Anda di halaman 1dari 7

BAB I DESENTRALISASI FISKAL

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merespon permintaan desentralisasi yang
semakin keras, dengan mengesahkan dua undang-undang pada bulan April 1999, dan
menetapkan tanggal 1 Januari 2001, sebagai mulai dilaksanakannya desentralisasi di Indonesia.
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk pengejawantahan dari proses desentralisasi.
Kepentingannya adalah upaya untuk lebih mendekati tujuan-tujuan diselenggarakannya
pemerintahan untuk mewujudkan cita-cita masyarakat yang lebih baik, yang adil dan makmur.
Dua tema adil dan makmur dalam konteks ini berarti terciptanya suatu tatanan yang demokratis
dan masyarakat yang sejahtera di daerah. Kebijakan desentralisasi akan mendorong terciptanya
tatanan yang demokratis dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi akan
menumbuhkan modal sosial dan tradisi kewargaan di tingkat lokal. Partisipasi demokratis warga
akan membiakkan komitmen warga yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal,
kepercayaan (trust), toleransi, kerja sama, dan solidaritas yang membentuk komunitas sipil (civil
community). Ikatan sipil yakni; solidaritas sosial dan partisipasi massal yang merentang luas,
yang pada gilirannya akan berkorelasi tinggi dengan kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas
kehidupan demokrasi. Demokrasi menginginkan bahwa keputusan mengenai satu kebijakan
merepresentasikan suara dan kepentingan banyak pihak. Sebab kekuasaan dalam satu tangan
cenderung menciptakan otoritarianisme. Oleh karena itu, desentralisasi kekuasaan menjadi satu
keharusan dalam sistem demokrasi. Desentralisasi kekuasaan selain terlihat dari pembagian
kekuasaan dalam model trias politica, juga dilaksanakan dalam bentuk hubungan kekuasaan
antara pemerintah di tingkat pusat dan daerah, di mana otoritas pemerintahan terdistribusi pada
pemerintahan di tingkat lokal.

BAB II KEUANGAN DAERAH

A. Pengertian Keuangan Daerah

Pengertian keuangan daerah sebagaimana yang dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1
UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dikatakan bahwa
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan
segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dengan pemikian, maka keuangan daerah
tersebut, pada dasarnya menekankan pada dua hal pokok yaitu tentang hak dan kewajiban
pemerintah daerah yang terkait dengan keuangan daerah. Hak pemerintah Daerah tersebut
meliputi antara lain: (1). hak menarik pajak daerah, (2) hak untuk menarik retribusi/iuran daerah
(3) hak mengadakan pinjaman, dan (4) hak untuk memperoleh dana perimbangan dari pusat.
Selanjutnya pemerintah daerah berkewajiban pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pusat sesuai
yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu: (1) melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan (4) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
perdamaian abadi dan keadilan sosial.

B. Pengelola Keuangan Daerah

Kepala Daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Oleh karena itu Kepala Daerah perlu menetapkan pejabatpejabat tertentu dan para
bendahara untuk melaksanakan pengelolaan keuangan daerah.

BAB III ANGGARAN PENDAPATAN DANBELANJA DAERAH (APBD)

Seluruh penerimaan pemerintah daerah dan pengeluaran pemerintah daerah harus dicatat
dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Penerimaan dan
pengeluaran pemerintah daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
desentralisasi. Sementara penerimaan pemerintah daerah dan pengeluaran yang berkaitan dengan
pelaksanaan dekonsentrasi atau tugas pembantuan tidak dicatat dalam APBD. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya yang disingkat APBD adalah suatu rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU
No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara).

APBD disusun dengan pendekatan kinerja yaitu suatu sistem anggaran yang
mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau
input yang ditetapkan. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan
yang terukur secara rasional yang dapat tercapai untuk setiap sumber pendapatan. Pendapatan
dapat direalisasikan melebihi jumlah anggaran yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan belanja,
jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Jadi,
realisasi belanja tidak boleh melebihi jumlah anggaran belanja yang telah ditetapkan.
Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan
dalam jumlah yang cukup. Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat
pengeluaran atas beban APBD apabila tidak tersedia atau tidak cukup tersedia anggaran untuk
membiayai pengeluaran tersebut.

Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari:

1) Pendapatan Daerah
2) Belanja Daerah
3) Pembiayaan

Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, tapi
apabila terjadi selisih kurang maka hal itu disebut defisit anggaran.

BAB IV PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

A. Siklus Anggaran

Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)merupakan dasar pengelolaan


keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai
dengan tanggal 31 Desember. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah
melaksanakan kegiatan keuangan dalam siklus pengelolaan anggaran yang secara garis besar
terdiri dari:

1) Penyusunan dan Penetapan APBD;


2) Pelaksanaan dan Penatausahaan APBD;
3) Pelaporan dan Pertanggungjawaban APBD.

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah berpedoman kepada rencana kerja
pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya
tujuan bernegara.
B. Penyusunan Rancangan APBD

Pengaturan kesesuaian kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:

1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai


dari dan atas beban APBD.
2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah
pusat di daerah didanai dari dan atas beban APBN.
3) Penyelenggaraan urusan pemerintahan provinsi yang penugasannya dilimpahkan
kepada kabupaten/kota dan/atau desa, didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang penugasannya
dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas beban APBD kabupaten/kota.

BAB V MANAJEMEN PENERIMAAN DAERAH

Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan dengan benar danbaik, maka
pemerintah Republik Indonesia, mengaturnya dalam UndangUndang Nomor 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah pasal 155 yang menyatakan:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari
dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah,
(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah
didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara.
(3) Administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 157
menyatakan:Sumber pendapatan daerah terdiri atas:

a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:


1) hasil pajak daerah;
2) hasil retribusi daerah;
3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4) lain-lain PAD yang sah;
b. dana perimbangan; dan
c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah pasal 5 menyatakan:

1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan
Pembiayaan.
2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
a. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
b. penerimaan Pinjaman Daerah;
c. Dana Cadangan Daerah; dan
d. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.

BAB VI ANALISIS POTENSI PENERIMAAN DARI PENDAPATAN ASLI DAERAH

Semakin tinggi share pendapatan asli daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, mencerminkan keberhasilan usaha atau tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan
dan penyelenggaraan pembangunan serta pemerintah. Dengan demikian, apabila pendapatan asli
daerah semakin meningkat dari tahun ke tahun akan semakin mengurangi ketergantungan
pemerintah daerah terhadap bantuan dana dari pusat dan juga daerah semakin leluasa dalam
membelanjakan penerimaan mereka sesuai dengan prioritas pembangunan daerah mereka.

(1) Potensi Pajak Hotel

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 bahwa basis pajak hotel adalah omzet
penjualan kamar hotel dengan tarif maksimum 10 persen. Oleh karena itu, untuk menghitung
potensi pajak hotel secara mikro dalam suatu daerah, maka langkah untuk menghitung potensi
pajak hotel harus dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain:
1. Mengidentifikasi objek seluruh hotel yang di daerahnya, meliputi; hotel berbitang
5, bintang 4, bintang 3, hotel melati, motel, wisma, dan sebagainya.
2. Melakukan survey pada masing-masing hotel yang selanjutnya dimasukkan dalam
data dasar potensi pendapatan. Apabila memungkinkan, maka seluruh hotel dan
penginapan lainnya disurvey, tentang; jenis kamar, jumlah kamar, tarif kamar,
dan tingkat hunian kamar, tetapi apabila karena keterbatasan dana dan waktu,
maka cukup di sampel.
3. Menghitung rata-rata hunian kamar d. Menhitung potensi pajak.

(2) Pajak Restoran

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 bahwa basis pajak hotel adalah omzet
penjualan kamar hotel dengan tarif maksimum 10 persen. Oleh karena itu, untuk menghitung
potensi pajak restoran secara mikro dalam suatu daerah, maka untuk menghitung potensi pajak
restoran langkah harus dilakukan oleh pemerintah daerah antara lain:

1. Indentifikasi seluruh restoran dan rumah makan yang ada di daerahnya


2. Melakukan survey pada masing-masing restoran yang selanjutnya dimasukkan
dalam data dasar potensi pendapatan. Apabila memungkinkan, maka seluruh
restoran dan rumah lainnya disurvey, tentang munu makanan, jumlah pengujung
restoran guna mengetahui omset penjualan rata-rata baik pada waktu ramai,
normal dan sepi.
3. Menghitung rata-rata omzet penjualan.
4. menghitung potensi pajak restoran.
(3) Pajak Rarkir

Pajak Parkir adalah pajak yang dikenakan atas tempat parkir di luar badan jalan yang
disediakan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan atas pokok usaha
maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan
bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran, seperti supermarket atau mall
yang menyelenggarakan parkir sendiri.

(4) Pajak Hiburan


Pajak hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan Menurut Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 pasal 44 dan 45 bahwa dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang
yangditerima atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburandengan tarif maksimum
35 persen.

Anda mungkin juga menyukai