
pokok di sini adalah pada thabaqah pertama (sahabat) harus diriwayatkan oleh tiga orang
perawi atau lebih dan belum mencapai derajat mutawatir.
Dengan demikian, ada beberapa macam pembagian hadits masyhur, yaitu:
 Masyhur dikalangan muhaddisin dan lainnya (golongan ulama tertentu serta orang umum)
...ُ‫ه‬2‫ا نَهَى هَّللا ُ َع ْن‬22‫ َر َم‬2‫ا ِج ُر َم ْن هَ َج‬22َ‫ َو ْال ُمه‬، ‫ قَا َل « ْال ُم ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم ْال ُم ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ع َِن النَّبِ ِّى‬
»... 
“Rasulullah SAW bersabda: “Orang Islam adalah orang yang selamat dari lidah dan
tangannya, dan orang yang hijrah adalah orang yang pergi meninggalkan larangan Allah.”
Hadits di atas disebut juga hadits mustafid, sebab diriwayatkan oleh para perawi yang tidak
kurang dari tiga perawi dalam setiap tingkatannya.
 Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya mashur dikalangan ahli hadits
saja, ahli fiqih saja, ahli tasawuf saja, ahli nahwu saja, dsb.
Hadits yang mashur di kalangan muhaddisin saja:
‫ك‬2
ٍ 2ِ‫َس ب ِْن َمال‬ِ ‫ا َدةَ ع َْن أَن‬22َ‫ قَنَتَ َو َح َّدثَنَا َع ْمرٌو النَّاقِ ُد َح َّدثَنَا األَ ْس َو ُد بْنُ عَا ِم ٍر أَ ْخبَ َرنَا ُش ْعبَةُ ع َْن قَت‬-‫لم‬22‫ه وس‬22‫لى هللا علي‬22‫ص‬- ‫ى‬َّ ِ‫أَ َّن النَّب‬
.ُ‫َص ُوا هَّللا َ َو َرسُولَه‬
َ ‫صيَّةَ ع‬ َ ‫ َش ْهرًا يَ ْل َعنُ ِر ْعالً َو َذ ْك َوانَ َو ُع‬ 
Ulama’ lain selain ahli hadits tidak banyak yang memashurkan hadits di atas. Oleh karena
itu, hadits tersebut hanya masyhur dikalangan ahli hadits saja.
 Mashur dikalangan orang-orang umum saja.
‫ي ٍْن‬2‫ُس‬ َ ‫تح‬ ِ ‫ ةَ بِ ْن‬2‫ َّدثَنِى يَ ْعلَى بْنُ أَبِى يَحْ يَى ع َْن فَا ِط َم‬2‫ َرحْ بِي َل َح‬2‫ َعبُ بْنُ ُم َح َّم ِد ْب ِن ُش‬2‫ص‬ ْ ‫ير أَ ْخبَ َرنَا ُس ْفيَانُ َح َّدثَنَا ُم‬
ٍ ِ‫َح َّدثَنَا ُم َح َّم ُد بْنُ َكث‬
.» ‫س‬ ٍ َ ‫ر‬َ ‫ف‬ ‫ى‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬َ ‫ء‬ ‫ا‬‫ج‬ ْ
‫ن‬ ‫إ‬ ‫و‬
َ َ َِ َ ِ ِ ِ ٌّ
‫ق‬ ‫ح‬ ‫ل‬ ‫ئ‬ ‫َّا‬
‫س‬ ‫ل‬ ‫ل‬ « -‫وسلم‬ ‫عليه‬ ‫هللا‬ ‫صلى‬- ِ ‫هَّللا‬ ‫ل‬
ُ ‫ُو‬
‫س‬ ‫ر‬ ‫ل‬ ‫ا‬ َ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫ا‬
َ َ َ ٍّ ِ ِ ِ َ َ ‫ق‬ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ‫ن‬ ْ
‫ب‬ ‫ْن‬‫ي‬‫س‬ ‫ح‬
ُ ْ
‫َن‬‫ع‬  
Terkait dengan hukumnya, hadits masyhur tidak bisa diklaim sebagai hadits shahih ataupun
tidak shahih, karena hadits masyhur ada yang mencapai level shahih, hasan, dhaif, dan
bahkan ada yang maudhu’. Namun yang pasti posisi hadits masyhur lebih tinggi
dibandingkan hadits ‘aziz dan hadits gharib.  
b) Hadits ‘aziz
Kata “‫ ”ال َع ِزي ُز‬secara bahasa memiliki banyak arti, diantaranya adalah yang mahal (berharga),
yang dihitung, yang langka (jarang), yang mulia (dimuliakan), yang kuat, yang tercinta, dll.
Jadi hadits ‘aziz secara etimologi adalah hadits yang langka (jarang) serta kuat.
Sedangkan ditinjau dari segi terminologinya hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua perawi, walaupun dua perawi tersebut terdapat pada satu thabaqat saja, kemudian
setelah itu, banyak orang meriwayatkannya. 
Dengan demikian, yang dikatakan hadits ‘aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh 2 perawi
pada setiap thabaqatnya, akan tetapi selama pada salah satu thabaqatnya ada 2 perawi, yaitu
pada thabaqat pertama (sahabat)-nya, maka dapat dikatakan hadits ‘aziz.
Contoh hadits ‘aziz adalah hadits berikut ini:
- ِ ‫ول هَّللا‬ َ 2‫ أَ َّن َر ُس‬- ‫ه‬2‫ى هللا عن‬2‫ رض‬- َ‫ َرة‬2ْ‫ج ع َْن أَبِى ه َُري‬ ِ ‫ َر‬2‫ا ِد َع ِن األَ ْع‬2َ‫و ال ِّزن‬2ُ‫ َّدثَنَا أَب‬2‫ا َل َح‬2َ‫َح َّدثَنَا أَبُو ْاليَ َما ِن قَا َل أَ ْخبَ َرنَا ُش َعيْبٌ ق‬
َ َ َ
. » ‫ال « فَ َوالَّ ِذى نَ ْف ِسى بِيَ ِد ِه الَ ي ُْؤ ِمنُ أ َح ُد ُك ْم َحتَّى أ ُكونَ أ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه‬ َ َ‫ ق‬- ‫صلى هللا عليه وسلم‬ 
”...demi dzat yang jiwaku berada pada kuasanya, tidaklah sempurna iman salah seorang
diantara kalian, sehingga aku lebih dicintainya daripada ia mencintai, orang tuanya dan
anaknya”.
Dalam hadits lain disebutkan:
‫ ح‬- ‫لم‬2‫ه وس‬2‫لى هللا علي‬2‫ ص‬- ‫س ع َِن النَّبِ ِّى‬ ٍ َ‫ب ع َْن أَن‬ٍ ‫هَ ْي‬2‫ص‬
ُ ‫ز ْب ِن‬2‫ي‬ ِ ‫ ِد ْال َع ِز‬2ْ‫ َّدثَنَا ابْنُ ُعلَيَّةَ ع َْن َعب‬2‫ا َل َح‬2َ‫ َرا ِهي َم ق‬2ْ‫َح َّدثَنَا يَ ْعقُوبُ بْنُ إِب‬
َ َ َ َّ ُ َ
‫ ِه‬2 ‫ « ال يُؤ ِمنُ أ َح ُدك ْم َحتى أكونَ أ َحبَّ إِل ْي‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ال قَا َل النَّبِ ُّى‬
ُ ْ َ َ َ‫س ق‬ ٍ َ‫َو َح َّدثَنَا آ َد ُم قَا َل َح َّدثَنَا ُش ْعبَةُ ع َْن قَتَا َدةَ ع َْن أَن‬
. » َ‫اس أَجْ َم ِعين‬ ِ َّ‫ ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬ 
Dalam kedua redaksi tersebut, hadits pertama pada thabaqat pertama diriwayatkan oleh
sahabat Abu Hurairah, dan pada hadits kedua pada thabaqat pertama diriwayatkan oleh
sahabat Anas bin Malik. Dengan demikian, pada kedua hadits di atas, diriwayatkan oleh dua
perawi pada thabaqat pertamanya.
c) Hadits gharib
Kata “ ٌ‫َريْب‬ ِ ‫ “غ‬secara bahasa berarti yang aneh, yang tak dikenal, yang asing dsb. Jadi yang
dimaksud dengan hadits ghorib secara etimologi adalah hadits yang menyendiri atau yang
jauh dari kelompoknya. Sedangkan ditinjau dari segi terminologinya, hadits gharib adalah
hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana
saja (thabaqat/tingkatan) penyendirian dalam sanad itu terjadi. 
Penyendirian perawi di sini dapat mengenai personalianya, artinya tidak ada orang lain yang
meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga penyendiriannya dapat mengenai sifat/ keadaan
perawi, artinya sifat atau keadaan perawi nya berbeda dengan dengan perawi lain yang
meriwayatkan hadits. 
Dengan demikian, hadits gharib dapat dibagi menjadi 2 macam, yaitu: gharib mutlak dan
gharib nisbi.
 Gharib Mutlak, adalah hadits yang penyendiriannya terkait dengan personalianya, dan
penyendirian perawi dalam hadits ini harus berpangkal pada ashlus sanad. Contohnya:
‫ح ع َْن أَبِى‬ ٍ ِ‫ال‬2‫ص‬ َ ‫ار ع َْن أَبِى‬2 ٍ 2َ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ ُم َح َّم ٍد قَا َل َح َّدثَنَا أَبُو عَا ِم ٍر ْال َعقَ ِدىُّ قَا َل َح َّدثَنَا ُسلَ ْي َمانُ بْنُ بِالَ ٍل ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِْن ِدين‬
‫ان‬2
ِ 2‫اإلي َم‬ ِ َ‫ ْعبَةٌ ِمن‬2 ‫ َو ْال َحيَا ُء ُش‬، ً‫ قَا َل « ا ِإلي َمانُ بِضْ ٌع َو ِستُّونَ ُش ْعبَة‬- ‫ صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ َع ِن النَّبِ ِّى‬- ‫ رضى هللا عنه‬- َ‫ه َُر ْي َرة‬
» 
“Iman itu bercabang-cabang menjadi 60 cabang, dan malu adalah satu cabang dari iman”.
Jadi, hadits tersebut di atas pada tingkatan sahabat hanya diriwayatkan oleh Abi Hurairah.
 Gharib Nisbi, adalah hadits yang penyendiriannya itu mengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu perawi. Penyendirian yang demikian, akan memiliki beberapa kemungkinan, antara
lain:
 Tentang sifat keadilan dan kedhobitan (ketsiqotan) perawi
 Tentang kota tempat tinggal perawi
 Tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu. 
Apabila penyendiriannya ditinjau dari segi letaknya (di matan atau di sanad), maka terbagi
menjadi 3 bagian:
 Gharib pada sanad dan matan
 Gharib pada sanad saja, sedang matannya tidak
 Gharib pada sebagian matannya. 
c. Status Hadits Ahad
Pembagian hadits ahad menjadi hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib, adalah dimaksudkan untuk
mengetahui secara langsung banyak atau sedikitnya jumlah perawi yang ada pada sanadnya,
dan bukan menentukan diterima atau ditolaknya sutau hadits. Sedangkan yang menentukan
status hadits diterima atau ditolak adalah pembagian hadits ahad menjadi hadits hadits shahih,
hasan, dan dhoif. Dengan demikian, pembagian kepada hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib itu,
masing-masing darinya ada yang berstatus shahih, hasan, ataupun dhaif. 
Dilalah (indikasi) dari hadits ahad adalah dzanny (dugaan), dan ini berbeda dengan hadits
mutawatir yang qhat’i (pasti). Artinya, hadits ahad itu ada kemungkinan dapat diterima dan
dapat diimplementasikan atau mungkin tidak dapat diterima dan tidak dapat
diimplementasikan. Kondisi yang demikian adalah tergantung pada status hadits ahad
tersebut, dikategorikan sebagai hadits shahih, hasan, atau dhaif. dikarenakan keadaaan hadits
ahad ini belum dapat dipastikan berasal dari Nabi Muhammad SAW atau tidak. Maka
diperlukan kajian lebih lanjut terkait dengan kualitas hadits ahad tersebut.

Hadist Ditinjau Dari Segi kualitas

A.Pembagian  Hadist
   Mayoritas pakar ulama hadis Nabawi telah membagi atas dua bagian yaitu hadis Maqbul
dan Mardud.
Maqbul: yang artinya bahwa semua orang yang telah meriwayatkan hadits itu sudah menetapi
syarat untuk diterima oleh karena itu hadis yang mereka riwayatkan menurut ulama'
dinamakan "Maqbul".
Mardud: artinya adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tidak menetapi syarat-syarat
diterima dan oleh karena ilmu hadis yang dia riwayatkan tadi menjadi hadis "Mardud".
Maqbul adalah hadis yang oleh ulama mustlalah dinamakan "Hadis Sahih". Mardud menurut
ulama Musthalah dinamakan "Hadis da’if".
Dan syarat-syarat diterima pada rawi itu terkadang sempurna dan kurang sempurna yang
mana bisa menjadikan atas dua derajat: derajat yang tinggi dan derajat yang rendah, maka
hadis yang mengandung sifat yang tinggi itulah hadis sahih dan bila mengandung agak lebih
dan sedikit darinya itulah Hadis Hasan.
Dari sinilah bisa diintisarikan: Bahwasannya hadis itu terbagi atas tiga macam "sahih",
"hasan" dan "da’if".

B.Hadist Ditinjau Dari Segi Kualitas


1.Hadist Sahih
   Sahih menurut bahasa: lawan sakit. Menurut istilah: yaitu hadits yang mengandung syarat-
syarat diterima yaitu ada lima, pertama: sanadnya harus muttasil (sambung) arti muttasil
disini hendaknya para perawi telah mendengar dari orang atasnya secara nyata, dan orang
lebih atas tadi telah mendengar dari orang yang lebih atas, begitu seterusnya hingga akhir
sanad.
Contohnya hadis riwayat Imam Bukhari :
‫ قال رسول هللا صلى هللا عليه‬:‫ أخبرنا مالك عن أبى الزناد عن االعرج عن ابى هريرة انه قال‬:‫حدثنا عبد هللا بن يوسف قال‬
)‫وسلم طعام االثنين كافى الثال ثة (رواه البخارى فى كتا ب األطعم‬

Telah menceritakan kepadaku Abdullah Ibn Yusuf berkata : telah menceritakan kepadaku
malik dari Abi Zanad dari A’raj dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw, bersabda
makanan orang dua sebaiknya cukup untuk orang tiga. (HR. Bukhari dalam kitab al-ad’am)

   Maka hadis ini adalah muttasil sanadnya artinya bahwa Imam Buchari pernah mendengar
dari Abdullah hadis ini, dan Abdullah pernah mendengar hadis ini dari Malik, dan Malik
mendengar Hadis ini dari Abi Zanad, dan Zanad mendengar dari al-A'raj, dan dia mendengar
dari Abi Hurairah dan Abi Hurairah mendengar dari Rasulullah.
Sanad ini bisa menerapkan adanya rawi yang semasa dengan orang sebelumnya, dan orang
sebelumnya seperiode dengan orang atasnya, sehingga mungkin atas kenyataan mendengar
dan muttsasilnya.
Kedua: Rawi yang adil.
Hendaknya setiap rawi hadis dalam sanad adalah rawi yang adil.
Adil: rawi yang muslim, selamat dari fasiq dan melakukan sifat-sifat yang keji, orang kafir
fasiq, gila dan orang yang tidak dikenal, mereka itu adalah bukan "Adil". Lain halnya orang
perempuan, maka dia "Maqbul Riwayah" asal dia "Muslimah" tidak fasiqah dan terhindar
dari sifat-sifat keji.
Begitu pula hamba sahaya diterima riwayatnya bila dia muslim selamat dari fasiq dan
perbuatan keji.
Dan bisa kita katakan bahwasannya rawi yang adil itu artinya "bersih" lakunya dan
kehidupannya dan beretika, dan masih ada lagi syarat, "alim". Karena perawi tidak akan adil
saleh bertaqwa, kalau tidak tahu  dan yakin atas periwayatannya, dan sebaliknya dengan arti
sifat tersebut tidak menetapkan adanya rawi tersebut mengetahui dan yakin dalam
riwayatnya. Kalau rawi tadi adil shalih dan bertaqwa oleh karena itu para ulama'
mensyaratkan pada rawi untuk dinyatakan dnegan sifat lain, yaitu rawi harus alim, yakind an
menyatakan dalam riwayatnya. Syarat tersebut yang oleh ulama ibaratkan degan sebutan
"Tamam dabti" yang sebagai syarat yang ketiga dari syarat hadis sahih.
Ketiga: sempurna kecermatannya, maksudnya adalah adanya rawi hadis di tingkat derajat
yang tinggi, seperti ia mendengar sesuatu di dalam hatinya, yang sekira mungkin menggugat
ketika ia menghendaki. Lain halnya orang yang sering lupa, banyak kesalahan dan lemah
kekuatan hafalannya.
Keempat: sunyi dari "syuduz" yaitu  rawi yang "siqah" tidak menyalahi rawi yang lebih
"sahih" dari padanya.
Kelima: sunyi dari "illah" yaitu hendaknya dalam hadis tidak terdapat "illah". Adapun illah
adalah sifat yang samar yang bisa mencelahkan diterimanya hadis, dan lebih jelasnya adalah
selamat dari sifat tersebut.

2.Hadis Hasan
   Hasan menurut bahasa: sesuatu yang diingini oleh nafsu.
Menurut istilah: hadis yang muttassil sanadnya diriwayatkan rawi adil. Dhabitnya dari derajat
hadis shahih, dan juga harus sunyi dari "syudud" dan "illah".
Adapun syaratnya ada lima :
Pertama :muttassil sanadnya
Kedua :rawi yang adil
Ketiga :rawi yang dabit (maksudnya ke dalam rawi tersebut lebih rendah dari pada rawi hadis
sahih yakni lemah dhabitnya)
Keempat :sunyi dari syuduz
Kelima :sunyi dari illah.
Maka jelaslah ketentuan syarat tersebut. Bahwasannya syarat-syarat hadis adalah sama
dengan syaratnya hadis sahih, kecuali syarat yang ketiga yaitu "dhabit" sebab syaratnya ini
dalam hadis shahih adalah berada di derajat yang tinggi. Sedang adapun dalam hadis tidak
disyaratkan. Cukup hanya "lemah dabitnya".
Contoh :

‫حديث محمد بن عمرو بن علقمة عن أبى سلمة عن ابى هريرة رضى هللا عنه‬.
Hadis Muhammad Ibn Amar Ibn Al-qamah dari Abi Salamah dari Abu Hurairah Ra.

   Muhammad bin Amar adalah sudah  terkenal terpercaya, tapi dia tidak kuat hafalannya.
Hukum Hadis Hasan :
Hukumnya sebagaimana hadis sahih untuk dibuat "Hujjah" (dasar) dan diamalkan, meskipun
lebih rendah kekuatannya dengan hadis shahih. Oleh karena itu apabila ada pertentangan,
hadis sahihlah yang harus didahulukan, karena lebih tinggi derajatnya dari pada hadis hasan.
Karena hadis hasan adalah berkurang dengan perawi hadis sahih dalam hafalan dan
dhabitnya. Adapun perawi hadis sahih adalah teguh dalam hafalan dan dhabitnya.

3.Hadis Da’if
   Da'if menurut bahasa dari kata ‫ الضعف‬dibaca fatkah dan dhammah. Kata "dai’f" lawan kuat,
menurut istilah hadis da’if adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan-persyaratan hadis
sahih dan hasan. Hadis ini bisa dikatakan hadis mardud.
Contoh :
‫و‬22‫وه‬  ‫روى عن أبي قيس االودى‬22‫ه ي‬22‫عيف الن‬22‫ذا ض‬22‫ (ان النبى صلى هللا عليه وسلم توضأ ومسح على الجوربين) فه‬:‫حديث‬
‫ضعيف‬.

 "Bahwasannya Rasulullah berwudhu dan mengusap kedua kaos kaki" ini hadis dha'if karena
diriwayatkan dari "Abi Qais al-Audi".

Pembangiannya :
Para ulama' berselisih pendapat atas pembagiannya. Sebagian mereka ada yang mengatakan
delapan puluh satu bagian ada yang empat puluh sembilan dan empat puluh tiga bagian,
tetapi kesemuanya pembagian ini tdiak ada faidahnya. Imam Ibnu Hajar berkata :
Hanya saja mereka yang telah berselisih dalam pembagiannya tidak
(memberikan/menerangkan) nama kepada kita macam-macamnya hanya sedikit sekali dan
mereka juga tidak mengkhususkan nama khusus atau nama tertentu tentang keadaan-keadaan
kelemahan.
Hukumnya :
Hadis da'if tidak boleh digunakan untuk masalah aqidah dan hukum, dan boleh dipergunakan
dalam "fada-ilil a'mal" Targhib dan Tarhib dan atau untuk menyebut sifat kebaikan. Tapi
dengan syarat-syarat yang terperinci.

HADIS MARFU'
   Hadis yang disandarkan keapda Rasullah baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan
dinamakan "marfu'" arena ketinggian derajatnya disandarkan kepada Rasulullah. Sama juga
sanadnya muttassil atau tidak.

‫ابع‬22‫ وكذا لو قال التابعى أو ت‬.‫ كذا اوفعل كذا كان هذا الحديث مرفوعا‬.‫فاذا قال الصحابى قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
‫التابعى أ و من بعدهم فإن ذلك يسمى مرفوعا‬.
Apabila ada Sahabat berkata Rasulullah Saw bersabda begini atau melakukan begini, maka
hadis ini dinamakam marfu'. Begitu juga apabila tabiin atau tabi'i tabiin, atau orang sesudah
mereka berkata, maka hadis tersebut dinamakan marfu'.

Termasuk juga dalam definisi ini yaitu hadis muttassil dan musnad, dan hadits yang tidak
terdapat syarat muttassil, seperti "mady mursal, mu'dlal", kecuali mauquf dan ma'tuq.
Macam-macam Rafu' :
Raf’u ada dua bagian :
Pertama: Marfu Tasrihi., hadis yang didalamnya terdapat kata-kata  Rasulullah Saw bersabda
atau dari Rasulullah Saw. berbuat begini, sebagaimana keterangan yang sudah lewat di atas.
Kedua: Marfu’ hukmi, rawi tidak menjelaskan ucapannya, dengan menyebutkan  Rasulullah
Saw bersabda. Marfu’ hukmi  banyak macamnya. Antara lain seperti sahabat berkata :
Termasuk sunnah adalah begini. Hadis ini disebut hadis marfu’.
Hukumnya :
Bahwasanya hadis "marfu'" itu terkadang shahih, dhaif dan terkadang hasan.

HADIS MUSNAD
   Musnad (dibaca fathah nun) dikatakan untuk kitab yang didalamnya terdapat kumplan-
kumpulan hadis yang diriwayatkan oleh shabat dan dikatakan untuk hadis yang akan
ta'rifnya.
Musnad adalah hadis yang muttassil dengan isnadnya dari rawi hingga sampai kepada
Rasululah sebagian pendapat mengatakan tidak demikian ta'rifnya menurut definisi ini, maka
hadis mauquf, ma'tuq, munqatiq, mu'allaq, mursal, mu'dal tidak termasuk "musnad".
Hukumnya :
Shahih, hasan, atau da'if  menurut sifatnya.

HADIS MUTTASIL
   Muttassil adalah: hadis yang bersambung-sambung sanadnya, atas pendengaran setiap rawi-
rawi. Rawi-rawi tersebut dari orang atasnya hingga habisnya sanad. Sama juga habisnya
sampai kepada Rasulullah atau kepada sahabat. Hadis muttasil dikatakan: "Mausul dan
Muttasil". 
Dengan uraian ini maka akan diketahui bahwasannya hadis musnad lebih  "khas" dari  pada
hadis muttasil. Maka setiap hadis musnad dinamakan muttasil, dan tidaklah setiap hadis
muttasil dinamakan musnad.
Hukumnya: sebagaimana hadis muttasil menurut ta'rif ini maka hadis mauquf dan ma'tuq
keduanya terkadang menjadi "muttasil".

HADIS MAUQUF
    Hadis yang disandarkan kepada shahabat  baik berupa perkataan, perbuatan dan sama juga
bersambung sanadnya atau terputus.
Mauquf qauli seperti :
‫ أو قال ابن مسعود كذا‬،‫رضى هللا عنه كذا‬  ‫قال ابن عمر‬.
Ibn Umar berkata begini atau Ibn Ma’ud berkata begini.

Mauquf fi'li seperti :


‫أوتر ابن عمر على الدابة فى السفر وغيره‬.
Ibn Umar melaksanakan salat witir di atas kendaraan dalam bepergian atau selainnya.

Ibnu Umar shalat witir di atas kendaraan di waktu bepergian dan lainnya. Termasukd dalam
ta'rif ini adalah hadits muttasil, munqati, mu'dlal, kecuali hadis marfu' dan mursal.
Hukumnya: seperti hadis muttasil.

HADIS MAQTU'
    Maq'tu' adalah hadis yang disandarkan kepada tabi'in baik berupa perkataan atau
perbuatan. Sama juga sanadnya bersambung atau tidak, dinamakan maqtu' karena terpusatnya
hadis untuk sampai kepada shahabat atau rasulullah. Termasuk dalam definisi ini hadis
"muttasil, mu'dlal munqatiq, kecuali hadis marfu', mauquf dan mursal".
Hadisnya: bahwasannya hadis maqtu' tidak boleh dibuat hujjah, kecuali apabila ada tanda-
tanda yang menunjukkan atas "rafu' yaitu hadis marfu' hukum atau ada tanda-tanda yang
menunjukkan atas "waqf" yaitu hadis mauquf: ‫كقول الراوى عن التابعى‬.  Seperti perkataan rawi
dari Tabi'i dalam arti "majas" sebagian ulama mengitlakkan hadis di tempat hadis munqatiq,
begitu pula sebaliknya "yaitu mereka mengitlakkan hadis munqatiq di tempat hadis ma'tuq.

HADIS MUNQATI'
    Hadis yang gugur dari sanadnya nama seorang rawi dengan syarat yang gugur tidak
shahabat, masuk dalam ta'rifmi hadis marfu', mursal-mauquf, kecuali "muttasil".
1.Sama juga rawi yang gugur tersebut di satu tepat atau lebih. Akan tetapi sekira yang gugur
tadi tidak melebihi di tiap-tiap tempat ada seorang.  Maka hadis ini belum menjadi "munqati"
pada dua tempat atau tiga tempat atau lebih banyak.
2.Sama juga rawi yang gugur berada di permulaan sanad atau di tengah-tengah hadis munqati
termasuk macam-macamnya hadis dha'if.

HADIS MU'DAL
     Mu'dal dengan bentuk isim mafu; menurut bahasa diambil dari perkataan mereka (Arab)
‫ إذا أعياه أمره‬،‫ أعضله فالن‬si fulan telah memahyakan orang lain, apabila perkaranya menjadikan
payah orang tersebut dinamakan hadis mu'dlal, karena muhaddis yang
menceritakan/memberitakan dengan hadis tersebut seakan-akan dia mempersulit dan
memayahkannya. Sehingga orang yang meriwayatkannya tidak bisa mengambil manfaa
Mu'dal: hadis yang sanadnya ada dua orang lebih yang telah gugur di tempat manapun
berada, denagn syarat tawaly (runtut) dan berturut-turut seperti gugurnya shahabat dari tabi'in
dan tabi'in dan tabi'i-tabi'i atau dua orang sebelum tabi'i dan tabi'in.
Adapun apabila ada salah seorang yang gugur diantara dua orang kemudian ada seorang lain
yang gugur pada tempat lain dalam, maka hadis tersebut dinamakan "munqatiq" di dua
tempat, sebagaimana penjelasan yang lampau dalam hadis munqatiq.
Contoh hadis mu'dlal :

‫ه‬2‫وك طعام‬22‫ (للممل‬:‫ال‬22‫لم ق‬2‫ه وس‬22‫لى هللا علي‬2‫ول هللا ص‬2‫رة أن رس‬2‫ بلغنى عن ابى هري‬:‫ما رواه االمام مالك فى الموطأ انه قال‬
‫ اثنان‬    ‫الساقط‬  ‫أن‬  ‫عن أبي هريرة فنظر‬  ‫عن أبيه‬  ‫وكسوته) فمالك يروى هذا الحديث عن محمد بن عجالن‬.
Hadis riwayat Imam Malik dala kitab Muwatta’ bahwa dia berkata : telah sampai padaku
berita dari abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda : bagi hamba sahaya memiliki hak
makanan dan pakaian. Imam Malik meriwaytkan  hadis ini dari Muhammad Ibn Ijlan dari
ayahnya dari Abu Hurairah, kemudian dia melihat bahwa ada dua rawi yang gugur.

Masuk dalam kategori pengertian hadis ini adalah hadis marfu’ mauquf  dan munqati’ kecuali
hadis muttasil.

Huklumnya : bahwasannya hadis mu'dal termasuk macam-macam dari hadis da’if.

HADIS MURSAL
     Dengan bentuk isim maf’ul: diambil dari kata ‫ إرسال‬artinya melepaskan, karena adanya
"mursil" yang telah mengucapkan hadis itu tidak mengkayati/mengikat seluruh perawi.
Mursal: hadis yang oleh tabi'i sandarkan kepada Rasulullah, yakni bahwasannya tabi'i
berkata, berkata Rasulullah terkecuali di dalam ta'rif ini hadis muttasil, manquf, maqtu dan
masuk disalamnya hadis mu'dlal dan munqati'.
Hukum hadis mursal: hukumnya sebagaimana hadis dha'if, menurut banyaknya muhaddisin
termasuk mereka yaitu Imam Syafi'i, adapun Imam Malik, bahwasannya dia berhujjah
dengan hadis mursal, dalam hukum dan lainnya. Berhujjah dengan hadis mursal ini qaul yang
mashur baginya dan juga Imam Ahmad bin Hanbal.
Di dalam masalah terdapat perselisihan antara para ulama yang tidak diperluas dalam kitab
qaidah pokok ini.

Contoh hadis mursal :

‫ما رواه االمام مالك فى موطأه عن زيد بن أسلم عى عطأ بن يسار أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال (إن شدة الحر من‬
‫فيح جهنم) الحد يث‬.
Hadis riwayat Imam Malik dalam kitab Muwatta’nya dari Zaid Ibn Aslam dari Ata’ Ibn
Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya api neraka jahannam itu sangat panas.
Al-hadis.

HADIS MU'ALLAQ
    Mu'allaq, dibaca fathah lamnya dan di tasdid diambil dari ‫تعليق الجدار ونحوه‬ 
Mu'allaq yaitu hadis yang dibuang isnadnya baik yang dibuang itu seorang saja atupun
banyak dengan berurutan atau tidak, meskipun hingga akhirnya isnad. Hadis mu'allaq ini
termasuk macam-macamnya hadis dha'if.
Contoh :
‫ بال سند‬... ‫ اوقال الزهرى هكذا‬.‫ اوقال ابوهريرة‬,‫أن يقول الراوى قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬.
Seorang rawi berkata. Berkata Rasulullah atas berkata Abu Hurairah, atas Zuhri berkata
begini… tanpa menyebut sanad.

Padahal antara rawi dan Rasulullah shahabat dan tabiin lebih dari satu rawi.
Masuk di dalam ta'rif ini setiap hadis yang tidak muttasil kecuali hadis muttasil.

HADIS MUSALSAL
    Musalsal dari kata ‫ تسلسل‬menurut bahasa artinya berurutan, menurut istilah yaitu hadis yang
perwarinya menyebutkan satu persatu atas satu keadaan atau tingkah laku, atas satu sifat
hadis musalsal mempunyai macam-amcam termasuk 

1. ‫ل‬22‫ر ك‬22‫ فقل دب‬.‫ رضى هللا عنه (يامعاذ انى أحبك‬،‫فى أحوال الرواة القولية كقول النبى صلى هللا عليه وسلم لمعاذ بن جبل‬
)‫صالة (اللهم أعنى على ذكرك وشكرك‬
1. Setiap ucapan rawi seperti sabda bani Saw kepada Mu’ad Ibn Jabal : ya Mu’ad
sesungguhnya saya sayang padamu bacalah setiap setelah salat, Ya Allah berilah pertolongan
padaku untukselalu mengingat pada-Mu dan bersyukur pada-Mu.

Setiap rawi-rawi hadis mengatakan kepada orang sesudahnya: (‫ يا فالن انى احبك‬...) dan hadis
musalsal tersebut dinamakan "musalsal mahabbah"

2 . )‫ وقال (خلق هللا األرض يوم السبت‬،‫شبك بيدى ابوالقاسم‬  ‫فى أحوال الرواة الفعلية كحديث أبى هريرة‬ 
1. Setiap perbuatan rawi, seperti hadis Abu Hurairah bahwa Abu Qasim telah menepukkan di
tangannku. Kemudian beliau bersabda Allah menciptakan bumi pada hari sabtu.

Setiap rawi hadis ini menepukkan tangan dengan tangannya orang yang meriwayatkan
darinya dan dia sambil berkata si fulan telah menepukkan dengan tanganku dan dia berkata : (
‫ خلق هللا األرض‬......) hadis ini dinamakan "musalsal musyabakah"

3 . ‫ أو‬, ‫ أو كزمن الرواية أو مكانها‬.‫ سمعت فالنا الخ هكذا‬: ‫ فيقول كل راو سمعت فالنا قال‬, ‫فى أوصاف التحمل كالسماع‬
‫نحو ذلك‬.
Sifat-sifat tentang menerima hadis seperti mendengar setiap rawi berkata: saya mendengar si
fulan berkata: "saya mendengar si fulan …… Begini. Rawi menjelaskan  musalsal itu di
dalam musa meriwayatkan hadis atas di suatu tempat dan lain-lain.

Hukum hadis musalsal: hadis musalsal jarang sekali selamat dari dha'if dalam tasasulnya.
Adapun asalnya matan itu terladang shahih akan tetapi sifat tasalsul isnadnya terkadang di
dalamnya

HADIS MU'AN'AN
    Hadis mu'an'an ialah: hadis yang diriwayatkan dengan memakai lafad "an" tanpa
menerangkan "takdis-ihbar-sama'".
Hukumnya: sahih, hasan dan da'if.

HADIS MUBHAM
    Hadis mubham ialah hadis yang terdapat dalam sanadnya atau matannya seorang perawi
laki-laki atau perempuan yang tidak disebut  namanya.
Contohnya: ‫عن سفيا ن عن رجل‬.
Hukumnya : apabila ibhamnya dalam sanad dan tidak diketahui maka hukumnya dha'if.
Adpaun apabila ibhamnya di dalam matan maka tidak membahayakan, karena tidak
dikenalnya sahabat itu tidak mempengaruhi.

HADIS MUDALLAS
     Mudallas menurut bahasa diambil dari ‫ دلس‬ artinya: campurnya padam dengan cahaya.
Dinamakan hadis mudallas karena campurnya dalam kesamaran.
Hadis mudallas ialah: hadis yang oleh seorang perawi telah menyembunyikan di dalamnya
dnegan jalan tadlis.
Macam-macam Tadlis
1.Tadlis isnad: yaitu seorang perawi menggugurkan, nama gurunya, dan naik ke guru-
gurunya atau orang yang lebih atas, yaitu orang yang si periode rawi tersebut. Maka seorang
rawi tadi langsung mengisnadkan hadis kepada guru-gurunya atau orag yang lebih atas
dengan lafad yang tidak muttasil agar dia dusta.
Contohnya :
Di dalam sanad ini terdapat Zaid dari Umarus dari Khalid dari Muhammad. Zaid
meriwayatkan hadis dari gurunya yang bernama "Muzim" dari Khalid. Sedang Zaid adalah se
periode dengan Khalid, yakni Zaid mengetahui hidupnya Khalid kemudian Zaid membuang
nama gurunya dari sanad lantas Zaid berkata dari Khalid akan tetapi dia tidak mengatakan
‫ حدثنى‬atau ‫سمعت‬sehingga dia tidak terus terang dusta dan ini boleh jadi juga Zaid telah benar-
benar mendengar hadis dari Khalid, karena dia mengetahui hidupnya Khalid dan seperiode.
Hukumnya: hadis yang diriwayatkan oleh "Mudallis" dengan menggunakan lafad yang
ihtimal untuk pendengaran seperti "‫ "عن‬dari, maka hadis yang diriwayatkan Mudallis tadi
tidak diterima. Dan bila "Mudallis" menjelaskan di dalamnya dengan pendengaran seperti
‫دثى‬2‫ ح‬dan ‫معت‬2‫ س‬dan ‫ أخبرنا‬maka hadis riwayat "Mudallis" itu maqbal. Apabila dia seorang
"siqah".
2.Tadlis Syuyukh: yaitu seorang rawi memberi nama gurunya yang ia meriwayatkan hadis
darinya tanpa menyebut namanya yang terkenal atau menyebut dengan sifat yang tidak
mashur. Seperti kinayah lagat, nisbat, kepada negara atau qabilah. Untuk mempersulit jalan
kepada selain dia adakalanya karena seorang guru tersebut memang dha'if atau karena
seorangingin menang akan dirinya bahwasannya dialah orang yang banyak gurunya atas
karena memang seorang guru lebih muda umurnya dari pada rawai dan lain-lain.
Contohnya :
Iman Bukhari, bahwasannya nama ini adalah sangat terkenal dan kebanyakan orang awam
tidak mengetahui bahwa namanya yang asli yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Muhira bin Bardiztas al-Buchari al-Ju'fy. Maka si rawi berkata: menceritakan
kepadaku Abu Abdillah Muhammad bin Ismalil Al-Habid Kisisik Ajengan Syekh.
Maka orang yang mendengar tidak mengira bahwasannya dia (Abu Abdilah) adalah Imam
Bukhari, padahal al-Buchari adalah sudah terkenal namanya laqobnya dan kinayahnya.
Contohnya ini adalah untuk mendekatkan kefahaman saji.

HADIS SYAD DAN MAHFUD


     Syad ialah: hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang siqah dengan yang
menyalahi dalam matan atau sanad – yaitu orang yang lebih siqah dari pada rawi siqoh
dengan tambahan atau mengurangi serta tidak mungkin memadukan.
Adapun apabila mungkin memadukan maka tidak menjadi hadis dan lawan hadis syad adalah
mhfud.
Contoh Syad dalam Sanad
HR. Tirmidi Nasa'i Ibnu Majah dari Sufyan bin Umaiyah dari Amrin bin Dinar dari Ansajah
Maula Inbu Abbad -- dari Ibnu Abbas. Bahwasannya ada seorang laki-laki telah meninggal
dunia pada masa Rasulullah dan dia tidak meninggalkan Allah kecuali budak yang sudah ia
merdekakan, kemudian Rasulullah menyerahkan harta pusakanya itu kepada  budak itu dan
Ibnu Juraizi dan lainnya telah menguatkan Ibnu Uyaimah atas sambungnya hadis. Tapi
Hammad bin Zaid telah selisih dengan emreka dia meriwayatkan hadis ini dari Awim bin
Dinar dari Masydar Hammad tidak menyebutkan atau Abbas akan tetapi dia meriwayatkan
hadis ini dengan mursal.
Keterangan tadi jelaslah bahwasannya Hamad telah menyendiri dalam riwayatnya dengan
mursal dan dia menyelisih riwayatnya Ibn Uyaimah dan Ibnu Juraj dan lainnya. Yaitu riwayat
yang sambung maka riwayatnya Hamad adalah "syad" sedang riwayatnya Ibnu Uyaimah
adalah "mahfud" padahal keduanya Hamad dan Ibnu Uyaimah adalah siqah.
Contoh syudud dalam matan
HR. Muslim dari Nabisah al-Hudaly dia berkata. Bersabda Rasulullah :
‫أيام التشر يق أيام أكل وشرب‬.
(Hari Taysri’ adalah hari diperbolehkan makan dan minum)

Bahwa hadis ii menurut jalannya adalah berupa ini dan HR. Musa bin Ulayi (didashiskan) bin
Rabah dari ayahnya dari Uqbah bin Amir, tapi dengan tambahan (‫ )يوم عرفة‬maka hadisnya
adalah dinamakan syad karena  selisih/menyalahi kepada golongan disebabkan adanya
tambahan itu.
Hukumnya
Hukumnya dha'if lain dengan mahfud bisa diterima.

HADIS AL-MUNKAR DAN AL-MAKRUF


     Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan rawi yang lemah (dhaif) yang bertentangan
dengan rawi yang lebih terpercaya, kebalikan hadis munkar adalah hadis makruf, yaitu hadis
yang diriwayatkan rawi terpercaya yang bertentangan dengan rawi yang lemah.
Periwayatan hadi syang berasal dari rawi terpercaya adalah disebut hadis makruf, sedangkan
riwayat yang lemah adalah  munkar. Pandangan ini termasuk pendapat yang masyhur,
sebagaimana yang ditarjih Ibn Hajar.
Contoh hadis Munkar dan Makruf
Hadis riwayat Ibn Abi Hatim dari Habib bin saudara Hamzah Al-Zayyad dari Abu Ishaq dari
Izar Ibn Hurais dari Ibn Abbas dari Nabi berabda :
‫د خل الجنة‬  ‫من اقام الصالة واتى الزكاة وجح وصام وقرى الضيف‬.
Barangsiapa mendirikan salat, menunaikan zakat, menunaikan haji, berpuasa dan menjamu
tamu, maka dia akan masuk surga.

Abu Hatim berkata hadis ini munkar karena selain hadis ini yang diriwayatkan rawi
terpercaya dari Abu Ishaq secara manquf yaitu makruf. Habib termasuk rawi yang tidak
terpercaya, bila ada hadis yang rawinya kurang terpercaya, maka hadisnya munkar,
sedangkan hadis riwayat yang terpercaya adalah hadis makruf.
Hukumnya
Hadis munkar adalah lemah (dhaif) dan mardud, hadis ini bisa dibuat hujjah bila menjadi
makruf.

HADIS AL-ALI DAN AL-NAZIL


     Sanad yang nilainya tinggi dan rendah termasuk sifat-sifat sanad. Sanad yang tinggi
adalah perawinya sedikit, sedangkan sanad yang rendah adalah sanadnya banyak. Sanad
tinggi (al-Ali) lebih utama karena lebih dekan Nabi,  atau lebih dekat dengan kitab, atau lebih
dekat kepada imam yang sambung dengan rawi. Hukumnya bisa sahih, hasan atau lemah
(dhaif).

HADIS AL-MUDRAJ
      Al-Mudraj berasal dari kata idraj berarti memasukkan, memperistilah mudraj ada dua;
mudraj matan dan mudraj isnad.
Mudraj matan adalah memasukkan redaksi tambahan ke dalam matan dengan syarat rawi
sambung dengan hadis tanpa adanya penjelasan, bahwa yang dia masukkan bukan bagian dari
hadis seperti contoh hadis Aisyah :
 ‫فىحراء – وهو التعبد – الليالى ذوات العدد‬  ‫ يتحنث‬:‫كان النبى‬
Nabi Saw, telah menyendiri (ibadah) di Gua Hira—beribadah--- beberapa malam.
Redaksi tambahan dari Aisyah adalah 2‫ وهو التعبد‬ini tambahan redaksi dalam hadis.
Sedangkan mudraj isnad memiliki beberapa macam yang banyak sebagaimana dijelaskan
dalam kitab ulumul hadis.
Hukumnya seperti hadis di atas bisa sahih, hasan atau dho'if.

HADIS AL-MUDABBAJ
      Hadis yang diriwayatkan oleh setiap teman dari teman segenerasi yaitu saudara yang
setara dalam sanad, atau memperoleh dari para Syeikh dan juga dalam matan seperti riwayat
Aisyah dari Abu Hurairah begitu sebaliknya dari riwayat Abu Hurairah dari Aisyah.

HADIS AL-MUTTAFAQ DAN AL-MUFTARIQ


     Hadis yang lafad dan tulisannya sama, tetapi berbeda maknanya, seperti terjadinya
beberapa nama, hadis ini lebih cenderung mustareh lafzi. Seperti contoh hadis al-Khalil Ibn
Ahmad, nama ini dipakai enam orang setiap orang juga menggunakan nama Khalil ibn
Ahmad.

HADIS AL-MU'TALIF DAN AL-MUKHTALAF


    Hadis yang sama dari segi tulisan, tetapi berbeda lafadnya seperti contoh :
‫ عماره – عماره‬-‫أسيد – أسيد – حميد – حميد‬

HADIS AL-MAQLUB
     Hadis yang ada perubahan dengan yang lain dalam hadis.
Macam-macamnya :
Ada dua, pertama: merubah dalam sanad seperti :
1.Mendahulukan dan mengakhirkan nama rawi seperti contoh pada asalnya nama Ka'ab bin
Marrah, tetapi suatu saat menjadi Ibn Ka'ab.
2.Hadis Masyhur dari seorang rawi, atau masyhur dengan sanad tertentu, tetapi diganti
dengan yang sama dalam derajatnya (tabaqatnya) seperti contoh hadis masyhur Salim ibn
Abdullah Ibn Umar, kemudian diganti dengan Nafi', padahal keduanya adalah tabi'in.
Yang kedua: merubah dalam matan :
Membuat kalimat hadis diletakkan bukan pada tempatnya yang sudah masyhur seperti contoh
hadis Abu Hurairah riwayat Muslim tentang tujuh orang yang mendapat lindungan Allah,
yaitu 
‫ ما تنفق شماله‬2‫يمينه‬  ‫بصدقة فأخفاها حتى ال تعلم‬  ‫تصدق‬  ‫و رجل‬
 Seorang laki-laki yang bersadaqah secara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kanannya
tidak mengetahui kalau tangan kirinya memberikan sadaqah.

Hadis ini dibalik oleh salah satu rawi karena lupa, padahal sebenarnya adalah ‫التعلم شماله ماتنفق‬
‫حتى‬  2‫يمينه‬karena tangan kanan adalah yang memberikan infaq.
Oleh karena itu hukumnya wajib mengembalikan keapda tempatnya yang semula. Begitu
juga mengamalkan hadis tersebut sesuai aslinya.

HADIS AL-MUTTARRAB
     Hadis yang diriwayatkan dengan berbagai macam cara atas persamaan dalam perbedaan
dari satu rawi, seperti meriwayatkan hadis dengan satu arah disisi yang lain meriwayatkan
dengan cara lain yang berbeda dengan periwayatan pertama. Hadis ini tidak menjadi
Muttarab kecuali bila periwayatan yang berbeda tersebut sama dalam kesahihannya,
sekiranya tidak bisa ditarjih dan dikompromikan.
Apabila mungkin ditarjih salah satu riwayatnya, karena rawinya lebih kuat hafalnya atau
lebih lama pergaulan dengan gurunya, maka hukum riwayat yang tarjih tersebut harus
diterima secara pasti. Hadis yang marjuh menjadi syad atau munkar dan tidak menjadi
muttarab seperti contoh hadis riwayat Tirmidzi dari Fatimah binti Qis secara marfu':
‫ان في المال حقا سوى الزكاة‬
Sesungguhnya dalam harta itu ada hak selain zakat.
Dan riwayat Ibn Majah dari Aisyah secara marfu' dengan redaksi.
‫ليس فى المال حق سوى الزكاة‬
Sesungguhnya dalam harta tidak ada hak selain zakat.

Hukumnya 
Hadis tersebut lemah (dho'if) karena kemashuran rawi yang kurang dhobid.

HADIS AL-MU'ALLAL
     Hadis yangtelah diteliti oleh pakar hadis (al-Hafid) yang terdapat illat dalam
kesahihannya, padahal secara lahiriyah bebas dari cacat seperti mursal terhadap hadis mausul,
muttasil terhadap mursal, atau memasukkan dalam matan dan sanad. Atau waqaf terhadap
marfu' atau sebaliknya. Semuanya adalah ada illatnya yang tidak bisa dideteksi kecuali
dengan penelitian, mengumpulkan perawi dan pencermatan hadis ini termasuk lemah (dho'if).

HADIS AL-MATRUK
     Hadis yang diriwayatkan satu rawi yang disepakati atas kelemahannya untuk mengetahui
sifat-sifat rawi yang matruk itu ada dua :
Pertama :Bahwa rawi yang disepakati kelemahannya adalah dugaan atas kebohongannya,
atau karena diketahui kebohongannya di selain hadis, maka dalam kondisi ini tidak boleh
bohong dalam hadis, atau karena diduga fasiq, pelupa atau banyak diduga.
Kedua :Hanya seorang diri dalam meriwayatkan hadis artinya tidak ada orang lain yang
meriwayatkan hadis kecuali dia.
Seperti contoh :
Hadis riwayat Amar Ibn Syamr dari Jabir, padahal Amar adalah hadisnya matruk.
Hukumnya :
Dianggap gugur, karena sangat lemah dan tidak bisa dibuat hujjah.

A.    Hadis Shahih

1. Pengertian dan syarat-syarat hadits shahih

      Ibnu shalah mengemukakan definisi hadis shahih, yaitu:

      “Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang

yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak syaz dan

tidak mu’allal (terkena illat)[1]

      Ajjaj al-Khatib memberikan definisi hadis shahih, yaitu:

[
“Hadis yang bersambungan sanadnya melalui periwayatan perawi tsiqah dari perawi lain
yang tsiqah pula sejak awal sampai ujungnya (rasulullah saw) tanpa syuzuz tanpa illat”[2]

      Dengan demikian Ajjaj al-Khatib mengemukakan syarat-syarat terhadap sebuah hadis

untuk dapat disebut sebagai hadis shahih, yaitu: a. muttashil sanadnya,  b. Perawi-perawinya

adil[3] c. Perawi-perawinya dhabit[4] d. Yang diriwayatkan tidak syaz, d. Yang diriwayatkan

terhindar dari illat qadihah (illat yang mencacatkannya)

            Shubhi Shalih juga memberikan rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam melihat

keshahihan sebuah hadis, yaitu:

a.       Hadis tersebut shahih musnad, yakni sanadnya bersambung sampai yang teratas.

b.      Hadis shahih bukanlah hadis yang syaz yaitu rawi yang meriwayatkan memang terpercaya ,

akan tetapi ia menyalahi rawi-rawi yang lain yang lebih tinggi.

c.       Hadis shahih bukan hadis yang terkena ‘illat. Illat ialah: sifat tersembunyi yang

mengakibatkan hadis tersebut cacat dalam penerimaannya, kendati secara zahirnya terhindar

dari illat.

d.      Seluruh tokoh sanad hadis shahih itu adil dan cermat[5]

            Definisi-definisi dan rambu-rambu yang diutarakan oleh muhaddisin tentang hadis

shahih diatas, dengan kalimat yang berbeda, namun tidak menunjukkan adanya perbedaan

dalam pemahaman ciri hadis shahih. Dengan kata lain, bahwa sebuah hadis dikatakan shahih,

jika hadis tersebut memiliki sanad yang bersambung (muttashil) sampai ke rasulullah saw.

dinukil dari dan oleh orang yang adil lagi dhabit tanpa adanya unsur syaz maupun mu’allal

(terkena illat).

[
            Dengan demikian apabila ada hadis yang sanadnya munqathi’, mu’dal dan muallaq

dan sebagainya, maka hadis tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih. Demikian

halnya dengan illat sebuat hadis, jika sebuah hadis memiliki illat maupun syaz, maka tidak

dapat disebut hadis shahih.

            Meskipun definisi dan rambu-rambu yang dikemukakan oleh muhaddisin tentang

hadis shahih diatas tidak terdapat perbedaan dalam pemahaman ciri-ciri hadis shahih, namun

dalam penerapan masing-masing persyaratan kadang-kadang tidak sama, misalnya dalam hal

persambungan sanad, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bersambung

sanadnya adalah apabila periwayat satu dengan periwayat thabaqah berikutnya harus betul-

betul “serah terima” hadis, peristiwa serah terima ini dapat dilihat dari redaksi jadi tidak

cukup hanya dengan   sebab             tidaklah menjamin bahwa proses cukup hanya dengan

pemindahan itu secara langsung.

2. Pembagian Hadis Shahih

            Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:

a.       Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis

maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua

syarat shahih,dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak

keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya.[6] Untuk lebih jelasnya, berikut

penulis kemukakan contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:

‫ َع ْن أَبِي ُه َر ْي َر َة‬، َ‫ َع ْن أَبِي ُز ْر َع ة‬، َ‫اع بْ ِن ُش ْب ُر َمة‬ ٍِ


ٌ ‫ َح َّد َثنَا َج ِر‬، ‫َح َّد َثنَا ُقَت ْيبَ ةُ بْ ُن َس عيد‬
ِ ‫ َع ْن عُ َم َار َة بْ ِن الْ َق ْع َق‬، ‫ير‬
ِ َ ‫ ي ا رس‬: ‫ال‬ ِ ِ ِ ‫ ج اء رج ل إِلَى رس‬: ‫ال‬ ِ
َ ‫ول اللَّه َم ْن أ‬
‫َح ُّق‬ ُ َ َ َ ‫ َف َق‬،  ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ٌ ُ َ َ َ َ َ‫ ق‬، ُ‫َرضي اللَّهُ َع ْن ه‬
.‫ك‬ َ ‫ ثُ َّم أ ُُّم‬: ‫ال‬
َ َ‫ ثُ َّم َم ْن ؟ ق‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬. ‫ك‬ َ ‫ ثُ َّم أ ُُّم‬: ‫ال‬
َ َ‫؟ ق‬    ‫ ثُ َّم َم ْن‬: ‫ال‬ َ َ‫ ق‬. ‫ك‬ َ َ‫ص َحابَتِي ؟ ق‬
َ ‫ أ ُُّم‬: ‫ال‬ َ ‫َّاس بِ ُح ْس ِن‬ ِ ‫الن‬
  ‫ ثُ َّم أَبُوك‬: ‫ال‬
َ َ‫ ثُ َّم َم ْن ؟ ق‬: ‫ال‬
َ َ‫ق‬

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak

terdapat ke-syaz-an maupun illat.

[
b.      Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-

syarat tertinggi hadis maqbul),yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau

lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih

melalui sanad pendukung yang lain.[7] Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang

diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :

، َ‫ َع ْن أَبِي ُه َر ْي َرة‬، َ‫ َع ْن أَبِي َس لَ َمة‬، ‫ َع ْن ُم َح َّم ِد بْ ِن َع ْم ٍرو‬، ‫ َح َّد َثنَا َع ْب َدةُ بْ ُن ُس لَْي َما َن‬، ‫ب‬
ٍ ْ‫َح َّد َثنَا أَبُ و ُك َري‬
 ٍ .‫صالة‬ ِ ِ ِّ ِ‫ لَوال أَ ْن أَ ُش َّق علَى أ َُّمتِي ألَمر ُتهم ب‬: ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه علَي ِه وسلَّم‬
َ ‫الس َواك ع ْن َد ُك ِّل‬ ْ ُ َْ َ ْ َ ََ َْ ُ َ ُ ‫ال َر ُس‬َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ َ َ‫ق‬
     Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana

dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal

orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya

sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain,

yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj

dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).

     Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-

dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin

tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para

muhaddisin sebagai ashahhul asanid.

Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib

mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul

asanid, ada yang mengatakan:

1)      Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.

2)      Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari

Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.

3)      Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam Malik ibn

Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i merupakan orang

[
yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan

orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama

muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari

Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-

dzahab (mata rantai emas).[8]

3. Kehujjahan Hadis Shahih.

            Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang

kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu.

Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :

tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù$!


4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇÐÈ

"apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu,
Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya".

4. Kitab-kitab yang memuat Hadis Shahih.

            Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa

diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah[9]:

a.   Shahih Bukhari                       d. Shahih Ibn Hibban

b.  Shahih Muslim                        e. Shahih Ibn Khuzaimah

c.   Mustadrak al-Hakim

      Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis

shahih adalah:

a.   Shahih Bukhari                       e. Sunan an-Nasa’i     

b.  Shahih Muslim                        f. Sunan  Ibn Majah

c.   Sunan Abu Daud                    g. Musnad Ahmad ibn Hanbal


[

[
d.  Sunan at-Tirmidzi

      Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan

bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain[10]:

a.   al-Muwattha’                                                                                     

b.  Shahih Bukhari                      

c.   Shahih Muslim

d.  Shahih Ibn Khuzaimah

e.   Shahih Ibn Hibban

f.   Al-Mukhtarah[11]

B. Hadis Hasan

Pengertian Hadis Hasan

      Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang ‘adil namun

kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari Syaz dan illat.[12]

      Perbedaan antara hadis Hasan dengan Shahih terletak pada dhabit yang sempurna

untuk hadis shahih dan dhabit yang kurang untuk hadis hasan[13]

      Ibn Hajar sebagaimana dinukil Mahmud Thahhan dalam Musthalah Hadis

mengemukakan bahwa khabar ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi sempurna

ke-dhabithan-nya, mutthashil tanpa syaz dan illat. Itulah yang disebut shahih li dzatihi. Bila

kedhabithannya kurang maka itulah hadis hasan li dzatihi[14]

[
      Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis hasan adalah hadis yang memenuhi

syarat-syarat hadis shahih seluruhnya, hanya saja semua perawi atau sebagiannya,  kurang 

ke-dhabitan-nya dibanding dengan perawi hadis shahih. [15]

      Berdasarkan pada pengertian-pengertian yang telah dikemukakan diatas, para ulama

hadis merumuskan kriteria hadis hasan, kriterianya sama dengan hadis shahih, Hanya saja

pada hadis hasan terdapat perawi yang tingkat kedhabitannya kurang atau lebih rendah dari

perawi hadis shahih.

      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis hasan mempunyai kriteria sebagai

berikut:

a.       Sanad hadis harus bersambung.

b.      Perawinya adil

c.       Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang

dimiliki oleh perawi hadis shahih

d.      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz

e.       Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)[16]

2. Pembagian Hadis Hasan

Hadis hasan dibagi menjadi dua, yaitu:

a.       Hadis hasan li dzatihi

      Hadis hasan li dzatihi adalah hadis yang dengan sendirinya telah memenuhi kriteria hadis

hasan sebagaimana tersebut diatas, dan tidak memerlukan riwayat lain untuk mengangkatnya

ke derajat hasan.

b.      Hadis hasan li ghairihi

[
      Hadis hasan li ghairihi adalah hadis dha’if apabila jalan (datang)-nya berbilang (lebih dari

satu), dan sebab-sebab kedha’ifannya bukan karena perawinya fasik atau pendusta.[17]

            Dengan demikian hadis hasan li ghairihi pada mulanya merupakan hadis dha’if, yang

naik menjadi hasan karena ada riwayat penguat, jadi dimungkinkan berkualitas hasan karena

riwayat penguat itu, seandainya tidak ada penguat tentu masih berstatus dha’if.

            Imam adz-Zahaby mengatakan, tingkat hasan tertinggi adalah riwayat Bahz ibn

Hukaim dari bapaknya dari kakeknya, Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Ibn

Ishaq dari at-Taimy dan sanad sejenis yang menurut para ulama dikatakan sebagai sanad

shahih, yakni merupakan derajat shahih terendah.[18]

              Contoh hadis hasan:

َ َ‫ ق‬، ‫ْج َهنِ ِّي‬


ُ ‫ َك ا َن ُم َعا ِويَةُ َقلَّ َم ا يُ َح د‬: ‫ال‬ ٍ ِ ِ ِ َ َ‫ ق‬، ُ‫ ح َّد َثنَا ُش ْعبة‬، ‫ح َّد َثنَا َع َّفا ُن‬
‫ِّث‬ َ ‫ال أَ ْنبَ أَني َس ْع ُد بْ ُن إ ْب َراه‬
ُ ‫ َع ْن َم ْعبَ د ال‬، ‫يم‬ َ َ َ
ِ ِ ‫ول ه ُؤ‬
ِ ‫الء الْ َكلِم‬ ِ ِ ِ ‫َعن رس‬
ُ ‫ِّث بِ ِه َّن في ال‬
‫ْج َم ِع َع ِن‬ ُ ‫ أ َْو يُ َح د‬، ‫ات َقلَّ َم ا يَ َدعُ ُه َّن‬ َ َ ُ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َش ْيئًا َو َي ُق‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ ْ
ِ ‫ وإِ َّن َه َذا الْمال حلْو َخ‬، ‫ من ي ِر ِد اللَّهُ بِ ِه َخ ْيرا ي َف ِّقهُّ ِفي الدِّي ِن‬: ‫ال‬ ِ
ُ‫ْخ ْذه‬
ُ ‫ض ٌر فَ َم ْن يَأ‬ ٌ ُ َ َ ُ ً ُ ْ َ َ َ‫ ق‬، ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم‬ َ ‫النَّبِ ِّي‬
َّ ُ‫ح فَِإنَّه‬ ِِ ِ ِ
)‫(رواه أحمد‬.‫الذبْ ُح‬ َ ‫اد‬ُ ‫َّم‬َ ‫ َوإِيَّا ُك ْم َوالت‬، ‫ب َح ِّقه ُيبَ َار ْك لَهُ فيه‬
                                                                               
          Hadis tersebut diatas bersambung sanadnya dan semua perawinya termasuk orang-

orang terpercaya kecuali Ma’bad al-Juhany menurut     adz-Zahaby,Ma’bad termasuk orang

yang kurang ke-‘adilan-nya.[19]

            Contoh hadis shahih li ghairihi:

‫َن ْام َرأَةً ِم ْن بَنِي‬ ِ ِ‫ َعن أَب‬، َ‫ت َعب َد اللَّ ِه بن َع ِام ِر ب ِن ربِيع ة‬
َّ ‫ أ‬: ‫يه‬ ْ َ َ ْ َْ
ِ ِ ِ ‫ َعن َع‬، ُ‫ح َّد َثنَا ُش ْعبة‬
ْ ُ ‫ قَ ال َس ِم ْع‬، ‫اص ِم بْ ِن عَُب ْي د اللَّه‬ ْ َ َ
ِ ِ‫ك ومال‬
"‫ك بَِن ْعلَْي ِن ؟‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬
َ َ ‫" أ ََرض يت م ْن َن ْفس‬: ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ ‫ َف َق‬. ‫ت َعلَى َن ْعلَْي ِن‬ ْ ‫َف َز َارةَ َت َز َّو َج‬
                                 )‫(رواه الترمذي‬. ُ‫َج َازه‬ َ ‫ فَأ‬: ‫ال‬
َ َ‫ ق‬. ‫ َن َع ْم‬: ‫َت‬ ْ ‫قَال‬

[
Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari jalur Syu’bah dari ‘ashim bin ‘Ubaidillah,dari Abdillah

bin Amir bin Rabi’ah, dari ayahnya bahwasanya seorang wanita dari bani Fazarah menikah

dengan mahar sepasang sandal.

              Kemudian at-Tirmidzi berkata,”pada bab ini juga diriwayatkan (hadis yang sama)

dari ‘Umar, Abi Hurairah,Aisyah dan Abi Hadrad.”Jalur ‘Ashim didha’ifkan karena buruk

hafalannya, kemudian hadis ini dihasankan oleh at-Tirmidzy melalui jalur riwayat yang

lain.[20]

              Hadis dha’if dapat ditingkatkan derajatnya ke tingkat hasan dengan dua

ketentuan,yaitu:

a)      hadis tersebut diriwayatkan oleh perawi yang lain melalui jalan lain, dengan syarat bahwa

perawi (jalan) yang lain tersebut sama kualitasnya atau lebih baik dari padanya.

b)      bahwa sebab kedha’ifannya karena keburukan hafalan perawinya, putusnya sanad.serta

adanya periwayat yang tak dikenal.[21]

            Jadi hadis dha’if yang bisa naik kedudukannya menjadi hadis hasan hanyalah hadis-

hadis yang tidak terlalu lemah, sementara hadis yang terlalu lemah seperti hadis munkar,

hadis matruk betapapun syahid  dan muttabi’ kedudukannya tetap saja dha’if, tidak bisa

berubah menjadi hasan.

3. Kehujjahan Hadis Hasan.

            Hadis hasan sebagaimana kedudukannya hadis shahih, meskipun derajatnya dibawah

hadis shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam

beramal.

            Para ulama hadis dan ulama ushul fiqh, serta para fuqaha sependapat tentang

kehujjahan hadis hasan ini.[22]

[
4. Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan

            Ulama yang mula-mula membagi hadis sebagai hadis shahih, hasan dan dha’if adalah

Imam at-Tirmidzy, sehingga wajar jika Imam at-Tirmidzy memiliki peran dalam

menghimpun hadis-hadis hasan. Diantara kitab-kitab yang memuat hadis hasan adalah[23]:

a.   Sunan at-Tirmidzy

b.  Sunan Abu Daud

c.   Sunan ad-Dar Quthny

C. Hadis Dhaif

Pengertian dan Pembagian Hadis Dha’if

            Dha’if menurut bahasa adalah lawan dari kuat. Dha’if ada dua macam, yaitu lahiriyah

dan maknawiyah. Sedangkan yang dimaksud disini adalah dha’if maknawiyah.

            Hadis dhaif menurut istilah adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis

shahih dan tidak pula didapati syarat hadis hasan.”[24]

            Diantara para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadis dhaif

ini, akan tetapi pada dasarnya isi dan maksudnya sama.

            An-Nawawi mendefinisikannya dengan:

“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-syarat hadis

hasan”[25]

            As-Suyuthi mendefinisikan hadis dhaif adalah:

“Hadis yang hilang salah satu syarat atau keseluruhan dari syarat-syarat hadis maqbul, atau

dengan kata lain hadis yang tidak terpenuhi didalamnya syarat-syarat hadis maqbul”

[
            Hadis dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi

kepada dua bahagian, pertama: Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat

bersambungnya sanad. Kedua: Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya.

a.  Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya Sanad. Dhaif jenis

ini di bagi lagi menjadi :

      1) Hadis Mu’allaq

                      Hadis mu’allaq yaitu hadis yang pada sanadnya telah dibuang satu atau lebih

rawi baik secara berurutan maupun tidak. Contohnya pada hadis yang diriwayatkan oleh

Bukhari:

‫قال مالك عن الزهرى عن أبى سلمة عن أبى هريرة عن النبى "ال تفا ضلوا بين األنبيأ‬

        Dikatakan Muallaq karena Imam bukhari langsung menyebut Imam Malik padahal ia

dengan Imam Malik tidak pernah bertemu. Contoh lain adalah,

‫قال ألبخارى قالت العائشة كان النبى يذكر اهلل على كل أحواله‬

Disini Bukhari tidak menyebutkan rawi sebelum Aisyah

2) Hadis Mursal

        Hadis mursal menurut istilah adalah hadis yang gugur perawi dari sanadnya setelah

tabi’in, seperti bila seorang tabi’in mengatakan,”Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

bersabda begini atau berbuat seperti ini”[26]. Contoh hadits ini adalah:

‫قال مالك عن جعفر بن محمد عن أبيه أن رسول اهلل قضى باليمن والشاهد‬
Disini Muhammad bin Ali Zainul Abidin tidak menyebutkan sahabat yang menjadi perantara

antara nabi dan bapaknya.

3) Hadis Munqathi'

Hadis munqathi’ menurut istilah para ulama hadis mutaqaddimin sebagai “hadis yang

sanadnya  tidak bersambung dari semua sisi”. Sedangkan menurut para ulama hadis

[
mutaakhkhirin adalah ”suatu hadis yang ditengah sanadnya gugur seorang perawi atau

beberapa perawi tetapi tidak berturut-turut” [27]

Contoh hadits ini adalah;

‫ما رواه عبد الرزاق عن الثورى عن أبى إسحاق عن زيد بن يثيع عن حذيفه مرفوعا إن وليتموها أبا بكر فقوى أمين‬

Riwayat yang sebenarnya adalah Abdul Razak meriwayatkan hadis dari Nukman bin Abi

Saybah al-Jundi bukan dari Syauri. Sedangkan Syauri tidak meriwayatkan hadis dari Abi

Ishak, akan tetapi ia meriwayatkan hadits dari Zaid. Dari riwayat yang sesungguhnya kita

dapat mengetahui bahwa hadits di atas adalah termasuk hadis yang munqthi’.

4) Hadis Mu'dhal

Hadis mu’dhal menurut istilah adalah “ hadis yang gugur pada sanadnya dua atau lebih secara

berurutan.”[28].

Contohnya :

Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanadnya kepada al-Qa’naby dari Malik bahwasanya dia

menyampaikan, bahwa Abu Hurairah berkata, “rasulullah bersabda,

‫ ال يُكلّف من العمل إال ما يُطيق‬، ‫" للمملوك طعامه وكسوته بالمعروف‬

Al-Hakim berkata,” hadis ini mu’dhal dari Malik dalam kitab al-Muwaththa’., Letak ke-

mu’adalahan-nya karena gugurnya dua perawi dari sanadnya yaitu Muhammad bin ‘Aljan,

dari bapaknya. Kedua perawi tersebut gugur secara berurutan[29]

5) Hadis Mudallas

Yaitu hadits yang diriwayatkan dengan menghilangkan rawi diatasnya. Tadlis sendiri dibagi

menjadi beberapa macam;

[
a. Tadlis Isnad, adalah hadis yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang semasa

dengannya dan ia betemu sendiri dengan orang itu namun ia tidak mendengar hadis tersebut

langsung darinya. Apabila perawi memberikan penjelasan bahwa ia mendengar langsung

hadis tersebut padahal kenyataannya tidak, maka tidak tidak termasuk mudallas melainkan

suatu kebohongan/ kefasikan.

b. Tadlis qath’i : Apabila perawi menggugurkan beberapa perawi di atasnya dengan meringkas

menggunakan nama gurunya atau misalnya perawi mengatakan “ telah berkata kepadaku”,

kemudian diam beberapa saat dan melanjutkan “al-Amasi . . .” umpamanya. Hal seperti itu

mengesankan seolah-olah ia mendengar dari al-Amasi secara langsung padahal sebenarnya

tidak. Hadist seperti itu disebut juga dengan tadlis Hadf (dibuang) atau tadlis sukut (diam

dengan tujuan untuk memotong).

c. Tadlis ‘Athaf (merangkai dengan kata sambung semisal “Dan”). Yaitu bila perawi

menjelaskan bahwa ia memperoleh hadis dari gurunya dan menyambungnya dengan guru lain

padahal ia tidak mendengar hadis tersebut dari guru kedua yang disebutnya.

d. Tadlis Taswiyah : apabila perawi menggugurkan perawi di atasnya yang bukan gurunya

karena dianggap lemah sehingga hadis tersebut hanya diriwayatkan oleh orang-orang yang

terpercaya saja, agar dapat diterima sebagai hadis shahih. Tadlis taswiyah merupakan jenis

tadlis yang paling buruk karena mengandung penipuan yang keterlaluan.

e. Tadlis Syuyukh: Yaitu tadlis yang memberikan sifat kepada perawi dengan sifat-sifat yang

lebih dari kenyataan, atau memberinya nama dengan kunyah (julukan) yang berbeda dengan

yang telah masyhur dengan maksud menyamarkan masalahnya. Contoh: Seseorang

mengatakan: “Orang yang sangat alim dan teguh pendirian bercerita kepadaku, atau

penghafal yang sangat kuat hafaleannya brkata kepadaku”.

f. Termasuk dalam golongan tadlis suyukh adalah tadlis bilad (penyamaran nama tampat).

Contoh: Haddatsana fulan fi andalus (padahal yang dimaksud adalah suatu tempat di
pekuburan). Ada beberapa hal yang mendasari seorang perawi melakukan tadlis suyukh,

adakalanya dikarenakan gurunya lemah hingga perlu diberikan sifat yang belum dikenal,

karena perawi ingin menunjukkan bahwa ia mempunyai banyak guru atau karena gurunya

lebih muda usianya hingga ia merasa malu meriwayatkan hadis darinya dan lain sebagainya.

b. Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya

            Sebab-sebab cela pada perawi yang berkaitan dengan ke’adalahan perawi ada lima,

dan yang berkaitan dengan kedhabithannya juga ada lima.

1. Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) Dusta, b) Tuduhan,

      c)  berdusta, d) Fasik, e) bid’ah, f) al-Jahalah (ketidakjelasan

2. Adapun yang berkaitan dengan ke’adalahannya, yaitu: a) kesalahan yang, sangat

buruk, b) Buruk hafalan, c) Kelalaian, d) Banyaknya waham, e) menyelisihi para

perawi yang tsiqah

Dan berikut ini macam-macam hadis yang dikarenakan sebab-sebab diatas:

1) Hadis Maudhu'

Hadis maudhu’ adalah hadis kontroversial yang di buat seseorang dengan tidak

mempunyai dasar sama sekali. Menurut Subhi Shalih adalah khabar yang di buat oleh

pembohong kemudian dinisbatkan kepada Nabi.karena disebabkan oleh faktor

kepentingan.[30] Contohnya adalah hadis tentang keutamaan bulan rajab yang diriwayatkan

Ziyad ibn Maimun dari shabat Anas r.a:

‫قيل يارسول اهلل لم سمي رجب قال ألنه يترجب فيه خير كثبر‬

Menurut Abu Dawud dan Yazid ibn Burhan, Ziyad ibn Maimun adalah seorang

pembohong dan pembuat hadis palsu.

2) Hadis Matruk

[
              Hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang disangka suka

berdusta.[31] Contoh hadis ini adalah hadis tentang qadha' al hajat yang diriwayatkan oleh

Ibn Abi Dunya dari Juwaibir ibn Sa'id al Asdi dari dhahak dari Ibn 'Abbas.

‫ الخ‬... ‫قال النبي عليكم باصطناع المعروف فانه يمنع مصارع السوء‬

Menurut an Nasa'i dan Daruqutni, Juwaibir adalah orang yang tidak dianggap

hadisnya.

3) Hadis Munkar

Hadis munkar adalah hadits yang diriwatkan oleh perawi yang dhaif, yang menyalahi

orang kepercayaan.[32] perawi itu tidak memenuhi syarat biasa dikatakan seorang dhabit.

Atau dengan pengetian hadis yang rawinya lemah dan bertentangan dengan riwayat rawi

tsiqah. Munkar sendiri tidak hanya sebatas pada sanad namun juga bisa terdapat pada matan.

4) Hadis Majhul

a. Majhul 'aini : hanya diketahui seorang saja tanpa tahu jarh dan ta'dilnya.Contohnya hadis yang

diriwayatkan oleh Qutaibah ibn Sa'ad dari Ibn Luhai'ah dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn

Abi Waqas dari Saib ibn Yazid dari ayahnya Yazid ibn Sa'id al Kindi

‫ اخرجه ابي داود‬.‫ان النبي كان اذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيده‬

Hanyalah Ibn Luhai'ah yang meriwayatkan hadis dari Hafs ibn Hasyim ibn 'utbah ibn Abi

Waqas tanpa diketahui jarh dan ta'dilnya.

b.   Majhul hali : diketahui lebih adari satu orang namun tidak diketahui jarh dan ta'dilnya.contoh

hadis ini adalah hadisnya Qasim ibn Walid dari Yazid ibn Madkur.

‫ اخرجه البيهقى‬.‫ان عليا رضي اهلل عنه رجم لوطيا‬

Yazid ibn Madkur dianggap majhul hali.

5) Hadis Mubham

[
            Hadis mubham yaitu hadis yang tidak menyebutkan nama orang dalam rangkaian

sanad-nya, baik lelaki maupun perempuan.[33] Contohnya adalah hadis Hujaj ibn Furadhah

dari seseorang (rajul), dari Abi Salamah dari Abi Hurairah.

‫قال رسو ل اهلل المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيمز اخرجه ابو داود‬

6) Hadis Syadz

Hadis syadz yaitu hadis yang beretentangan dengan hadis lain yang riwayatnya lebih

kuat[34].

7) Hadis maqlub

Yang dimaksud dengan hadis maqlub ialah yang memutar balikkan (mendahulukan)

kata, kalimat, atau nama yang seharusnya ditulis di belakang, dan mengakhirkan kata, kalimat

atau nama yang seharusnya didahulukan.

8) Hadis mudraj

                Secara terminologis hadits mudraj ialah yang didalamnya terdapat sisipan atau

tambahan, baik pada matan atau pada sanad. Pada matan bisa berupa penafsiran perawi

terhadap hadits yang diriwayatkannya, atau bisa semata-mata tambahan, baik pada awal

matan, di tengah-tengah, atau pada akhirnya.

9) Hadis mushahaf

                Hadits mushahaf ialah yang terdapat perbedaan dengan hadis yang diriwayatkan oleh

orang kepercayaan, karena di dalamnya terdapat beberapa huruf yang di ubah. Perubahan ini

juga bisa terjadi pada lafadz atau pada makna, sehingga maksud hadis menjadi jauh berbeda

dari makna dan maksud semula.

            Selain hadis diatas masih terdapat beberapa hadits lagi yang termasuk dha'if antara

lain, mudhtharab, mudha'af , mudarraj, mu'allal, musalsal, mukhtalith untuk lebih jelasnya

[
dapat dilihat dalam buku Hasby as-Shiddieqy; Pokok-pokok dirayah ilmu hadis dan juga

‘Ajjaj al-Khotib; Ushul al-hadits

2. Pengamalan Hadits Dha’if

            Hadis dhaif pada dasarnya adalah tertolak dan tidak boleh diamalkan, bila

dibandingkan dengan hadis shahih dan hadis hasan. Namun para ulama  melakukan

pengkajian terhadap kemungkinan dipakai dan diamalkannya hadis dhaif, sehingga terjadi

perbedaan pendapat diantara mereka.

Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai penggunaan hadis dhaif:

a.   Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun

ahkam. pendapat ini diperpegangi oleh Yahya bin Ma’in, Bukhari dan Muslim, Ibnu Hazm,

Abu Bakar ibn Araby.

b.  Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, pendapat ini dinisbatkan kepada Abu Daud dan

Imam Ahmad. Keduanya berpendapat bahwa hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan.

c.   Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail

mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat.[35]

Ulama-ulama yang mempergunakan hadis dhaif dalam fadhilah amal, mensyaratkan

kebolehan mengambilnya dengan tiga syarat:

1)  Kelemahan hadis itu tiada  seberapa.

2)  Apa yang ditunjukkan hadis itu juga ditunjukkan oleh dasar lain yang dapat diperpegangi,

dengan arti bahwa memeganginya tidak berlawanan dengan suatu dasar hukum yang sudah

dibenarkan.

3)  Jangan diyakini kala menggunakannya bahwa hadis itu benar dari nabi. Ia hanya

dipergunakan sebagai ganti memegangi pendapat yang tidak berdasarkan pada nash sama

sekali.[36]
[

[
3. Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif.

1.      Ketiga Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir

2.      Kitab al-Afrad, karya ad-Daruquthny

3.      Kumpulan karya al-Khatib al-baghdadi

4.      Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’, karya abu Nu’aim al-Asbahani.

D. Hadis Maudhu’

a.      Pengertian Hadis Maudhu’

            Maudhu’ menurut bahasa artinya sesuatu yang diletakkan, sedangkan menurut istilah

adalah:

            ”sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu dinisbatkan kepada rasulullah secara

dusta”[37].

            Hadis ini adalah yang paling buruk dan jelek diantara hadis-hadis dhaif lainnya.

Selain ulama membagi hadis menjadi empat bagian: shahih, hasan, dhaif dan maudhu’. Maka

maudhu menjadii satu bagian tersendiri.[38]

            Hadis maudhu adalah: seburuk-buruk hadis dhaif, hadis maudhu’ dinamakan juga

hadis musqath, hadis matruk, mukhtalaq dan muftara.[39]

b.      Sejarah Munculnya Hadis Maudhu’

            Para ulama berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadis, berikut

pendapat mereka:

a.       Menurut Ahmad Amin bahwa hadis maudhu’ terjadi sejak masa rasulullah masih hidup.

b.      Shalahuddin ad-Dabi mengatakan bahwa pemalsuan hadis berkenaan dengan masalah

keduniaan yang terjadi pada masa rasulullah saw.

[
c.       Menurut jumhur al-muhaddin, pemalsuan hadis terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi

Thalib.[40]

c.       Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’

            Hadis maudhu’ tidaklah bertambah kecuali bertambahnya bid’ah dan pertikaian.

Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya dilakukan oleh orang-orang islam,

tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam.

            Ada beberapa motif yang mendorong mereka membuat hadis palsu, antara lain:

a.       Pertentangan Politik

      Perpecahan umat islam terjadi akibat permasalahan politik yang terjadi pada masa khalifah

Ali bin Abi Thalib, membawa pengaruh besar terhadap munculnya hadis-hadis palsu.

Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawannya dan berusaha mempengaruhi

orang-orang tertentu, salah satu usahanya adalah dengan membuat hadis palsu.

b.      Usaha Kaum Zindiq

      Kaum Zindiq adalah golongan yang membenci islam, baik sebagai agama maupun sebagai

dasar pemerintahan. Mereka merasa tidak mungkin dapat memalsukan Alqur’an sehingga

mereka beralih melakukan upaya pemalsuan hadis.[41] Dengan tujuan ingin menghancurkan

islam dari dalam.

c.       Sikap Fanatik Buta

      Salah satu faktor upaya pembuatan hadis palsu adalah adanya sifat ego dan fanatik buta

tehadap suku, bangsa, negeri dan pimpinan

[
      Contoh golongan yang fanatik yaitu ash-Syu’ubiyah yang fanatik terhadap bangsa persia, dia

mengatakan “Apabila Allah Murka, dia menurunkan wahyu dengan bahasa arab dan apabila

senang dia menurunkan dengan bahsa persia.[42]

d.      Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah  dan Nasehat

      Kelompok yang melakukan pemalsuan hadis ini bertujuan untuk memmperoleh simpati dari

pendengarnya sehingga mereka kagum melihat kemampuannya. [43] Hadis yang mereka

katakan terlalu berlebih-lebihan.

      Bahkan ada hadis palsu yang berbunyi: “nabi duduk bersanding dengan Allah diatas Arsy-

nya”.

e.       Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam

      Munculnya hadis palsu dalam masalah fiqhi dan ilmu kalam, berasal dari para pengikut

madzhab. Mereka melakukan pemalsuan hadis karena ingin menguatkan madzhabnya

masing-masing.

f.       Lobby dengan penguasa

      Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa khilafah bani Abbasiyah, seorang yang bernama

Ghiyats ibn Ibrahim pernah membuat hadis yang disebutkannya didepan khalifah al-Mahdi

yang menyangkut kesenangan khalifah.[44]

g.   Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan.

      Dikalangan para ahli ibadah ada yang beranggapan bahwa membuat hadis-hadis yang bersifat

mendorong agar giat beribadah (targhib) adalah hal yang dibolehkan, dalam rangka ber-

taqarrub kepada Allah.[45]

d. Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’

[
            Para ulama hadis menetapkan kaidah-kaidah untuk memudahkan melacak keberadaan

hadis maudhu’, sehingga hadis maudhu’ dapat diketahui dengan beberapa hal, antar lain[46]:

a.       Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis: seperti pengakuan Abi ‘Ismat Nuh bin Abi

Maryam, yang digelari Nuh al-Jami’, bahwa dia telah memalsukan hadis atas Ibnu Abbas

tentang keutamaan-keutamaan al-Qur’an surah persurah.

b.      Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya: misalnya seorang

perawi yang Rafidhah dan hadisnya tentang keutamaan ahlul bait.

c.       Adanya indikasi pada isi hadis, seperti: isinya bertentangan dengan akal sehat, atau

bertentangan dengan indra kenyataan, atau berlawanan dengan ketetapan agama yang kuat

dan terang, atau susunan lafazhnya yang lemah dan kacau, misalnya apa yang diriwayatkan

Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya secara marfu’,”bahwasanya

kapal nabi Nuh thawaf mengelilingi ka’bah tujuh kali dan shalat dua raka’at di maqam

Ibrahim.”

e. Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’

            Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang

yang  mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan

akan kemaudhu’annya, berdasarkan sabda Nabi saw:

 “barang siapa yang menceritakan hadis dariku sedangkan dia mengetahui bahwa itu dusta,

maka dia termasuk para pendusta.”(HR.Muslim)

f. Kitab-kitab Hadis Maudhu’:

a.       al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi

b.      al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya as-Suyuthi

c.       Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani.

[
BAB III
KESIMPULAN
            Dari uraian makalah yang penulis paparkan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal.

1. Hadis Shahih

a. Hadis shahih ialah hadis yang sanadnya bersambungan melalui periwayatan orang

yang adil lagi dhabit dari orang yang adil lagi dhabit pula, sampai ujungnya, tidak

syaz dan tidak mu’allal (terkena illat).

b. Syarat-syarat hadis shahih antara lain: a. Muttashil sanadnya b.Perawi-perawinya adil

c.Perawi-perawinya dhabit d.yang diriwayatkan tidak syaz e.yang diriwayatkan

terhindar dari illat qadihah(illat yang mencacatkannya).

c. Hadis shahih terbagi atas dua:

1.shahih lidzatihi

2.shahih li ghairihi

d. Tidak terdapat perbedaan ulama tentang kehujjahannya terutama dalam masalah

penentuan hukum sesuatu.

e. Kitab-kitab yang memuat hadis shahih, antara lain:

1)      Shahih bukhari                  7)  Shahih Ibn Khuzaimah

2)      Shahih muslim       8)  Sunan Abu Daud

3)      Mustadrak al-Hakim         9)  Sunan at-Tirmidzi

4)      Shahih Ibn Hibban            10)  Sunan an-Nasa’i


5)      Shahih Ibn Khuzaimah     11)  Sunan  Ibn Majah

6)      Sunan Abu Daud

2. Hadis Hasan

a. Hadis Hadis  hasan  ialah hadis yang sanadnya bersambung, oleh penukil yang adil

namun kurang ke-dhabit-annya (tidak terlalu kuat ingatannya)  serta terhindar dari

Syaz dan illat.

b. Kriteria hadis hasan :

1)      Sanad hadis harus bersambung.

2)      Perawinya adil

3)      Perawinya mempunyai sifat dhabit, namun kualitasnya lebih rendah (kurang) dari yang

dimiliki oleh perawi hadis shahih

4)      Hadis yang diriwayatkan tersebut tidak syaz

5)   Hadis yang diriwayatkan terhindar dari illat yang merusak (qadihah)

a.       Hadis hasan dibagi menjadi dua yaitu:

a.       hasan li dzatihi

b.      hasan li ghairi

b.      Hadis hasan sebagaimana kedudukan hadis shahih, meskipun derajatnya     dibawah hadis

shahih, adalah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum maupun dalam

beramal

c.       Kitab-kitab Yang Memuat Hadis Hasan

a.       Sunan at-Tirmidzy

b.      Sunan Abu Daud

c.       Sunan ad-Dar Quthny

3. Hadis Dhaif
a.   Hadis dhaif adalah “hadis yang didalamnya tidak didapati syarat hadis shahih       dan

tidak pula didapati syarat hadis hasan

b.  ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dapat dibagi kepada dua           

bahagian:

1.      Dhaif disebabkan karena tidak memenuhi syarat bersambungnya sanad, yang tergolong

didalamnya antara lain:

a.       Mu’allaq

b.      Mursal

c.       Munqathi'

d.      Mu'dhal

e.       Mudallas

2.      Dhaif karena terdapat cacat pada perawinya, yang tergolong didalamnya antara lain:

a.       Maudhu'                      g. Mudhtharab

b.      Munkar                        h. Mudarraj

c.       Majhul                         i.  mu'allal

d.      Matruk                                    j.  Musalsal

e.       Mubham                      k. Mukhtalith

f.       Syadz                          l.  mudha'af

c. Terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai pengamalan hadis           

dhaif, mengenai hal ini ada tiga pendapat:

1)      Hadis dhaif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadhail a’mal maupun

ahkam.

2)      Hadis dhaif bisa digunakan secara mutlak, hadis dhaif lebih kuat dari ra’yu perorangan

3)      Sebagian ulama berpendapat bahwa Hadis dhaif bisa digunakan dalam masalah fadhail

mawa’iz atau yang sejenis bila memenuhi beberapa syarat


d.  Kitab-kitab Yang diduga Mengandung Hadis Dhaif

1)      Ketiga Mu’jam at-Thabrani: al-Kabir, al-Awsat, as-Shagir

2)      Kitab al-Afrad, karya ad-Daruquthny

3)      Kumpulan karya al-Khatib al-baghdadi

4. Hadis Maudhu’

a. Hadis maudhu’ adalah “sesuatu yang diciptakan dan dibuat-buat lalu  dinisbatkan kepada

rasulullah secara dusta”

b.  Motivasi-Motivasi Munculnya Hadis Maudhu’

1).  Pertentangan Politik

2).  Usaha Kaum Zindiq

3).  Sikap Fanatik Buta

4).  Mempengaruhi Kaum Awam Dengan Kisah  dan Nasehat

5).  Perselisihan dalam fiqhi dan ilmu kalam

6).  Lobby dengan penguasa

7).  Semangat ibadah yang berlebihan tanpa didasari pengetahuan

c.  Kaidah-kaidah Untuk Mengetahui Hadis Maudhu’

1)      Pengakuan dari orang yang memalsukan hadis

2)      Adanya indikasi pada perawi yang menunjukkan akan kepalsuannya

3)      Adanya indikasi pada isi hadis

d.   Hukum Meriwayatkan Hadis maudhu’

Para ulama sepakat bahwanya diharamkan meriwayatkan hadis maudhu’dari orang yang 

mengetahui kepalsuannya dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan penjelasan akan

kemaudhu’annya Fsafsa

e.   Kitab-kitab Hadis Maudhu’

1). al-Maudhu’at, karya Ibn al-Jauzi


2). al-La’ali al-Ma’shum fi al-Hadis al-Maudhu’ah, karya as-Suyuthi

3). Silsilah al-Hadis ad-Dha’ifah, karya al-Albani

Anda mungkin juga menyukai