Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

CHRONIC KIDNEY DESEASE (CKD) + HIPOTENSI


DI RUANG HEMODIALISA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Keperawatan 3 (PK 3)


Di Ruang Hemodialisa Pada Tanggal 29 September 2021 – 2 Oktober 2021

Disusun Oleh:
Veni Retnosari PO.62.20.1.19.437

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN REGULER V


JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES
PALANGKA RAYA
TAHUN 2021
Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan

A. Definisi CKD

Chronic kindey disease atau disebut juga gagal ginjal kronis. Penyakit
ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada
suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2009).
Menurut Brunner & Suddarth (2001), gagal ginjal kronis atau penyakit
renal tahap akhir merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan
irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)

B. Etiologi CKD

 Diabetes Melitus
 Sistemik
 Kongenital/bawaan
 Batu ginjal
 Hipertensi
 Infeksi
 Glomerulonephritis

C. Klasifikasi CKD

Pada penderita chronic kindey disease, klasifikasi stadium ditentukan

dua hal, yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis

etiologi. Klasifikasi atas asar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang
dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault (Suwitra, 2009).

Stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang

lebih rendah (K/DOQI, 2002).

LFG ((ml/mnt/ 1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85


Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronikberdasarkan tingkat LFG, yaitu :

 Stadium I
Kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminuria persisten dan LFG nya yang
masih normal yaitu > 90 ml/menit/1,72 m3
 Stadium II
Kelainan ginjal dengan albuminuria persisten dan LFG antara 60-89 ml/menit/1,73
m3 c.
 Stadium III
Kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 ml/menit/1,73 m3
 Stadium IV
Kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 ml/menit/1,73 m3
 Stadium V
Kelainan ginjal dengan LFG < 15 ml/menit/1,73 m3

D. Manifestasi Klinik CKD

 Nausea/mual
 Dispneau
 Anemia
 Hipertensi
 Edema
 Gatal-gatal
E. Definisi Hipotensi

Hipotensi atau tekanan darah rendah adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah lebih rendah dari nilai 90/ 60 mmHg atau tekanan darah cukup rendah,
sehingga menyebabkan gejala – gejala seperti pusing dan pingsan (A.J.
Ramadhan, 2010).
Hipotensi merupakan suatu keadaan dimana tekanan darah rendah dari
90/60 mmhg sehingga menyebabkan keluhan.Namun jika tidak terjadi
keluhan dapat dikategorikan kondisi yang normal.Sedangkan Tekanan darah
adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri.Tekanan puncak terjadi
saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik.Tekanan diastolik
adalah tekanan terendah yang terjadi saat ventricle beristirahat dan mengisi
ruangannya.Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan
sistolik terhadap tekanan diastolik(Oxford,2003).

F. Etiologi Hipotensi

Jika tekanan darah rendah menyebabkan gejala klinis, penyebabnya akan berada di
salah satu dari tiga kategori umum. Entah jantung tidak memompa dengan tekanan yang
cukup, dinding arteri terlalu melebar, atau tidak ada cukup cairan intravaskular
(pembuluh intra = dalam + vaskular = darah) dalam sistem (Benjamin C. Wedro, MD,
FAAEM 2015).

1. Jantung

Jantung adalah pompa listrik. Masalah dengan baik pompa atau listrik dapat
menyebabkan masalah dengan tekanan darah rendah. Jika jantung berdetak terlalu
cepat, tekanan darah bisa turun karena tidak ada cukup waktu bagi jantung untuk
mengisi di antara setiap denyut (diastole). Jika jantung berdetak terlalu lambat,
mungkin ada terlalu banyak waktu yang dihabiskan di diastol ketika darah tidak
mengalir. Jika otot jantung telah rusak, mungkin tidak ada cukup kekuatan memompa
untuk mempertahankan tekanan darah. Dalam serangan jantung (infark miokard),
otot jantung cukup mungkin akan terkejut sehingga jantung terlalu lemah untuk
memompa secara efektif. Katup jantung memungkinkan darah mengalir hanya satu
arah. Jika katup gagal, darah dapat memuntahkan mundur, meminimalkan jumlah
yang akan mengalir ke tubuh. Jika katup menjadi menyempit (stenosis), maka aliran
darah dapat menurun. Kedua situasi dapat menyebabkan hipotensi.

2. Cairan intravascular

Ruang cairan di dalam pembuluh darah terdiri dari sel-sel darah dan serum.

a. Dehidrasi , hilangnya air , mengurangi total volume dalam ruang intravaskular


( dalam pembuluh darah ) . Hal ini dapat dilihat pada penyakit dengan
peningkatan kehilangan air . Muntah dan diare adalah tanda-tanda kehilangan
air .
1) Pasien dengan pneumonia atau infeksi saluran kemih, terutama orang tua ,
rentan terhadap dehidrasi .
2) korban Kebakaran bisa kehilangan sejumlah besar cairan dari luka bakar
mereka .
b. Perdarahan mengurangi jumlah sel darah merah dalam aliran darah dan
menyebabkan penurunan jumlah cairan di ruang intravaskular dan tekanan darah
rendah.

G. Klasifikasi Hipotensi
Tekanan darah dibawah 90/60 mmHg dikategorikan sebagai hipotensi
(Hypotension) atau tekanan darah rendah, sedangkan diatas 140/90 mmHg
sudah dikategorikan sebagai tekanan darah tinggi atau hipertensi
(Hypertension).

H. Manifestasi Klinik Hipotensi

beberapa manifestasi dari beberapa Hipotensi :

1. Hipotensi, (Alo, 2014)

Jantung berdebar kencang dan tidak teratur, pusing, lemas, mual, pinsan, pandangan
buram dan kehilangan keseimbangan
2. Hipotensi Interadialisis, asympomatik hingga syok (Burton Etal, 2009) Perasaan tidak
nyaman pada perut, mual, muntah, menguap, otot terasa kram, gelisah, pusing
kecemasan.
3. Hipotensi Ortostatik, (Jeffrey B. Lanier,dkk, 2014)

I. Komplikasi Hipotensi

Pada beberapa literatur, pengertian intradialytic hypotension (IDH) tidak


memiliki standardisasi dan beberapa studi memiliki definisi yang berbeda. Namun
kebanyakan mendefinisikan sebagai penurunan tekanan darah dengan disertai
munculnya gejala spesifik. Penurunan tekanan darah bisa relatif atau absolut. Sampai
saat ini, belum ada evidence based yang merekomendasikan pengertian IDH.
Manifestasi dari IDH bervariasi mulai dari asimptomatik sampai dengan syok. The
EBPG working group menekankan bahwa menurunnya tekanan darah, disertai
dengan munculnya gejala klinis yang membutuhkan intervensi medis harus dipikirkan
kemungkinan munculnya IDH. Beberapa literature mengemukakan bahwa IDH
ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik ≥ 30 atau tekanan darah sistolik
absolut dibawah 90 mmHg. Hipotensi pada dialisis bisa muncul dengan beberapa
gambaran klinis: (i) akut (episodik) hipotensi, didefinisikan sebagai penurunan
tekanan darah sistolik secara tiba-tiba dibawah 90 mmHg atau paling tidak 20 mmHg
diikuti dengan gejala klinis, (ii) Rekuren (berulang), secara definisi sama seperti yang
sebelumnya, namun hipotensi terjadi pada 50% dari sesi dialisis, dan (iii) kronik,
yaitu hipotensi persisten yang didefinisikan sebagai tekanan darah interdialisis tetap
dalam kisaran 90-100 mmHg. Pedoman dari NKF KDOQI, mendefiniskan hipotensi
intradialisis (Intradialytic hypotension) sebagai suatu penurunan tekanan darah
sistolik ≥ 20 mmHg atau penurunan Mean arterial pressure (MAP) >10 mmHg dan
menyebabkan munculnya gejalagejala seperti: perasaan tidak nyaman pada perut
(abdominal discomfort); menguap (yawning); sighing; mual; muntah; otot terasa kram
(muscle cramps), gelisah, pusing, dan kecemasan. Hal ini mengganggu kenyamanan
pasien, dan dapat mencetuskan aritmia jantung, dan sebagai faktor predisposisi untuk
penyakit jantung koroner, infark miokard (Burton et al., 2009) dan/atau kejadian
iskemia otak (Mizumasa et al., 2004). Selain itu, IDH menyebabkan terhalangnya
dosis dialisis yang adequat (adequate dose of dialysis), dimana episode hipotensi
menyebabkan efek kompartemen dan menghasilkan Kt/Vurea suboptimal.1,2,3,4
Komplikasi kardiovaskular dari IDH termasuk: kejadian iskemia (kardiak atau
neurologis); trombosis vaskular; disritmia; dan infark vena mesenterika. Efek IDH
jangka panjang termasuk; kelebihan cairan dikarenakan ultrafiltrasi yang suboptimal
dan pemberian bolus cairan resusitasi, pembesaran ventrikel jantung kanan, yang
berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas; serta hipertensi interdialisis.

J. Pemeriksaan Penunjang Hipotensi

Pemeriksaan penunjang berhubungan dengan assessment biokimia pasien sebagai


penunjang diagnosis gizi yang akan digunakan, antara lain (Tanto, 2014):

a. Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum meningkat.

b. Pemeriksaan elektrolit: hyperkalemia, hipokalsemia, hipermagnesemia

c. Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid: hiperkolesterolemia,


hipertrigliserida, LDL meningkat

d. Analisis gas darah: asidosis metabolic (pH menurun, HCO3 menurun)

Elektrokardiografi, untuk mendeteksi aktivitas listrik dalam Beberapa


pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain: Pemeriksaan darah, untuk
memeriksa kondisi kesehatan pengidap secara menyeluruh, serta mendeteksi
hipoglikemia atau anemia yang dapat menjadi pemicu jantung.

K. Penatalaksaanaan Hipotensi

Perawatan untuk penderita hipotensi tergantung penyebabnya yaitu :

1. Hipotensi kronik

Hipotensi kronik jarang terdeteksi dari gejala. Hipotensi yang tak bergejala
pada orang-orang sehat biasanya tak memerlukan perawatan. Dalam
mengatasi hipotensi berdasarkan penyebabnya yaitu dengan mengurangi atau
menghilangkan gejalanya.
a. Jika keluhan dirasakan klien saat keadaan diare terjadi, maka klien
dianjurkan untuk pemulihan kepada kebutuhan cairannya, yang
mempengaruhi atau mengurangi volume darah, mengakibatkan
menurunnya tekanan darah.
b. Kecelakaan atau luka yang menyebabkan pendarahan, akan
mengakibatkan kurangnya volume daran dan menurunkan aliran darah,
untuk itu yang dibutuhkan oleh penderita adalah transfusi darah sesuai
dengan yang dibutuhkan.
c. Adanya kelainan jantung bawaan seperti kelainan katup, maka penderita
harusmenjalani operasi jantung sesuai indikasi dokter, ataupun menjalani
pengobatan yang intensif untuk tidak memperburuk keadaan penderitanya.
2. hipotensi ringan

Cara lain untuk mengatasi hipotensi, yaitu Menambahkan elektrolit.


Penambahan elektrolit untuk diet dapat meringankan gejala dari hipotensi
ringan.

a. Minum kopi. Dosis kafein dipagi dapat memberikan efek karena kafein
dapat memacu jantung untuk bekerja lebih cepat
b. Pemberian posisi trendelenburg. Pada kasus hipotensi rendah dimana
pasien masih merespon dengan meletakkan posisi kaki lebih tinggi dari
pada punggung ( posisi trendelenburg.) posisi itu akan meningkatkan
aliran balik vena, sehingga membuat banyak darah memenuhi organ-organ
yang membutuhkan seperti bagian dada dan kepala.
c. Klien yang sedang mengalami hipotensi, diharuskan banyak istirahat, dan
membatasi aktifitas fisiknya selama keadaan ini.
d. Klien dengan hipotensi harus membiasakan diri untuk mempunyai pola
makan yang teratur dan mempunyai makanan pelengkap , seperti susu
untuk meningkatkan stamina. Karena pada umumnya penderita hipotensi
cukup lemah dan mudah lelah.
e. Jika diperlukan misalnya pada klien dengan anemia maka klien harus
mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi ataupun suplemen zat
besi untuk meningkatkan sel-sel darah merah darah yang menambah
volume darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah penderita.
f. Penderita hipotensi dianjurkan untuk rajin berolahraga ringan, misal
jogging, untuk melatih kerja jantung secara teratur, dan melancarkan aliran
darah keseluruh tubuh.
3. hipotensi simtomatik :

Hipotensi postural simtomatik dapat ditangani dengan mengatur posisi tidur


pasien dengan kepala lebih tinggi. Fludrokortison, suatu mineralokortilkoid
dapat juga berguna tapi banyak pasien tidak mempunyai respon yang baik
terhadap obat ini dan obat obatan yang lain yang telah dicoba seperti
indometasin Penanganan hipotensi yang dilakukan sendiri (lionel
ginsberg,2005).

a. Perbanyak asupan cairan terutama air minum.

b. Tambahkan lebih banyak garam pada makanan, kecuali sudah konsisi lain
yang tidak memperbolehkannya.
c. Terarur berolahraga untuk membuat kondisi jantung dan pembulu darah
menjadi lebih sehat .
d. Berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain ( Dr.Indra

k.Muhtadi,2013)

L. Patofisiologi Hipotensi pada CKD

Tekanan Pada perubahan posisi tubuh misalnya dari tidur ke berdiri maka
tekanan darah bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada
orang dewasa normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200
mmHg. Tekanan darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan
venanya 0. Pada dasarnya, darah akan mengumpul pada pembuluh kapasitas vena
ekstremitas inferior 650 hingga 750 ml darah akan terlokalisir pada satu tempat.
Pengisian atrium kanan jantung akan berkurang, dengan sendirinya curah jantung
juga berkurang sehingga pada posisi berdiri akan terjadi penurunan sementara
tekanan darah sistolik hingga 25mmHg, sedang tekanan diastolic tidak berubah atau
meningkat ringan hingga 10mmHg (Andhini Alfiani Putri F, 2012).

Penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah pada anggota tubuh


bagian bawah akan cenderung mengurangi darah ke otak. Tekanan arteri kepala akan
turun mencapai 20-30mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti kenaikan tekanan
persial CO2 (pCO2) dan penurunan tekanan persial O2 (pCO2) serta pH jaringan
otak (Andhini Alfiani Putri F, 2012).

Secara reflektoris, hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat didalam
dinding dan hampir setiap arteri besar didaerah dada dan leher, namun dalam jumlah
banyak didapatkan dalam diding arteri karotis interna, sedikit di atas bifurcation
carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan dinding arkus aorta. Respon
yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan tahanan pembuluh darah perifer,
peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki dan abdomen, peningkatan frekuensi
respirasi, kenaikan frekuensi denyut jantung serta sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi
zat vasoaktif berupa katekolamin, pengaktifan system Renin-Angiostensin
Aldosteron, pelepasan ADH dan neurohipofisis. Kegagalan fungsi reflex autonomy
inilah yang menjadi penyebab timbulnya hipotensi ortostatik, selain oleh factor
penurunan curah jantung akibat berbagai sebab dan kontraksi volume intravascular
baik yang relative maupun absolute. Tingginya kasus hipotensi ortostatik pada usia
lanjut berkaitan dengan :(Andhini Alfiani Putri F, 2012).

 Penurunan sensitivitas baroreseptor yang diakibatkan oleh proses


atheroskleosis sekitar sinus karotikus dan arkus aorta, hal iniakan
menyebabkan tak berfungsinya reflex vasokontriksi dan peningkatan
frekuensi denyut jantung sehingga mengakibatkan kegagalan
pemeliharaan tekanan arteri sistemik saat berdiri.
 Menurunnya daya elastisitas serta kekuatan otot eksremitas inferior.
M. Tatalaksana Hipotensi pada CKD sesuai SPO
1. Hipotensi ( Sistol < 90 mmHg dan diastole < dari mmHg )
a) Atur posisi, kepala lebih rendah daripaa kaki ( Trendelenbug )
b) Qb dan UFR diturunkan atau dihentikan
c) Monitor tekanan darah nadi pasien sesering mungkin setiap 2 – 8 menit
d) Bolus Nacl 0,9 % 100 – 200 ml, bila belum membaik berikan NaCl 0,9 %
sampai 500 ml, bila sudah membaik atur kembali ultrafiltrasi, bila tekanan
darah masih rendah berikan cairan lain seperti cairan hipertonik : Glucose
40% 1-2 Fls ( Awasi gula darah pasien )
e) Berikan O2 5-6 liter/menit atau sesuai kebutuhan pasien.
f) Dorong asupan makanan dan minuman
g) Amati gejala syok dehidrasi
h) Pantau BB pasiendan berat kering pasien dipindai ulang. Kalua perlu dialysis
dihentikan dengan cara :
i) Jika TD sudah naik ( normal/sistol > 90 mmHg dan diastole > 60 mmHg )
dialysis dapat dimulai lagi.
j) Catat semua tindakan yang telah dilakukan dalam status
k) Kolaborasi dengan dokter bila keadaan pasien belum membaik
N. Hemodialisis

a. Definisi
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk membuang sisa metabolisme
tubuh dan menggantikan fungsi ginja yang rusak dengan ginjal bauatan
(dialyzer)

b. Indikasi
PGA
 PGA dengan komplikasi oedema paru berat- kelebihan volume cairan
berat
 PGA dengan hiperkalemia berat – aritmia
 PGA dengan asidosis metabolic berat - PGA dengan toksik – uremia berat
PGK
 PGK Stadium V dengan GFR <15
c. Proses Hemodialisa
Darah dari arteri pasien Arterial Blood Line (Merah) Dializer
terjadi proses pencucian (Difusi dan Ultrafiltrasi) Venous Blood
Line (Biru) kembali ke vena pasien
Difusi: Perpindahan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah melewati
membrane semipermeable

Ultrafiltrasi: Perpindahan cairan dari tekanan tinggi ke tekanan rendah


melewati membrane semi permiable
d. Prinsip Hemodialisa
Prinsip dan cara kerja hemodialisis
Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen : 1. Kompartemen darah,
2.kompartemen cairan pencuci (dialisat) 3.ginjal buatan (dialyzer). Darah
dikeluarkan dari pembuluh draah vcena dengan kecepatan tertentu, kemudian
masuk kedalam mesin dengan proses pemompaan setelah terjadi proses
dialysis, darah yang telah bersih masuk ke pembuluh balik, selanjutnya
beredar kedalam tubuh. Proses dialysis (pemurnian) darah terjadi dalam
dialyzer.

Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu


larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan
ini dengan larutan lain (kompoartemen dialisat) melalui membrane semi
permiabel (dialyzer).

O. Askep

Pengkajian
1. Biodata
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, ras, agama, alamat, pekerjaan, pendidikan dll. Gagal
Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 tahun), usia muda, dapat terjadi
pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
2. Keluhan utama
Sesak napas, kencing sedikit bahkan tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan
(anoreksia), mual, muntah, kembung, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau
(ureum), gatal pada kulit.
3. Riwayat penyakit
a. Riwayat penyakit sekarang : diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi
anafilaksis, renjatan kardiogenik.
b. Riwayat penyakit dahulu : riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran
kemih, payah jantung, hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, benigna
prostatic hyperplasia, prostatektomi.
c. Riwayat penyakit keluarga : adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus atau
hipertensi.
4. Tanda vital : peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, napas cepat dan
dalam (kussmaul), dyspnea.

5. Pemeriksaan Fisik B1 s/d B6


B1 Penilaian :
B1 (Breathing) Sistem Pernafasan
Inspeksi: Bentuk dada (Normochest, Barellchest, Pigeonchest atau Punelchest). Pola nafas: Normalnya = 12-24
x/ menit, Bradipnea/ nafas lambat (Abnormal), frekuensinya = < 12 x/menit, Takipnea/ nafas cepat dan dangkal
(Abnormal) frekuensinya = > 24 x/ menit. Cek penggunaan otot bantu nafas (otot sternokleidomastoideus) 
Normalnya tidak terlihat. Cek Pernafasan cuping hidung  Normalnya tidak ada. Cek penggunaan alat bantu
nafas (Nasal kanul, masker, ventilator).
Palpasi: Vocal premitus (pasien mengatakan 77) Normal (Teraba getaran di seluruh lapang paru)
Perkusi dada: sonor (normal), hipersonor (abnormal, biasanya pada pasien PPOK/ Pneumothoraks)
Auskultasi: Suara nafas (Normal: Vesikuler, Bronchovesikuler, Bronchial dan Trakeal). Suara nafas tambahan
(abnormal): wheezing  suara pernafasan frekuensi tinggi yang terdengar diakhir ekspirasi, disebabkan
penyempitan pada saluran pernafasan distal). Stridor  suara pernafasan frekuensi tinggi yang terdengar diawal
inspirasi. Gargling  suara nafas seperti berkumur, disebabkan karena adanya muntahan isi lambung.
B2 Penilaian :
B2 (Circulation) Sistem Peredaran Darah
Inspeksi: CRT (Capillary Refill Time) tekniknya dengan cara menekan
salah satu jari kuku klien  Normal < 2 detik, Abnormal  > 2 detik. Adakah sianosis (warna kebiruan) di
sekitar bibir klien, cek konjungtiva klien, apakah konjungtiva klien anemis (pucat) atau tidak  normalnya
konjungtiva berwarna merah muda.
Palpasi: Akral klien  Normalnya Hangat, kering, merah, frekuensi nadi  Normalnya 60 - 100x/ menit,
tekanan darah Normalnya 100/ 80 mmHg – 130/90 mmHg.
B3 Penilaian :
B3 (Neurologi) Sistem Persyarafan
Cek tingkat kesadaran klien, untuk menilai tingkat kesadaran dapat digunakan suatu skala (secara kuantitatif)
pengukuran yang disebut dengan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS memungkinkan untuk menilai secara
obyektif respon pasien terhadap lingkungan. Komponen yang dinilai adalah : Respon terbaik buka mata, respon
verbal, dan respon motorik (E-V-M). Nilai kesadaran pasien adalah jumlah nilai-nilai dari ketiga komponen
tersebut. Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap rangsangan dari
lingkungan, tingkat kesadaran (secara kualitatif) dibedakan menjadi:
a. Compos Mentis (Conscious), yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan
tentang keadaan sekelilingnya.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh
c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi,
kadang berhayal.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur,
namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi
jawaban verbal.
e. Stupor, yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon terhadap nyeri
f. Coma, yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

Pemeriksaan Reflek:
a. Reflek bisep: ketukan jari pemeriksa pada tendon muskulus biceps brachii, posisi lengan setengah ditekuk
pada sendi siku.
Respon: fleksi lengan pada sendi siku
b. Reflek patella: ketukan pada tendon patella.
Respon: ekstensi tungkai bawah karena kontraksi muskulus quadriceps femoris
Nervus 1(Olfaktorius): Tes fungsi penciuman (pasien mampu mencium bebauan di kedua lubang hidung)
Nervus 2 (Optikus): Tes fungsi penglihatan (pasien mampu membaca dengan jarak 30 cm (normal)
Nervus 3, Nervus 4, Nervus 6 (Okulomotorius, Trokhlearis, Abdusen): Pasien mampu melihat ke segala arah
(Normal)
Nervus 5 (Trigeminus):
a. Sensorik : pasien mampu merasakan rangsangan di dahi, pipi dan dagu (normal)
b. Motorik : pasien mampu mengunyah (menggeretakan gigi) dan otot masseter (normal)
Nervus 7 (Facialis):
a. Sensorik : pasien mampu merasakan rasa makanan (normal)
b. Motorik : pasien mampu tersenyum simetris dan mengerutkan dahi (normal)
Nervus 8 (Akustikus): Tes fungsi pendengaran (rine dan weber)
Nervus 9 (Glososfaringeus) dan N10 (Vagus): pasien mampu menelan dan ada refleks muntah (Normal)
Nervus 11 (Aksesorius): pasien mampu mengangkat bahu (normal)
Nervus 12 (Hipoglosus): pasien mampu menggerakan lidah ke segala arah (normal)
B4 Penilaian :
B4 (Bladder) Sistem Perkemihan
Inspeksi: integritas kulit alat kelamin (penis/ vagina)  Normalnya warna merah muda, tidak ada Fluor Albus/
Leukorea (keputihan patologis pada perempuan), tidak ada Hidrokel (kantung yang berisi cairan yang
mengelilingi testis yang menyebabkan pembengkakan skrotum.
Palpasi: Tidak ada distensi kandung kemih. Tidak ada distensi kandung kemih
B5 Penilaian :
B5 (Bowel) Sistem Pencernaan
Inspeksi: bentuk abdomen simetris, tidak ada distensi abdomen, tidak accites, tidak ada muntah,
Auskultasi: peristaltik usus Normal 10-30x/menit
B6 Penilaian :
B6 (Bone) Sistem Muskuluskeletal dan Integumen
Skala Kekuatan Otot :
0 (0) Kontraksi otot tidak terdeteksi (paralisis sempurna)
1 (10) Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat di palpasi atau dilihat
2 (25) Gerakan otot penuh melawan gravitasi, dengan topangan
3 (50) Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 (75) Gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan minimal
5 (100) Kekuatan otot normal, gerakan penuh yang normal melawan gravitasi dan melawan tahanan
penuh

Inspeksi: warna kulit sawo matang, pergerakan sendi bebas dan kekuatan otot penuh, tidak ada fraktur, tidak
ada lesi

Palpasi: turgor kulit elastis, 3 turgor kulit ( kekenyalan, elastisitas kulit) : dengan cara dicubit didaerah perut
dengan cubitan agak lebar, sekitar 3 cm, dipertahankan selama 30 detik, kemudian dilepas. Bila kulit kembali
normal dalam waktu kurang 1 detik; turgor baik, bila 2-5 detik ; turgor agak kurang, bila 5-10 detik; turgor
kurang dan bila lebih 10 detik: turgor jelek.

Skala Penilaian Pitting Edema


1+ = Pitting ringan, tidak ada distorsi (perubahan) yang terlihat, cepat menghilang
2+ = Lebih dalam dari 1+, tidak ada distorsi (perubahan) yang langsung terdeteksi, menghilang dalam 10-15
detik
3+ = Cukup dalam, dapat berlangsung lebih dari 1 menit, ekstremitas yang terkena tampak lebih lebar dan
membengkak
4+ = Sangat dalam, berlangsung 2-5 menit, ektremitas yang terkena telihat sangat mengalami perubahan.

6. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Kadar BUN (normal: 5-25 mg/dL) 2 , kreatinin serum (normal:0,5-1,5 mg/dL; 45-
132,5 µmol/L[unit SI]) 2 , natrium (normal: serum: 135-145 mmol/L; urine: 40-22-
2
mEq/L24 jam), dan kalium (normal: 3,5-5,0 mEq/L; 3-5,0 mmol/L[unit SI]) ,
meningkat.
b. Analisis gas darah arteri menunjukkan penurunan pH arteri (normal: 7,35-7,45) 2 dan
kadar bikarbonat (normal: 24-28 mEq/L) 2.
c. Kadar hematokrit (normal: wanita= 36-46%, 0,36-0,46 [unit SI]; pria= 40-50%, 0,40-
0,54 [unit SI]) 2 dan hemoglobin (normal: wanita+ 12-16 g/dL; pria = 13,5-18 g/dL) 2
rendah; masa hidup sel darah merah berkurang.
d. Muncul defek trombositopenia dan trombosit ringan.
e. Sekresi aldosteron meningkat
f. Terjadi hiperglikemia dan hipertrigliseridemia
g. Penurunan kadar high density lipoprotein (HDL) (normal: 29-77 mg/dL).
h. Analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolic
i. Berat jenis urine (normal:1.0005-1,030) 2 tetap pada angka 1,010 Pasien mengalami
proteinuria, glikosuria, dan pada urine ditemukan sedimentasi, leukosit, sel darah
merah, dan Kristal

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Penurunan curah jantung


Penyebab

1. Perubahan irama jantung


2. Perubahan frekwensi jantung
3. Perubahan kontraktilitas
4. Perubahan preload
5. Perubahan afterload

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Observasi
 Identifikasi tanda/gejala primer Penurunan curah jantung (meliputi dispenea,
kelelahan, adema ortopnea paroxysmal nocturnal dyspenea, peningkatan
CPV)
 Identifikasi tanda /gejala sekunder penurunan curah jantung (meliputi
peningkatan berat badan, hepatomegali ditensi vena jugularis, palpitasi,
ronkhi basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika perlu)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis. Intensitas, lokasi, radiasi, durasi, presivitasi
yang mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12 sadapoan
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekwensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis. Elektrolit, enzim jantung, BNP,
Ntpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan frekwensi nadisebelum dan sesudah aktifitas
 Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi sebelum pemberian obat (mis.
Betablocker, ACEinhibitor, calcium channel blocker, digoksin)
2. Terapeutik
 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki kebawah atau posisi
nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi asupan kafein, natrium,
kolestrol, dan makanan tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermiten, sesuai indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi hidup sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stres, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk memepertahankan saturasi oksigen >94%
3. Edukasi
 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
 Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
2. Gangguan Pemenuhan Nutrisi
Penyebab
 Anoreksia
 Ketidakmampuan menelan makanan
 Ketidakmampuan mencerna makanan
 Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
 Peningkatan kebutuhan metabolism
 Faktor ekonomi (mis. finansial tidak mencukupi)
 Faktor psikologis (mis. stres, keengganan untuk makan)

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. MANAJEMEN NUTRISI (I. 03119)

1. Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
 Identifikasi makanan yang disukai
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
2. Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasigastrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
3. Edukasi
 Anjurkan posisi duduk, jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

P. Daftar Pustaka

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
Edisi 1, DPP PPNI Jl. Raya Lenteng Agung No. 64 Jagakarsa, Jakarta Selatan
12610
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia,
Edisi 1, DPP PPNI Jl. Raya Lenteng Agung No. 64 Jagakarsa, Jakarta Selatan
12610
Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2019, Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Edisi
1, DPP PPNI Jl. Raya Lenteng Agung No. 64 Jagakarsa, Jakarta Selatan 12610
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3.
Jakarta : EGC
Pearce,C Evelyn.2010.ANATOMI DAN FISIOLOGI
UNTUKPARAMEDIS.Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama
Blackwell, Wiley. 2014. Nursing Diagnoses definitions and classification 2015-
2017. United Ki ngdom: Blackwell

SPO Ruangan Hemodilisis 2017, tidak dipublikasikan

Anda mungkin juga menyukai