Toleransi Umat Beragama Dan Maraknya Radikalisme Di Dunia Pendidikan
Toleransi Umat Beragama Dan Maraknya Radikalisme Di Dunia Pendidikan
XII MIPA 4
Analisis kasus kondisi toleransi kehidupan beragama di Indonesia dan terkait dengan maraknya gerakan
radikalisme terutama di dunia pendidikan.
Ciri terpenting dari kondisi toleransi di tanah air saat ini ialah toleransi yang pasif, atau biasa
disebut ko-eksistensi (lazy tolerance). Hidup berdampingan secara damai. Tapi satu samalain tidak saling
peduli. Karena menganggap “masalahmu adalah masalahmu”, “masalahku adalah masalahku”.
Mengutip laporan berbagai kelompok keagamaan dan LSM, laporan itu bahkan menyatakan
bahwa para pejabat pemerintah dan polisi dalam beberapa kasus “gagal” mencegah “kelompok-
kelompok intoleran” melanggar kebebasan beragama kelompok-kelompok minoritas dan melakukan
aksi-aksi intimidasi, seperti pengrusakan dan penghancuran rumah ibadah.
Ke depan masih akan sering terjadi keributan-keributan yang ada hubungannya dengan toleransi
seperti ditulis oleh Sydney Jones (dari Human Rights Watch, Red) yang mengatakan bahwa yang
menderita sebetulnya adalah kelompok minoritas. Ada sedikit ketakutan dari kelompok minoritas di
Indonesia atas sikap-sikap intoleransi dari kelompok-kelompok tertentu.
Menurut saya solusi terbaik untuk kondisi toleransi di tanah air saat ini adalah toleransi yang
pasif itu harus ditingkatkan menjadi toleransi yang aktif-progresif, atau biasa disebut pro-eksistensi.
Dalam kondisi ini, setiap elemen sosial yang berbeda (suku, agama), saling menguatkan dan
memberdayakan satu sama lain. Contoh: Partisipasi dalam perayaan hari-hari besar keagamaan. Saling
membantu dalam mendirikan rumah ibadah, dsb. Selain itu kita juga harus membangun harmoni sosial
dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama
untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap
toleransi, menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan
pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan
kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
Bentuk radikalisme dapam pendidikan tidak semuanya berupa aksi kekerasan, tetapi juga dapat
diwujudian dapam bentuk ucapan dan sikap yang berpotensi melahirkan kekerasan yang tidak sesuai
dengan norma norma pendidikan. Sikap yang berpotensi melahirlan kekerasan tersebut berimplikasi
kepada munculnya situasi dan kondisi sekolah yang tidak menyenangkan bagi siswa dalam belajar. Peran
atau fungsi sekolah yang memiliki fitrah membimbing, mengarahkan siswa, tempat bermain dan belajar
anak anak sekarang sudah berubah atau bergeser menjadi lembaga yang menakutkan, mencemaskan,
menegangkan, bahkan menyiksa lahir dan batin para siswa. Mengapa demikian? Karena orientasi
pendidikan sudah berkurang yang awalnya sebagai bagian datinproses penyadaran menjadi proses
pemaksaan dalam mengetahui, memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Perubahan situasi dan lingkungan serta suasana pendidikan yang melahirkan perubahan
orientasi tersebut bukanlah tanpa sebab. Justru perubahan atau pergeseran itu merupakan akibat dari
perkembangan atau dinamika budaya yang menerpa masyarakat. Artinya masing masing elemen dalam
pendidikan tidak mampu mengambil nilai nilai positif atau manfaat akinat perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan kebudayaan.
Solusi terbaik menurut saya adalah dengan membuat “model pembelajaran” bermuatan
pencegahan radikalisme, intoleransi dan terorisme bagi semua guru mata pelajaran & jenjang. Termasuk
pelatihan yang berjenjang, berkelanjutan dan berkualitas. Karena tugas untuk mencegah radikalisme di
sekolah itu bukan hanya tugas guru PPKn/PKn dan Pendidikan Agama saja, tapi tugas pokok semua guru.
Kita sebagai siswa pun harus berani melaporkan kepada wali kelas/kepala sekolah jika ada guru
mengajarkan intoleransi di kelas. Kita tidak boleh sungkan apalagi takut menyampaikan/memprotes
(tentu dengan adab yang baik).