Guru Tetap Yayasan pada salah satu sekolah swasta di Kota Kendari yang mulai bekerja pada Januari 2020. Awal bekerja, saya sangat menikmati pekerjaan ini hingga proses mengajar seperti biasanya. Tetapi kenikmatan itu tidak berlangsung lama hingga pada awal Maret 2020 Presiden Joko Widodo bersama dengan Menteri Kesehatan pada saat itu mengumumkan secara resmi tentang kasus covid 19 pertama kali yang terjadi di Indonesia. Pada saat itu, Menteri Pendidikan langsung mengambil kebijakan untuk menerapkan “sekolah dirumah” dengan salah satu metode Daring yang memanfaatkan teknologi dan internet sebagai sarana komunikasi belajar antar guru dan siswa. Saya pribadi cukup terkejut dengan kebijakan ini. Disatu sisi memanfaatkan teknologi dengan maksimal merupakan kebijakan yang sangat baik. Tetapi disisi lain, terlalu banyak kendala yang ditemui ketika proses ini mulai berjalan. * pada awal-awal pembelajaran yang mulai, masalah mulai muncul satu persatu. Masalah pertama yang muncul adalah guru-guru yang buta teknologi menjadi kesulitan memulai proses ini. Mulai dari cara menggunakan komputer atau HP serta cara menggunakan aplikasi berserta dengan penggunaannya secara teknis. Guru-guru yang berusia muda dan melek teknologi sih tidak ada masalah. Tetapi guru-guru yang usianya kurang dari 10 tahun lagi pensiun sangat direpotkan dengan sistem ini. Pada akhirnya beban kerja mereka “dibantu” oleh guru-guru yang lebih pandai. Jadilah bertambah beban kerja guru lagi. Pelaksanaan tiga sampai empat bulan proses belajar mengajar berjalan, muncul lagi masalah yang lain. Ternyata sebagian besar siswa yang kurang mampu, meminjam hp baik dari keluarga, tetangga ataupun teman untuk dapat mengikuti proses pembelajaraan ini. Jadi, ketika hp ini sudah tidak lagi berada ditangan mereka, otomatis proses belajar jadi tertunda. Tapi memang, saya mengetahui bahwa guru diwajibkan untuk melakukan kunjungan ke rumah-rumah siswa untuk melakukan pendampingan secara langsung. Bayangkan saja, ketika seorang guru mengidentifikasi ada 20 orang siswanya yang tidak mengikuti pelajaran secara maksimal, ia berkewajiban untuk melakukan pendampingan ini. Bertambah lagi beban guru. Dari sisi siswanya yang terkendala di hp, bahkan ada banyak siswa yang rela bekerja demi dapat membeli sebuah hp yang harganya cukup mahal untuk dapat mengikuti proses belajar. Yang tadinya setelah sekolah barulah bekerja, kini istilah ini berbalik menjadi bekerjalah dahulu untuk bisa belajar. * masalah tidak selesai ketika siswa berhasil membeli sebuah hp. Kendala berikutnya di kuota paket internet. Pada awal-awal penerapan metode daring guru dan siswa dituntut untuk tetap mengaktifkan paket internet agar proses belajar mengajar tetap berjalan. Untuk ukuran guru honorer yang gajinya diterima setiap tiga bulan sekali, harus memikirkan bagaimaca cara agar paket intenet tetap aktif dengan cara bekerja sampingan. Sedangkan bagi siswa yang kurang mampu secara ekonomi, harus tetap bekerja demi terbelinya paket internet ini. Pemerintah memang telah meluncurkan dana untuk pembagian kuota internet, tapi saya rasa ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh guru dan siswa. Bahkan seorang guru pun merasa telah mendapatkan “bonus internet” untuk digunakan bermain game atau hal lain diluar kegunaan seharusnya. Terlebih lagi dengan siswanya. Mereka merasa bahwa sudah lama tidak bertatap muka dengan guru, jadi tidak akan ada yang mengetahui dan mengawasi untuk apa paket internet ini digunakan. * terlalu banyak beban dan masalah yang muncul karena covid ini.