Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal. Kelahiran seorang
bayi juga merupakan peristiwa sosial yang ibu dan keluarga nantikan selama 9 bulan. Ketika
persalinan di mulai, peranan ibu adalah melahirkan bayinya. Peran petugas kesehatan adalah
memantau persalinan untuk mendeteksi dini adanya komplikasi dalam persalinan
(Prawirohardjo, 2009).
Komplikasi dalam persalinan ditandai dengan adanya kelambatan atau tidak adanya
kemajuan proses persalinan dalam ukuran satuan waktu tertentu. hal ini disebabkan karena
adanya kelainan dari tenaga persalinan yaitu kekuatan his yang tidak memadai, adanya kelainan
presentasi – posisi, gangguan pada rongga panggul atau kelainan jaringan lunak dari saluran
reproduksi yang menghalangi densus janin (Nugroho, 2012). Kelainan – kelainan yang
diperlihatkan sering kali menimbulkan gangguan pada persalinan atau menimbulkan adanya
penyulit didalam persalinan (Cunningham Dkk, 2005). Penyebab penyulit dalam persalinan yang
mungkin terjadi pada kala I diantaranya yaitu adanya riwayat bedah caessarea, partus preterm,
gawat janin, KPD, preeklamsia berat, makrosomi, persalinan fase aktif dengan palpasi kepala
janin masih 5/5, sedangkan untuk penyebab kala II diantaranya adalah presentasi bukan
belakang kepala, presentasi ganda, tali pusat menumbung, syok, fase laten berkepanjangan, dan
partus lama, untuk kala III sendiri yaitu adanya retensio plasenta, sisa plasenta, antonia uteri,
kelainan darah serta luka laserasi, dan kala IV yang biasanya terjadi adalah adanya perdarahan
postpartum, yang terbagi menjadi dua yaitu perdarahan sekunder dan perdarahan primer
(Prawirohardjo, 2008)
Dari pemaparan diatas tingginya angka kematian ibu mencerminkan besarnya resiko
kematian yang dihadapi oleh ibu baik pada saat hamil ataupun melahirkan. Berdasarkan Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada 2012, AKI mencapai 359 per 100.000
kelahiran hidup, sehingga target MDGs untuk menurunkan AKI sebesar 102 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015 masih belum tercapai, dan membutuhkan kerja keras untuk
mencapainya salah satu nya dengan memberikan asuhan persalinan normal. SDGs sebagai
lanjutan dari MDGs menargetkan Pada tahun 2030, untuk mengurangi angka kematian ibu
hingga di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup.

Deteksi dini kehamilan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil
yang mempunyai faktor risiko dan komplikasi kehamilan. Upaya percepatan penurunan
Angka Kematian Ibu berfokus pada deteksi dini, penanganan dan rujukan kehamilan.
Pendekatan risiko pada ibu hamil merupakan strategi operasional dalam upaya
pencegahan terhadap kemungkinan kesakitan atau kematian melalui peningkatan
efektifitas dan efisiensi dengan memberikan pelayanan yang lebih intensif kepada risiko
ibu hamil dengan cepat serta tepat, agar keadaan gawat ibu maupun bayi dapat
dicegah. Upaya meningkatkan kualitas pelayanan kebidanan juga ditentukan oleh
keterampilan bidan untuk berkomunikasi secara efektif dan melakukan konseling yang
baik kepada klien. Melalui konseling diharapkan ibu hamil memahami kondisinya dan
dapat menentukan tempat persalinan sehingga dapat melakukan persiapan persalinan
dan upaya pencegahan komplikasi dengan tepat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud deteksi dini persalinan ?
2. Apa tujuan dari deteksi dini persalinan ?
3. Apa saja yang temasuk deteksi dini persalinan kala I ?
4. Apa saja yang termasuk deteksi dini persalinan kala II ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian deteksi dini persalinan
2. Mengetahui tujuan deteksi dini persalinan
3. Mengetahui deteksi dini persalinan kala I
4. Mengetahui deteksi dini persalinan kala II
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Deteksi Dini
Deteksi dini yaitu melakukan tindakan untuk mengetahui seawal mungkin adanya
kelainan, komplikasi, dan penyakit selama kehamilan yang dapat menjadi penyulit
ataupun komplikasi yang dapat membahayakan ibu dan bayi dalam persalinan serta nifas
(Feryanto,2011).
B. Deteksi Dini Persalinan Kala I
1. Inersia Uteri
a. Pengertian
Inersia uteri adalah his yang tidak normal, fundus berkontraksi lebih kuat dan
lebih dulu daripada bagian lain (Nugroho, 2012:166).
Inersia uteri adalah his yang sifatnya lebih lemah, lebih singkat, dan jarang
dibandingkan dengan his yang normal (Sofian, 2013:216).
Inersia uteri merupakan kontraksi uterus tidak cukup kuat atau tidak
terkoordinasi secara tepat selama kala satu persalinan untuk menyebabkan pembukaan
dan penipisan serviks. Selama kala dua, kombinasi mengejan volunteer dengan kontraksi
uterus tidak cukup untuk menyebabkan penurunan dan ekspulsi (pengeluaran) janin
(Reeder, dkk, 2014:393).
Inersia uteri adalah kelainan his yang kekuatannya tidak adekuat untuk
melakukan pembukaan serviks atau mendorong janin keluar. Disini kekuatan his
lemah dan frekuensinya jarang. Sering dijumpai pada penderita dengan keadaan
umum kurang baik seperti anemia, uterus yang terlalu teregang misalnya akibat
hidramnion atau kehamilan kembar atau makrosomia, grandemultipara atau
primipara, serta para penderita dengan keadaan emosi kurang baik. Dapat terjadi
pada kala pembukaan serviks, fase laten atau fase aktif maupun pada kala
pengeluaran.
b. Pembagian Inersia Uteri
Menurut Yulia Fauziyah, 2014:102 inersia uteri dibagi menjadi 2 yaitu:
 Inersia uteri hipertonis, yaitu kontraksi uterin tidak terkoordinasi, misalnya
kontraksi segmen tengah lebih kuat dari segmen atas. Inersia uteri ini sifatnya
hipertonis, sering disebut sebagai inersia spastis. Pasien biasanya sangat 19
kesakitan. Inersia uteri hipertonis terjadi dalam fase laten. Oleh karena itu
dinamakan juga sebagai inersia primer
 Inersia uteri hipotonis, yaitu kontraksi terkoordinasi tetapi lemah. Melalui deteksi
dengan menggunakan cardio Tocography (CTG), terlihat tekanan yang kurang dari
15 mmHg. Dengan palpasi, his jarang dan pada puncak kontraksi dinding rahim
masih dapat ditekan ke dalam. His disebut naik bila tekanan intrauterine
mencapai 50-60 mmHg. Biasanya terjadi dalam fase aktif atau kala II. Oleh karena
itu, dinamakan juga kelemahan his sekunder.

Tabel 1.1 Perbedaan Inersia Uteri Hipotonis dan Hipertonis


Variabel Hipotonis Hipertonis
Kejadian Saat terjadi 4% dari 1% dari persalinan
Nyeri Fetal distress persalinan Fase Fase laten Nyeri
Reaksi terhadap aktif Tidak nyeri berlebihan Cepat
oksitosin Pengaruh Lambat terjadi Tidak baik Besar
sedative Baik Sedikit
Sumber: Fauziyah. Obstetri patologi.2014:103
c. Tanda dan Gejala
 His tidak adekuat
His yang tidak adekuat dapat mengakibatkan persalinan patologis pada setiap
kala persalinan. Pada awal kala I his masih jarang yaitu satu kali dalam 15 menit dan
kekuatan 20 detik, semakin lama makin cepat, yaitu 3 kali dalam 10 menit dengan
kekuatan 60 detik, yang memerlukan waktu sekitar 8 sampai 12 jam pada primi para
dan 12 jam pada multi para. Bila kontraksi rahim tidak adekuat, dapat mengakibatkan
serviks sebagai jalan lahir tidak terbuka.
 < 2 kali dalam 10 menit
 < 20 detik
d. Penaganan
 Berikan oksitosin drips 5-10 satuan dalam 500 cc dekstrosa 5%, dimulai dengan
12 tetes per menit, dinaikkan setiap 30 menit sampai 40-50 tetes per menit.
Maksud dari pemberian oksitosin adalah supaya serviks dapat membuka.
 Bila semua his kuat tetapi kemudian terjadi inersia sekunder/hipertonis,
pengobatan yang terbaik ialah petidin 50 mg atau tokolitik, seperti ritodine
dengan maksud menimbulkan relaksasi dan istirahat, dengan harapan bahwa
setelah pasien itu bangun kembali timbul his yang normal.

2. Denyut Jantung Janin

3. Dilatasi Serviks

4. Cairan Ketuban

5. Tekanan Darah

6. Bandel Ring

7. Suhu

8. Nadi

C. Deteksi Dini Kala II

1. Tali Pusat Menumbung

2. Perubahan dan Pola Denyut Janin

3. Kelelahan Maternal

4. Distosia Bahu

5. Disproporsi Sefalovelvik

6. Partus Macet
DAFTAR PUSTAKA
PENGARUH KONSELING FAKTOR RISIKO KEHAMILAN TERHADAP KEMAMPUAN DETEKSI DINI
DAN PERSIAPAN PERSALINAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA | Gantini | Media Informasi
(poltekkestasikmalaya.ac.id)

jtptunimus-gdl-sriastutik-7500-1-(p-).pdf

(uin-alauddin.ac.id)

jtptunimus-gdl-citraratna-7478-2-.pdf

Anda mungkin juga menyukai