Anda di halaman 1dari 12

Kesultanan Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jump to navigationJump to search

'Kesultanan Aceh Darussalam


Kerajaan Aceh Darussalam[1]
‫'كراجأن اچيه دارالسالم‬
1496–1903

Bendera Cap Sikureueng

Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar


Muda, 1608-1637.

Ibu kota Bandar Aceh Darussalam


(sekarang Banda Aceh)
(1496–1873)
Keumala
(1873-1903)
Bahasa Aceh, Melayu, Arab, Gayo, 
Alas

Agama Islam

Bentuk Monarki absolut


pemerintahan

Sultan

  1496-1528 Sultan Ali Mughayat Syah


  1874-1903 Sultan Alaidin Muhammad


-  Daud Syah

Sejarah

  Penobatan sultan
- pertama 1496

  Menyerah
-  1903

Mata uang Koin emas dan perak lokal

Pendahulu Pengganti

Kesultanan Lamuri Hindia


Belanda
Kesultanan Samudera
Pasai

Bagian dari seri artikel mengenai

Sejarah Indonesia
Garis waktu

Prasejarah[tampilkan]

Kerajaan Hindu-Buddha[tampilkan]

Kerajaan Islam[tampilkan]

Kerajaan Kristen[tampilkan]

Kolonialisme Eropa[tampilkan]

Kemunculan Indonesia[tampilkan]

Kemerdekaan[tampilkan]

Menurut topik[tampilkan]

Portal  Indonesia

 l
 b
 s

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di


provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar
Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang
panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, berkomitmen
dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang teratur dan
sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan
diplomatik dengan negara lain. [2]
Daftar isi

 1Sejarah
o 1.1Awal mula
o 1.2Masa Kejayaan
o 1.3Kemunduran
o 1.4Perang Aceh
 2Pemerintahan
o 2.1Sultan Aceh
o 2.2Perangkat Pemerintahan
o 2.3Ulèëbalang & Pembagian Wilayah
 3Perekonomian
 4Kebudayaan
o 4.1Arsitektur
o 4.2Kesusateraan
o 4.3Karya Agama
o 4.4Militer
 5Lihat pula
 6Referensi
 7Pranala luar

Sejarah[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Aceh

Awal mula[sunting | sunting sumber]


Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan
ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah
kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524
wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin,
yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin
Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[3]
Masa Kejayaan[sunting | sunting sumber]
Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh
orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya
Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam
membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh
beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu
binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid al-
Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan dengan
menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai
penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya. [4]
Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan Sultan
Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya, Aceh
menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan Aceh
melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah
kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh
atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun pada tahun
yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.[5]
Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul
Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki
Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk memperkuat
posisi kekuasaan Aceh.
Kemunduran[sunting | sunting sumber]
Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara
pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng Bata (kanan). Sekitar
tahun 1870an

Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.
Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang dibudidayakan
seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir abad 19. Namun
beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan penguasa nanti adalah
seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah masih hidup dan tinggal
bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya, Dalam terbakar, kota Bandar
Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil
(semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily melakukan berbagai reformasi terutama
perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan
sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan
langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat anaknya
menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan Raffles dan Koh
Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu berbahasa Perancis,
Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara kembali terjadi dalam
perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak bergelar Sultan
Mansur Syah (1857-1870).
Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah
rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah timur,
sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen dengan
kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh
terhadap Deli, Langkatdan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu
dengan ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]

Wikisource memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:

Surat Sultan Aceh


Ibrahim Mansur Syah
Kepada Presiden Perancis

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas status
Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk Perang
Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk Aceh. Tak
hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancisdengan mengirim
surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II (1849). Namun
permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]
Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya Bakong
dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah kembali ke
ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang Muhammad untuk
menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung mendukung Habib
namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai bersekongkol dengan Belanda
ketika berunding di Riau.[6]
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana disebutkan
dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan
Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai
Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer disuarakan, baik dari
negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan khusus Sultan ditugaskan
untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan karena
Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha bantuan juga ditujukan ke Italia,
Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang dibentuk di Penang untuk meraih
simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan ini, Belanda memantapkan diri
menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin Meuraksa menandai
awal invasi Belanda Aceh.
Perang Aceh[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah
melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak
Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Berkas:Atjeh Overgave Januari 1903.jpg

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz di Kraton
Meuligoe.

Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang


telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran kepada
Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama. Saran ini
baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz.
Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh
hingga pedalaman.
Pada 1879 dan 1898, Sultan Aceh kala itu, Muhammad Daud Syah II, meminta Rusia untuk
memberikan status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan membantunya melawan Belanda.
Namun, permintaan sultan ditolak Rusia. [7]
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh
Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud
menyusul pada tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama
keturunan Tgk. Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku
Mayed tewas 1910 di Gunung Halimun.[8]

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Sultan Aceh[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun 1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke Dalam
Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun 1873
ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan Belanda
pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.
Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan Teuku
Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname Aceh" (mas
kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit, beberapa puluh ekor
kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam kekuasaan Sultan (Daerah
Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah Dalam Darud Dunia, Masjid Raya,
Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan, Gampông Jawa dan Gampông
Pande.[9]
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris dan
cap. Tanpa keristidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah Sultan.
Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum. [10]
Perangkat Pemerintahan[sunting | sunting sumber]
Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah badan
pemerintahan masa Sultanah di Aceh:

 Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya
terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan
penelitian.
 Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang
beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
 Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana
Seri Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan
anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
 Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
 Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin
oleh seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
 Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira
Departemen Kehakiman.
 Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan
negara, yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara
Raja Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya

 Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan


 Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
 Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-
kira Menteri Dalam Negeri.
 Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan
pengembangan hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
 Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara
termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen
Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.[11]
Ulèëbalang & Pembagian Wilayah[sunting | sunting sumber]

Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh pada abad ke-17
M

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ulèëbalang

Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie, Teunom,
Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas lain yang
diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini diintegrasikan
dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga daerah inti Kesultanan
yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada masa Sultanah
Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul Adil (Mufti Agung)
Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah. Kerajaan Aceh dibagi tiga
federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan kepalanya disebut Panglima
Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):

 Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem
Wazirul Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud
Daulah (Menteri Negara).
 Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul
'Alam. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama
Kerajaan.
 Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul
Uzza. Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri
Urusan Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah.
Kemudian gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat
jumat sesuai mazhab Syafi'ie.[12] Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak
otonom yang luas [13].
Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah
pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di
lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua
Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini
sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan.
Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-
saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada
petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung. [14]
Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai
berikut:
Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada
jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini
semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada
Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada
raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri
Aceh, mempertahankan daripada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini
cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah
dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat
dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah
kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami
dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh
senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.

— Sumpah Ulee Balang

Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan
Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh
keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya,
dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup
ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-
hukum Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya. [15] Diakhir sarakata itu dianjurkan
Uleebalang itu menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at,
mengeluarkan zakat, mendirikan masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah,
dan sekiranya kuasa melakukan ibadah haji.

Perekonomian[sunting | sunting sumber]

Salah satu kerajinan logam di Aceh.

Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

1. Minyak tanah dari Deli,


2. Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
3. Kapur dari Singkil,
4. Kapur Barus dan menyan dari Barus.
5. Emas di pantai barat,
6. Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.
[16]
 Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.
Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom,
dan Meulaboh.[6]

Kebudayaan[sunting | sunting sumber]
Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Gunongan

Kandang (komplek makam) Sultan Iskandar Tsani

Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana
Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah
menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada
masa Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan
Sultan. Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya
dikarenakan yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur
pada masa kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra,
Masjid Tua Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh),
Pinto Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar
Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi. [5]
Kesusateraan[sunting | sunting sumber]
Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam
bentuk hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang
berceritakan tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh.
Ada lagi yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee,
Cham Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat,
Kisah Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.[14]
Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para
Sultan) karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus
Salatin (1612), dan Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh
yang agung yaitu Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang
yang Bijaksana), Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-
Muwahhidin (Perhiasan Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si
Burung Pungguk, Syair Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.
Karya Agama[sunting | sunting sumber]
Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia
Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa
Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam
bahasa jawi.
Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil
Muhtadi yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry
setidaknya menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath
al-Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu. [11]
Militer[sunting | sunting sumber]

Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.

Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata
ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi
meriam sendiri dari kuningan.[17]

Anda mungkin juga menyukai