Anda di halaman 1dari 39

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Persalinan


2.1.1 Pengertian dan Batasan Persalinan
Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta, dan selaput
ketuban keluar dari uterus ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya
terjadi pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai
adanya penyulit. Persalinan dimulai (inpartu) sejak uterus berkontraksi dan
menyebabkan perdarahan pada serviks (membuka dan menipis) dan
berakhir dengan lahirnya plasenta secara lengkap. Ibu belum inpartu jika
kontraksi uterus tidak mengakibatkan perubahan serviks (Asuhan
Persalinan Normal, 2008).
Persalinan adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada
kehamilan cukup bulan (37- 42 minggu) lahir spontan dengan presentasi
belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam tanpa komplikasi baik
pada ibu maupun pada janin (Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, 2008).
Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan
pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi
persalinan sejati, yang ditandai oleh perubahan progresif pada serviks, dan
diakhiri dengan pelahiran plasenta. (Varney, 2007).
Partus adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup
dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar (Ilmu Kebidanan, 2007).
2.1.2 Dasar Asuhan Persalinan Normal
Dasar asuhan persalinan normal adalah asuhan yang bersih dan
aman selama persalinan dan setelah bayi lahir, termasuk upaya pencegahan
komplikasi terutama perdarahan pasca persalinan, hipotermia, dan asfiksia
bayi baru lahir.
Kegiatan yang tercakup dalam asuhan persalinan normal adalah sebagai
berikut:
1. Secara konsisten dan sistematik menggunakan praktik pencegahan
infeksi, misalnya mencuci tangan secara rutin, menggunakan sarung
tangan sesuai dengan yang diharapkan, menjaga lingkungan yang bersih
bagi proses persalinan dan kelahiran bayi, serta menerapkan standar
proses peralatan.
2. Memberikan asuhan secara rutin dan pemantauan selama persalinan dan
setelah bayi lahir, termasuk penggunaan partograf.
3. Memberikan asuhan sayang ibu secara rutin selama persalinan, pasca
persalinan, dan nifas, termasuk menjelaskan kepada ibu dan keluarganya
mengenai proses kelahiran bayi dan meminta suami dan kerabat untuk
turut berpartisipasi dalam proses persalinan dan kelahiran bayi.
4. Menyiapkan rujukan bagi setiap ibu bersalin atau melahirkan bayi.
5. Menghindari tindakan-tindakan berlebihan atau berbahaya yang tidak
bermanfaat seperti episiotomy rutin, amniotomi, kateterisasi, dan
penghisapan lendir secara rutin sebagai upaya untuk mencegah
perdarahan pasca persalinan.
6. Memberikan asuhan bayi baru lahir, termasuk mengeringkan dan
menghangatkan tubuh bayi, member ASI secara dini, mengenal secara
dini komplikasi dan melakukan tindakan yang bermanfaat secara rutin.
7. Memberikan asuhan dan pemantauan ibu dan bayi baru lahir, termasuk
dalam masa nifas.
8. Mengajarkan pada ibu dan keluarganya untuk mengenali bahaya yang
mungkin terjadi selama masa nifas dan pada bayi baru lahir.
9. Mendokumentasikan semua asuhan yang telah diberikan.
(Prawirohardjo. 2010)
2.1.3 Macam-macam Persalinan
Ada beberapa macam persalinan berdasarkan kategori berikut:
a. Persalinan menurut proses terjadinya
1. Persalinan Spontan
Persalinan yang berlangsung dengan kekuatan ibu sendiri dan melalui
jalan lahir.
2. Persalinan Buatan
Persalinan yang dibantu dengan tenaga dari luar misalnya ekstrasi
dengan forceps, atau dilakukan operasi sectio caesarea.
3. Persalinan Anjuran
Pada umumnya persalinan terjadi bila bayi sudah cukup besar untuk
hidup di luar, tetapi tidak sedemikian besarnya sehingga menimbulkan
kesulitan dalam persalinan. Kadang-kadang persalinan tidak mulai
dengan sendirinya tetapi baru berlangsung setelah pemecahan ketuban,
pemberian pitocin atau prostaglandin.
(Prawirohardjo, 2010)

b. Persalinan menurut usia kehamilan dan berat bayi yang dilahirkan


1. Abortus:
Pengeluaran buah kehamilan sebelum kehamilan 22 minggu atau bayi
dengan berat badan kurang dari 500 gr.
2. Partus immaturus:
Pengeluaran buah kehamilan antara 22 minggu dan 28 minggu atau
bayi dengan berat badan antara 500 gram dan 999 gram.
3. Partus prematurus:
Pengeluaran buah kehamilan antara 28 minggu dan 37 minggu atau
bayi dengan berat badan antara 1000 gram dan 2499 gram.
4. Partus maturus atau partus aterm:
Pengeluaran buah kehamilan antara 37 minggu dan 42 minggu atau
bayi dengan berat badan 2500 gram atau lebih.
5. Partus postmaturus atau partus serotinus:
Pengeluaran buah kehamilan setelah kehamilan 42 minggu.
(Obstetri Fisiologi UNPAD, 1985).

2.1.5 Fisiologi Persalinan


2.1.5.1 Teori yang menyebabkan terjadinya proses persalinan Menurut
Manuaba (2010)
a. Teori keregangan otot
Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas tertentu. Setelah
melewati batas tersebut terjadi kontraksi sehingga persalinan dapat dimulai.
Pada kehamilan ganda sering terjadi kontraksi setelah keregangan tertentu dan
inpartu.
b. Teori penurunan progesteron
Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu dimana
terjadi penimbunan jaringan ikat pembuluh darah mengalami penyempitan dan
buntu. Produksi progesterone mengalami penurunan, sehingga otot rahim
sensitif terhadap oksitosin. Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi setelah
tercapai tingkat penurunan progesterone tertentu.
c. Teori oksitosin
Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofisis pars posterior. Perubahan
keseimbangan estrogen dan progesteron dapat mengubah sensitifitas otot
rahim, sehingga terjadi Braxton hicks. Menurunnya konsentrasi progesterone
akibat tuanya kehamilan, masa oksitosin dapat meningkatkan aktivitas
sehingga persalinan dapat dimulai.
d. Teori prostaglandin
Konsentrasi progesteron meningkat sejak usia kehamilan 15 minggu yang
dikeluarkan oleh desidua. Pemberian prostaglandin saat hamil dapat
menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dikeluarkan.
Prostaglandin dianggap sebagai pemicu terjadinya persalinan
e. Teori hipotalamus Pituari dan Glandula Suprarenalis
Teori ini menunjukkan pada kehamilan dengan anenchepalus sering terjadi
kelambatan persalinan karena tidak terbentuk hipotalamus. Teori ini
dikemukakan oleh liggin (1973). Pemberian kortikosteroid yang dapat
menyebabkan maturitas janin, induksi (mulainya) persalinan. Dari percobaan
tersebut disimpulkan ada hubungan antara hipotalamus-pituari dengan
mulainya persalinan. Glandula suprarenal merupakan pemicu terjadinya
persalinan.
f. Teori Plasenta menjadi tua
Proses penuaan placenta terjadi mulai umur kehamilan 28 minggu dimana
terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh darah mengalami penyempitan dan
buntu. Produksi progesterone mengalami penurunan sehingga menyebabkan
kekejangan pembuluh darah, sehingga otot-otot rahim lebih sering
berkontraksi.
g. Teori iritasi mekanik
Dibelakang serviks terletak ganglion serviks (fleksus fronkenhauser). Bila
ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin akan timbul
kontraksi uterus.
h. Teori fetal kortisel
Sapi yang diinfus ACTH dapat lahir premature. Hal ini menunjukkan fetus
mempunyai peranan penting dalam memulai persalinan. Fetus anconcheptal
lebih lama lahir dibanding fetus normal.
i. Teori Janin
Janin mengeluarkan sinyal kepada maternal, walaupun sampai saat ini belum
diketahui seperti apa sinyalnya. Fetus mempunyai peran penting dalam
persalinan, pada anenchepal lebih lama lahir daripada fetus normal.
j. Teori rangsangan esterogen
Esterogen Konsentrasi actin, myosin, ATP

Sintesa prostaglandin

Kontraksi myometrium Persalinan

2.1.5.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi persalinan


a. Power
Power (tenaga yang mendorong anak keluar) terdiri dari his dan tenaga
mengejan (Manuaba, 2008).
1. His
His ialah kontraksi otot-otot rahim pada persalinan. Pada bulan terakhir dari
kehamilan sebelum persalinan dimulai, sudah ada kontraksi rahim yang
disebut his pendahuluan atau his palsu, yang sebetulnya hanya merupakan
peningkatan dari kontraksi Braxton Hicks. His pendahuluan ini tidak teratur
dan menyebabkan nyeri di perut bagian bawah dan lipat paha tidak
menyebabkan nyeri yang memancar dari pinggang ke perut bagian bawah
seperti his persalinan. Lamanya kontraksi pendek dan tidak bertambah kuat
bila dibawa berjalan, malah sering berkurang. His pendahuluan tidak
bertambah kuat dengan majunya waktu, bertentangan dengan his persalinan
yang semakin lama semakin kuat. Yang paling penting ialah bahwa his
pendahuluan tidak mempunyai pengaruh pada serviks. His Persalinan,
walaupun his itu suatu kontraksi dari otot-otot rahim yang fisiologis akan
tetapi bertentangan dengan kontraksi fisiologis lainnya dan bersifat nyeri.
Nyeri ini mungkin disebabkan oleh anoxia dari sel-sel otot-otot waktu
kontraksi, tekanan pada ganglia dalam serviks dan segmen bawah rahim
oleh serabut-serabut otot-otot yang berkontraksi, regangan dari serviks
karena kontraksi atau regangan dan tarikan pada peritoneum waktu
kontraksi. Perasaan nyeri tergantung juga pada ambang nyeri dari penderita
yang ditentukan oleh keadaan jiwanya. Kontraksi rahim bersifat otonom
tidak dipengaruhi oleh kemauan, walaupun begitu dapat dipengaruhi dari
luar misalnya rangsangan oleh jari-jari tangan dapat menimbulkan
kontraksi. Seperti kontraksi jantung, pada his juga ada pace maker yang
memulai kontraksi dan mengontrol frekuensinya.
Kontraksi rahim bersifat berkala dan yang harus diperhatikan adalah:
 Lamanya kontraksi : kontraksi berlangsung 45 detik sampai 75 detik.
 Kekuatan kontraksi : menimbulkan naiknya tekanan intrauterin sampai
35 mmHg. Kekuatan kontraksi secara klinis ditentukan dengan mencoba
apakah jari kita dapat menekan dinding rahim ke dalam.
 Interval antara dua kontraksi: pada permulaan persalinan, his timbul
sekali dalam 10 menit, pada kala pengeluaran sekali dalam 2 menit.
Menurut faalnya his persalinan dapat dibagi dalam:
 His pembukaan : his yang menimbulkan pembukaan dari serviks.
 His pengeluaran : his yang mendorong anak keluar. His pengeluaran
biasanya disertai dengan keinginan mengejan.
 His pelepasan uri : his yang melepaskan uri.
2. Tenaga Mengejan
Setelah pembukaan lengkap dan setelah ketuban pecah, tenaga yang
mendorong anak keluar selain his, terutama disebabkan oleh kontraksi otot-
otot dinding perut yang mengakibatkan peninggian tekanan intra abdominal.
Tenaga ini serupa dengan tenaga mengejan sewaktu kita buang air besar tapi
jauh lebih kuat lagi. Saat kepala sampai pada dasar panggul, timbul suatu
refleks yang mengakibatkan bahwa pasien menutup glottisnya,
mengkontraksikan otot-otot perutnya dan menekan diafragmanya
kebawah.Tenaga mengejan ini hanya dapat berhasil, kalau pembukaan
sudah lengkap dan paling efektif sewaktu kontraksi rahim. Tanpa tenaga
mengejan ini anak tidak dapat lahir, misalnya pada penderita yang lumpuh
otot-otot perutnya, persalinan harus dibantu dengan forceps. Tenaga
mengejan ini juga melahirkan plasenta setelah plasenta lepas dari dinding
rahim. Cara meneran yang tidak baik yaitu apabila kepala bayi belum masuk
PAP, pembukaan belum lengkap, ketuban belum pecah dan tidak ada his
tapi ibu disuruh meneran.
b. Passage
Jalan lahir: tulang panggul (bentuk dan ukurannya), dan otot panggul (otot
dasar panggul dan muskulus levator ani)
- Macam-macam bentuk panggul
1. Ginekoid : panggul ideal wanita, arcus pubis luas. Diameter
sogitalis posterior hanya sedikit lebih pendek dari diameter sagitalis
anterior.
2. Andrekoid : diameter sagitalis posterior jauh lebih pendek dari
pada diameter sagitalis anterior (panggul pria) segmen anterior sempit dan
berbentuk segitiga.
3. Anthropoid : diameter anteroposterior dari PAP lebih besar dari
diameter transversa hingga bentuk PAP lonjong ke depan. Bentuk segmen
anterior sempit dan runcing.
4. Platypelloid : bentuk ini sebetulnya panggul dinekoid yang picak,
diameter anteroposterior kecil, diameter transversa biasa. Segmen anterior
lebar, secrum melengkung.
(Manuaba, 2010)
- Ukuran panggul
Pintu atas panggul (PAP)
Batas PAP adalah promontorium, sayap sacrum, linea innominata, ramus
superior, ossis pubis dan pinggir atas symphisisi.
o Ukuran muka belakang/conjugate vera: dari promontorium ke pinggir atas
symphysis (11 cm)
o Ukuran melintang: Ukuran terbesar antara linea innominata diambil
tegak lurus pada conjugata vera (12,5 cm)
o Ukuran serong: Dari articulatio sacro iliaca ke tuberculum pubicum
dari belahan panggul yang bertentangan (13cm)
Bidang luas panggul
Bidang terbentang antara pertengahan symphysis, pertengahan acetubulum
dan memotong sacrum + 1-2 cm, di atas ujung sacrum. Ukuran muka
belakang (12,75 cm) dan ukuran melintang (12,50 cm)
Bidang sempit panggul
Bidang ini setinggi pinggir bawah symphisis, kedua spina ischiadicae dan
memotong sacrum + 1-2 cm di atas ujung sacrum.
Ukuran muka belakang = 11,5 cm
Ukuran melintang = 10 cm
Pintu bawah panggul
Pintu bawah panggul bukan satu bidang, tetapi terdiri dari 2 segitiga dengan
dasar yang sama, ialah garis yang menghubungkan kedua tuber ischiadicum
kiri dan kanan. Puncak dari segitiga yang belakang adalah ujung os sacrum,
sisinya adalah ligamentum sacro tuberosum kiri dan kanan. Segitiga depan
dibatasi oleh arcus pubis.
o Ukuran muka belakang:
Dari pinggir bawah symphysis ke ujung sacrum (11,5)
o Ukuran melintang:
Ukuran antara tuber ischiadicum kiri dan kanan sebelah dalam (10,5)
o Diameter sagitalis posterior:
Dari ujung sacrum ke pertengahan ukuran melintang (7,5)
(Manuaba, 2008).
c. Passenger (Janin dan Plasenta)
1. Janin
Untuk bayi wanita 3,4 kg dan pria 3,5 kg. berat bayi normal antara > 2500
gr sampai < 4000 gr. Untuk panjang bayi rata-rata 50 cm. panjang bayi
normal diantara 745 cm sampai < 55 cm. bila panjang bayi yang
kurang/melebihi panjang bayi normal maka dicurigai adanya penyimpangan
kromosom.
a. Ukuran kepala janin
 Ukuran muka belakang
- Diameter suboccipito-bregmatica dari foramen magnum ke ubun-ubun
besar: 9,5 cm. Ukuran ini adalah ukuran muka belakang yang terkecil.
Ukuran ini melalui jalan lahir kalau kepala anak sangat menekur
(hyperfleksi) pada letak belakang kepala.
- Diameter sub-occipito-frontalis (dari foramen magnum ke pangkal
hidung) : 11 cm. Ukuran ini melalui jalan lahir pada letak belakang
kepala dengan fleksi yang sedang.
- Diameter fronto-occipitalis (dari pangkal hidung ke titik yang terjauh
pada belakang kepala) :12 cm. Ukuran ini melalui jalan lahir pada letak
puncak kepala.
- Diameter mento-occipitalis (dari dagu ke titik yang terjauh pada belakang
kepala) : 13,5 cm. Ukuran ini adalah ukuran terbesar dan melalui jalan
lahir pada letak dahi.
- Diameter submento-bregmatica (dari bawah dagu ialah os hyoid ke ubun-
ubun besar) : 9,5 cm. Ukuran ini melalui jalan lahir pada letak muka.
 Ukuran melintang
- Diameter biparietalis (ukuran yang terbesar antara kedua ossa parieatalis)
: 9 cm. Pada letak belakang kepala ukuran ini melalui ukuran muka
belakang dari pintu atas panggul(conjugata vera).
- Diameter bitemporalis (jarak yang terbesar antara sutura-coronaria kanan
kiri) : 8 cm. Pada letak defleksi ukuran ini melalui conjugata vera.
 Ukuran lingkaran
- Circumferentia suboccipito bregmatica (lingkaran kecil kepala) 32 cm.
- Circumferentia fronto occipitalis (lingkaran sedang kepala) 34 cm.
- Circumferentia mento occipitalis (lingkaran besar kepala) 35 cm.
b. Letak janin
 Situs (letak) : letak sumbu panjang anak terhadap sumbu panjang ibu,
misal letak bujur, letak lintang, letak serong.
 Habitus (sikap) : sikap bagian anak satu dengan yang lain, misalnya letak
fleksi, defleksi.
 Positio (kedudukan) : kedudukan salah satu bagian anak yang tertentu
terhadap dinding perut ibu/jalan lahir.
 Presentasi (bagian terendah) : kepala, bokong, bahu.
c. Denyut jantung janin
Denyut jantung janin normal antara 120-160 kali per menit (Manuaba,
2008).
2. Plasenta
Plasenta adalah alat transportasi darah, nutrisi, oksigen dan juga sisa
buangan dari ibu kepada janin. Uri berbentuk bundar atau oval, ukuran
diameter 15-20 cm tebal 2-3 cm berat 500-600 gr.
a. Komponen placenta
Placenta terdiri dari desidua kompektel atas beberapa lobus dan terdiri
dari 15-20 kotiloden
b. Tali pusat
Tali pusat merentang dari pusat janin ke uri bagian permukaan janin.
Panjang tali pusat antara 50-60 cm diameternya 2 cm dan terdiri atas 2
buah arteri, umbilicalis dan 1 buah vena umbilicalis. Selain panjangnya
tali pusat yang terpenting lagi adalah insersi nya kepada plasenta, hal ini
sering menjadi masalah ketika insersi itu tidak pada tempatnya.
(Manuaba, 2008)
3. Air ketuban dan selaput ketuban
Ruangan yang dilapisi selaput janin (selaput ketuban) berisi air ketuban
(liquar amnii)
a. Volume
Volume air ketuban dalam kehamilan cukup bulan adalah 1000 cc-1500
cc. bila kurang dari 1000 cc disebut oligohidromnion. Namun bila
volume air ketuban lebih dari 1500 cc disebut polihidromnion.
b. Bentuk
Air ketuban berwarna putih kekeruhan khas amis dan berasa manis. Bila
air ketuban berwarna hijau ini adalah indikasi adanya ketidaknormalan.
c. Komposisinya
Terdiri atas 98 % air, sisanya albumin sel-sel epitel. Rambut lanugo,
vernit caseasa dan garam-garam organic. Kadar protein 2, gr/l terutama
di bagian albumin. Diproduksi oleh kencing janin, transudasi dari epitel
amnion sekresi dari epitel amnion asal campuran (mixed arigin)
Analisis ketuban pecah
1. Terlihat genangan atau drainase yang jelas bukan urine.
2. Genangan pada forniks posterior. Khususnya jika cairan
dapat terlihat keluar dari ostium serviks.
3. Dengan lakmus, yaitu berubahnya lakmus merah
menjadi biru
4. Makroskopis bau amis adanya lanugo, rambut dan
verniks
5. Mikroskopis, lanugo dan rambut
Laboratorium, tes pakis posistif diratakan di kaca obyekdan dikeringkan
sebelum diperiksa.
4. Psikologi
Perubahan psikologis yang terjadi pada ibu bersalin meliputi kecemasan
Peningkatan Bendharpin

dan kegelisahan/ketakutan. Kedua hal tersebut mempengaruhi proses


Adenous Tricotropin

persalinan, hal ini dapat digambarkan pada bagan di bawah ini:


Kontraksi
Epinephrine
Cortisol
Kecemasan

Otot Halus

Terganggu
Uterus
Pembukaa
Persalina

Lambat
Serviks
Skema 1. Siklus pengaruh kecemasan pada kemajuan persalinan

Kegelisahan/ketakutan dan respon endokrin akan mengakibatkan retensi


Na, ekskresi K, penurunan glukosa, sehingga dapat mempengaruhi sekresi
epinefrin dan dapat menghambat aktivitas miometrium.
Ketakutan

Persalinan lama Menimbulkan:


1. Retensi Na
2. Ekskresi K
3. Penurunan glukosa
Pembukaan serviks
lambat

Kontraksi uterus menghambat aktivitas


lemah miometrium
Skema 2. Siklus pengaruh ketakutan pada kemajuan persalinan
5. Penolong
Peran penolong selama proses persalinan memberikan pengaruh pada ibu
yang bersalin untuk melayani proses persalinan dengan sebaik-baiknya
(Manuaba, 2008).
6. Posisi
Pada kala I dimana his frekuensinya menjadi lebih sering dan amplitudonya
menjadi lebih tinggi maka agar peredaran darah ke uterus menjadi lebih
baika, maka ibu di suruh miring ke satu sisi sehingga uterus dan seluruh
isinya tidak serta merta menekan pembuluh darah di panggul. Kontraksi
uterus juga menjadi lebih efisien dan putar paksi dalam berlangsung lebih
lancar bila ibu miring ke sisi dimana ubun-ubun kecil berada.
Peran pendamping dalam membantu ibu untuk memperoleh posisi yang
paling nyaman selama kala II. Hal ini dapat membantu kemajuan persalinan,
mencari posisi yang penting efektif dan menjaga sirkulasi utero plasenter
tetap baik.
2.1.5.3 Diagnosis Persalinan
Curigai atau antisipasi adanya persalinan jika wanita tersebut
menunjukkan tanda atau gejala sebagai berikut:
 Nyeri abdomen yang bersifat intermitten setelah kehamilan 22 minggu.
 Nyeri disertai lendir darah.
 Adanya pengeluaran air dari vagina atau keluarnya air secara tiba-tiba.
Memastikan keadaan inpartu jika:
 Serviks serasa melunak: adanya pemendekan dan pendataran serviks
secara progresif selama persalinan.
 Dilatasi serviks: peningkatan diameter pembukaan serviks yang diukur
dalam sentimeter.
(Saifuddin, 2009)
2.1.5.4 Mekanisme persalinan
Mekanisme persalinan, ada 7 tahap yaitu:
1. Engagement
Ketika diameter biparietalis melewati PAP : masuknya kepala kedalam
PAP biasanya dengan sutura sagitalis melintang dan dengan flexi ringan.
Masuknya kepala kedalam PAP pada primigravida. Sudah terjadi pada
bulan terakhir dari kehamilan tetapi pada multigravida biasanya baru
terjadi pada permulaan persalinan. Penurunan bagian terendah janin ke
dalam rongga panggu ini akan dirasakan ibu sebagai Lightening
2. Desent (penurunan)
Penurunan ini diakibatkan oleh tekanan cairan intra uterine, tekanan
langsung oleh fundus pada bokong saat ada kontraksi, usaha mengejan
yang menggunakan otot-otot abdomen, ekstensi dan pelurusan badan
janin.
3. Flexion
Dengan majunya kepala biasanya juga flexi bertambah hingga UUK jelas
lebih rendah dari UUB. Keuntungan dari bertambahnya flexi ialah bahwa
ukuran kepala yang lebih kecil melalui jalan lahir. Diameter sub occipito
frontalis (11 cm). Flexi ini disebabkan karena anak didorong maju dan
sebaliknya mendapat tekanan dari pintu atas panggul serviks, dinding
panggul atau dasar panggul.
4. Putaran paksi dalam
Yang dimaksud adalah putaran dari bagian depan sehingga bagian
terendah dari bagian depan memutar ke depan bawah sumphisis. Pada
presentasi belakang kepala, bagian yang terendah adalah bagian UUK
dan bagian ini yang melakukan putaran ke depan ke bawah symphisis
putaran paksi dalam mutlak untuk melahirkan kepala karena merupakan
usaha menyesuaikan posisi kepala dengan bentuk jalan lahir. Putaran
paksi dalam terjadi bersamaan dengan majunya kepala dan tidak terjadi
sebelum kepala sampai hudge III. Kadang-kadang baru setelah kepala
sampai di dasar panggul, sebab-sebab putaran paksi dalam :
a. Pada letak flexi, bagian belakang kepala merupakan bagian terendah
kepala.
b. Bagian terendah dari kepala mencari tahanan yang paling sedikit
terdapat sebelah dalam atas dimana terdapat hiatus genitalis antara m
levator ani kiri dan kanan.
c. Ukuran terbesar dari bidang tengah panggul ialah diameter antara
posterior.
5. Extention
Setelah putaran paksi selesai dan kepala sampai didasar panggul
terjadilah ekstansi dari kepala. Hal ini disebabkan karena sumbu jalan
lahir pada pintu bawah pangul mengarah ke depan dan ke atas. Sehingga
kepala harus mengadakan ekstensi untuk melaluinya. Kalau tidak terjadi
ekstensi kepala akan tertekan pada perineum dan menembusnya pada
kepala bekerja dua kekuatan yang satu mendesaknya ke bawah dan
satunya disebabkan tahanan dasar panggul yang menolaknya ke atas.
Result efeknya ialah kekuatan ke arah depan atas. Setelah sub occiput
tertahan pada pinggir bawah symphisis maka yang dapat maju karena
kekuatan tersebut di atas bagian yang berhadapan dengan sub occiput,
maka lahirlah berturut-turut pada pinggir atas perineum ubun-ubun besar,
dahi, hidung, mulut dan akhirnya dengan dagu gerakan akstensi.
6. External Rotation
Setelah kepala lahir, maka kepala anak memutar kembali ke arah
punggung anak untuk menghilangkan torsi pada leher yang terjadi karena
putaran paksi dalam. Gerakan ini disebut putaran restitusi (putaran
balasan). Selanjutnya putaran dilanjutkan hingga ke belakang kepala
berhadapan dengan tuber ischiadicum sepihak (disisi kiri). Gerakan yang
terakhir ini adalah putaran faksi luar yang sebenarnya dan disebabkan
karena ukuran bahu luar yang sebenarnya dan disebabkan karena ukuran
bahu (diameter bisa cramial menempatkan diri dalam diameter antero
posterior dari pintu bawah panggul).
7. Expulsion
Setelah putaran paksi luar bahu depan sampai di bawah symphisis dan
menjadi hipomocclion untuk kelahiran bahu belakang. Kemudian bahu
depan menyusul dan selanjutnya seluruh badan anak lahir searah paksi
jalan lahir.
(Manuaba, 2008)
2.1.5.5 Tahapan Persalinan
Proses persalinan dibagi menjadi 4 kala, yaitu:
Kala I : Dimulai dari his yang menimbulkan pembukaan sampai
pembukaan cervix menjadi lengkap
Kala II : Dimulai dari pembukaan lengkap sampai lahirnya bayi
Kala III : Dimulai dari lahirnya bayi hingga lahirnya placenta
Kala IV : Dimulai setelah lahirnya plasenta hingga 2 jam postpartum
(Asuhan Persalinan Normal, JNPK-KR, 2008)

a. Kala I (Kala Pembukaan)


Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur dan
meningkat (frekuensi dan kekuatannya) hingga serviks membuka lengkap (10
cm). kala I persalinan dimulai sejak kontraksi. Kala I persalinan dibagi menjadi
2 fase yaitu :
 Fase Laten
Fase ini dimulai sejak awal terjadinya kontraksi yang menyebabkan
penipisan dan pembukaan serviks secara bertahap yang berlangsung hingga
serviks membuka kurang dari 4 cm.Pada umumya, fase laten berlangsung
hampir atau sampai 8 jam. Kontraksi mulai teratur tetapi lamanya masih di
antara 20-30 detik.
 Fase Aktif
- Fase ini berlangsung dari pembukaan 4 cm hingga mencapai pembukaan
lengkap atau 10 cm, akan terjadi dengan kecepatan rata-rata 1 cm per jam
(nulipara atau primigravida) atau lebih dari 1 cm hingga 2 cm
(multipara).
- Frekuensi dan lama kontraksi uterus akan meningkat secara bertahap
(kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika terjadi tiga kali atau lebih
dalam waktu 10 menit, dan berlangsung selama 40 detik atau lebih).
- Terjadi penurunan bagian terendah janin.
- Fase aktif dibagi dalam 3 fase lagi, yaitu :
a. Fase akselarasi (fase percepatan)
Dari pembukaan 3 cm – 4 cm yang dicapai dalam 2 jam.
b. Fase kemajuan maksimal
Dari pembukaan 4 cm – 9 cm yang dicapai dalam 2 jam
c. Fase deselerasi
Dari pembukaan 9 cm – 10 cm selama 2 jam
Pada primigravida kala I berlangsung kira-kira 12 jam sedangkan pada
multigravida berlangsung kira-kira 8 jam.
(Asuhan Persalinan Normal, JNPK-KR, 2008)
Tabel 1. Tambahan pemantauan pada kala I pada persalinan normal
Parameter Fase Laten Fase Aktif
Suhu badan Setiap 4 jam Setiap 24 jam
Tekanan darah Setiap 4 jam Setiap 4 jam
Nadi Setiap 30-60 menit Setiap 30-60 menit
Djj Setiap 1 jam Setiap 30 jam
Kontraksi Setiap 1 jam Setiap 30 jam
Pembukaan serviks Setiap 4 jam Setiap 4 jam
Penurunan Setiap 4 jam Setiap 4 jam

b. Kala II (Kala Pengeluaran Bayi)


Disebut juga kala pengeluaran yang terjadi 20 menit hingga 3 jam. Kontraksi
pada kala ini menjadi semakin kuat dengan lama 49-90 detik. Namun durasi
kontraksi menjadi lebih panjang, yaitu 3-5 menit. Hal ini berguna untuk
memberi waktu ibu beristirahat dan menghindari terjadinya asfiksia pada janin.
Pertolongan Kala II sesuai standar Asuhan Persalinan Normal (APN):
1. Persalinan memasuki kala II jika telah terdapat tanda dan gejala berupa:
a. Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi
b. Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rectum dan atau vagina
c. Perineum menonjol
d. Vulva-vagina dan spinchter ani membuka
e. Meningkatnya pengeluaran lender bercampur darah
2. Pemantauan selama kala II persalinan
- Nadi ibu setiap 30 menit
- Frekuensi dan lama kontraksi setiap 30 menit
- DJJ setiap selesai meneran atau setiap 5-10 menit
- Penurunan kepala bayi setiap 30 menit melalui pemeriksaan abdomen
(periksa luar) dan periksa dalam setiap 60 menit atau jika ada indikasi, hal
ini dilakukan lebih cepat
- Warna cairan ketuban jika selaputnya sudah pecah (jernih atau bercampur
mekonium atau darah)
- Apakah ada presentasi majemuk atau tali pusat di samping atau terkemuka
- Putar paksi luar segera setelah kepala bayi lahir
- Kehamilan kembar yang tidak diketahui sebelum bayi pertama lahir
Catatkan semua hasil pemeriksaan dan intervensi yang dilakukan pada catatan
persalinan (Wiknjosastro, 2008).
c. Kala III (Kala Uri)
Kala III persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban pada kala III persalinan, otot miometrium
berkontraksi mengikuti penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi.
Penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini
menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena
perlekatan menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah
maka plasenta akan melipat, menebal dan kemudian lepas dari dinding uterus.
Setelah plasenta lepas, maka plasenta dalam akan turun ke bagian bawah atau
kedalam vagina bersamaan dengan adanya his (Asuhan Persalinan Normal,
2008).
Fisiologi Kala III:
 Lepasnya placenta dari implantasinya pada dinding uterus
Pada kala III persalinan, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti
penyusutan volume rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran
ini menyebabkan berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta. Karena
tempat perlekatan menjadi semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak
berubah maka plasenta akan terlipat, menebal, dan kemudian lepas dari
dinding uterus. Setelah lepas, plasenta akan turun ke bagian bawah uterus
atau ke dalam vagina. (Asuhan Persalinan Normal, JNPK-KR, 2008)
 Pengeluaran placenta dari cavum uteri
Pengeluaran placenta dari cavum uteri dilakukan setelah memastikan
placenta telah lepas dari perlekatannya. Beberapa cara untuk mengetahui
apakah placenta telah lepas antara lain dengan:
1. Perasat Kustner
Tangan kanan meregangkan tali pusat dan tangan kiri menekan simfisis.
Jika tali pusat masuk ke dalam vagina berarti placenta belum lepas dan
jika tali pusat bertambah panjang berarti placenta sudah lepas.
2. Perasat Strassmann
Tangan kanan meregangkan tali pusat dan tangan kiri mengetok-ngetok
fundus uteri. Bila terasa getaran pada tali pusat berarti placenta belum
lepas, tapi jika tidak terasa getaran berarti placenta telah lepas.
3. Perasat Klein
Ibu diminta meneran sehingga tali pusat tampak keluar dari vagina. Jika
meneran dihentikan dan tali pusat masuk kembali ke dalam vagina berarti
placenta belum lepas, begitu pula sebaliknya.

(Sofian, 2011)
 Tanda-tanda lepasnya plasenta:
1. Perubahan bentuk dan tinggi fundus. Setelah bayi lahir dan sebelum
miometrium mulai berkontraksi, uterus berbentuk bulat penuh dan tinggi
fundus biasanya di bawah pusat. Setelah uterus berkontraksi dan plasenta
terdorong ke bawah, uterus berbentuk segitiga atau seperti buah pear
(globuler) dan fundus berada di atas pusat (seringkali mengarah ke sisi
kanan).
2. Tali pusat memanjang. Tali pusat terlihat menjulur keluar melalui vulva
(tanda Ahfeld).
3. Semburan darah mendadak dan singkat. Darah yang terkumpul di
belakang plasenta akan membantu mendorong plasenta keluar dan
dibantu oleh gaya gravitasi. Apabila kumpulan darah (retroplacental
pooling) dalam ruang di antara dinding uterus dan permukaan dalam
plasenta melebihi kapasitas tampungnya maka darah tersembur keluar
dari tepi plasenta yang terlepas.
(Asuhan Persalinan Normal, JNPK-KR, 2008)
 Manajemen Aktif Kala III:
Tujuan manajemen ini adalah untuk menghasilkan kontraksi uterus yang
lebih efektif agar dapat mempersingkat waktu, mencegah perdarahan, dan
mengurangi kehilangan darah kala III persalinan jika dibandingkan dengan
penatalaksanaan fisiologis. Keuntungannya adalah persalinan kala III yang
lebih singkat, mengurangi jumlah kehilangan darah dan mengurangi
kejadian retensio plasenta. Tiga langkah utama manajemen aktif kala III
yaitu pemberian suntikan oksitosin dalam 1 menit pertama setelah bayi
lahir, melakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT) dan melakukan
masase fundus. (Asuhan Persalinan Normal, JNPK-KR, 2008)
4. Kala IV
Kala IV persalinan dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir 2 jam setelah
itu. Setelah plasenta lahir, hal-hal yang harus dilakukan adalah:
1. Lakukan rangsangan taktil (masase) uterus untuk merangsang uterus
berkontraksi baik dan kuat.
2. Evaluasi tinggi fundus uterus dengan meletakkan jari tangan secara
melintang dengan pusat sebagai patokan. Umumnya, fundus uteri setinggi
atau beberapa jari di bawah pusat.
3. Memperkirakan kehilangan darah secara keseluruhan. Apabila perdarahan
menyebabkan ibu lemas, pusing, dan kesadaran menurun serta tekanan
darah sistolik turun lebih dari 10 mmHg dari kondisi sebelumnya maka telah
terjadi perdarahan lebih dari 500 ml. bila ibu mengalami syok hipovolemik,
maka ibu telah kehilangan darah 50% dari total jumlah darah ibu (2000 –
2500 ml). (Asuhan Persalinan Normal,JNPK-KR, 2008)
4. Periksa kemungkinan perdarahan dari robekan (laserasi atau episiotomi)
perineum perdarahan pada ibu dianggap normal jika < 500 cc. Perluasan
laserasi perineum:
 Derajat Satu, laserasi pada mukosa vagina, komisura posterior, dan kulit
perineum. Laserasi derajat satu tak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan
dan aposisi luka baik.
 Derajat Dua, laserasi pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, dan otot perineum. Laserasi derajat dua dijahit menggunakan
teknik penjahitan laserasi perineum.
 Derajat Tiga, laserasi pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, dan otot spinchter ani.
 Derajat Empat, laserasi pada mukosa vagina, komisura posterior, kulit
perineum, otot perineum, otot spinchter ani, dan dinding depan rectum.
Laserasi derajat tiga dan empat harus segera di rujuk ke fasilitas terdekat,
karena penolong APN tidak dibekali keterampilan untuk reparasi laserasi
perineum derajat tiga dan empat.
(Midwifery Manual of Maternal Care dan Varney’s Midwifery,
edisi ke-3)
5. Evaluasi keadaan umum ibu. Selama dua jam pertama pasca persalinan:
 Pantau tekanan darah, nadi, tinggi fundus, kandung kemih, dan darah
yang keluar setiap 15 menit selama satu jam pertama dan setiap 30 menit
selama satu jam kedua kala IV.
 Masase uterus untuk membuat kontraksi uterus menjadi baik setiap 15
menit selama satu jam pertama dan setiap 30 menit selama satu jam
kedua kala IV.
 Pantau temperature tubuh setiap jam selama dua jam pertama pasca
persalinan.
 Nilai perdarahan, periksa perineum dan vagina setiap 15 menit selama 1
jam pertama dan setiap 30 menit pada satu jam kedua kala IV.
 Ajarkan ibu dan keluarganya bagaimana menilai kontraksi uterus dan
jumlah darah yang keluar serta bagaimana melakukan masase jika uterus
menjadi lembek.
 Minta anggota keluarga untuk memeluk bayi. Bersihkan dan bantu ibu
untuk mengenakan baju atau sarung yang bersih dan kering, atur posisi
ibu agar nyaman. Jaga agar bayi diselimuti dengan baik, bagian kepala
tertutup, kemudian berikan bayi kepada ibu dan anjurkan untuk dipeluk
dan diberi ASI.
 Lengkapi asuhan esensial bagi bayi baru lahir.
6. Dokumentasikan semua asuhan dan temuan selama persalinan kala IV di
bagian belakang partograf segera setelah asuhan diberikan atau setelah
penilaian dilakukan.
(Asuhan Persalinan Normal, JNPK-KR, 2008)
Tabel 2. Lamanya persalinan pada primi dan multi
Primi Multi Sumber:
(Asuhan Kala I 13 jam 7 jam
Kala II 1 jam ½ jam
Kala III ½ jam ¼ jam
Lama Persalinan 14 ½ jam 7 ¾ jam
Persalinan Normal, 2008)

2.2 Konsep Dasar Preeklampsia


2.2.1 Definisi Preeklampsia
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan /
diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya
didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan
peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia
tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin,
namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain
dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu:
1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan
ginjal lainnya
3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
4. Edema Paru
5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta :Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
(PNPK Preeklampsia, 2016)

2.2.2.1 Klasifikasi Preeklampsia


ACOG (American College of Obstetrician and Gynecology) sudah
tidak menempatkan diagnosa preeklampsia ringan dalam klasifikasi pre
eklampsia. Seluruh kasus prekelampsia merupakan kasus dinamis, yang
keadaannya dapat berubah sewaktu-waktu (ACOG, 2013).
2.2.2.2 Preeklampsia Berat (PEB)
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas
pada preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan
preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi
pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah satu
dibawah ini :
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan
antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehingga
kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah dieleminasi dari kriteria
pemberatan preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi
mengkategorikan lagi preeklampsia ringan, dikarenakan setiap
preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan
dalam waktu singkat . (PNPK Preeklampsia, 2016)
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia,
yang disertai dengan kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia dapat
terjadi pada ante, intra, dan postpartum (Saifuddin, 2008:550).

2.2.2 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya preeklampsia hingga kini belum diketahui,
berikut teori-teori yang menjelaskan terjadniya hipertensi dalam kehamilan
(Prawoirihardjo, 2010)

1) Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal terjadi proses remodelling arteri spiralis
(percabangan arteri uterina dan arteri ovarika yang mensuplai darah ke
rahim dan plasenta), yaitu proses distensi dan vasodilatasi arteri spiralis
akibat invasi trofoblast ke dalam lapisan otot arteria spiralis. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis berdampak pada penurunan tekanan
darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada
daerah utero plasenta, sehingga menjamin pertumbuhan janin.
Pada preeklampsia tidak terjadi invasi trofoblast ke dalam lumen
otot arteri spiralis sehingga lumen arteri spiralis tetap kaku dan keras, serta
tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi, terjadilah
kegagalan remodelling arteri spiralis yang berakibat aliran darah
uteroplasenta menurun, terjadi hipoksia dan iskemia plasenta.
2) Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang iskemia akan menghasilkan oksidan/radikal bebas,
salah satunya adalah radikal hidroksil yang sangat toksis terhadap
membran sel endotel pembuluh darah. Radikal hidroksil akan merusak
membran sel yang mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak akan merusak membran sel, nukleus
dan protein sel endotel. Akibat paparan peroksida lemak, sel endotel
mengalami kerusakan sehingga mengganggu fungsinya (disfungsi
endotel). Disfungsi endotel berakibat gangguan metabolisme prostaglandin
(penurunan PGE2, suatu vasodilator kuat), agregasi sel-sel trombosit
(meningkatkan produksi tromboksan TXA2, suatu vasokontriktor kuat),
perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus, peningkatan
permeabilitas kapiler, peningkatan endotelin (suatu bahan vasopresor) dan
penurunan kadar NO (vasodilator), dan peningkatan faktor koagulasi.
3) Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada kehamilan normal, respon imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing karena adanya HLA-G pada plasenta yang
melindungi trofoblast janin dari lisis oleh Natural Killer (NK) ibu. HLA-G
juga mempermudah invasi sel trofoblast ke dalam jaringan desidua ibu.
Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan
ekspresi HLA-G yang berakibat terhambatnya infasi trofoblast ke dalam
desidua.
4) Teori adaptasi kardiovaskuleri genetic
Pada kehamilan normal terjadi refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor akibat dilindungi oleh adanya sintesis prostaglandin
pada sel endotel pembuluh darah yaitu prostasiklin. Pada hipertensi dalam
kehamilan kehilangan daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan
vasokontriktor, dan terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Peningkatan kepekaan tesebut sudah dapat ditemukan pada
kehamilan 20 minggu. Secara genetik, genotif ibu lebih menurunkan
terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika dibandingkan
dengan genotif janin
5) Teori defisiensi gizi
Defisiensi kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan
risiko terjadinya preeklampsia dan eklampsia.
6) Teori inflamasi
Debris trofoblast dalam aliran darah merupakan rangsangan utama
terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, plasenta melepaskan
debris trofoblast, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan nekrotik trofoblast
dalam jumlah yang wajar sehingga reaksi inflamasi yang terjadi masih
dalm batas normal. tetapi pada preeklampsia, terjadi peningkatan proses
stres oksidatif sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik tofoblast
meningkat. Makin banyak sel trofoblast plasenta misalnya pada plasenta
besar, pada kehamilan ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat
meningkat sehingga jumlah sisa sel trofoblast juga meningkat. Keadaan ini
meningkatkan reaksi inflamasi di tubuh ibu dibandingkan pada kehamilan
normal. Respons inflamasi selanjutnya akan mengaktivasi sel-sel endotel
dan sel-sel makrofag/granulosit yang lebih besar sehingga terjadi reaksi
sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia pada
ibu.
2.2.4 Patofisiologi
Menurut Myrtha (2015) patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua
tahap, yaitu perubahan perfusi plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama
terjadi selama 20 minggu pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan
abnormal remodelling dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat
perkembangan plasenta, diikuti produksi substansi yang jika mencapai sirkulasi
maternal menyebabkan terjadinya sindrom maternal. Tahap ini merupakan tahap
kedua atau disebut juga fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis
preeklampsia, dengan elemen pokok respons infl amasi sistemik maternal dan
disfungsi endotel.
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta
dangkal, aliran darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal
trimester kedua. Hal ini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang
menyebabkan terjadinya kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan
penyakit mikrovaskuler, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
kolagen, didapatkan peningkatan insiden preeklampsia; mungkin preeklampsia ini
didahului gangguan perfusi plasenta. Tekanan darah pada preeklampsia sifatnya
labil. Peningkatan tekanan darah disebabkan adanya peningkatan resistensi
vaskuler (Myrtha,2015).

Semua teori tentang preeklampsia harus dapat menjelaskan pengamatan


bahwa hipertensi pada kehamilan jauh lebih besar kemungkinannya timbul pada
wanita yang (Cunningham, 2005:644):
- Terpajan ke vilus korion untuk pertama kali
- Terpajan ke vilus korion dalam jumlah sangat besar seperti pada
kehamilan ganda atau mola hidatidosa
- Sudah mengidap penyakit vaskuler
- Secara genetis rentan terhadap hipertensi yang timbul pada saat hamil
2.2.5 Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
2.2.5.1 Manajemen ekspetatif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran
perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu. Odendaal, dkk melakukan uji kontrol
acak (Randomized Controlled Trial/RCT) pada pasien dengan preeklampsia
berat yang mendapat terapi ekspektatif. Dari uji tersebut didapatkan hasil
tidak terdapat peningkatan komplikasi pada ibu, sebaliknya dapat
memperpanjang usia kehamilan (rata-rata 7,1 hari), mengurangi kebutuhan
ventilator pada neonatus (11% vs 35%), dan mengurangi komplikasi total
pada neonatal (33% vs 75%) (PNPK Preeklampsia, 2016).

Bagan
Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa Gejala
Berat Menurut PNPK Preeklampsia Tahun 2016

Preeclampsia

Usia Kehamilan ≥ 37 mgg atau


Usia ≥ 34 mgg dengan: Ya
Persalinan atau ketuban pecah Lakukan
Perburukan kondisi Ibu dan Janin Persalinan
Pertumbuhan janin terhambat
Didapatkan solusio plasenta
Tidak

Usia Kehamilan < 37 mgg


Perawatan poliklinis
Evaluasi Ibu 2 kali dalam seminggu
Evaluasi kesejahteraan janin janin 2 kali
dalam seminggu

Ya
Usia
• Kehamilan ≥ 37 mgg
Perburukan
• kondisi ibu dan janin
Persalinan atau ketuban pecah

Bagan Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat Menurut
PNPK Preeklampsia Tahun 2016
Tabel Kriteria Terminasi Kehamilan Pada Preeklampsia Berat
Menurut PNPK 2016

2.2.5.2 Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Mencegah Kejang

Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk


eklampsia di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian
magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan
mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan
mortalitas maternal serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum dapat
dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan
vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer
dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga
berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan
dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam
neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.
Penggunaan magnesium sulfat berhubungan dengan efek samping minor
yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing, nausea atau muntah,
kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi. Jika mengatasi
terjadinya toksisitas, kalsium glukonas 1 g (10 ml) dapat diberikan
perlahan selama 10 Menit (PNPK Preeklampsia, 2016)..

Cara Pemberian MgSO4 (Moegni, 2013)


- Berikan dosis awal 4 g MgSO4 sesuai prosedur untuk mencegah kejang
atau kejang berulang.
- Sambil menunggu rujukan, mulai dosis rumatan 6 g MgSO4 dalam 6 jam
sesuai prosedur.

Cara Pemberian Dosis Awal


• Ambil 4 g larutan MgSO4 (10 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dengan
10 ml akuades
• Berikan larutan tersebut secara perlahan IV selama 20 menit
• Jika akses intravena sulit, berikan masing-masing 5 g MgSO4 (12,5 ml
larutan MgSO4 40%) IM di bokong kiri dan kanan

Cara Pemberian Dosis Rumatan


• Ambil 6 g MgSO4 (15 ml larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam 500
ml larutan Ringer Laktat/Ringer Asetat, lalu berikan secara IV dengan
kecepatan 28 tetes/menit selama 6 jam, dan diulang hingga 24 jam
setelah persalinan atau kejang berakhir (bila eklampsia)
Lakukan pemeriksaan fisik tiap jam, meliputi tekanan darah, frekuensi
nadi, frekuensi pernapasan, refleks patella, dan jumlah urin. Bila frekuensi
pernapasan < 16 x/menit, dan/atau tidak didapatkan refleks tendon patella,
dan/atau terdapat oliguria (produksi urin <0,5 ml/kg BB/jam), segera
hentikan pemberian MgSO4. Jika terjadi depresi napas, berikan Ca glukonas
1 g IV (10 ml larutan 10%) bolus dalam 10 menit. Selama ibu dengan
preeklampsia dan eklampsia dirujuk, pantau dan nilai adanya perburukan
preeklampsia. Apabila terjadi eklampsia, lakukan penilaian awal dan
tatalaksana kegawatdaruratan. Berikan kembali MgSO4 2 g IV perlahan
(15-20 menit). Bila setelah pemberian MgSO4 ulangan masih terdapat
kejang, dapat dipertimbangkan pemberian diazepam 10 mg IV selama 2
menit.

2.2.5.3 Pemberian Anti Hipertensi


Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan -
sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih
kontroversial. European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada wanita dengan hipertensi
gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik superimposed,
hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ
subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan lain, pemberian
antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg

2.4 Konsep Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin dengan PEB


2.4.1 Pengkajian
Tanggal : Untuk mengetahui tanggal pemeriksaan saat ini dan untuk
menentukan jadwal pemeriksaan berikutnya.
Pukul : Untuk mengetahui waktu pemeriksaan
Tempat : Untuk mengetahui tempat pemeriksaan
Pemeriksa :Untuk mengetahui siapa yang melakukan pemeriksaan atau
memberikan asuhan
2.4.1.1 Data Subyektif
1. Identitas
Usia< 20 tahun, keadaan alat reproduksi belum siap untuk menerima
kehamilan sehingga menimbulkan berbagai komplikasi seperti
preeklampsia. Usia ≥ 35 tahun, yang usia tersebut terjadi perubahan pada
jaringan lunak dan alat kandungan serta jalan lahir tidak lentur lagi. Usia
tersebut cenderung didapatkan penyakit lain dalam tubuh ibu, salah
satunya preeklampsia (Rochjati, 2011)
2. Alasan Masuk Rumah Sakit
Karena gejala preeklampsia tidak jelas, biasanya pasien dengan preeklampsia
ditemukan dalam keadaan sudah berat. Biasanya pasien masuk rumah sakit
merupakan rujukan dari petugas kesehatan di wilayah oleh karena tekanan
darah yang meningkat kadang disertai dengan bengkak pada wajah dan tangan
3. Keluhan utama
Pusing, nyeri epigastrium, pandangan mata kabur, bengkak pada wajah dan
tangan atau bahkan tanpa keluhan. Pada ibu dengan kehamilan IUFD ditemui
keluhan tidak merasakan adanya gerakan janin.
4. Riwayat Pernikahan
Primipaternitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya preeklampsia
5. Riwayat Menstruasi
Alasan : untuk mengetahui keadaan alat-alat reproduksi serta gangguannya
yang terjadi
HPHT : menentukan usia kehamilan (diagnosa peeklampsia timbul pada usia
kehamilan di atas 20 minggu)
6. Riwayat Kesehatan Klien
Mempunyai riwayat hipertensi sebelum hamil berpeluang besar untuk
menetap atau bertambah berat selama kehamilan. Obesitas mengakibatkan
peningkatan volume plasma dan curah jantung yang akan meningkatkan
tekanan darah (Siswono, 2007). Preeklampsia juga terjadi penderita penyakit
vaskular, termasuk hipertensi kronik, diabetes mellitus, dengan penyakit
ginjal (Cunningham, 2006).
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Ibu dengan riwayat preeklampsia-eklampsia dalam keluarga (khususnya ibu
atau saudara wanitanya) memiliki kecenderungan untuk mengalami
preeklampsia.

8. Riwayat Obstetri
Kehamilan Persalinan Anak Nifas
Thn Se BBL
Suami Anak UK pylt Jenis Penolong Tmpt H M Laktasi Peny
lahir x (gr)

Insiden preeklampsia pada wanita primigravida memiliki risiko lebih besar (7-
10%) jika dibandingkan dengan wanita multipara (Leveno, 2009). Respon
imun dan pajanan sperma pasangan merupakan faktor terjadinya preeklampsia
pada primigravida (Wylie dan Bryce, 2010). Pada ibu dengan riwayat
hiperplasentosis (mola, gemeli, DM, hidrop fetal, bayi besar) juga memiliki
faktor risiko karena plasentasi abnormal dan reduksi uteriplasenta (Fraser,
2009). Sedangkan pada ibu-ibu dengan multigravida, perlu dikaji adanya
penyulit berupa preeklampsia/eklampsia pada riwayat obstetri yang lalu
karena preeklampsia memiliki kecenderungan untuk berulang. Ibu yang
pernah mengalami kehamilan yang berakhir dengan IUFD juga dapat terulang
kembali untuk menjadi IUFD pada kehamilan berikutnya.
9. Riwayat kehamilan sekarang
Riwayat ANC, keluhan yang dialami, obat-obatan dan vitamin yang
dikonsumsi, gejala yang mengarah pada preeklampsia (penambahan berat
badan yang terlalu cepat, pusing, nyeri epigastrium, pandangan mata kabur,
bengkak pada wajah dan tangan). Pasien dengan kehamilan kembar memiliki
risiko lebih tinggi untuk terjadinya preeklampsia.
10. Data Fungsional Kesehatan
a. Pola eliminasi
Pada preeklamsia, ibu mungkin kencing sedikit atau jarang (Oligouria,
produksi urin kurang dari 500cc/24 jam atau <30 cc/jam)
b. Nutrisi
Defisiensi kalsium pada diet wanita hamil dapat mengakibatkan resiko
terjadinya preeklamsia. Pola makan bisa terganggu karena keluhan nyeri
epigastrium
11. Riwayat Psikososial dan budaya
Mengetahui keadaan psikologis ibu, apakah kehamilan direncanakan atau
tidak dan adanya dukungan dari keluarga.
2.4.1.2 Data Obyektif
1. Pemeriksaan umum
a. Keadaan Umum : baik - lemah
b. Kesadaran : composmentis - somnolen
c. Tanda-Tanda Vital
- Tekanan darah
sistolik ≥160, diastolik ≥110 mmHg (pada preeklampsia berat)
- Denyut nadi : bertambah cepat
- Pernapasan : ≥ 16x/mnt
- Suhu : meningkat bila terjadi dehidrasi
- BB/TB : mengukur BMI (kejadian preeklampsia meningkat pada
ibu dengan obesitas)
2. Pemeriksaan Fisik
a. Muka
pada preeklampsia biasanya ada edema wajah.
b. Dada
Adakah tanda dispneu, S1-S2 tunggal, auskultasi untuk mencari
kemungkinan adanya edema paru. Edema paru biasanya terjadi pada
pasien preeklamsia berat yang mengalami kelainan pulmonal maupun non-
pulmonal. Hal ini terjadi karena peningkatan cairan yang sangat banyak,
penurunan tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan
kristaloid sebagai pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumi
yang diproduksi oleh hati. Diuretik dapat diberikan apabila terdapat edema
paru.

c. Abdomen
Inspeksi bekas SC, palpasi leopold I-IV, dan kemungkinan benjolan lain,
ukur TFU secara mcdonald, DJJ tidak terdengar pada janin IUFD.
d. Ekstremitas
pada preeklampsia biasanya ada edema.
3. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium (Hb, hematokrit, hapusan darah tepi, asam urat
darah, trombosit, fungsi hepar dan ginjal, urine lengkap, produksi urine 24
jam/Esbach, pengukuran protein urine)
- Pemantauan keadaan janin melalui USG.

2.4.2 Perumusan Diagnosa dan Masalah


1. Diagnosa : G…P…. UK….minggu, inpartu kala…..,dengan PEB
2. Masalah : keluhan yang dialami
3. Kebutuhan :
a. Pemberian KIE
b. Kolaborasi dengan Obgyn, untuk pemberian antikonvulsan, keseimbangan
cairan, oksigen,pemantauan kesejahteraan janin dan tindakan selanjutnya

2.4.3 Antisipasi Diagnosa dan Masalah Potensial


1. Diagnosa potensial : eklampsia, prematuritas, gawat janin, IUFD
2. Masalah potensial : Gangguan fungsi organ seperti: ginjal, hati, paru,
jantung dan otak (CVA)

2.4.4 Identifikasi Kebutuhan Segera


Identifikasi Kebutuhan Segera : pemberian Antikonvulsan.

2.4.5 Perencanaan
- Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada ibu dan suami
R/ dengan memahami keadaannya, ibu dan keluarga bisa lebih kooperatif
1. Memberikan KIE
R/ dengan memahami keadaannya, ibu dan keluarga bisa lebih kooperatif

2. Informed consent
R/ melalui informed consent klien dan keluarga menyatakan telah diberi
penjelasan serta menyetujui untuk dilakukan suatu tindakan oleh petugas,
sehingga dapat dijadikan bukti tanggung jawab dan tanggung gugat bila terjadi
sesuatu
3. Kolaborasi dengan bagian Obgyn, kardiovaskuler dan mata
R/ untuk memberikan pelayanan yang komprehensif kepada klien
4. Observasi keseimbangan cairan
R/ pada preeklampsia risiko terjadi oedema paru jika input cairan berlebihan
5. Observasi intake nutrisi ibu
R/ nutrisi yang adekuat membantu memperbaiki keadaan umum klien
2.4.6 Implementasi
Langkah pelaksanaan dilaksanakan berdasarkan rencana asuhan yang telah
dibuat. Pada langkah ini dituntut untuk melakukan tindakan secara mandiri tetapi
sewaktu-waktu dapat berkolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain

2.4.7 Evaluasi
Evaluasi Tindakan : Tindakan yang telah dilakukan dapat segera
diamati/dievaluasi hasilnya.
Evaluasi Proses : Adanya catatan perkembangan atau mungkin adanya
perubahan diagnosis setelah dilakukan tindakan tertentu dan akhirnya dibuat
pendokumentasian (SOAP) baru berdasarkan diagnosis yang telah berubah.

Anda mungkin juga menyukai