"Aku salah, tapi bukankah itu karenamu, Kang?"Duduk bersimpuh Anjani di belakang
kaki Panji sambil tersedu-sedu.
"Aku wanita dengan seribu gairah, aku ... aku ... takdapat menahan godaan berahi yang
begitu mendidihkan seluruh darah hingga tubuhku terguncang. Lalu apa salahku?”
“Kau selalu menolakku, kau slalu menghentikan setiap debur ombak di samudera luas.
Kau selalu menghindariku. Kau sengaja menghinaku dengan bersikap dingin hingga seribu
purnama."Anjani melakukan pembelaan.
"Aku mengerti, Aku sangat mengerti. Bukankah aku setia slama ini? Hanya kali ini, aku
mohon maaf padamu dengan berlutut ... aku khilaf, Kakang, laksana hujan yang takpernah
menyapa ke bumi tiba-tiba dia datang membasahi tanah yang sudah meretak kekeringan terlalu
lama. Aku manusia biasa, aku takkuasa menahan segala godaan meski nista. Aku salah. Maaf ...
maaf ... maafkan aku."Semakin deras airmata Anjani membasahi kedua pipinya, sambil
bersimpuh memegangi kaki Panji berharap agar Panji mau memaafkan atas 1 kali khilafnya.
Namun, Panji tak menggubris, dia berlalu sambil meludahi Anjani. Anjani hanya bisa
menangis sepanjang malam itu, sesekali dia berteriak.
"Jaka! Jaka!Mana janjimu? Panjiku telah meninggalkanku karena aku memilih menuruti
rayuanmu.”
Sementara itu, dalam kekalutannya Jaka berusaha menekan seluruh perasaan yang
mulai menyesakkan dada. Ada perasaan kalut setelah apa yang terjadi dalam pertemuan
dengan Anjani kala itu. Dalam penjara Adipati Panji, Jaka menerungi kisah kasihnya.
"Ini memang pantas kudapatkan, akupun tidak akan menyesali apa yang akan
kutanggung kelak". Gumamnya lirih, pandangan matanya jauh menerawang menembus jeruji
besi yang mengurung diri dan kebebasannya.
Berderit pintu besi yang di buka oleh salah seorang penjaga, sementara dua orang
bertubuh kekar menghampirinya.
"Inilah perhiasan para pesakitan, orang yang telah melanggar norma dan menerobos
batasan dari aturan yang telah ditetapkan." Ejek seorang penjaga pada Jaka dengan senyuman
sinis.
"Jaka...seorang yang bersalah karena memiliki hati, bersalah karena memiliki perasaan
cinta dan dipersalahkan karena takmampu memendam rasa." Begitu seorang Jaksa menuntut
Jaka yang duduk tertunduk di Balairung Kadipaten.
Layaknya psikopat, pembunuh keji tanpa hati Jaka digelandang ke lapangan Kadipaten
dan digiring seperti hewan buas yang siap menerkam siapapun hingga gelang baja berantai
harus dikenakan supaya mengurangi ruang geraknya.
"Bersalahkah aku yang mencintai Anjani, bukankah mereka juga terlahir dari rasa ini ?"
Jerit hati Jaka, tetapi hanya tertahan di tenggorokan, sedangkan air mata taksanggup untuk
dibendungnya lagi.
Anjani masih menangisi nasibnya sampai malam-malam berikutnya, dan itu sudah
berlangsung 3 purnama. Tubuhnya yang dulu berisi kini sudah tulang berbalut kulit. Airmatanya
sudah kerontang hingga yang ada hanya tatapan kosong mengiringi suara tangisnya. Kedua
kakinya terpasung. Aroma bunga melati dari tubuhnya telah berubah menjadi aroma bunga
bangkai.
"Tahukah engkau pujaan hatiku, kini aku terpasung karena cinta semumu?"
Guratan-guratan di wajahnya memancarkan konflik batin yang mendalam.
Di ruang bawah tanah Kadipaten, Jaka masih bergumung dengan siksa dan penjaranya
karena egonya mempertahankan kasih dengan Anjani, sedangkan keduanya sudah taklagi
lajang. Derita yang dia alami takpernah sampai ke telinga Anjani, sebaliknya Jaka pun demikian,
Anjani yang sudah lari kesadarannya takpernah Jaka ketahui.
Hanya malam, angin, bulan, serta bintang gemintang ramai saling bercerita tentang kisah
sepasang kekasih ini yang terpikat karena aksara awalnya.
"Dinda, Kangmas mu ini akan selalu berada di sisimu meski harus merenangi samudera
yang penuh dengan paus dan hiu pemangsa sekalipun." Bisik Jaka pada suatu malam di
peraduan Anjani pada malam temaram.
Itulah awal dari kesengsaraan yang diderita Anjani dan Jaka. Mereka dilaporkan kepada
Panji oleh pelayan wanita yang tanpa sengaja memergoki tarian erotis keduanya di kamar itu
saat malam dan hujan menghujam bumi.
"Tidak ada dosa tanpa balas." Geram Panji sambil memukulkan tinjunya pada sisi kursi
yang didudukinya.
Kini Anjani dan Jaka tetap bergeming di ruang gelap untuk menebus dosa cintanya entah
sampai kapan.
Tentang Penulis:
Nama penulis Iis Nia Daniar, nama pena: Senja Menjingga. Lahir di Bekasi, 15-08-1977.
Pendidikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Padjadjaran Bandung (2000). Aktif di Forum
Sastrawan Bekasi (FSB). Pengajar pada PRIMAGAMA cabang Bekasi dan SMP N 31 Kota Bekasi.
Hp. 085280873946.