Anda di halaman 1dari 4

Legenda Batu Menangis

Di sebuah desa tinggalah seorang ibu bersama anak perempuannya yang bernama Darmi. Gadis
itu memang rupawan, sayang sifatnya tak secantik wajahnya. Darmi adalah gadis pemalas yang
hanya gemar bersolek. Setiap hari ia mematut dirinya di depan cermin, mengagumi kecantikan
wajahnya.

"Ah, aku memang jelita," katanya. "Lebih pantas bagiku untuk tinggal di istana raja daripada di
gubuk reot seperti ini." Matanya memandang ke sekeliling ruangan. Hanya selembar kasur yang
tidak empuk tempat dia tidur yang mengisi ruangan itu. Tidak ada meja hias yang sangat dia
dambakan. Bahkan lemari untuk pakaian pun hanya sebuah peti bekas. "Sampai kapan aku akan
hidup seperti ini?" keluh Darmi dalam hati.

Darmi memang bukan anak orang kaya. Ayahnya sudah meninggal dan ibunya tak punya banyak
uang. Untuk menghidupi mereka berdua, sang ibu bekerja membanting tulang dari pagi hingga
malam. Pekerjaan apapun dia lakukan, mencari kayu bakar di hutan, menyabit rumput untuk
pakan kambing tetangga, mencucikan pakaian orang lain. Pekerjaan apapun akan ia lakukan
untuk memperoleh sedikit upah.

Sebaliknya Darmi adalah anak yang manja. Sedikit pun dia tak iba melihat ibunya bekerja keras
sepanjang hari. Ia bahkan tak tergerak untuk ikut membantu menyelesaikan pekerjaan di rumah.
Dan jika ada sesuatu yang sangat diinginkannya, ia pun akan merengek agar permintaannya
dituruti.

Seperti minggu lalu, saat seorang kawannya dari desa di Utara sungai yang mengadakan pesta
perayaan. Darmi mendapat undangan untuk menghadirinya. Tentu saja hal teresebut membuat
gadis cantik itu senang bukan kepalang. Dibayangkannya tamu-tamu dalam pesta itu akan
memandangi wajahnya yang rupawan. Para pria memuji kecantikannya, sementara para wanita
mungkin akan iri hati melihat penampilannya.

Namun tiba-tiba Darmi teringat bahwa ia tak memiliki pakaian yang pantas dikenakannya di
pesta tersebut. Segeralah ia mencari ibunya yang sedang memasak di dapur.
"Ibu, tolong belikan aku pakaian dan selendang baru. Lusa akan ada pesta di desa Utara sungai,
dan aku tak punya pakaian yang pantas. Bajuku sudah usang semua," kata Darmi merengek.

“Bukankah minggu lalu kau sudah beli baju baru? Mengapa tak kau pakai yang itu saja. Masih
bagus bukan?" ujar sang ibu.

"Aaah, tidak mau. Baju yang itu sudah pernah aku pakai, malu dong pakai baju yang itu-itu lagi.
Apa kata orang nanti?! Ayolah, Bu belikan aku pakaian lagi."

Sang ibu hanya bisa menghela napas panjang mendengar permintaan anak semata wayangnya
itu. Ia tak tega padanya. “Baiklah, besok pagi kita akan membelinya di pasar."

"Tidak mau." Teriak Darmi kasar. "Aku tidak mau pergi ke pasar dengan ibu. Sebaiknya ibu
berikan saja uangnya padaku agar aku bisa membelinya sendiri."

"Tapi, Darmi, besok Ibu harus ke pasar terlebih dahulu untuk menjual kayu bakar yang ibu
dapatkan hari ini. Setelah terjual, baru uangnya bisa kau belikan pakaian. Bukankah Iebih baik
kita berangkat ke pasar bersama-sama?"

Darmi terdiam. Ia sebenarnya tak ingin pergi ke pasar bersama ibunya. Ia malu dan khavvatir
jika ada orang yang melihatnya berjalan bersama wanita tua itu lalu mengejeknya. Akan tetapi,
gadis itu tak punya alasan untuk menolak, sebab tanpa uang hasil penjualan kayu bakar, ia tak
mungkin bisa membeli pakaian baru. Akhirnya, Darmi masuk ke kamarnya sambil cemberut dan
menggerutu.

Keesokkan paginya, mereka bersiap hendak ke pasar. Darmi terlihat sangat cantik dengan baju
merah mudanya yang terlihat mahal, sementara sang ibu mengenakan pakaian Iusuh. Darmi
berjalan cepat sekali, rnembuat ibunya tak mampu mengikutinya.

"Hai, Darmi. Mengapa kau berjalan cepat sekali menginggalkan aku di beIakangmu. Kau tau aku
tak kuat menyusul langkahmu."

Darmi diam saja, dan terus mempercepat Iangkahnya. Ia tak ingin ketahuan berjalan bersama
ibunya. Di tengah jalan, Darmi disapa oleh beberapa orang dari desa tetangga yang menyapanya.
"Hai Darmi, mau pergi kemana kau?" sapa mereka. “Aku mau ke pasar,” jawab Darmi.

"Oh, siapa nenek yang di belakangmu itu? Ibumu kah?"

Seketika wajah Darmi terlihat memerah karena malu, "Oh bukan! Bukan! Mana mungkin dia
ibuku." Jawab Darmi cepat. Ia pun segera mempercepat langkahnya agar tak ditanya-tanya lagi.

Betapa terkejutnya sang ibu mendengar perkataan anak kesayangannya itu. Rasa marah mulai
muncul dalam hati karena gadis itu tidak mau mengakui dirinya sebagai ibu. Namun ia menahan
amarahnya dan berharap Darmi akan segera berubah pikiran.

Sayangnya, harapan sang ibu tak terjadi. Sepanjang perjalanan mereka bertemu beberapa orang
lagi, dan Darmi terus mengatakan hal yang sama. Akhirnya sang ibu tak tahan lagi kesedihan.
Sambil bercucuran air mata, ia pun menegur anaknya.

"Wahai anakku, sebegitu malunya kah kau mengakui aku sebagai ibumu? Aku yang
melahirkanmu ke dunia ini. Apakah ini balasanmu pada ibumu yang menyayangimu?"

Darmi menoleh kesal dan membentak, "Aku tidak minta dilahirkan oleh ibu yang miskin
sepertimu. Aku tidak pantas menjadi anak ibu. Lihatlah wajah ibu' Jelek, keriput dan lusuh! Ibu
Iebih pantas jadi pembantuku!"

Dengan angkuh, Darmi terus melangkah meninggalkan sang ibu yang terduduk di pinggir jalan.
Air matanya mengalir deras di kedua pipinya. Perasaannya remuk rendam, tak mampu ia
berkata-kata selain mengadahkan kedua tangannya ke langit. Rasa sakit di hatinya membuat ia
mengucapkan kutukan.

“Tuhan, hamba tidak lagi menahan penghinaan anak hamba ini! benar telah membatu hati anak
hamba ini, karena itu, Ya Tuhan, hukumlah anak hamba durhaka itu menjadi batu!"

Doa sang ibu terkabul.


Tiba-tiba langit menjadi gelap, awan biru berubah berubah mendung dan kilat menyambar-
nyambar diiringi guntur yang menggelegar. Darmi merasa sangat takut, lalu ia mencoba berlari
menjauh. Saat itulah ia menyadari bahwa kedua kakinya berubah menjadi batu.

Darmi menjerit ketakutan. Betapa mengerikannya perasaan yang dialaminya ketika mendapati
kedua kaki berubah menjadi batu. Ia kian ketakutan mendapati pinggangnya pun berubah
membatu. Sadarlah ia, semua itu terjadi karena kedurhakaan besarnya kepada ibunya. Maka dia
pun berteriak-teriak,"Ibu, ampuni aku! Ampuni aku! Ampuni kedurhakaan anakmu ini, Bu"

Namun, semuanya telah terlambat bagi Darmi. Sang ibu hanya terdiam. Sama sekali tak berusaha
mengabulkan permohonan anaknya yang telah berbuat durhaka terhadapnya. Ia merasa telah
cukup mengalami penderitaan yang diakibatkan anaknya itu. Hingga akhirnya seluruh tubuh
Darmi berubah menjadi batu.

Batu jelmaan Darmi itu terus meneteskan air seperti air mata penyesalan yang menetes dari mata
Jelita. Orang-orang yang mengetahtui adanya air yang terus menetes dari batu itu kemudian
menyebutnya Batu Menangis.

Anda mungkin juga menyukai