Anda di halaman 1dari 21

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Corporate Social Responsibility (CSR)

Menurut fredrick (1994) corporate social responsiveness menunjukan

kapasitas suatu korporasi dalam memberikan respon terhadap tekanan sosial.

Tindakan yang nyata sabagai suatu tanggapan atau untuk memperoleh bentuk

tanggapan secara umum bagi masyarakat merupakan fokus dari konsep

corporate social responsiviesness.

Sudarto dalam Listyanti (2011) mendefinisikan tanggungjawab sosial

dan lingkungan perusahaan sebagai bentuk kepedulian perusahaan untuk

menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan

manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan

prosedur (procedure) yang tepat dan professional.

Sulistyo dalam Megawati (2016), CSR sebagai kepedulian perusahaan

yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan

pembangunan manusia dan lingkungan secara berkelanjutan berdasarkan

prosedur yang tepat dan profesional.

Perusahaan dalam merancang maupun melaksanakan program tanggung

jawab sosial dan lingkungan tidak terbatas pada tanggungjawab yang bersifat

reaktif, yaitu tanggung jawab yang dilakukan karena perusahaan telah

menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan. Corporate

12
13

social responsibility menurut (Hackston dan Milne, dalam Sembiring 2005)

merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari

kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan

dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung

jawab organisasi (khususnya perusahaan), di luar peran tradisionalnya untuk

menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang

saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai

tanggungjawab yang lebih luas dibanding hanya mencari keuntungan.

Konsep CSR saat ini dapat dipandang sebagai titik awal maupun

katalisator bagi lahirnya konsep-konsep yang memiliki keterkaitan sangat erat

dengan CSR. Konsep-konsep CSR adalah manajemen, para pemangku

kepentingan, corporate social performence (CSP), corporate social

responsiveness, business ethics, dan corporate citizenship. Selain itu, terdapat

dua konsep lain yang perlu dibahas secara khusus yakni konsep corporate

governance dan sustainable development yang juga memiliki hubungan dengan

CSR.

Daugman dan Hargreaves dalam Hasibuan (2001) menyatakan bahwa

tanggung jawab perusahaan dapat dibagi menjadi tiga level sebagai berikut :

a. Basic Responsibility (BR)

Pada level pertama, menghubungkan tanggung jawab yang pertama dari

suatu perusahaan, yang muncul karena keberadaan perusahaan tersebut

seperti, perusahaan harus membayar pajak, memenuhi hukum, memenuhi


14

standar pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham. Bila tanggungjawab

pada level ini tidak dipenuhi akan menimbulkan dampak yang sangat serius.

b. Organization Responsibility (OR)

Pada level kedua ini menunjukkan tanggungjawab perusahaan untuk

memenuhi perubahan kebutuhan “Stakeholder” seperti pekerja, pemegang

saham dan masyarakat di sekitarnya.

c. Sociental Responses (SR)

Pada level ketiga. Menunjukkan tahapan ketika interaksi antara bisnis

dan kekuatan lain dalam masyarakat yang demikian ehingga perusahaan

dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan, terlibat dengan

apa yang terjadi dalam lingkungannya secara keseluruhan.

Sebagaimana dapat dilihat pada konsep corporate social performance

mencangkup di dalamnya konsep CSR yang dikemukakan oleh Wartick dan

Cochran (1985) disebut sebagai prinsip CSR dan corporate social

responsiveness. Adapun konsep CSR sendiri mencangkup di dalamnya konsep

corporate citizenship. Konsep CSR juga mengandung di dalamnya unsur

corporate governance yang akan menunjang keberhasilan perusahaan di dalam

memperoleh laba sebagai salah satu kategori CSR yakni economic

responsibilities. Sedangkan corporate citizenship merupakan bagian dari CSR

yang berkaitan discretionary responsibilities. Dalam hal ini, perusahaan seperti

halnya warga negara melakukan berbagai macam kebijakan untuk dapat


15

diakui/memiliki reputasi sebagai warga negara yang baik (good citizen). CSR

merupakan suatu konsep organisasi, dalam hal ini lebih dispesifikkan kepada

perusahaan, memiliki sebuah tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan,

pemegang saham, komunitas, dan lingkungan dalam segala aspek operasional

perusahaan.

Budi (2008) Pendapat dari Uni Eropa yaitu: “CSR isconcept whereby

companies integrate social and enviromental concerns in their business

operations and their intraction with their stakeholder on a voluntary basic”. Uni

Eropa dalam bingkai kerja (framework) mengenai CSR yang dirangkum dalam

EU’s Green Paper sebagai code of conduct yang bersifat sukarela, dan bukan

dalam kewajiban. Menurut mereka, CSR sudah menjadi tradisi dalam

perusahaan Eropa untuk membuat produk yang bersahabat dengan lingkungan

sekitar atau menetapkan upah minimum buruh yang cukup. Hanya hal tersebut

didukung dengan upaya-upaya perusahaan Eropa untuk membuat standar yang

mengatur kondisi sosial, baik di antara anggota Uni Eropa maupun dengan

eksternal partner.

Budi (2008) Thomas Mclnerney atau Pablo Nieto mengatakan, penerapan

kewajiban CSR dianggap perlu agar supaya pelaksanaannya lebih efektif,

terukur dan mempunyai konsep yang standar dari pada didasarkan dengan

prinsip sukarela. Pelaksanaan CSR secara sukarela hanya akan dilakukan oleh

koporasi yang mempunyai perhatian dan kesadaran pada persoalan sosial

sekitarnya. Sementara tidak ada daya paksa bagi korporasi yang tidak
16

melaksanakan. Hal ini menjadi kendala bagi masyarakat atau otoritas, karena

tidak mengetahui dengan pasti bahwa korporasi telah melanggar norma-norma

yang ada atau tidak.

Dalam Undang-Undang no 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas

pasal 74 ayat (2) menyebutkan dengan tegas bahwa: “Tanggungjawab Sosial dan

Lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan

diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan

memperhatikan kepatutan dan kewajaran”

Sementara itu, secara implisit tanggungjawab sosial juga diatur dalam

Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha

Milik Negara (BUMN) yang menyebutkan: “BUMN dapat menyisihkan

sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta

pembinaan masyarakat sekitar BUMN”.

Ketentuan tersebut diperjelas melalui peraturan Mentri Negara Badan

Usaha Milik Negara Nomor Per-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan

Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan

(selanjutnya ditulis Per-05/MBU/2007). Dalam Pasal 1 angka 6 Per-

05/MBU/2007 tersebut Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan

selanjutnya ditulis PKBU. Antara BUMN dengan Usaha Kecil dilakukan dengan

pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Kewajiban melaksanakan CSR juga

diberlakukan bagi perusahaan yang melakukan penanaman modal di Indonesia


17

sebagai mana di atur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

penanaman modal yang tertuang dalam pasal 15, pasal 17, dan pasal 34.

Salah satu bentuk yang dilakukan perusahaan untuk melakukan kegiatan

sosialnya (CSR) adalah dengan melakukan pengungkapan pada laporan

keuangan. Pengungkapan adalah penyampaian informasi yang ditujukan kepada

pihak-pihak yang berkepetingan. Tujuannya adalah agar perusahaan dapat

menyampaikan tanggungjawab sosial yang telah dilaksanakan oleh perusahaan

dalam periode tertentu. Sari (2012) penerapan CSR dapat diungkapkan

perusahaan dalam media laporan tahunan (annual report) perusahaan yang berisi

laporan tanggungjawab sosial perusahaan selama kurun waktu satu tahun

berjalan.

Perbankan syariah di jelaskan dalam pasal 1 undang-undang no 21 tahun

2008 adalah bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang

terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

(BPRS). Prinsip syariah adalah prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan

berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki

kewewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah. Bank syariah sebagai

salah satu lembaga keuangan yang sudah eksis ditingkat nasional maupun

internasional yang termasuk kedalam perusahaan Perseroan Terbatas (PT), harus

menjadi lembaga keuangan percontohan dalam menggerakkan program CSR.

Pelaporan CSR perbankan syariah bukanlah hanya untuk memenuhi amanah

global millenium goals development yang telah dicanangkan PBB, akan tetapi
18

lebih jauh dari itu bahwa tanggungjawab sosial bank syari’ah dibangun atas

dasar landasan falsafah dan tasawwur (world view) Islam yang sangat kuat untuk

menjadi salah satu lembaga keuangan yang dapat mensejahterakan masyarakat

banyak.

Berdasarkan pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,

disebutkan bahwa Bank Syariah wajib menjalankan fungsi sosial dalam bentuk

lembaga baitulmal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah,

hibah, atau dana sosial lainya (antara lain denda terhadap nasabah atau ta’zir)

dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Selain itu, bank syariah

juga dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan

menyalurkanya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak

pemberi wakaf (wakif).

B. Karakteristik Perusahaan

a) Ukuran Perusahaan

Perusahaan itu bermacam-macam besarnya, ada yang kecil, sedang,

besar dan bahkan ada yang raksasa. Tetapi ukuran apa yang dipakai untuk

menentukan besar kecilnya perusahaan itu, sebenarnya tidk ada standar ukuran

yang berlaku umum. Standar yang dibuat itu hanyalah merupakan perkiraan dan

masing-masing standar itu terbatas penerapanya. Lagi pula standar itu berbeda-

beda dari perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainya.

Megawati (2013) Ukuran perusahaan merupakan skala yang digunakan

untuk mengetahui besar kecilnya suatu perusahaan yang dapat ditentukan


19

dengan beberapa hal antara lain, investasi kapital, volume outputnya, kapital

plant, value produknya, jumlah tenaga kerja, jumlah bahan dasar yang dipakai

dan jumlah power yang digunakan.

Besaran perusahaan pada umumnya dinilai dari besarnya aktiva yang di

miliki perusahaan. Bahwa perusahaan yang berukuran kecil akan cenderung

untuk melakukan praktik perataan laba dibandingkan dengan perusahaan besar,

karena perusaan besar akan cenderung mendapatkan perhatian yang lebih besar

dari analis dan investor dibandingakan dengan perusahaan kecil. Sebaliknya

perusahaan dengan aktiva besar kemudian dikategorikan sebagai perusahaan

besar pada umumnya akan mendapat lebih banyak perhatian dari berbagai

pihak seperti, para analis, investor, maupun pemerintah. Oleh sebab itu

perusahaan besar diperkirakan akan menghindari fluktuasi laba yang terlalu

drastis, sebab kenaikan laba akan menyebabkan bertambahnya pajak. Dengan

mengungkapkan kepedulian pada lingkungan melalui pelaporan keuangan,

maka perusahaan dalam jangka waktu panjang bisa terhindar dari biaya yang

sangat besar akibat dari tuntutan masyarakat.

Bisa jadi perusahaan yang kecil akan mengungkapkan lebih rendah

kualitasnya dibanding perusahaan besar. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan

sumber daya dan dana yang cukup besar dalam Laporan Tahunan. Manajemen

khawatir dengan mengungkapkan lebih banyak akan membahayakan posisi

perusahaan terhadap pesaingnya. Ketersediaan sumber daya dan dana membuat


20

perusahaan merasa perlu membiayai penyediaan informasi untuk

pertanggungjawaban sosialnya.

Gunawan (2000) mengemukakan bahwa perusahaan besar dan memiliki

biaya keagenan yang lebih besar tentu akan mengungkapkan informasi yang

lebih luas, hal ini dilakukan untuk mengurangi biaya keagenan yang

dikeluarkan. Lebih banyak pemegang saham akan memerlukan lebih banyak

pengungkapan, hal ini disebabkan oleh tuntutan dari para pemegang saham dan

para analis pasar Modal.

Mengungkapkan kepedulian sosial dan lingkungan melalui pelaporan

keuangan, maka perusahaan dalam jangka panjang akan terhindar dari biaya

besar akibat dari tuntutan masyarakat. Sari (2012) menyatakan bahwa size

memiliki penaruh positif terhadap Corporate Social Responsibility Disclosure,

karena semakin besar aset yang dimiliki perusahaan maka akan semakin luas

Corporate Social Responsibility Disclosure. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2000), Devina (2004), Sulastini

(2007), Sembiring (2005), dan Cahya (2010). Tetapi tidak semua penelitian

mendukung hubungan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan

tanggungjawab sosial perusahaan. Ada penelitian yang tidak berhasil

menunjukan hubungan positif antar kedua variabel tersebut, yaitu penelitian

yang dilakukan oleh dan Rosmasita (2007) dan Marpaung (2008).


21

b) Profitabilitas

Pengertian profitabilitas pada dasarnya berbeda-beda. Pengertian

profitabilitas secara operasional merupakan perbedaan antara pendapatan yang

timbul dari transaksi selama satu periode setelah dikurangi biaya. Profitabilitas

adalah suatu hadiah (reward) bagi kemampuan dan efficiency seseorang atau

pengusahaa itu akan jasa-jasa atau pelayanannya kepada masyarakat.

Definisi lain atas pengertian profitabilitas dikemukakan oleh Baridwan

(1997) profitabilitas didefinisikan sebagai “kenaikan modal (aktiva bersih)

yang berasal dari semua transaksi atau kejadian lain yang mempengaruhi badan

usaha pada suatu periode kecuali yang timbul dari pendapatan (revenue) atau

investasi oleh pemilik.” Profitabilitas untuk pemegang saham (Gray et. al.,

1987). Penelitian ilmiah terhadap hubungan profitabilitas dan tentang tanggung

jawab sosial perusahaan memperlihatkan hasil yang sangat beragam. Akan

tetapi Donovan dan Gibson (2000) menyatakan bahwa berdasarkan teori

legitimasi, salah satu argumen dalam hubungan antara profitabilitas dan

pengungkapan tingkat besarnya dana tanggungjawab sosial adalah bahwa

ketika perusahaan memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi, perusahaan

(manajemen) menganggap tidak perlu melaporkan hal-hal yang dapat

mengganggu informasi tentang sukses keuangan perusahaan. Sebaliknya, pada

saat tingkat profitabilitas rendah, mereka berharap para pengguna laporan akan

membaca “good news” kinerja perusahaan, misalnya dalam lingkup sosial, dan

dengan demikian investor akan tetap berinvestasi di perusahaan tersebut.


22

Selain itu tingkat profitabilitas dapat menunjukkan apakah pengelolaan

manajemen perusahaan dikelola dengan baik atau dan merupakan pendorong

yang terbesar untuk tetap mempertahankan kinerja perusahaan, oleh sebab itu

semakin tinggi profitabilitas suatu perusahaan maka cenderung semakin luas

pengungkapan tanggungjawab sosialnya. Jika dihubungkan dengan teori

agensi, perolehan laba yang semakin besar akan menjadikan perusahaan

mengungkapkan informasi sosial yang lebih luas.

Penelitian yang dilakukan oleh Veronica (2009) menunjukkan adanya

pengaruh positif profitabilitas terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial

perusahaan. Penelitian ini menggunakan Return on Asset (ROA) sebagai alat

ukur profitabilitas perusahaan karena dengan menggunakan rasio ini dapat

mengukur sejauh mana perusahaan menghasilkan laba bersih pada sejumlah

aset tertentu. Sejalan dengan Veronica (2009), Rahma Yuliani (2003) , Sari

(2012) juga menunjukkan hasil yang positif antara profitabilitas terhadap

pengungkapan Tanggungjawab Sosial Perusahaan. Sedangkan menurut

penelitian yang dilakukan oleh Anastasia Indah Ayu Purnama, Anantawikrama

Tungga Atmadja, Nyoman Ari Surya Darmawan (2014) terdapat pengaruh

yang negatif dan signifikan antara profitabilitas perusahaan terhadap

pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dalam laporan tahunan

perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.


23

c) Umur Perusahaan

Umur perusahaan merupakan lamanya sebuah perusahaan berdiri,

berkembang dan bertahan. Umur perusahaan dihitung sejak perusahaan

tersebut berdiri berdasarkan akta pendirian sampai penelitian dilakukan.

Eksistensi suatu perusahaan dapat dilihat salah satunya dari berapa lama

perusahaan itu dapat bertahan untuk terus beroperasi dan menjalankan

bisnisnya. Persaingan uasaha yang ketat antara perusahaan membuat

perusahaan berlomba untuk tetap tampil dan berjaya di mata masyarakat dan

juga para kompetitornya.

Memiliki suatu bisnis atau sebuah perusahaan memang merupakan hal

yang membanggakan, namun juga bukan hal yang mudah untuk dilakukan.

Selain menghasilkan produk-produk yang baik, sebuah perusahaan atau usaha

bisnis harus memiliki sistem yang baik, serta diimbangi dengan integritas yang

baik pula baik dari pemilik perusahaan serta karyawan perusahaan itu sendiri

agar menjadi sebuah perusahaan yang sukses dan bertahan lama. Sebuah

perusahaan dapat dikatakan sukses apabila telah melewati 5-10 tahun,

perusahaan tersebut tetap berdiri atau bahkan terus berkembang serta

mengalami kemajuan yang signifikan. Banyak perusahaan yang dapat

mempertahankan kesuksesannya selama bertahun tahun dan mendapatkan

tempat dihati masyarakat, tetapi tidak sedikit pula perusahaan yang tidak dapat

menjaga kualitas dan kinerja yang baik sehingga perusahaan itu tidak dapat

bertahan lama dan akhirnya gulung tikar.


24

Marwoto dalam Prayogi (2003) menyatakan bahwa umur perusahaan

memiliki hubungan yang positif dengan kualitas pengungkapan sukarela.

Alasan yang mendasari adalah bahwa, perusahaan yang berumur lebih tua

memiliki pengalaman yang lebih banyak dalam mempublikasikan laporan

keuangan. Oleh karena itu umur perusahaan yang semakin banyak akan

semakin luas pula dalam pengungkapan informasi dalam laporan keuangan

tahunan. Sedangkan Sembiring (2003), Marwata (2001), dan Nofandrilla

(2008) tidak menemukan pengaruh yang signifikan.

C. Nilai Perusahaan

Nilai perusahaan dapat diartikan sebagai nilai pasar, karena nilai

perusahaan memberikan kesejahteraan bagi pemegang saham secara maksimal

jika harga saham perusahaan meningkat. Menurut Nurlela dan Islahudin (2008),

untuk mencapai nilai perusahaan umumnya para pemodal menyerahkan

pengelolaannya kepada para profesional. Para profesional diposisikan sebagai

manajer ataupun komisaris.

Suatu perusahaan akan dikatakan memiliki nilai yang baik jika kinerja

perusahaanpun baik. Nilai perusahaan dapat dilihat dari harga sahamnya.

Apabila nilai saham perusahaan tersebut tinggi maka dapat dikatakan nilai

perusahaannya juga baik. Karena tujuan utama yang dimiliki oleh perusahaan

adalah untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui peningkatan pemilik atau

para pemegang saham.


25

Pada dasarnya tujuan manajemen keuangan adalah memaksimumkan

nilai perusahaan. Akan tetapi di balik tujuan tersebut masih terdapat konflik

antara pemilik perusahaan dengan penyedia dana sebagai kreditur. Jika

perusahaan berjalan lancar, maka nilai saham perusahaan akan meningkat,

sedangkan nilai hutang perusahaan dalam bentuk obligasi tidak terpengaruh

sama sekali. Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai dari saham kepemilikan bisa

merupakan indeks yang tepat untuk mengukur tingkat efektifitas perusahaan.

Berdasarkan alasan itulah, maka tujuan manajemen keuangan dinyatakan

dalam bentuk maksimalisasi nilai saham kepemilikan perusahaan, atau

memaksimalisasikan harga saham. Tujuan memaksimumkan harga saham tidak

berarti bahwa para manajer harus berupaya mencari kenaikan nilai saham

dengan mengorbankan para pemegang obligasi.

Kinerja perusahaan akan berjalan dengan baik apabila sesuai dengan

aturan dan proedur yang telah ditetapkan. Apabila kinerja perusahaan terlakana

dengan baik maka nilai perusahaan akan menjadi baik pula sehingga apabila

suatu perusahaan memiliki nilai yang tinggi yang merupakan perusahaan

dengan dmpak besar terhadap lingkungan dan masyarakat akan melakukan

pengungkapan sosial lebih tinggi dibanding dengan perusahaan yang mmiliki

nilai rendah. Rustiarini (2010) meyatakan bahwa perusahaan akan

mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut dapat meningkatkan

nilai perusahaan
26

Salah satu cara yang digunakan untuk menghitung nilai perusahaan

adalah dengan menggunakan Tobin’s Q. Rasio ini dikembangkan oleh James

Tobin (1967). Rasio ini merupakan konsep berharga karena menunjukkan

estimasi pasar keuangan saat ini tentang nilai hasil pengembalian dari setiap

dolar investasi inkremental. Apabila rasio Tobin’s Q di atas satu, ini

menunjukkan bahwa investasi dalam aktiva menghasilkan laba yang

memberikan nilai yang lebih tinggi dari pada pengeluaran investasi, hal ini

akan mendorong investasi baru. Jika Tobin’s Q dibawah satu, investasi dalam

aktiva tidak akan menarik untuk investor. Jadi Tobins’s Q merupakan ukuran

yang lebih rinci tentang seberapa efektif manajemen memanfaatkan sumber-

sumber daya ekonomis dalam kekuasaannya (Megawati, 2016).

Jika perusahaan memiliki nilai yang lebih besar dari nilai dasar

sebelumnya, maka akan memiliki biaya untuk meningkatkan kembali, dan laba

kemungkinan akan diperoleh. Fariska dalam Megawati (2013) berdasarkan

pemikiran Tobin, bahwa intensif untuk membuat modal investasi baru adalah

tinggi ketika saham memberikan keuntungan di masa depan dapat dijual

dengan harga yang lebih tinggi dari biaya investasi, penelitian yang dilakukan

Megawati (2016) menunjukkan nilai perusahaan berpengaruh positif sebagai

variabel pemoderating yang memperkuat hubungan antara kinerja perusahaan

terhadap pengungkapan corporate social responsibility.


27

D. Penelitian Terdahulu

a) Cahya(2010) melakukan penelitian tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap

tanggung jawab sosial perusaaan (Corporate Social Responsibility). Variabel

independen adalah size, profitabilitas, dan leverage, sedangkan untuk variabel

dependennya adalah pengungkapan tanggung jawab sosial. Hasil dari penelitian

ini adalah bahwa variabel sizedan leverage memiliki pengaruh positif terhadap

CSR pada perbankan di Indonesia, sedangkan variabel profitabilitas (ROA) tidak

berpengaruh tehadap CSR pada perbankan di Indonesia.

b) Sari (2012) meneliti pengaruh karakteristik perusahaan terhadap Corporate

Social Responsibility Disclosure pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitiannya

ini adalah karakteristik perusahaan yang diproksikan dengan tipe industri,

ukuran perusahaan, profitabilitas, leverage, dan pertumbuhan perusahaan,

sedangkan variabel dependennya adalah pengungkapan tanggungjawab sosial

perusahaan. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya maka hasil yang didapat

adalah bahwa variabel tipe industri, leverage, dan pertumbuhan perusahaan tidak

memeliki pengaruh terhadap CSRD, sedangkan variabel ukuran perusahaan dan

profitabilitas memiliki pengaruh yang positif terhadap CSRD.

c) Hanni Chyntia Maita Putri dan Surya Raharja (2013) meneliti pengaruh

Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Dengan

Kepemilikan Manajerial Sebagai Variabel Pemoderating, dengan hasil penelitian

variabel Corporate Social Responsibility memiliki pengaruh positif dan


28

signifikan terhadap nilai perusahaan sedangkan variabel kepemilikan manajerial

memiliki pengaruh sebagai variabel moderasi yang memperlemah hubungan

antara Corporate Social Responsibility terhadap nilai perusahaan.

d) Penelitian yang dilakukan oleh Puspitaningrum (2014) yang meneliti pengaruh

Corporate Social Responsibility dan Kepemilikan Manajerial terhadap Nilai

Perusahaan Dengan Profitabilitas dan Ukuran Perusahaan Sebagai Variabel

Pemoderasi, dengan hasil penelitian antara lain : CSR memiliki pengaruh negatif

dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, kepemilikan manajerial memiliki

pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan, profitabilitas

sebagai variabel pemoderating tidak dapat memoderasi pengaruh CSR terhadap

nilai perusahaan, profitabilitas sebagai variabel pemoderating tidak dapat

memoderasi pengaruh kepemilikan manajerial terhadap nilai perusahaan, ukuran

perusahaan memperkuat pengaruh CSR terhadap nilai perusahaan, dan ukuran

perusahaan memperkuat pengaruh kepemilikan manajerial terhadap nila

perusahaan.

E. Kerangka Pikir

Gambar 1

Krakteristik Corporate Social


Perusahaan Responsibility

Nilai Perusahaan
29

F. Hipotesis

1. Pengaruh ukuran perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility.

Ukuran perusahaan merupakan variabel yang umum digunakan untuk

menjelaskan pengungkapan sosial perusahaan dalam laporan keuangan tahunan.

Secara umum perusahaan besar akan lebih terbuka mengungkapkan

informasinya dibandingkan dengan perusahaan kecil. Hal ini dikaitkan dengan

teori agensi, dimana perusahaan besar yang memiliki biaya keagenan yang lebih

besar akan mengungkapkan informasi yang lebih luas untuk mengurangi biaya

keagenan tersebut.

Mengungkapkan kepedulian sosial dan lingkungan melalui pelaporan

keuangan, maka perusahaan dalam jangka panjang akan terhindar dari biaya

besar akibat dari tuntutan masyarakat. Sari (2012) menyatakan bahwa size

memiliki penaruh positif terhadap Corporate Social Responsibility Disclosure,

karena semakin besar aset yang dimiliki perusahaan maka akan semakin luas

Corporate Social Responsibility Disclosure. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2000), Devina (2004), Sulastini

(2007), Sembiring (2005), dan Cahya (2010). Tetapi tidak semua penelitian

mendukung hubungan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan

tanggung jawab sosial perusahaan. Ada penelitian yang tidak berhasil

menunjukan hubungan positif antar kedua variabel tersebut, yaitu penelitian

yang dilakukan oleh dan Rosmasita (2007) dan Marpaung (2008). Berdasarkan

penjelasan di atas dapat ditarik hipotesis yang pertama yaitu :


30

H1 : Ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap pengungkapan

corporate social responsibility.

2. Pengaruh profitabilitas tehadap Corporate Social Responsibility

Tingkat profitabilitas dapat menunjukkan seberapa baik suatu perusahaan

dalam pengelola manajemennya, karena itu semakin tinggi profitabilitas suatu

perusahaan maka cenderung akan semakin luas pengungkapan tanggungjawab

sosial perusahaan. Jika dikaitkan dengan teori agensi, maka perolehan laba yang

semakin besar akan membuat perusahaan mengungkapkan informasi sosial

secara lebih luas. (megawati, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Veronica (2009) menunjukkan adanya

pengaruh positif profitabilitas terhadap pengungkapan tanggungjawab sosial

perusahaan. Penelitian ini menggunakan Return on Asset (ROA) sebagai alat

ukur profitabilitas perusahaan karena dengan menggunakan rasio ini dapat

mengukur sejauh mana perusahaan menghasilkan laba bersih pada sejumlah aset

tertentu. Sejalan dengan Veronica (2009), Rahma Yuliani (2003) , Sari (2012)

juga menunjukkan hasil yang positif antara profitabilitas terhadap pengungkapan

tanggungjawab Sosial Perusahaan. Sedangkan menurut penelitian yang

dilakukan oleh Anastasia Indah Ayu Purnama, Anantawikrama Tungga

Atmadja, Nyoman Ari Surya Darmawan (2014) terdapat pengaruh yang negatif

dan signifikan antara profitabilitas perusahaan terhadap pengungkapan

tanggungjawab sosial perusahaan dalam laporan tahunan perusahaan manufaktur


31

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan penjelasan diatas dapat

ditarik hipotesis kedua , yaitu:

H2 : Profitabilitas berpengaruh positif terhadap Corporate Social

Responsibility

3. Pengaruh Umur perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility

Marwoto dalam Prayogi (2003) menyatakan bahwa umur perusahaan

memiliki hubungan yang positif dengan kualitas pengungkapan sukarela. Alasan

yang mendasari adalah bahwa, perusahaan yang berumur lebih tua memiliki

pengalaman yang lebih banyak dalam mempublikasikan laporan keuangan. Oleh

karena itu umur perusahaan yang semakin banyak akan semakin luas pula dalam

pengungkapan informasi dalam laporan keuangan tahunan. Sedangkan

Sembiring (2003), Marwata (2001), dan Nofandrilla (2008) tidak menemukan

pengaruh yang signifikan. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik

hipotesis antara lain:

H3 : Umur perusahaan berpengaruh positif terhadap Corporate Social

Responsibility

4. Nilai perusahaan berpengaruh sebagai variabel pemoderating hubungan kinerja

perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility

Kinerja perusahaan akan berjalan dengan baik apabila sesuai dengan

aturan dan proedur yang telah ditetapkan. Apabila kinerja perusahaan terlakana

dengan baik maka nilai perusahaan akan menjadi baik pula sehingga apabila

suatu perusahaan memiliki nilai yang tinggi yang merupakan perusahaan dengan
32

dmpak besar terhadap lingkungan dan masyarakat akan melakukan

pengungkapan sosial lebih tinggi dibanding dengan perusahaan yang mmiliki

nilai rendah. Rustiarini (2010) meyatakan bahwa perusahaan akan

mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut dapat meningkatkan

nilai perusahaan. Maka dapat ditemukan hipotesis :

H5 : Nilai perusahaan memperkuat hubungan positif antara kinerja

perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility

Anda mungkin juga menyukai