Anda di halaman 1dari 19

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Upaya meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia khususnya


yang berkaitan dengan produk peternakan selain dilihat dari kemampuannya
dalam menyediakan produk peternakan, juga perlu diperhatikan seberapa jauh
usaha yang telah dikembangkan oleh pemerintah dalam meningkatkan daya beli
masyarakat (Sudaryanto dan Jamal, 2000). Berdasarkan data sebaran populasi sapi
potong di Indonesia tahun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007), sentra
sapi potong terdapat di Jawa Timur, Jawa Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan
(Suryana, 2007).

Sebagian besar (90%) produksi daging sapi nasional berasal dari


peternakan rakyat, dan sisanya dari perusahaan dan peternakan milik pemerintah.
Peternakan rakyat selain skala kepemilikannya kecil, juga sifat komersialnya
belum terbangun dengan baik sehingga seringkali sapi betina dewasa yang masih
produktif dijual atau dipotong. Alasan peternak rakyat menjual sapi sebelum
berat potong yang ideal, dapat dimaklumi karena keterbatasan modal. Alasannya
antara lain kebutuhan dana tunai untuk keperluan keluarga seperti biaya sekolah
anak, pengobatan/kesehatan, biaya awal masa tanam dan lain-lain (Atmakusuma
et.al, 2014).

Secara Nasional kebutuhan daging sapi di Indonesia masih kurang sekitar


135 juta ton (35%) dari jumlah kebutuhan 385 juta ton per tahun. Sedangkan di
Provinsi Aceh kebutuhan daging sapi skitar 30.210 ton yang dapat dipenuhi secara
internal dari sapi lokal hanya 87,25%, sisanya sekitar 4000 ton didatangkan dari
luar Provinsi Aceh (Badan Investasi dan Promosi Aceh, 2009). Padahal populasi
sapi di Provinsi Aceh mencapai 462.840 ekor (BPS Aceh, 2011). Apabila 25%
saja dari jumlah tersebut bisa sebagai sumber daging rata- rata minimal dapat
menghasilkan 250 kg per ekor, sebenarnya aceh tidak kekurangan daging bahkan
dapat mengekspor, salah satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan daging di
Provinsi Aceh adalah kondisi ternak kurang baik, produktivitas HMT rendah,

1
SDM peternak dan petugas yang kurang menunjang sehingga mengakibatkan
angka service per conseption (S/C >2) Conception Rate (CR) kurang dari 70%,
Calving Internal (CI) diatas 16 bulan, Estrus post partus masih diatas 90 hari
(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, 2012).

Produk daging sapi merupakan komoditas kedua setelah unggas (ayam


potong). Kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional sebesar 23%
dan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan (Direktorat Jenderal
Peternakan, 2009). Berdasarkan laju peningkatan konsumsi daging sapi yang
mencapai 4%, dibandingkan dengan laju peningkatan produksi sapi potong
sebesar 2%, maka dalam jangka panjang diperkirakan terjadi kekurangan produksi
akibat adanya pengurangan ternak sapi yang berlebihan walaupun ditunjang oleh
daging unggas. Secara umum kebutuhan daging sapi masih disupply oleh impor
daging maupun sapi bakalan (Ardiyati, 2012).
Sapi potong mempunyai peranan penting sebagai sumber penghasil daging
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang berasal dari ternak. Peningkatan laju
pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya
mengkonsumsi nutrisi asal hewani akan mempengaruhi peningkatan permintaan
daging sapi secara nasional. Pembangunan, pendidikan yang lebih maju, juga
menjadi faktor yang dapat mempengaruhi hal tersebut. Permintaan daging sapi
yang meningkat tidak diimbangi peningkatan produksi daging sapi dalam negeri
sehingga ketersediaan daging sapi secara nasional masih kurang (Atmakusuma et.
al, 2014).Sampai sekarang ini, pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia
masih bergantung pada impor. Keadaan ini berbeda dengan era tahun 70-an ketika
Indonesia menjadi negara pengeskpor sapi. Pada tahun 1972, misalnya, Indonesia
mengekspor sekitar 15 ribu sapi dan kerbau ke Singapura dan Hongkong
(Daryanto, 2011).
Menurut Daryanto (2007), permasalahan utama agribisnis sapi potong
adalah penurunan populasi yang terus- menerus setiap tahun. Program yang
selama ini tidak memberikan dampak yang meyakinkan pada penyelamatan ternak
potong. Permasalahn penurunan populasi sapi potong ini juga terjadi di Provinsi
Aceh, pertumbuhan sapi potong menunjukkan penurunan dari tahun 2006-2007
sebesar 26.273 ekor, dimana populasi sapi potong pada tahun 2006 sebanyak

2
666.101 ekor dan tahun 2007 sebanyak 639.828. Permasalahan lainnya yang
dihadapi dalam pengembangan ternak sapi.

Jumlah daging sapi yang harus tersedia ditentukan oleh kebutuhan

konsumsi daging sapi secara nasional, disisi lain kebutuhan konsumsi daging sapi

ditentukan oleh jumlah penduduk dan konsumsi daging sapi per kapita.

Disamping itu kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya protein

hewani makin meningkat, sehingga kebutuhan daging sapi nasional akan semakin

meningkat (Dwiyanto, 2008).

Rumusan Masalah

1. Apakah penyebab minimnya ketersediaan daging sapi di Provinsi Aceh ?

2. Bagaimana peran mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dalam


menghadapi minimnya ketersediaan daging sapi di pasaran ?
3. Bagaimana dampak minimnya ketersediaan daging terhadap masyarakat
aceh ?

Tujuan

 Untuk mengetahui penyebab minimnya ketersediaan daging sapi di


Provinsi Aceh.
 Untuk memberikan informasi kepada masyarakat khususnya peternak agar
produksi daging sapi di Provinsi Aceh dapat ditingkatkan.

Manfaat

Penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat membuka wawasan


peternak terkait peningkatan kualitas dan ketersediaan daging di pasaran sehingga
dapat mewujudkan program pemerintah dalam upaya swasembada daging.
Manfaat lainnya adalah penulisan karya tulis ilmiah ini diharapkan dapat
meningkatkan perekonomian masyarakat khususnya peternak dalam peningkatan
kualitas daging sapi.

3
Gagasan Penulis

Minimnya ketersediaan daging khususnya di Provinsi Aceh menyebabkan


harga daging menjadi relatif mahal terutama pada hari-hari besar Agama Islam,
yang berdampak pada perekonomian masyarakat. Sementara Provinsi Aceh
memiliki sektor dibidang peternakan yang cukup luas. Hal inilah yang menjadi
gagasan penulis untuk menulis karya tulis ilmiah ini dengan judul “Peran
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dalam Meningkatkan Produktivitas
Daging Sapi di Provinsi Aceh untuk Mencapai Swasembada Daging”.

Metode Penulisan

Karya tulis ilmiah ini dikembangkan dengan studi literatur atau


kepustakaan dan pengumpulan informasi melalui bahan bacaan yang meliputi
buku teks, jurnal, majalah ilmiah, skripsi berita serta informasi lainnya yang
terkait dengan judul penulisan.

4
TINJAUAN PUSTAKA

Sapi

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik


tertentu yang sama, Berdasarkan karakteristik tersebut, dapat dibedakan dari
ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang
dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Blakely dan Bade
(1992), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi yaitu : masing- masing
jenis ternak terdiri dari atas berbagai bangsa, yaitu sekelompok ternak yang
memiliki kesamaan sifat yang dapat diturunkan. Beberapa contoh bangsa sapi
yang termasuk Bos taurus adalah Friesien holstain (FH), Jersey, Shorthorn, dan
Angus, sedangkan bangsa sapi yang termasuk Bos indicus adalah sapi Ongle,
Brahman, Angkole, dan Boran. Bos sondaicus yang terkenal adalah Benteng dan
sapi Bali. Bangsa- bangsa sapi yang sudah lama di Indonesia dan dianggap
sebagai sapi lokal adalah sapi bali termasuk Bos sondaicus, serta Peranakan
Ongole (PO), sapi Madura, sapi Jawa, sapi Sumatera (sapi Pesisir), dan sapi Aceh
(Natassasmita dan Mudikdjo, 1985). Diantara bangsa sapi yang besar populasinya
adalah sapi Bali, sapi Ongole, Peranakan Ongole (PO) dan sapi madura.

Pada ternak sapi pedaging, rekor atau data utama yang dibutuhkan ialah
silsilah keturunan atau pedigri, data pertumbuhan ternak, data beranak dan lainnya
yang berkaitan dengan produktivitas. Data- data mengenai karkas, baru dapat
dikumpulkan setelah sapi itu dipotong. Sebagian besar Negara (terutama negara-
negara maju), mempunyai bagan atau rancangan pencatatan sapi pedaging secara
resmi sebagai pusat data dan informasi yang terperinci sesuai dengan kebutuhan
dan memberikan bimbingan secara langsung atau tidak langsung mengenai sapi
potong (Pane, 1993).

Diatas segala nilai ekonomis seekor sapi, pada akhirnya sapi akan menjadi
penghasil daging. Sapi- sapi ang dipekerjakan sebagai pembajak sawah atau
ternak perah yang tidak produktif lagi biasanya akan digemukkan sebagai ternak
potong. Umumnya, mutu daging yang berasal dari sapi- sapi afkiran tidak terlalu
baik. Meskipun demikian beberapa jenis sapi yang memang khusus dipelihara
untuk digemukkan karena karakteristik yang dimilikinya, seperti tingkat

5
pertumbuhannya cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi- sapi inilah yang
umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, yang dipeihara secara intensif selama
beberapa bulan sehingga diperoleh pertambahan berat badan yang ideal untuk
dipotong (Abidin, 2002).

 Jenis sapi yang banyak diplihara oleh peternak di Indonesia adalah sapi
Ongole, sapi Bali, sapi Madura, sapi Aberdeen Angus, sapi Brahman, sapi
Brangus (Brahman dan Aberdeen Angus), sapi Peranakan Ongole(PO), sapi
Simmental, sapi Limousin dan sapi Frisian Holstain(FH) (Djarijah, 2002).

Pemeliharaan Sapi Potong di Indonesia

Sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia dibedakan menjadi tiga,


yaitu: intensif, ekstensif, dan usaha campuran (mixed farming). Pada pemeliharaan
secara intensif, sapi dikandangkan secara terus-menerus atau hanya dikandangkan
pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Pola pemeliharaan sapi
secara intensif banyak dilakukan petani peternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada
pemeliharaan ekstensif, ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola
pertanian menetap atau di hutan. Pola tersebut banyak dilakukan peternak di Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi (Sugeng 2006). Dari kedua cara
pemeliharaan tersebut, sebagian besar merupakan usaha rakyat dengan ciri skala
usaha rumah tangga dan kepemilikan ternak sedikit, menggunakan teknologi
sederhana, bersifat padat karya, dan berbasis azas organisasi kekeluargaan (Azis
dalam Yusdja dan Ilham 2004).
Pembibitan Sapi Potong
Berdasarkan tujuan produksinya, pembibitan sapi potong dikelompokkan
ke dalam pembibitan sapi potong bangsa/rumpun murni dan pembibitan sapi
potong persilangan. Dalam pembibitan sapi potong, pemeliharaan ternak dapat
dilakukan dengan sistim pastura (penggembalaan), sistim semi intensif, dan sistim
intensif (Deptan, 2006). Sistim pastura yaitu pembibitan sapi potong yang sumber
pakan utamanya berasal dari pastura. Pastura dapat merupakan milik perorangan,
badan usaha atau kelompok peternak. Sistim semi intensif yaitu pembibitan sapi
potong yang menggabungkan antara sistem pastura dan sistem intensif. Pada
sistem ini dapat dilakukan pembibitan sapi potong dengan cara pemeliharaan di

6
padang penggembalaan dan dikandangkan. Sistem intensif yaitu pembibitan sapi
potong dengan pemeliharaan di kandang. Pada sistem ini kebutuhan pakan
disediakan penuh (Sodiq, 2012).
Produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor genetik (internal) dan faktor
lingkungan (eksternal) dan juga interaksi kedua faktor tersebut. Faktor eksternal
bersifat temporer (berubah-ubah) dari waktu ke waktu, dan tidak dapat diwariskan
kepada keturunannya. Faktor internal bersifat baka, tidak akan berubah selama
hidupnya sepanjang tidak terjadi mutasi dari gen penyusunnya dan dapat
diwariskan kepada keturunannya. Kedua hal inilah yang menyebabkan
produktivitas ternak berbeda dari suatu lokasi dengan lokasi lainnya.Untuk
meningkatkan produktivitas ternak dapat dilakukan melalui seleksi ternak
berdasarkan berat badan. Dalam program seleksi, pengetahuan tentang korelasi
genetik penting untuk menduga produktivitas ternak dimasa mendatang
berdasarkan catatan sekarang (Sumadi, 2014).
Manajemen Perkandangan
Konstruksi kandang dirancang sesuai keadaan iklim setempat, jenis ternak,
dan tujuan pemeliharaan sapi itu sendiri. Dalam merancang kandang ternak yang
penting untuk diperhatikan adalah tinggi bangunan, kedudukan atap dan bayangan
atap, serta lantai kandang (Sarwono dan Arianto, 2002). Pembangunan kandang
harus memberikan kemudahan perawatan sapi, mencegah sapi supaya tidak
berkeliaran dan menjaga kebersihan lingkungan (Siregar, 2008). Setiap usaha
penggemukan sapi potong yang didirikan harus merencanakan jumlah kandang
yang akan dibangun sesuai dengan jumlah dan jenis sapi yang akan dipelihara.
Kandang yang dibangun harus kuat dan memenuhi syarat kesehatan, mudah
dibersihkan, mempunyai drainase yang baik, siklus udara yang bebas dan
dilengkapi tempat makan dan minum sapi, serta bak desinfektan (Direktorat
Jenderal Peternakan, 2007).

Kandang secara umum memiliki dua tipe, yaitu kandang individu dan
kandang koloni (Abidin, 2002). Menurut Sarwono dan Arianto (2002) kandang
individu adalah kandang yang terdiri dari satu ruangan atau bangunan dan hanya
digunakan untuk memelihara satu ekor ternak setiap ruangnya. Kandang koloni

7
adalah kandang yang terdiri dari satu ruangan atau bangunan tetapi digunakan
untuk ternak dalam jumlah banyak.

Pembersihan kandang dilakukan setiap hari secara bergiliran. Biasanya


pembersihan kandang dilakukan setelah pemberin pakan konsentrat pada pagi
hari. Limbah padat dibersihkan menggunakan garu dan dikumpulkan untuk
ditampung di tempat penampungan limbah padat untuk dijadikan pupuk kandang.
Pembersihan selanjutnya disiram air agar feses langsung mengalir ke
penampungan urine. Lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari pemukiman agar
bau dan limbah peternakan tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak
kandang dengan pemukiman minimum 50 meter. Apabila jaraknya terlalu dekat
sebaliknya, apabila jaraknya terlalu dekat sebaiknya dibangun barrier (tembok
pembatas atau pagar tanaman yang pertumbuhannya rapat sebagai peredam angin
(Dydi, 2009).

Manajemen Pemberian Pakan

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat diberikan pada ternak
sebagai pakan,baik berupa bahan organik,baik sebagian maupun keseluruhannya
dapat dicerna dan tidak menyebabkan gangguan kesehatan pada ternak yang
memakannya (Hartadi et al, 1986). Siregar (2008) menyatakan bahwa pakan sapi
potong harus memenuhi persyaratan,antara lain: tersedia sepanjang tahun, bernilai
gizi tinggi, harganya relatif murah dan tidak mengandung racun atau zat
antinutrisi.

Secara alamiah pakan utama ternak sapi adalah hijauan yang dapat berupa
rumput alamatau lapangan, rumput unggul, leguminosa, limbah pertanian serta
tanaman hijauan lainnya. Dalam pemilihan pakan hijauan harus diperhatikan
disukai ternak atau tidak, mengandung racun(toxin) atau tidak yang dapat
membahayakan perkembangan ternak yang mengkonsumsi. Namun
permasalahan yang ada bahwa hijauan di daerah tropis mempunyai kualitas yang
kurangbaik sehingga untuk memenuhi kebutuhan nutrien perlu ditambah dengan
pemberian pakan konsentrat (Siregar, 2008).

8
Cara PemberianPakan

Pemberian pakan dilakukan setelah tempat pakan dibersihkan dari sisa

pakanyang tersisa. Pakan konsentrat tidak diberikan terlebih dahulu melainkan

jerami terlebih dahulu dalam jumlah sedikit baru kemudian diberikan konsentrat

dan setelah itu jerami lagi dalam jumlah banyak. Hal ini dimaksudkan untuk

menahan konsentrat di dalam rumen sehingga menyiapkan mikroba rumen agar

mampu berkembang lebih lama dan mencerna jerami lebih banyak serta nutrien

yang diserappun akan lebih optimal. Tempat pakan berbentuk palung yaitu

dasarnya melengkung, dimaksudkan untuk memudahkan dalam pembersihan.

Dalam pemberian jerami padi dengan menggunakan gerobak yang digunakan

sebagai alat pengangkut dari gudang tempat penyimpanan jerami ketempat pakan

sapi (Dydi, 2009).

Konsentrat yang telah dibuat dimasukkan kedalam gerobak kemudian


dibawa ketempat pakan sapi atau kandang. Setelah gerobak ada pada kandang
pemberian konsentrat dengan mengunakan gayung yang setiap gayung penuh
berisi konsentrat 0,5kg. Kemudian pakan dibagi rata agar semua sapi mendapat
jatah yang sama. Sedangkan pemberian hijauan berupa rumput gajah, yang sudah
dicacah secara manual. Pemberian rumput gajah tidak terkontrol atau tidak setiap
hari dan jumlah yang diberikanpun hanya sedikit (Dydi, 2009).
PengendalianPenyakit

Situasi dan kondisi wilayah tertentu sering membuat pengendalian penyakit

menjadi sulit. Reservoir atau penampungan seperti pada cagar alam

memungkinkan terlindungnya berbagai macam penyakit sehingga tidak tersentuh

oleh para petugas. Dengan demikian infeksi parasit dan mikroorganisme yang

lain terus menerus berkembang dan menular pada ternak yang sehat.Cara

pemeliharan ternak yang tidak memenuhi syarat juga memungkinkan penularan

9
dari ternak sakit keternak sehat milikorang lain(Akoso,1996)

Walaupun usahausaha pencegahan penyakit dilakukan secara terus menerus,


adakalanya kita menemukan kondisi sapi yang tidak sehat. Sebagai pengetahuan
praktis,ada baiknya juga diketahui beberapa jenis penyakit pada ternak sapi di
Indonesia, penyebab, ciriciri, dan upaya pengobatannya. Meskipun, kontak
dengan para ahli seperti dokter hewan adalah langka yang tepatdi banding
melakukan pengobatan sendiri(Abidin,2002).
Permasalahan dalam Pengembangan Sapi
Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu memenuhi
permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan dalam
pengembangan sapi potong. Beberapa permasalahan tersebut adalah: 1) usaha
bakalan atau calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena
secara ekonomis kurang menguntungkan dan dibutuhkan waktu pemeliharaan
yang lama, 2) adanya keterbatasan pejantan unggul pada usaha pembibitan dan
peternak, 3) ketersediaan pakan tidak kontinu dan kualitasnya rendah terutama
pada musim kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan agroindustri pertanian
sebagai bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan
jarak beranak (calvinginterval) yang panjang (Maryono etal.2006), 6) terbatasnya
sumber bahan pakan yang dapat meningkatkan produktivitas ternak dan masalah
potensi genetik belum dapat diatasi secara optimal (Kariyasa 2005; Santi 2008),
serta 7) gangguan wabah penyakit (Isbandi 2004).
Djajanegara dalam Syamsu et al. (2003) menyatakan, perubahan fungsi
lahan dari wilayah sumber hijauan pakan menjadi areal tanaman pangan atau
kawasan permukiman dan industri juga mengganggu penyediaan hijauan pakan
ternak. Di lain pihak, ketersediaan padang penggembalaan menurun hingga 30%.
Mersyah (2005) mengemukakan, ada dua faktor yang menyebabkan lambannya
perkembangan sapi potong di Indonesia. Pertama, sentra utama produksi sapi
potong di Pulau Jawa yang menyumbang 45% terhadap produksi daging sapi
nasional sulit untuk dikembangkan karena: a) ternak dipelihara menyebar menurut
rumah tangga peternakan (RTP) di pedesaan, b) ternak diberi pakan hijauan
pekarangan dan limbah pertanian, c) teknologi budi daya rendah, d) tujuan
pemeliharaan ternak sebagai sumber tenaga kerja, perbibitan (reproduksi) dan

10
penggemukan (Roessali etal. 2005), dan e) budi daya sapi potong dengan tujuan
untuk menghasilkan daging dan berorientasi pasar masih rendah. Kedua, pada
sentra produksi sapi di kawasan timur Indonesia dengan porsi 16% dari populasi
nasional, serta memiliki padang penggembalaan yang luas, pada musim kemarau
panjang sapi menjadi kurus, tingkat mortalitas tinggi, dan angka kelahiran rendah.
Kendala lainnya adalah berkurangnya areal penggembalaan, kualitas sumber daya
rendah, akses ke lembaga permodalan sulit, dan penggunaan teknologi rendah
(Syamsu etal. 2003; Isbandi 2004; Ayuni 2005; Rosida 2006).
Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Produksi Ternak

Beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam memacu produksi

ternak dalam negeri seperti: (1) pengembangan pakan ternak, (2) peningkatan

mutu bibit melalui program inseminasi buatan, dan (3) program pemberantasan

penyakit (Ilham, 1998). Pemerintah juga telah melakukan upaya-upaya

pemberdayaan usaha peternakan rakyat dengan konsep pengembangan Industri

Peternakan Rakyat (Inayat) dengan pola kemitraan antara perusahaan dengan

peternakan rakyat dalam bentuk Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Namun tampaknya

semua usaha yang telah dilakukan pemerintah tersebut belum berhasil secara

signifikan memacu produksi ternak dalam negeri (Ardiyati, 2012).

Pemerintah melakukan berbagai program seperti adanya lembaga yang


menampung dan memelihara sampai mencapai berat sapi siap potong, dan jika
peternak bersedia menahan tidak menjual sapi mendapat konpensasi sebesar Rp
500,000/ekor, tetapi gagal. Program SMD (sarjana masuk desa) dengan
membentuk kelompok peternak dan mendapat pembiayaan dari pemerintah
(Pemda setempat) tidak tercapai karena sebagian anggota kurang berpengalaman
beternak sehingga gagal dalam teknis beternak (Atmakusuma et.al, 2014).
Informasi Dasar Mengenai Harga Daging Sapi di Aceh
Peningkatan produksi daging sapi belum dapat memenuhi permintaan

daging sapi. Harga daging sapi di Provinsi Aceh merupakan harga tertinggi di

11
antara Provinsi lain di Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga daging

sapi di Provinsi Aceh adalah permintaan daging sapi, produksi daging sapi dan

harga daging sapi impor. Faktor-faktor tersebut secara serempak berpengaruh

signifikan terhadap harga daging sapi di Provinsi Aceh. Secara parsial, harga

daging impor berpengaruh nyata terhadap harga daging sapi lokal. Sedangkan

permintaan dan produksi daging sapi lokal tidak berpengaruh nyata terhadap

harga daging sapi lokal. Hal tersebut disebabkan karena peningkatan produksi

daging sapi lokal belum dapat memenuhi jumlah permintaan. Sehingga harga

daging sapi lokal akan terus mengalami peningkatan. Maka dapat dikatakan,

produksi daging sapi lokal dan permintaan tidak berpengaruh pada harga daging

sapi lokal, karena harga daging sapi lokal akan terus meningkat setiap tahunnya,

sampai tercapainya swasembada daging sapi dan permintaan dapat terpenuhi

(Pradipta, 2014).

12
ANALISIS DAN SINTESIS

Konsumsi daging sapi di Indonesia terus mengalami peningkatan. Namun

peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang

memadai. Laju peningkatan populasi sapi potong relatif lamban, yaitu 4,32% pada

thun 2007 (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Kondisi tersebut menyebabkan

sumbangan sapi potong terhadap produksi daging nasional rendah (Mrsyah2005;

Santi 2008) sehingga terjadi kesenjangan yang makin lebar antara permintaan dan

penawaran (Setiyono et.al, 2007).

Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin
meningkatsejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya gizi yang seimbang, pertambahan penduduk dan meningkatnya daya
beli masyarakat (Deptan,2006). Pemerintah sejak tahun 2005 telah mencanangkan
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) yang dirumuskan pada tahun 2000
dan berakhir 2004 (Sudardjat (2004). Kebijakan PSDS dilanjutkan pada tahun
2010 hingga sekarang. Pada periode ini, PSDS menjadi program prioritas dan
dituangkan dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan 2010-2014
(Ditjennak, 2009).
Upaya untuk menghindari pengurasan sapi potong dan memenuhi
konsumsi daging masyarakat dibutuhkan pendekatan yang mengintegrasikan
aspek teknis, ekonomi dan sosial secara terpadu dalam paket program. Prinsip
yang perlu dianut adalah azas kelestarian sumberdaya ternak nasional(populasi),
azas keseimbangan (suplaidemand),dan azas kemandirian (mengurangi impor)
(Sudardjat, 2004). Pemerintah menetapkan beberapa kebijakan melalui
pengembangan kelembagaan petani peternak, optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya alam lokal, dan pengembangan teknologi tepat guna. Langkah untuk
membangun program perbaikan peternakan sapi potong berkelanjutan dibutuhkan
kajian mengenai sistim produksi sapi potong beserta hambatan dan
mengidentifikasi tujannya serta tingkat produktivitasnya(Musa et al, 2006).

13
Sapi potong merupakan komoditas andalan bagi Provinsi Aceh, kebtuhan
daging sapi di Provinsi Aceh 30.210 ton dan dapat dipenuhi secara internal dari
sapi lokal hanya 87,25% sisanya sekitar 4000 ton didatangkan dari luar Aceh
(Badan Investasi Aceh, 2009). Sampai saat ini, swasembada daging di Provinsi
Aceh belum tercapai. Salah satu penyebab hal tersebut dapat terjadi karena masih
minimnya pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan sapi yang baik
dan benar. Hal ini akan memberikan pengaruh terhadap kualitas daging yang
dihasilkan oleh sapi. Disinilah peran dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
dengan cara memberikan sosialisasi kepada peternak mengenai manajemen
pemeliharaan sapi yang baik agar dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas
sapi.

Kondisi fisiologis ternak akan mempengaruhi kualitas dan produktivitas


ternak itu sendiri. Saat sapi menderita kecacingan maka aka mengganggu fungsi
fisiologis tubuh hewan itu sendiri. Yang dapat mengakibatkan terjadinya
penurunan kualitas dan produktivitas sapi. Adanya perubahan fisiologis pada
ternak dapat dilakukan melalui pemeriksaan hematologi dari ternak yang
dibandingkan dengan hematologi normalnya. Selain itu, juga dapat dilihat melalui
gejala klinis yang ditimbulkan oleh adanya infeksi tertentu. Kondisi pakan yang
tidak baik atau tidak mencukupi juga dapat mempengaruhi fisiologis ternak.

Faktor lain yang mempengaruhi minimnya ketersediaan daging adalah


pemotongan sapi produktif yang dilakukan oleh para peternak disebabkan karena
alasan antara lain kebutuhan dana tunai untuk keperluan keluarga seperti biaya
sekolah anak, pengobatan/kesehatan, biaya awal masa tanam dan lain-lain
(Atmakusuma et.al, 2014).

14
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Sampai saat ini, Indonesia khususnya Provinsi Aceh masih belum bisa
mencapai swasembada daging. Hal ini terjadi karena kesenjangan yang cukup
lebar antara permintaan dan penawaran daging sapi. Meskipun kita ketahui bahwa
Provinsi Aceh sebagai salah satu sentra sapi potong di Indonesia. Kondisi ini
terjadi disebabkan karena minimnya pengetahuan peternak tentang manajemen
pemeliharaan sapi yang baik dan benar. Di Provinsi Aceh sendiri, masih banyak
peternak yang membiarkan sapinya berkeliaran di jalan raya. Sehingga sapi
tersebut bisa saja memakan sampah- sampah yang diperoleh dari tempat
penampungan sampah.

Seperti yang diketahui, penampungan sampah tersebut merupakan sumber


penyakit. Saat terjadi infeksi pada sapi, maka akan menurunkan kualitas dan
produktivitas sapi tersebut. Umumnya, peternak memberikan pakan kepada
ternaknya hanya berupa hijauan tanpa memberikan konsentrat. Pemberian pakan
dengan hijauan saja tidak akan mencukupi nilai gizi bagi sapi tersebut. Disinilah
peran mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan dengan memberikan sosialisasi
mengenai manajemen pemeliharaan sapi yang baik dan benar baik dari sisi
perkandangan, biosecurity, pemberian pakan dll. Sosialisasi yang dilakukan oleh
mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan sendiri dapat berupa pengabdian
masyarakat baik itu yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Hewan
Unsyiah maupun oleh mahasiswa itu sendiri. Selain itu, sosialisasi juga dapat
dilakukan melalui pengobatan ternak gratis yang mungkin dapat dilakukan secara
kontinuitas. Melalui sosialisasi yang dilakukan oleh mahasiswa ke peternak maka
mahasiswa dapat menerapkan ilmu yang diperoleh di perguruan tinggi. Dan
peternak sendiri memperoleh informasi mengenai manajemen peternakan sapi
potong yang baik, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan produktivitas ternak.

Rekomendasi yang dapat penulis berikan dengan karya tulis ilmiah ini
adalah pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan sapi yang baik
dapat ditingkatkan. Pemerintah ataupun lembaga terkait dapat bekerja sama
dengan para peternak untuk mewujudkan swasembada daging di Provinsi Aceh.
Kurangnya pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan sapi yang

15
baik dan benar, keterbatasan modal serta minimnya lahan yang dibuthkan oleh
peternak untuk memelihara ternaknya menjadi kendala bagi peternak lokal
sehingga tidak dapat menigkatkan kualitas dan produktivitas ternaknya. Solusi
yang mungkin dapat diberikan yaitu pemerintah dapat mempekerjakan peternak
sehingga peternak dapat memperoleh pengetahuan dasar dalam beternak, modal
serta lahan untuk pemeliharaan ternak. Sedangkan keuntungan bagi pemerintah
sendiri yaitu terwujudnya swasembada daging di Provinsi Aceh.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Z., 2002. Penggemukan Sapi Potong. Jakarta:  Agromedia Pustaka. 


Akoso. 1996.Kesehatan Sapi. Yogyakarta : Kanisius.
Ardiyati, Alisa. 2012. Penawaran Daging Sapi Di Indonesia(Analisis Proyeksi
Swasembada Daging Sapi 2014). Tesis. Tidak Dipublikasikan. Fakultas
EkonomiProgram Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Kekhususan
Manajemen Sektor PublikJakarta Universitas Indonesia.
Atmakusuma, Juniar, Harmini Dan Ratna Winandi. 2014. Mungkinkah
Swasembada Daging Terwujud. Risalah Kebijakan Pertanian Dan
Lingkungan 1(2): 105-109.

Ayuni, N. 2005. Tata Laksana Pemeliharaan dan Pengembangan Ternak Sapi


Potong Berdasarkan Sumber Daya Lahan di Kabupaten Agam, Sumatera
Barat. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Pedoman Budidaya Sapi Potong yang Baik
(Good Farming Practice). Jakarta (ID).
Badan Investasi Dan Promosi Aceh. 2009. Aceh Dalam Menuju Ketahanan
Pangan.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh. 2012. Diseminasi Teknologi


Mendukung Swasembada Daging Sapi Dan Kerbau (PSDSK). Balai Besar
Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian Kementrian Pertanian.

Blakely J. Bade D.H 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Terjemahan:


Bambang Srigandono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Daryanto, A. 2007. Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Jakarta:


Permata Wacana Lestari.

Deptan. 2003. Kriteria Teknis Kawasan Agribisnis Peternakan Sapi Potong.


Kerjasama Direktorat Pengembangan Peternakan Dengan Fakultas
Peternakan IPB, Jakarta.

17
Didy,Alfianus Dangga .2009.Manajemen Penggemukan Sapi Potong Di Cv. Sumb
er Baja Perkasa Kabupaten Klaten. Tugas Akhir. Tidak Dipublikasikan.
Fakultas PertanianUniversitas Sebelas Maret.
Ditjennak, 2009. Renstra Direktorat Jenderal Peternakan 2010-2014. Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI.
Djarijah, A.S. 2002. Usaha Ternak Sapi. Yogyakarta: Kanisius.
Isbandi. 2004. Pembinaan kelompok petaniternakdalam usaha ternak sapi potong.
J.lndon.Trop.Anim.Agric.29(2): 106-114.
Kariyasa, K. 2005. Sistem Integrasi Tanamanternak Dalam Perspektif Reorientasi
Kebijakan Subsidi Pupuk Dan Peningkatan Pendapatan Petani. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian 3(1): 68-80.
Maryono, E. Romjali, D.B. Wijono, Dan Hartatik. 2006. Paket Rakitan Teknologi
Hasil-Hasil Penelitian Peternakan Untuk Mendukung Upaya Kalimantan
Selatan Mencapai Swasembada Sapi Potong. Makalah Disampaikan pada
DiseminasiTeknologi Peternakan, Banjarbaru, 17 Juli 2006. Dinas
Peternakan Provinsi Kalimantan Selatan Bekerja SamaDengan Loka
Penelitian Sapi Potong, Grati. Hlm. 15.
Mersyah, R. 2005. Desain Sistem Budi Daya Sapi Potong Berkelanjutan untuk
Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan.
Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Musa, M., Peters, K.J., and Ahmed, M.K.A., 2006. On farm characterization of
Butana and Kenana cattle breed production systems in Sudan. Livestock
Research for Rural Development 18(12): 53-60.
Natasasmita A, Mudikdjo K. 1985. Beternak Sapi Daging. Bogor: Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pane,   1993.  Pemuliabiakan  Ternak  Sapi. Jakarta: Gramedia  Pustaka  Utama.


Pradipta. Gusti Nugraha. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Daging
Sapi Di Provinsi Aceh. Skripsi. Tidak Dipublikasikan. Banda Aceh:
Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala.
Rosida, I. 2006. Analisis Potensi Sumber Daya Peternakan Kabupaten
Tasikmalaya sebagai Wilayah Pengembangan Sapi Potong. Skripsi. Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor.

18
Santi, W.P. 2008. Respons Penggemukan Sapi PO dan Persilangannya sebagai
Hasil IB terhadap Pcmberian Jerami Padi Fermentasi dan Konsentrat di
Kabupaten Blora. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Sarwono, B Dan H. B. Arianto. 2002. Penggemukan Sapi Potong   Secara Cepat.
Jakarta: Penebar Swadaya. 
Siregar, S.B., 2008. Penggemukan Sapi. Jakarta:  Penebar Swadaya. 

Sodiq, Akhmad Dan Machfudin Budiono. 2012.Produktivitas Sapi Potong Pada


Kelompok Tani Ternak Di Pedesaan. Agripet Vol 12, No.1: 36-43.
Sudardjat, S., 2004. Operasional Program Terobosan Menuju Kecukupan Daging
Sapi Tahun 2005. Analisis Kebijakan Pertanian. 1(1):57-65.
Sugeng, Y.B. 2006. Sapi Potong. Jakarta: Penebar Swadaya.
SumadiDan Tety Hartatik. 2014.Korelasi Genetik Pada Sifat Pertumbuhan Sapi
Aceh Di KecamatanIndrapuri Provinsi Aceh.Agripet Vol 14, No. 1:102-107.
Suryana. 2007. Pengembangan Integrasi Ternak Ruminansia Pada Perkebunan
Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian 26(1): 35-
40.

Syamsu, A.J., L.A. Sofyan, K. Mudikdjo, Dan G. Said. 2003. Daya Dukung
Limbah Pertanian Sebagai Sumber Pakan Ternak Ruminansia Di Indonesia.
Wartazoa 13(1): 30-37.
Yusdja, Y. dan N. Ilham. 2004. Tinjauan kebijakan pengembangan agribisnis sapi
potong. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 2(2): 167-182.

19

Anda mungkin juga menyukai