Anda di halaman 1dari 5

Antara Setia dan Birahi

Oleh: Senja Menjingga

"Maaf."Kata Anjani sambil memegangi bahu Panji yang sudah


membelakanginya."Maafkan aku!"Terserak suara Anjani terdengar antara ingin menangis dan
berteriak.Sementara Panji tetap membelakangi Anjani dengan kedua tangan di lipat di dada.

"Aku salah, tapi bukankah itu karenamu, Kang?"Duduk bersimpuh Anjani di belakang
kaki Panji sambil tersedu-sedu.

"Aku wanita dengan seribu gairah, aku ... aku ... takdapat menahan godaan berahi yang
begitu mendidihkan seluruh darah hingga tubuhku terguncang. Lalu apa salahku?”

Kaumemang binal."Panji berteriak sambil menunjuk-nunjuk pada Anjani yang berada di


bawah kakinya.

“Kau selalu menolakku, kau slalu menghentikan setiap debur ombak di samudera luas.
Kau selalu menghindariku. Kau sengaja menghinaku dengan bersikap dingin hingga seribu
purnama."Anjani melakukan pembelaan.

"Seharusnya kaumengerti aku."Jawab Panji masih dengan nada kasar.

"Aku mengerti, Aku sangat mengerti. Bukankah aku setia slama ini? Hanya kali ini, aku
mohon maaf padamu dengan berlutut ... aku khilaf, Kakang, laksana hujan yang takpernah
menyapa ke bumi tiba-tiba dia datang membasahi tanah yang sudah meretak kekeringan terlalu
lama. Aku manusia biasa, aku takkuasa menahan segala godaan meski nista. Aku salah. Maaf ...
maaf ... maafkan aku."Semakin deras airmata Anjani membasahi kedua pipinya, sambil
bersimpuh memegangi kaki Panji berharap agar Panji mau memaafkan atas 1 kali khilafnya.

Namun, Panji tak menggubris, dia berlalu sambil meludahi Anjani. Anjani hanya bisa
menangis sepanjang malam itu, sesekali dia berteriak.
"Jaka! Jaka!Mana janjimu? Panjiku telah meninggalkanku karena aku memilih menuruti
rayuanmu.”

Menggerung, terisak Anjani dalam segala kekalutannya."Jakaaaaaa!"

Sementara itu, dalam kekalutannya Jaka berusaha menekan seluruh perasaan yang
mulai menyesakkan dada. Ada perasaan kalut setelah apa yang terjadi dalam pertemuan
dengan Anjani kala itu. Dalam penjara Adipati Panji, Jaka menerungi kisah kasihnya.

"Ini memang pantas kudapatkan, akupun tidak akan menyesali apa yang akan
kutanggung kelak". Gumamnya lirih, pandangan matanya jauh menerawang menembus jeruji
besi yang mengurung diri dan kebebasannya.

Suara langkah kaki para penjaga membuyarkan lamunan.

"Persiapkan dirimu menghadapi persidangan!" Sapa seorang penjaga...suara itu


terdengar tegas.

Berderit pintu besi yang di buka oleh salah seorang penjaga, sementara dua orang
bertubuh kekar menghampirinya.

"Ulurkan tanganmu !!"

Dengan kasar mereka memakaikan borgol di kedua pergelangan Jaka.

"Inilah perhiasan para pesakitan, orang yang telah melanggar norma dan menerobos
batasan dari aturan yang telah ditetapkan." Ejek seorang penjaga pada Jaka dengan senyuman
sinis.

"Jaka...seorang yang bersalah karena memiliki hati, bersalah karena memiliki perasaan
cinta dan dipersalahkan karena takmampu memendam rasa." Begitu seorang Jaksa menuntut
Jaka yang duduk tertunduk di Balairung Kadipaten.
Layaknya psikopat, pembunuh keji tanpa hati Jaka digelandang ke lapangan Kadipaten
dan digiring seperti hewan buas yang siap menerkam siapapun hingga gelang baja berantai
harus dikenakan supaya mengurangi ruang geraknya.

"Ayo jalan!” Lagi lagi suara bentakan penjaga memecahkan keheningan.

"Ohh..begitu besarkah kesalahanku, hingga sedemikian mereka memperlakukanku."


Bayang-bayang hukuman memenuhi ruang dalam pikiran jaka.

"Bersalahkah aku yang mencintai Anjani, bukankah mereka juga terlahir dari rasa ini ?"
Jerit hati Jaka, tetapi hanya tertahan di tenggorokan, sedangkan air mata taksanggup untuk
dibendungnya lagi.

Anjani masih menangisi nasibnya sampai malam-malam berikutnya, dan itu sudah
berlangsung 3 purnama. Tubuhnya yang dulu berisi kini sudah tulang berbalut kulit. Airmatanya
sudah kerontang hingga yang ada hanya tatapan kosong mengiringi suara tangisnya. Kedua
kakinya terpasung. Aroma bunga melati dari tubuhnya telah berubah menjadi aroma bunga
bangkai.

"Jaka, bilakah kaudengar tangisku." Hati Anjani berbisik.

"Tahukah engkau pujaan hatiku, kini aku terpasung karena cinta semumu?"
Guratan-guratan di wajahnya memancarkan konflik batin yang mendalam.

"Hadirmu meluluhlantakkan segala keyakinanku tentang kesetiaan dan pengorbanan


tanpa batas akan berbuah sorgaloka." Berteriak keras Anjani dalam klimaks kekalutannya.

Di ruang bawah tanah Kadipaten, Jaka masih bergumung dengan siksa dan penjaranya
karena egonya mempertahankan kasih dengan Anjani, sedangkan keduanya sudah taklagi
lajang. Derita yang dia alami takpernah sampai ke telinga Anjani, sebaliknya Jaka pun demikian,
Anjani yang sudah lari kesadarannya takpernah Jaka ketahui.

Hanya malam, angin, bulan, serta bintang gemintang ramai saling bercerita tentang kisah
sepasang kekasih ini yang terpikat karena aksara awalnya.
"Dinda, Kangmas mu ini akan selalu berada di sisimu meski harus merenangi samudera
yang penuh dengan paus dan hiu pemangsa sekalipun." Bisik Jaka pada suatu malam di
peraduan Anjani pada malam temaram.

Anjani mengangguk ringan sambil menyandarkan kepalanya pada bahu kekasih


gelapnya, Jaka, pemuda yang diperkerjakan Panji sebagai Pengawal pribadi Anjani, selir ke-7
Panji. Jaka mengecup kening Anjani dengan lembut, dan Anjani membalas kecupannya pada
bibir Jaka. Darah Jaka seketika mendidih, degup jantungnya sudah tidak berarturan. Segala
hasrat tertumpahkan tanpa bisa dibendung. Meledak-ledak Jaka dan Anjani menarikan
berahinya yang kian membara karena deras hujan dan riuh angin serta kilatan guntur di luar
kamar menyamarkan deru napas dan desah kedua insan yang tengah dilupakan oleh dedemit
bertopeng kasmaran.

Itulah awal dari kesengsaraan yang diderita Anjani dan Jaka. Mereka dilaporkan kepada
Panji oleh pelayan wanita yang tanpa sengaja memergoki tarian erotis keduanya di kamar itu
saat malam dan hujan menghujam bumi.

"Tidak ada dosa tanpa balas." Geram Panji sambil memukulkan tinjunya pada sisi kursi
yang didudukinya.

Kini Anjani dan Jaka tetap bergeming di ruang gelap untuk menebus dosa cintanya entah
sampai kapan.

Bekasi, 24 Januari 2016

Tentang Penulis:

Nama penulis Iis Nia Daniar, nama pena: Senja Menjingga. Lahir di Bekasi, 15-08-1977.
Pendidikan S-1 Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Padjadjaran Bandung (2000). Aktif di Forum
Sastrawan Bekasi (FSB). Pengajar pada PRIMAGAMA cabang Bekasi dan SMP N 31 Kota Bekasi.
Hp. 085280873946.

*Nama sertifikat: Iis Nia Daniar

Anda mungkin juga menyukai