SKRIPSI
Oleh:
Ignasius Eka Wibowo
NIM:068114079
FAI(.I]LTAS FARMASI
I.]NTVERSIITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
UJI CEMARAN AFLATOKSIN
PADA RIMPAI\IG TEMULAWAK (Curcuma xnnthonhiza Roxb.)
YAI\IG DIKERINGKA}I DAII SIMPLISIA RIMPAIYG TEMULAWAK YAI\IG
DIPERDAGAIIGKA}I DI PASAR BERINGHARJO YOGYAKARTA
SKRIPSI
Oleh:
Ignasius Eka Wibowo
NIM : 068114079
FAKT]LTAS FARMASI
T.]NTVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
UJI CEMARAN AFLATOKSIN
PADA RIMPAI\IG TEMIILAWAK (Curcuma xnnthorrhiza Roxb.)
YAI\G DIKERINGKAIT DAI\I SIMPLISIA RIMPAI\IG TEMTILAWAI( YAI\IG
DIPERDAGAI\IGKAI\I DI PASAR BERINGHARJO YOGYAKARTA
NIM:068114079
Dosen Pembimbing :
1l
Pengesahan Skripsi Berj udul
Oleh:
Ignasius Eka Wibowo
NIM:068114079
Mengetahui
Fakultas Farmasi
Pembimbing:
Panitia Penguji :
1. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt.
lll
LorJ,,. in the p?st
I have JenieJ You ?nJ wafkeJ away
Ffonn nUmPfoUs {irrrEs
en life in fard.
lv
PER}IYATAAII KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftarpustaka sebagaimana layalcrya karya ilmiah.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal: 12 Maret 2010
Yang menyatakan
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
yang diberikan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Uji
Cemaran Aflatoksin pada Rimpang Temulawak (CurcumaXanthorrhiza Roxb.) yang
dan bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan laporan akhir ini
dengan baik. Oleh karena itu dengan kerendalran hati yang tulus penulis ingin
berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, antara lain :
2. Erna Tri Wulandari, M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan araharU dukungaq bimbingan, perhatian dan semangat
kepada penulis.
7. Mas Wagiran, Mas Bimo, Mas Sigit selaku laboran yang telah membantu
selama penelitian.
8. Semua pihak yang tidak bisa disebutka satu-persatu yang telah membantu
vl
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan akhir ini banyak kesalahan
Penulis
vll
INTISARI
vlll
ABSTRACT
Key words: aflatoxin, dried javanese tumeric (Curcuma xanthorrhiza Roxb), thin
layer chromato graphy-densitometry
l)(
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.... I
PRAKATA vi
INTISARI... viii
ABSTMCT, ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR GAMBAR.. xv
BAB I PENDAHULUAN I
A. Latar Belakang.............. I
B. Perumusan Masalah......
C. Keaslian Penelitian....
D. ManfaatPenelitian... 5
E. Tujuan Penelitian.... 6
A. Temulawak 7
l. Keterangan botani.
2. Deslaipsi ................. 8
3. Pemerian 9
B. Simplisia 6
1. Definisi 6
a. Sortasi basah.......... ll
b. Pencucian l1
c. Perajangan 12
d. Pengeringan t2
e. Sortasi kering......... 14
f. Pengemasan................
t4
C. Aflatoksin t4
D. Destilasi toluen......... 19
E. Kromatografi KoIom........ 20
H. Landasan Teori........... 27
I. Hipotesis 28
l. Klasifikasi variabel..,.. 29
xi
a. Variabel bebas.......... 29
b. Variabel tergantung.. 29
2. Definisi operasional. 30
C. Alat. 3l
D. Bahan. 3l
6. Penyerbukan simplisia 34
8. Pembuatan pelarut........ 35
1 l. Preparasi kolom....... 36
I 2. Identifikasi aflatoksin................ 37
F. Analisis Hasil........... 38
xtl
BAB TV HASIL DAN PEMBAHASAN... 39
A. Pengumpulan Batran.... 39
1. Sortasibasah 43
2. Pencucian 43
4. Pengeringan................ 45
5. Sortasi kering......... 47
F. Kromatografi Kolom 52
Aflatoksin
G.Identifikasi 53
A. Kesimpulan..............- 54
B. Saran 55
DAFTAR PUSTAKA. 56
LAMPIRAN 57
BIOGRAT'I PENULIS... 73
xltl
DAFTAR TABEL
temulawak.. 43
Beringharjo Yogyakarta 5l
Tabel IV. Pengukuran nilai Rf pada kromatogram di bawah sinar UV 365 nm..... 55
xtv
DAFTAR GAMBAR
XV
DAFTAR LAMPIRAN
xvl
BAB I
PENDAIIT]LUAI\i
A. Latar Belakang
Obat tadisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari bahan
fumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau
campuran dari bahan tersebut, yang secara tunrn menunrn telatr digunakan untuk
peningkat nafsu makan, obat jerawat, anti kolesterol, anti inflamasi, anemi4
disimpan dalam bentuk kering atau sering disebut dengan simplisia rimpang
tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur tahun 2003 menduduki peringkat
pertarna dilihat dari jumlah serapan atau pennintaan dari industri obat tradisisnal.
atsiri. Kandungan kimia minyak atsirinya antara lain, feladren, kamfer, twmerol,
pada batran pangan yang mengalami proses pelapukan @iener dan Davis, 1969)
aflatoksin bila terdapat cukup zat-zat makanan, kelembaban dan suhu tertentu.
Kapang tersebut dapat tumbuh pada setiap batran atau makanan bila kandungan
air sekital 13% - 14%, kelembaban relatif di atas 50 yo, dan suhu optimal
pertumbuhan adalah sekitar 210 C, akan tetapi aflatoksin dapat dihasilkan pada
kisaran suhu antara 100 C dan 3E0 C . Senyawa aflatoksin terdiri atas beberapa
jenis, yaitu 81, Bz, Gr, dan G2, namun sifat racun yang tinggi dan berbahaya
terjadi akibat paparan aflatoksin pada manusia adalatr terjadinya kanker hati yang
suhu" pH, kadar air dari bahan dan kondisi penyimpanan yang lembab (Pratiwi,
2008). Oleh karena itu berbagai tahapan dalam pembuatan simplisia dapat
B. Perumusan Masaleh
disimpulkan adalah :
Yogyakarta ?
Yogyakarta ?
tradisional ?
C. Keaslian Penelitian
tipis. Gail (1983) pernah meneliti tentang ekstraksi dan identifikasi aflatoksin
juga sudah pernah dilakukan. Kiswanto (2005) pernah meneliti tentang perubahan
mengenai uji cemaran aflatoksin pada rimpang temulawak yang dikeringkan dan
D. Manfeat Penelitian
1. Manfaat teoritis
2. Manfaat praktis
1. Mengetahui ada atau tidaknya cemaran aflatoksin pada rimpang temulawak yang
B eringharj o Yo gyakarta.
Yogyakarta.
A. Temulawak
l. Keterangan Botani
Klasifikasi
Divisi Spermatophyta
Subdivisi Angiospermae
Kelas Monocotyledonae
Ordo Zingiberales
Famili Zingiberaceae
Genus Curcuma
minyak atsiri tidak kurang dari 6yo, kandungan kurkuminoid tidak kurang dari 14,2
%. Memiliki nama daerah antara lain : Sumatra : Temu lawak (Melayu), Jawa :
Koneng gede (Sunda), Temu lawak (Jawa): Temo labak (Madura). Indonesia :
Temulawak (Anonim, 1979 b). Tumbuh baik pada jenis tanah latosol, andosol,
podsolik dan regosol. Tanah bebas dari penyakit layu bakteri, ketinggian tempat lOf
1500 m dpl, dengan curah hujan 150H000 mm/th @ahardjo dan Rostiana,20D5).
2. Deskripsi
Tanaman berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari I m tetapi kurang
dari2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk dengan sempuma
dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang mempunyai daun 2 - t helai
dengan bentuk bundar memanjang sampai bangun lanset, warna daun hijau atau
coklat keunguan terang sampai gelap, panjang daun 3l - 84 cm dan lebar 10 - 18 cm,
ramping dan sisik berbentuk garis, panjang tangkai 9 - 23 cm dan lebar 4 - 6 cm,
berdaun pelindung banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota
bunga. Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8 - 13 mm, mahkota bunga
berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5 cm, helaian bunga berbentuk
bundar memanjang benvarna putih dengan ujung yang berwarna merah dadu atau
3. Pemerian
garis tengah sampai 6 cm, tebal2 mm sampai 5 mm, permukaan luar berkerut, warna
coklat kuning sampai coklat, bidang irisan berwarna coklat kuning buram,
melengkung tidak beraturan, tidak rata" sering dengan tonjolan melingkar pada batas
antara silinder pusat dengan korteks, korteks sempit, tebal 3 mm sampai 4 mm.
kurang berkembang. Korteks dan silinder pusat parenkimatik, terdiri dari sel
parenkim berdinding tipis, berisi butir pati; dalam parenkim tersebar banyak sel
minyak berisi minyak berwarna kuning dan zat benvarna jingga, juga terdapat
idioblas berisi hablur kalsium oksalat berbentuk jarum kecil. Butir pati berbentuk
pipih, bulat panjang sampai bulat telur memanjang, panjang butir 20 pm - 70 pm,
lebar 5 pm sampai 30 pm, tebal 3 pm sampai 10 pm, lamela jelas, hilus di tepi.
Berkas pembuluh tipe kolateral, tersebar tidak beraturan pada parenkim korteks dan
pada silinder pusat; berkas pembuluh di sebelah dalam endodermis tersusun dalam
lingkaran dan letaknya lebih berdekatan satu dengan yang lainnya; pembuluh
didampingi oleh sel sekresi, panjang sampai 200 pm, berisi zat berbutir berwarna
coklat yang dengan besi (III) klorida menjadi lebih tua (Anonim, 1979 b).
l0
B. Simplisia
1. Definisi
obat yang belum mengalami pengolahan apapun atau kecuali dinyatakan lain berupa
dibedakan menjadi simplisia nabati, hewani dan pelikan. Simplisia nabati adalatr
simplisia yang dapat berupa tumbuhan utuh, bagian tanaman atau eksudat dari suatu
antara lain :
Tanaman obat yang menjadi sumber simplisia nabati, merupakan salah satu
faktor yang dapat mempengaruhi mutu simplisia. Sebagai sumber simplisi4 tanaman
obat dapat berupa bahan liar atau berupa tanaman budidaya. Tanaman budidaya
adalah tanaman yang sengaja ditanam untuk tujuan produksi simplisia. Tanaman
biasanya dipanen pada musim kering dengan tanda-tanda mengeringnya bagian atas
tanaman. Dalam keadaan ini rimpang dalam keadaan besar maksimum (Anonim,
less).
panen terhadap suatu tanaman budidaya agur tidak mudah rusak dan memiliki
kualitas yang baik serta mudah disimpan untuk penggunaan selanjutnya. Secara
a. Sortasi basah
memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing, bahan yang tua dengan yang
muda atau bahan yang ukurannya lebih besar atau lebih kecil (Sembiring, 2007).
Misalnya pada simplisia yang dibuat dari rimpang suatu tanaman obat, bahan-
bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang telah rusalq
b. Pencucian
mikroba yang melekat pada bahan. Pencucian menggunakan air bersih dan
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk menghindari larut dan
c. Perajangan
biasanya hanya dilakukan pada bahan yang ukurannya agak besar dan tidak lunak
seperti akar, rimpang, batnng buatr dan lainJain. Perajangan bahan dapat
dilakukan secara manual dengan pisau yang tajam dan terbuat dari steinlees
yang tinggi bentuk irisannya membujur (split) dan jika ingin batran lebih cepat
yang akan dikeringkan, maka semakin cepat penguapan air dan mempercepat
waktu pngeringan. Akan tetapi, irisan yang terlalu tipis juga dapat menyebabkan
d. Pengeringan
dengan cara mengurangi kadar air, sehingga proses pembusukan dapat terhambat.
Dengan demikian dapat dihasilkan simplisia terstandar, tidak mudatr rusak dan
mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam
waktu yang lebih lama. Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu
13
dapat menjadi media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya (Anonim,
le85).
Dalam proses pengeringan, kadar air dan reaksi-reaksi zat aktif dalam
bahan akan berkurang. Suhu pengeringan tergantung pada jenis bahan yang
dikeringkan. Pada umumnya suhu pengeringan adalah antara 40-600 C dan hasil
yang baik dari proses pengeringan adalah simplisia yang mengandung kadar air
tergantung pada jenis bahan yang dikeringkan seperti rimpang, daun, kayu ataupun
bunga- Hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pengeringan adalah
udara, aliran udara dan tebal bahan. Pengeringan bahan dapat dilakukan secara
menggunakan alat pengering seperti oven, rak pengering, blower ataupun dengan
dilakukan dengan menggunakan sinar matahari, oven, blower dmfresh dryer pada
suhu 300-500 C. Pengeringan pada suhu terlalu tinggi dapat merusak komponen
mudah. Pada umumnya bahan simplisia yang sudah kering memiliki kadar air +
t4
8%o - l0o/o. Dengan jumlah kadar air tersebut kerusakan bahan dapat ditekan baik
e. Sortasi kering
tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-pengotor lain yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering. Proses ini dilakukan sebelum simplisia dibungkus
untuk kemudian disimpan. Seperti halnya dengan sortasi basah, sortasi kering
dapat dilakukan dengan tangan atau mekanik. Pada simplisia bentuk rimpang,
sering jumlah akar yang melekat terlalu besar dan harus dibuang (Anonim,l985)
f. Pengemasan
Jenis kemasan yang digunakan dapat berupa plastik, kertas maupun karung goni
C. Aflatoksin
dan Aspergilus parasitiars. Nama aflatoksin diambil dari singkatan atas penggalan
lata"Aspergillusflavus toksin". Jamur atau kapang ini secara alami terdapat di dalam
jamur tersebut dapat tumbuh pada setiap bahan atau makanan bila mengandung kadar
15
air sekitar l3o/o - l4%o dan kelembaban relatif di atas 50 %. Suhu optimal adalah
sekitar 2f C, akan tetapi aflatoksin dapat dihasilkan pada kisaran suhu antara 100 C
pada beberapa faktor, yaitu potensial genetik dari kapang, persyaratan lingkungan
(substra! kelembaban, suhu, pH) dan lamanya kontak arfiara kapang dengan substrat.
Penelitian yang dilakukan oleh Nesbitt dkk. (1962) dan Hartley dkk. (1963)
dalam pengamatan kemudian ditandai dengan Rr 0,40 dan 0,36 berpendar biru bila
terkena sinar UV yang kemudian disebut sebagai aflatoksin Br dan Bz. Dua
komponen lainnya dengan Rr 0,34 dan 0,31 yang berpendar biru-hijau, disebut
dan sering dikaitkan dengan kerusakan sel hati yang terjadi pada penderita hepatitis.
Racun ini juga dianggap karsinogenik dan menimbulkan kanker hati (Pratiwi, 2008).
sinar UV. Mempunyai berat molekul 312,0 dengan rumus molekul CrzHrzOo.
Aflatoksin 82 (AFB2) merupakan turunan dari AFBr, mempunyai sifat pendar sama
tetapi nilai Rf lebih rendah. AFBz merupakan dihidro AFBr dengan berat molekul
314,0 dan rumus molekul CrzHrzOo. Aflatoksin Gr (AFGr) dapat ditunjukkan dengan
warna biru-hijau dari pendaran sinar UV. Mempunyai berat molekul328,0 dengan
sebagaimana AFGr dengan AFB2. Nilai Rf AFBz lebih rendah daripada AFGr
Mempunyai berat molekul 330,0 dengan rumus molekul CrzHr+Oz (Makfoeld, 1993).
aromatik yang terdiridari fenilalanin, asam sinamat dan asam sikimat sebagai zat
,)
\,- tll
lo
I
u;
d{ .1"
oo
,rfrdoldt B,
pada kasus serius dapat menimbulkan kematian, sedangkan pada konsumsi aflatoksin
18
dosis menengah hingga rendah dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan
Aflatoksin juga dapat menghambat pertumbuhan anak dan mengganggu janin jika
adalah serangan hama penyakit, luka fisik, penundaan usia panen, penyimpanan
dalam keadaan basatr (kadar air >10 %) dan kondisi penyimpanan yang lembab
(Pratiwi,2008).
maksimal aflatoksin yang diperbolehkan dalam obat tradisional, yaitu kurang dari 30
D. Destilasi Toluen
rupa" tekstur maupun cita rasa batran. Kadar air dalam batran makanan ikut
menenfukan "acceptabiliry" suafu bahan makanan kesegaran dan daya tahan suatu
bahan (Winarno, 1980). Destilasi toluen atau metode azeotropi merupakan salah satu
metode yang digunakan untuk menetapkan kadar air dari suatu bahan. Metode ini
didasarkan atas perbedaan polaritas dan berat jenis antara air dan toluen. Cara
kerjanya adalah dengan memasukan bahan dalam labu kering sejumlah tertentu yang
19
setara dengan 24 ml air yang dihasilkan. Bila zat menimbulkan gejolak, tarnbahkan
dalam jumlatr cukup pasir yang telah dicuci dan kering untuk menutup dasar labu.
Setelah itu masukan 200 ml toluena ke dalam labu. Panaskan labu perlahanJahan
selama 15 menit dan suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes per detik sampai
sebagian besar air tersuling. Kemudian naikan kecepatan penyulingan hingga lebih
kurang 4 tetes per detik. Apabila air dan toluen memisah sempurn4 baca volume air
E. Kromatografi Kolom
Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan dimana analit-analit dalam
sampel terdistribusi antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase diam dapat
berupa bahan padat atau porus dalam bentuk cairan yang dilapiskan pada pendukung
padat atau dilapiskan pada dinding kolom. Fase gerak dapat berupa cairan atau gas
@ohman,2009)
penyerap yang sering digunakan antara lain aluminium oksida dan silika gel. Bahan
tersebut dalam keadan kering atau setelah dicampur dengan sejumlah cairan,
dimasukan dalam tabung kaca atau kwarsa dengan ukuran tertentu dan mempunyai
dimasukan pada puncak kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam zat penyenp. Zat
tertentu akan diserap dari larutan oleh bahan penyerap secara sempurna berupa pita
sempit pada puncak kolom. Selanjutnya dengan mengalirkan pelarut, dengan atau
tanpa tekanan udarq masing-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan yang
khas atau spesifik, sehingga terjadi pemisahan dalam kolom yang disebut dengan
kromatogram. Kecepatan bergerak zat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya
serap dari bahan penyerap, sifat pelarut dan suhu dari sistem kromatografi
(Anonim,1979 a)
mengalirkan pelarut melalui kolom, sehingga zat tertentu yang dikehendaki akan
2l
keluar dalam eluat. Cara ini disebut dengan kromatogram mengalir. Jika dikehendaki,
pemisahan beberapa senyawa atau zat tertentu dapat dilakukan dengan mengalirkan
pelarut yang sama atau pelarut yang berbeda yang memiliki daya elusi yang lebih
perbandingan distribusinya @), dan besarnya D ditentukan oleh afinitas rclatif zat
pada kedua fase (fase diam dan fase gerak). Dalam konteks kromatografi, nilai D
didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi zat dalam fase diam (Cr) dan dalam
Semakin besar nilai D, maka migrasi zat semakin lambat dan semakin kecil nilai D,
Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragarn (uniform)
pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempengkaca, pelat aluminium
atau pelat plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan
perbedaan koefisien senyawa maka akan terjadi pemisahan bercak totolan pada
adsorben. Karakteristik bercak dilihat dari nilai Rryang dihasilkan (Christian, 2004).
Ja,ak y.ng
ditempuh
f"s EeEk
l{t=
A Jarak ydnS
B ditmpuh zd
- A
Samp€l yilg
dimo kan
Fase gerak pada KLT dapat dipilih menggunakan acuan pustaka. Sistem yang
paling sederhana dari fase gerak ialah dengan menggunakan campuran 2 pelarut
organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudatr diatur sedemikian
rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut ini beberapa petunjuk
o Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga R1
(Rohman,2009')
23
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya
jika penotolan sampel dilakukan dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit
mungkin. Sebagaimana dalam prosedur kromatografi yang lain, jika sampel yang
digunakan terlalu banyak maka akan menurunkan resolusi. Penotolan sampel yang
tidak tepat akan menyebabkan bercak melebar dan puncak ganda. Diameter bercak
sedikit 0,5 pl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 pl maka
Tepi bagian bawah lempeng lapis tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan ke
dalam fase gerak kurang lebih 0,5-l cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus
dibawah lempeng yang telah berisi totolan sampel (Gandjar dan Rohman,2007).
fase gerak yang digunakan. Untuk melakukan penjenuhan fase geralg biasanya bejana
dilapisi dengan kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung atas kertas saring
maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh (Gandjar dan Rohman,2007).
Cara kerja penjenuhan yaitu dengan menempatkan pada dua sisi bejana
kromatografi,2helai kertas saring, tinggi 18 cm, lebar sama dengan panjang bejana.
Masukkan lebih kurang 100 ml pelarut ke dalam bejana kromatografi hingga tinggi
pelarut 0,5 cm sampai I cm, tutup rapat dan kertas saring harus basah seluruhnya.
24
Pada dasar bejana, kertas saring harus tercelup ke dalam pelarut. Totolkan larutan
sampel dan standar, menurut caru yang tertera pada masing-masing monografi
biarkan kering. Tutup rapat dan biarkan hingga pelarut merambat 10-15 cm di atas
titik penotolan, keluarkan dan keringkan. Amati bercak dengan sinar ultraviolet pada
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Ukur dan catat jarak bercak dari titik
penotolan dan catat panjang gelombang untuk tiap bercak yang tampak. Jika perlu,
semprot bercak dengan peraksi yang tertera pada monografi, amati dan bandingkan
melingkar dan mendatar. Dari beberapa teknik tersebut teknik pengembangan menaik
merupakan cara yang paling populer dibandingkan dengan cara lain (Gandjar dan
Rohman,2007).
arah peng,t'mbangan
berwarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara fisika. Cara fisika yang dapat
yang dapat berfluoresensio membuat bercak akan terlihat jelas (Gan-djar dan Rohman,
2007).
kuantitatif untuk mengukur densitas atau kerapatan bercak senyawa yang telah dielusi
pada pelat KLT. Metode ini merupakan metode yang relatif mudah dan cepat
dibandingkan dengan metode lain. Pengukuran kadar atau densitas bercak didasarkan
pada penyerapan sinar monokromatik (absorbsi) atau flouresensi oleh bercak senyawa
pada pelat KLT yang digambarkan dengan bentuk kurva absorbansi sinar oleh bercak
(kromatogram). Pengujian sampel dan senyawa standar yang akan diuji harus
dilakukan dibawatr kondisi pengujian yang sam4 agar diperoleh hasil absobansi yang
interaksi radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan bercak pada KLT.
dengan sumber sinar dalam bentuk celah (s/ir) yang dapat dipilih baik panjangnya
maupun lebarnya. Sinar yang dipantulkan diukur dengan sensor cahaya (fotosensor).
Perbedaan arrtara sinyal daerah yang tidak mengandung bercak dengan daerah yang
mengandung bercak dihubungkan dengan banyaknya analit yang ada melalui kurva
kalibrasi yang telah disiapkan dalam lempeng yang sama. Pengukuran densitometri
dapat dibuat dengan absorbansi atau dengan fluoresensi. Untuk scanning dengan
analit (senyawa) yang berfluoresensi dan menghasilkan Area Under Curve (AUC)
H. Landasan Teori
Dalam pembuatan simplisia rimpang temulawak dapat dilakukan dengan
masing tahapan tersebut dapat mempengaruhi kadar air dalam simplisia yang
rimpang temulawak.
Pertumbuhan kapang ini sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan
karena kondisi tersebut dapat mempengaruhi kadar air yang terkandung dalam
dalam keadaan terbuka dapat meningkatkan kadar air dalam simplisia. Hal ini dapat
Kondisi penyimpanan simplisia dalam waktu yang lama dan tidak terkontrol dapat
terjadinya kerusakan hati, serta pada kasus serius dapat menimbulkan kematian.
Densitometri.
28
L Hipotesis
cemaran aflatoksin.
a
J. Kadar cemaran aflatoksin dalam rimpang temulawak yang dikeringkan dan
yang ada, kemudian hasil yang didapatkan dibandingkan dengan standar. Penelitian
l. Klasifrkasi Variabel
29
30
2. Delinisi Operasional
cahaya.
nm.
C. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas (Pyrex),
Balance Model AB-204, Mettler Toledo), Densitometer (Camag), pinset, pipa kapiler,
D. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temulawak yang
Yogyakarta, etanol p.a (Merck), toluene p.a (Merck), kloroform p.a (Merck), aseton
teknis, metanol p.a (Merck), standar kurkumin, standar aflatoksin (Merck), g/ass
tiap blok penjual simplisia sehingga total simplisia rimpang temulawak yang
ciri-ciri kulit luar rimpang tidak kering, berukuran sebesar kepalan tangan orang
32
dewasa" masih terdapat tanah pada rimpang dan belum mengatami proses
basah,
a. Sortasi basatr
kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan tanaman (rimpang), seperti
tanah, kerikil, rumput, akar yang rusak, bagian tanaman lain selain akar, dan
lainJain.
b. Pencucian
Rimpang temulawak basatr dicuci dengan air bersih untuk
perlahan dan teratur) 2 kali menggunakan air mengalir. R.impang yang telatr
c. Perajangan
stainless. Arah irisan satu arah seragam. Tebal irisan rimpang temulawak
d. Pengeringan
bawatr naungan atau ditutup kain hitam. Pengeringan dilakukan selama 6 jam
mulai dari pukul 07.00 sampai pukul 13.00. Kemudian setelah pukul 13.00,
yang cukup terlindungi dmi cuaca panas atau hujan. Pada hari berikutmya
prosedur diulangi sampai hari kedua dan hari ketiga hingga rimpang menjadi
Sortasi kering
bagran tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor lain yang masih ada dan
pada tiap blok penjual simplisia sehingga total simplisia rimpang temulawak yang
didapatkan sebanyak l0 kg. Ciri+iri simplisia yang diambil adalah berupa simplia
temulawak.
6. Penyerbukan simplisia
8. Pembuatan pelarut
250 rnl. Eluen kemudian dimasukan dalam bejana kromatografi lalu dijenuhkan
selama + 15 menit.
heksana. Lapisan bawah diambit (lapisan atas dibuang), diekstraksi lagi dengan
Lapisan bawah diambil (lapisan atas disisihkan), ditampung dalam cawan petri
lapisan bawah diambil. Ditampung pada cawan petri A. Filtrat diuapkan di atas
waterbath.
Kolom dibuat dengan cara memasukkan sedikit glass wool pada pipet tetes
kecil, kemudian ditambahkan dengan silika gel setinggi 5 cm dari pemukaan g/ass
wool.Lahtpada permukaan atas silika gel ditutup dengan sedikit gloss wool.
0$6 mm
dan diuapkan di atas waterbqth hingga kering. Saat akan ditotolkan, sampel
Pelat KLT (Silika gel 60 GFzs+) diaktifkan dengan pemanasan pada oven
dengan suhu 1050C selama 15 menit. Setelah itu pelat didinginkan beberapa saat,
Sampel dikembangkan pada fase gerak (pelat dicelupkan dalam bejana) hingga
batas akhir (arak pengembangan l0 cm) dari penotolan. Pelat KLT diambil,
254 dan 365 nm. Bercak berwarna biru atau hijau kebiruan menandakan aflatoksin
Ef=
Larutan tersebut ditotolkan pada pelat silika sebanyak 2,O pl: 4,0 pl; 6,0 pl
gerak kloroform- aseton (9 : 1). Kadar yang diperoleh ditetapkan seoara KLT-
Densitornetri.
Pemisahan dilakukan dengan KLT dengan fase diarn silika gel, dan fase
larutan sampel tersebut ditotolkan pada pelat dengan mikropipet sebanyak 5pl
kemudian dielusi.
Konsentrasi senyawa baku aflatoksin dan sampel yang telah dielusi diukur
area di bawatr kurva dari bercak yang digambarkan dengan satu puncak
sekaligus dengan luas area di bawah kurva (AUC). Penelusuran berca! untuk
F. Analisis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kadar air serbuk
rimpang temulawak yang dikeringkan dan serbuk simplisia rimpang temulawak yang
densitometer. Kadar air serbuk rimpang temulawak yang dikeringkan dan serbuk
dengan R; standar aflatoksin. Bila bercak sampel memiliki warna dan Rr yang sama
dengan bercak standar aflatoksin, maka sampel mengandung aflatoksin. Namun bila
bercak sampel tidak memiliki warna dan Rr yang sama dengan bercak standar
Y:bx*a
dimana y : AUC
b : tetapan regresi
a : koefisien regresi
masing sampel. Kadar aflatoksin dalam rimpang temulawak yang dikeringkan dan
test.
BAB IV
IIASIL DAN PEMBAHASAI\I
A. Pengumpulan Bahan
yang besar di daerah Yogyakarta dan memiliki banyak konsumen baik yang berasal
dari dalam maupun luar daerah Yogyakarta. Di Pasar Beringharjo rimpang dan
simplisia temulawak yang diperdagangkan berasal dari petani berbagai daerah yang
berbeda-beda serta disimpan dalam kondisi dan tempat penyimpanan yang berbeda-
dilakukan pada bulan-bulan tersebut karena pada bulan tersebut merupakan musim
kadar air yang rendatr dan memiliki kandungan senyawa aktif yang banyak. Metode
yang menjual bahan obat tradisional ada 4 blok. Pada masing-masing blok dimbil 2,5
kg rimpang temulawak basah dan simplisia rimpang temulawak, sehingga total berat
4l
42
monografi standar tanaman obat. Monografi yang diacu dalam penelitian ini adalatr
organoleptik (bau, warna, rasa), mal<roskopik dan mikroskopik. Bahan yang akan
Dari hasil identifikasi didapatkan data yang menunjukryr bahwa bahan yang
dan simplisia rimpang temulawak. Berikut ini adalatr tabel hasil identifikasi yang
dilakukan:
Tabel L Hasil identifikasi rimpang temulawak basah dan simplisia rimpang temulawak
temulawak yang diperdagangkan di Pasar Beringharjo memiliki rasa dan bau yang
hampir mirip jika dibandingkan dengan keterangan pada acuan yang digunakan. Pada
hasil identifikasi secara makroskopik ciri utama dari ri4p'dng segar adalah wama
44
rimpang yang jingga kecoklatan dan bentuk tekstur kulit rimpang yang berlapis
berwarna coklat. Dari hasil identifikasi secara mikroskopik pada irisan melintang
rimpang temulawak terlihat sel-sel penanda yang dimiliki oleh rimpang temulawak
yaitu sel-sel minyak dan butir pati berwarna jingga serta berkas pembuluh kolateral.
lonjong atau jorong dan berwarna jingga kecoklatan. Dari hasil identifikasi secara
fragmen pengenal seperti rarnbut penutup, serabut sklerenkim dan ftagmen jaringan
monografi yang diacu. Hal ini menunjukan bahwa baik rimpang maupun simplisia
yang digunakan dalam penelitian merupakan rimpang basah dan simplisia rimpang
matahari dipilih karena merupakan metode pengeringan yanglelatif lebih mudah dan
masih banyak digunakan oleh pedagang dan produsen simplisia di Pasar Beringharjo
45
1. Sortasi basah
menjadi media tumbuhnya jamur. Kotoran atau bahan yang berhasil dipisahkan
dari rimpang temulawak basalr setelah diterima dari pedagang antara lain
seperti tanah, kerikil, rumput, akar yang telah lapuk, daun, dan kulit rimpang
2. Pencucian
lain seperti tanah, kulit rimpang temulawak yang telah lapuk, fragmen daun dan
agar tanah dapat hilang dari rimpang temulawak. Kemudian rimpang dicuci
kembali untuk menghilangkan kulit rimpang temularyak yang telah lapuk dan
agar kandungan senyawa aktif dalam rimpang tidak terlarut dalam air pencuci
yang nantinya dapat mengakibatkan turunnya kualitas dari simplisia yang akan
harus segera dihilangkan karena air sisa pencucian dapat menjadi sumber
kontaminan baru pada simplisia yang akan dihasilkan atau dapat menjadi media
dengan menggunakan pisau berbahan stoinless atau anti karat dengan ketebalan
3-5 mm. Penggunaan pisau anti karat bertujuan agar tidak terjadi reaksi antara
pada suhu yang tinggi karena dapat mengakibatkan perubahan struktur kimia
Pengeringan
28-300 C. Pengeringan pada suhu yang terlalu tinggi dapat berpotensi merusak
enzimatik dalam simplisia dengan cara mengurangi kadar air dalam simplisia
tersebut.
Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu dapat
menjadi media pertumbuhan kapang. Enzim tertentu dalam sel masih dapat
bekerja menguraikan senyawa ahif sesaat setelah sel mati dan saat sel masih
mengandung air pada kadar tertentu. Pada tumbuhan yang masih hidup
pertumbuhan kapang dan reaksi enzimatik yang merusak tidak terjadi karena
perlu ditutup dengan kain hitam. Kain hitam ini berfungsi untuk mencegah
papaf,an sinar UV. Bila kurkumin terkena cahaya, maka akan terjadi
yang dihasilkan sudah cukup kering dengan indikasi bahwa simplisia tersebut
mudatr dipatahkan dengan tangan. Pada penelitian ini lama waktu pengeringan
langsung dengan kadar air dari simplisia rimpang temulawak yang dihasilkan.
Jika kadar air dalam simplisia rimpang temulawak terlalu tinggi maka
Menurut Diener dan Davis (1969) kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus
paraciticus dapat tumbuh pada setiap bahan atau makanan bila mengandung
kadar air sekitar l3o/o-14%o dan dapat menghasilkan aflatoksin pada kisaran
Sortasi kering
temulawak kering dari bahan pengotor atau asing yang kemungkinan ikut
kering bahan pengotor yang terpisahkan antzra lain adalah fragmen akar, daun,
dan kerikil. Kemungkinan pengotor tersebut terbawa oleh angin pada saat
dilakukan pengeringan.
tidak tahan cahaya dan mudatr menyerap air maka dalam penelitian ini
dalam wadah tertutup atau tidak tembus cahaya. Hal ini bertujuan untuk
m:eqiaga kualitas simplisia berkaitan dengan kadar air, keawetan, serta
komposisi zat aktifiry a.
penyerbukan ini bertujuan untuk memperkecil ukuran dari simplisia agar pada proses
ekstraksi luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut semakin besar.
50
cara ini merupakan cara yang relatif lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan cara
lain. Toluen yang digunakan memiliki sifat non-polar sedangkan air bersifat polar
sehingga kedua cairan tersebut tidak akan saling campur. Toluen memiliki titik didih
110.60 C dengan berat jenis 0.865 g/ml, sedangkan air memiliki titik didih 1000 C
sempurna antara air dan toluen. Air akan berwarna sedikit keruh seilangkan toluen
tidak berwarna atau jernih. Dari hasil perhitungan didapatkan data bahwa pada
Yogyakarta memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan simplisia
rimpang temulawak hasil pengeringan yang dibuat. Berikut ini adalah hasil
pengukuran kadar air terhadap simplisia rimpang temulawak hasil pengeringan dan
Yogyakarta:
Replikasi
Uraian
I II III ry v
Bobot serbuk (e) 20.00 20.00 20.00 20.00
Volume air (ml) 1.90 1.85 1.80 1.75 e00
Kadar ur (%;ovlb\ 9.s0% 9.25% 9.00o/o 8.75% 10.00 %
Rerata Kadar air 9.30+{.481%
5l
Dari pengukuran tersebut terlihat bahwa kadar air rata-rata simplisia rimpang
Indonesia yaitu kurang dari l0 Yo blv. Kandungan air yang rendah ini kemungkinan
karena rimpang dipotong dengan ketebalan yang seragam yaitu 3-5 mm dan
dikeringkan pada kondisi cuaca yang cerah pada musim kemarau, sehingga
yang dihasilkan disimpan dalam wadah tertutup rapat sehingga dapat mencegah
melebihi persyaratan baku yang ada. Hasil pengukuran kadar air dapat dilihat pada
tabel III.
Replikasi
Uraian
I II ru TV V
Volume air(ml) 20.00 20.00 20.00 20,00 20.00
Bobot serbuk (e) 2,25 2,30 2,m 2.r0 2.r0
Kadar air (%ovft.l 11.25 Yo 11,50 Yo 1.0.00 o/o
rc.s% 10.5%
Rerata Kadar air t0.75fi.6r2%
produsen simplisia kurang memperhatikan faktor kekeringan dari simplisia yang akan
dipasarkan.
rimpang temulawak tersebut. Hal ini kemungkinan karena di pasar tersebut simplisia
hanya disimpan di dalam kemasan yang tidak kedap udara atau disimpan dalam
keadaan terbuka sehingga kadar air dalam simplisia meningkat. Peningkatan kadar air
pori-pori yang mampu menyerap kelembaban lingkungan dan menjebak air yang
masuk.
jamur atau kapang pada simplisia rimpang temulawak tersebut. Hal ini diperkuat
dengan kondisi fisik dari beberapa sampel simplisia rimpang temulawak yang
atau kapang. Sedangkan pada rimpang temulawak yang dikeringkan, secara fisik
Keterangan:
A: Simplisia rajangan rimpang temulawak yang dikeringkan
B = Simplisia rajangan rimpang temulawak yang diperoleh dari Pasar
Beringharjo Yoryglarta
C = Simplisia rajangfln rimpang temulawak yang ditumbuhi kapang.
Sebelum dilakukan penotolan sampel uji pada plat kromatografi lapis tipis
diperlukan untuk mengekstraksi senyawa yang akan diuji. Prinsip dari ekstraksi yang
dilakukan adalatr polaritas dan kelanrtan senyawa dalam pelarut yang digunakan.
sebanyak lima kali bertujuan untuk melihat keterulangan hasil uji agar hasil yang
didapatkan memiliki reliabilitas yang baik. Sampel kemudian diekstraksi satu demi
satu menggunakan pelarut metanol : aquadest (80:20) yang bersifat poiar sehingga
54
untuk senyawa ata'u zat yang bersifat polar akan terbawa oleh pelarut tersebut dan
senyawa yang bersifat non polar akan terpisah. Campuran kemudian divortex selama
Filtrat hasil penyaringan kemudian diambil dan ditambahkan NaCl 0,1% dan
heksan. Fungsi dari NaCl adalah untuk mengikat air dan fungsi dari heksan adalah
Setelah l0 menit dilakukan ekstraksi, filtrat lalu ditampung dan selanjutnya diuapkan
agar kloroform dapat menguap. Setelah kering maka akan didapatkan filtrat kering
F. Kromatografi Kolom
dapat mengganggu hasil dari pemisahan bercak saat proses elusi. Preparasi ini
penting dilakukan agar fraksi yang nantinya akan ditotoikan pada kromatografi lapis
tipis tidak mengandung banyak senyawa yang dapat mengganggu pemisahan bercak.
Kolom yang telah dibuat dicuci dengan heksan untuk melarutkan dan menghilangkan
Filtrat kering yang telah diperoleh dari preparasi sampel kemudian dilarutkan
heksan, eter, kloroform, kloroform-aseton (9:l) dan hasil dari elusi dengan fase gerak
Filtrat yang telah terlarut dalam metanol selanjutnya ditotolkan pada fase
yang telah diukur dimasukan dalam oven dengan suhu 1050 C, selama 15 menit. Hal
ini dilakulon untuk mengeringkan plat KLT dari kelembaban yang mungkin
terabsorbsi oleh silika selama penyimpanan serta untuk memperlebar pori-pori silika
bercak atau totolan saat elusi. Pengaruh tersebut dapat mengakibatkan pengekoran
G. Identifrkasi Aflatoksin
kurkumin dilakukan pada jarak antar totolan sejauh I cm pada pelat KLT. Hal ini
dilakukan agar bercak tidak saling bersinggungan atau memisah secara sempurna
pada saat elusi. Hal ini penting agar bercak tunggal dapat mempresentasikan senyawa
pdenuhan ini adalah agar kondisi di dalam bejana menjadi konstan dan tidak
memasukan kertas saring yang telatr dipotong sesuai ukuran dan diletakan sec,ara
vertikal dengan bagian dasar kertas yang terrcelup sebagian ke dalam fase gerak yang
digunakan. Proses penjenuhan dihentikan dengan indikator semua kertas saring telatr
terbasahi oleh fase gerak. Setelah hasil elusi didapatkan maka bercak yang teramati di
bawah sinar UV 254 atau 365 nm ditandai dan diukur nilai Rs-nya. Perhitungan nilai
& dihitung dari jarak bercak yang terelusi dibagi dengan jarak rambat eluen atau fase
gerak.
tetap, karena kondisi pengujian serta bahan yang digunakan berbeda. Oleh karena itu
pada pelat KLT yang digunakan untuk identifikasi suatu senyawa perlu ditambahkan
dua bercak dengan harga Rryang kurang lebih sama . Oleh karena itu padapelat KLT
yang digunakan dalam penelitian ini diberi senyafva standar aflatoksin dan standar
kurkumin, sebagai pembanding untuk melihat flai R1 yang dihasilkan. Berikut ini
adalalr hasil kromatogram yang dideteksi menggunakan lampu UV 254 dan 365 nm.
57
1,0-
0,5 -
0,0-
A K r il liltv V
UV 254 nm UV 365 nm
Gambar 9. Kromatogram dibawah sinar UV 254 & 365 nm dengan sampel rimpang
temulawak yang dikeringkan
Keterangan:
A : Standar Aflatoksin
K : Standar Kurkumin
I ,II, ilI, IV, V : Replikasi penotolan sampel
bahwa pada kromatogram standar kurkumin menghasilkan satu buah bercak senyawa
kurkumin, sedangkan pada kelima replikasi penotolan sampel menghasilkan dua buah
bercak. Pada standar aflatoksin, kromatogram bercak aflatoksin tidak terlihat. Hal ini
eksitasi 365 nm, sehingga pada sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm bercak
terlihat bahwa pada kromatogram standar aflatoksin muncul empat bercak dengan
wama kebiruan. Keempat bercak tersebut merupakan bercak senyawa aflatoksin 81,
58
Bzo Gr dan Gz. Pada kelima replikasi sampel terlihat tiga kromatogram bercak
rimpang temulawak.
1n-
0,5 -
0,0 -
UV 254 nm UV 365 nm
Gambar 10. Kromatogram dibawah sinar UV 254 & 365 nm dengan sampel simplisia
rimpang temulawak yang diperdagangkan
di Pasar Beringharjo Yogyakarta
Keterangan:
A : Standar Aflatoksin
K : Standar Kurkumin
I ,II, IlI, IV, V : Replikasi penotolan sampel
Pada kromatogram untuk sampel simplisia rimpang temulawak yang
dibawah sinar UV 254 nm bercak standar aflatoksin tidak telihat, namun pada deteksi
berflouresensi kuat beruama biru atau hijau kebiruan pada lempeng KLT di bawah
senyawa ini memiliki struktur senyawa yang rigid, kaku, planar dan memiliki ikatan
memiliki struktur yang kaku (rigid) dan memiliki sistem ikatan rangkap tekonjugasi,
sehingga akan mampu menyerap secara kuat di daerah 200-800 nm pada radiasi
Aflamxin G,
UV 365 nm, kemudian bercak yang teramati diukur nilai Rrnya. Berikut ini adalah
temulawak hasil pengeringan dan simplisia temulawak yang diperoleh dari pedagang
Tabel IV. Pengukuran nilai Rr pada kromatogram di bawah sinar LIV 365 nm
tersebut merupakan bercak dari aflatoksin 81 dengan nilai Rr 0,41;82 dengan nilai R;
0,39; Gr dengan nilai Rr 0,32; dan G2 dengan nilai Rr 0,29.Ha1ini dapat disimpulkan
6l
karena dari hasil pengamatan terlihat bahwa pada bercak dtandar aflatoksin dengan
nilai Rr 0,41 dan 0,39 memiliki wama pendaran kebiruan sedangkan dua bercak
Dari hasil identifrkasi dan pengukuran nilai Rr diketahui bahwa pada sampel
Yogyakana terdapat salah satu bercak yang memiliki nilai Rr yang mirip dengan nilai
berwarna hijau kekuningan dengan nilai & 0,32-0,33 sedangkan bercak standar
standar aflatoksin Gr adalatr 364 nm, sedangkan bercak pada kromatogram sampel
memiliki panjang gelombang maksimum antara 423 nm. Hasil sccnning panjang
gelombang menggunakan densitometer dapat dilihat pada Gambn 12 dan Gambar 13.
62
il
I
2OO.O 250_0 3OO.0 r-j 4{m.0
t{l
aa
ry
puncak berganda atau terbelah. Kemungkinan munculnya dua puncak tersebut karena
senyawa tidak dapat memisah dengan sempurna, sehingga menghasilkan dua puncak
kandungan dria senyawa ymg berbeda yang memiliki polaritas yang mirip dan tidak
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan batrwa bercak pada densitogram sampel
bukan merupakan senyawa aflatoksin, namun senyawa lain yang terkandung dalam
sampel yang memiliki polaritas yang mirip dengan standar aflatoksin yang
digunaltan. Hal ini dapat disimpulkan karena pada deteksi di bawah sinar UV 365,
halnya pada bercak standar aflatoksin. Selain itu bercak sampel tersebut memiliki i'
maksimum dan bentuk kurva densitogram yang berbeda dengan standar aflatoksin.
menggunakan sinar UV 365 nm dapat diketahui bahwa baik pada sampel rimpang
Yogyakarta" kemungkinan karena kandungan air yang terdapat pada simplisia yang
masih relatif sedikit dan kemungkinan kapang yang tumbuh pada beberapa simplisia
Dari hasil pengujian ini dapat disimpulkan bahwa simplisia temulawak kering
dan Persyaratan Obat Tradisional seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri
maksimal aflatoksin yang diperbolehkan dalam obat tradisional, yaitu kurang dari 30
bpj.
BAB V
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil uji yang dilakukan, rimpang temulawak yang dikeringkan dan
&
65
B. Saran
pestisida.
DAFTAR PUSTAKA
Christian, G. D., 2004, Analytical Chemistry 6th Edition, 627-629, John Wiley &
Sons,Inc., Washington
Dean, J. A., 1995, Analitical Chemistry Handbook,4. ll3, R.R. Donnelley and Sons
Company, New York
Diener, U.L. and N.D. Davis. 1969. Aflatoxin formation by Aspergrllus flavus.77-
105,In L.A. Goldlatt (Ed.). Aflatoxin. Academic Press, New York
Gandjar dan Rohman, 2007, Kimia Farmasi Analisis, 353-363, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
66
67
Rohman, A., 2009, Kromatografi untuk Analisis Obat, 45-54, Gratra Ilmu,
Yogyakarta
Sampurno, H., 2005, Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik, Badwr
POM, Jalanu
Shannon, G.M et all, 1983, Extraction and Thin Layer Chromatography of Aflatoxin
BI in Mixed Feeds, Journal of the Association of Official Analyticol
Chemists, Vol. 66, No. 3,582-586
Larnpiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Berftas pembuluh
kolateral
Sel mlnpk
Foto irisan melintang rimpang temulawak basah yang diamati dengan mikroskop,
pe$esaran 40 x
Lampiran 5
Serabut
klerenkim
Butirpati J"T[ru?r#,
Foto fragmenpenanda serbuk simplisiarimpang temulawakyangdiperdagangkan di
Pasar Beringharjo Yogyakarta yang diamati dengan mikroskop, perbesaran 40 x
7l
Lampiran 6
Keterangan:
1: rambut penutup 7 = parenkim korteks
2: epidermis 8 = sel minyak
3 : hipodermis 9 = butir pati
4 : periderm l0: endodermis
5 : berkas pembuluh 11: parenkim silinder
kolateral pusat
6 : sklerenkim
72
Lampiran 7
o!D
Z?
BIOGRAFI PENT]LIS
Malrasiswa pada tahun 2009. Selain itu, penulis juga mengikuti kegiatan di
Titasi (Tiga Hari Temu Akrab Farmasi) tahun 2007, dan menjadi
Event Cup)tahw2008.