Anda di halaman 1dari 15

PERTEMUAN 10

PERJUANGAN SECARA FISIK DALAM


MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA

A. Tujuan Pembelajaran
Mahasiswa mampu menganalisis tentang:
1) Pertempuran 10 November 1945
2) Pertempuran Medan Area
3) Pertempuran Ambarawa
4) Peristiwa Bandung Lautan Api

B. Uraian Materi
1. Peristiwa Pertempuran 10 November 1945
a. Insiden Hotel Yamato
Sebulan setelah memproklamirkan kemerdekaannya, Indonesia kembali
diguncang berbagai insiden. Di Surabaya, Belanda mengibarkan bendera negara
mereka di Hotel Yamato. Insiden ini membuat warga setempat marah. Ini karena
pada waktu itu, Pemerintah Indonesia sedang gencar-gencarnya memberikan
informasi kepada rakyat mengenai makna kemerdekaan. Bukan itu saja,
pemerintah kala itu juga melakukan sosialisasi setelah menetapkan Bendera
Merah Putih sebagai bendera nasional. Di berbagai daerah, muncul wacana
untuk mengibarkan Bendera Merah Putih. Surabaya pun tak ketinggalan.
Masyarakat saat itu ramai mengibarkan bendera ke berbagai sudut kota. Namun,
Sekutu yang saat itu memenangkan Perang Dunia II ingin mengambil kendali
wilayah jajahan dari Belanda. Hal itu membuat tentara Inggris yang tergabung
dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) datang untuk melucuti
tentara Jepang. Namun saat itu pihak Inggris juga turur memiliki misi lain yaitu
mengembalikan Indonesia ke administrasi Pemerintahan Belanda.
Bahkan, perwakilan Neteherlands Indies Civil Administration (NICA) turut
membonceng pihak Inggris. Peristiwa ini akhirnya membuat sekelompok orang
Belanda mengibarkam bendera Merah Putih Biru tanpa persetujuan Pemerintah
Indonesia di Surabaya. Bendera tersebut berkibar di tiang paling atas Hotel
Yamato pada malam hari. Pagi hari setelah pengibaran tersebut, masyarakat
Surabaya yang melihat bendera Belanda sudah berkibar merasa marah dan
murka. Mereka menganggap Belanda tidak menghargai usaha dari rakyat
Indoensia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya. Pengibaran bendera
Belanda ini akhirnya membuat para pemuda bersitegang dengan orang-orang
Belanda. Para pemuda yang diwakili oleh Residen Soedirman yang didampingi
Sidik dan Hariyono kemudian menemui perwakilan Inggris, WVch Ploegman
serta orang-orang Belanda di sana. Pertemuan tersebut bertujuan untuk
berunding dan menurunkan bendera yang memicu amarah masyarakat
Surabaya. Namun Ploegman menolak usulan tersebut. Dia bahkan juga menolak
mengakui kedaulatan Indonesia. Segera setelah pertemuan, Ploegman
mengeluarkan pistol yang memicu perkelahian di lobi Hotel Yamato. Kala itu, ia
tewas dicekik Sidik, adapun Sidik lalu tewas ditembak tentara Belanda. Di luar
gedung hotel, massa yang datang semakin banyak. Mereka mendukung Residen
Soedirman membuat inisiatif agar bendera tersebut diturunkan. Residen
Soedirman lalu keluar dan mengatakan jika perundingan tidak menemui titik
temu. Akhirnya, para pemuda yang masih berada di luar gedung memanjat naik
ke atas hotel dan menurunkan bendera Belanda. Setelah itu, mereka merobek
bagian biru dari bedera tersebut dan hanya menyisakan dua warna yakni merah
dan putih. Bendera yang telah dirobek terseut kemudian dipasang kembali ke
puncak tiang. Segera setelah bendera kembali terpasang, masyarakat
memekikkan seruan Merdeka. Peristiwa ini kemudian menjadi awal dari berbagai
pertempuran pertama antara pihak Indonesia dengan tentara Inggris.
b. Pembunuhan Jenderal Mallaby
Tewasnya Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby disebut menjadi
faktor utama pertempuran pada 10 November. Peristiwa ini dipicu saat rakyat
Surabaya menginginkan Gedung Internatio bebas dari militer Inggris yang
berujung ada percekcokan dan pertempuran antara kedua pihak. Meski begitu,
hingga saat ini belum jelas siapa yang bertanggung jawab atas pembunuhan
perwira Kerajaan Inggris tersebut. Berbagai sumber yang ada mengemukakan
hal berbeda. Ada yang menyebut, Mallaby tewas saat ada aksi tembak-
menembak dengan penduduk Surabaya pada tanggal 30 Oktober 1945. Namun
ada juga yang menyatakan jika Mallaby tewas terkena granat dari anak buahnya
yang berusaha melindungi. Granat tersebut meleset dan malah terkena mobil
yang ditumpangi Mallaby, hingga kemudian terbakar. Kejadian itu disebut
menjadi penyebab tewasnya Mallaby.
c. Kronologi Pertempuran 10 November
Posisi Mallaby sebagai pemimpin pasukan di Jawa Timur kemudian
digantikan oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh yang juga Komandan Divisi 5
Inggris. G. Moedjanto dalam Indonesia Abad ke-20 (1998) menuliskan, tanggal
9 November 1945 Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum
kepada rakyat Surabaya, yang isinya antara lain:
a. Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri.
b. Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia di Surabaya harus
diserahkan kepada Inggris.
c. Para Pemimpin Indonesia di Surabaya harus bersedia
menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat
Tetapi ultimatum tersebut tak dihiraukan oleh rakyat Surabaya dan
terjadilah pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945.di awali
dengan Inggris mulai menggempur Surabaya dengan seluruh armada darat, laut,
dan udara. Pemboman secara brutal di hari pertama telah menimbulkan korban
yang sangat besar. Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak
dengan meriam dari laut dan darat.
Setidaknya 6.000 – 16.000 pejuang Indonesia gugur dalam pertempuran
dan 200.000 rakyat sipil mengungsi ke luar Surabaya. Korban dari Tentara
Sekutu kira-kira sejumlah 600-2.000 tentara. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya
jatuh di tangan pihak Sekutu. Kota Surabaya adalah kota yang paling pertama
diterima oleh Belanda dari tangan Inggris dibandingkan kota-kota lainnya kota
inilah yang paling lengkap dikuasai oleh sekutu. Sebagai akibat dari peristiwa
pertempuran yang terbesar di Indonesia pada tanggal 10-25 November 1945,
maka semua alat Republik dan sebagian besar penduduk Indonesia diusir ke luar
kota. tidak kurang dari 200.000 orang yang terdiri dari rakyat sipil terpaksa
mengungsi dari Surabaya ke daerah-daerah yang lebih aman akibat pecahnya
pertempuran tersebut.Di Surabaya hanya ada satu kekuasaan, baik militer
maupun sipil, yakni tentara sekutu, urusan sipilnya dipegang oleh NICA.
Pertempuran Surabaya berakhir dengan kekalahan pihak Indonesia.
Akan tetapi, perang tersebut membuktikan bahwa rakyat Indonesia rela
berkorban demi mempertahankan kemerdekaan mereka, meskipun harus
dibayar dengan nyawa. Pertempuran Surabaya juga telah menggerakkan
perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Setahun
setelah peristiwa itu, yakni pada 10 November 1946, Presiden Sukarno
menetapkan bahwa setiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari
Pahlawan dan diperingati hingga saat ini.
2. Pertempuran Medan Area
a. Latar Belakang Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu dibawah pimpinan
Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatera Utara yang dikuti oleh
pasukan NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie). Brigadir Jenderal T.E.D.
Kelly menyatakan pada pemerintah RI akan melaksanakan tugas kemanusiaan,
mengevakuasi tawanan dari beberapa kamp di luar Kota Medan. Dengah dalih
menjaga keamanan, para bekas tawanan diaktifkan kembali dan dipersenjatai.
Latar belakang pertempuran Medan Area, diantaranya yaitu:
• Bekas tawanan yang menjadi arogan dan sewenang-wenang.
• Ulah seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-injak
lencana merah putih.
• Ultimatum agar pemuda Medan menyerahkan senjata kepada Sekutu.
• Pemberian batas daerah Medan secara sepihak oleh Sekutu dengan
memasang papan pembatas yang bertuliskan “Fixed Boundaries Medan
Area (Batas Resmi Medan Area)” di sudut-sudut pinggiran Kota Medan.
Hampir mirip dengan pertempuran lainnya, pertempuran Medan area
diawali dengan kedatangan pasukan Sekutu pada 9 Oktober 1945 di Sumatra
Utara. Pasukan tersebut dipimpin oleh Brigadir Jenderal T. E. D Kelly. Sekutu
membawa satu brigade, yaitu Brigade 4 dari Divisi India ke-26. Kedatangan
brigade ini turut dibocengi oleh orang-orang Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) yang diam-diam dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan Indonesia.
Pada awalnya, pemerintah RI di Sumatra Utara memperkenankan
mereka menempati beberapa hotel di kota Medan, seperti Hotel de Boer, Grand
Hotel, Hotel Astoria dll. Pejabat Sumatra Utara tidak mengetahui tujuan mereka
sebenarnya, tapi semata-mata ingin menghormati tugas mereka untuk mengurus
tawanan perang yang ditahan oleh Jepang.
Sebagian anggota Sekutu dan NICA ditempatkan di Binjai, Tanjung
Morawa dan beberapa tempat lainnya dengan memasang tenda lapangan.
Sehari setelah mendarat di Medan, tim dari Rehabilitation of Allied Prisoners of
War and Internees (RAPWI) telah mendatangi kamp-kamp tawanan di Pulau
Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan Berastagi untuk
membantu membebaskan tawanan dan dikirim ke Medan atas persetujuan
Gubernur M. Hassan.
Tanpa disangka, para tawanan perang tersebut justru langsung dibentuk
menjadi batalyon KNIL. Perubahan sikap juga langsung tampak dari para bekas
tawanan tersebut. Mereka bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang
dalam Perang Dunia II.Dalam mengantisipasi kedatangan Sekutu dan NICA,
pada 13 September 1945 para pemuda segera membentuk Divisi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) di kota Medan.
Sikap congkak dari bekas tawanan tersebut memicu timbulnya berbagai
insiden dengan para pemuda Sumatra Utara. Insiden pertama pecah di hotel di
Jalan Bali, Medan pada 13 Oktober 1945. Insiden tersebut diawali dengan
adanya seorang penghuni hotel yang merampas dan menginjak-nginjak lencana
merah-putih yang digunakan oleh seorang pemuda. Insiden lencana tersebut
menjadi penyebab pertempuran medan area ini dimulai.
b. Kronologi Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan Area dimulai dari bentrokan pada tanggal 13
Oktober 1945, baru empat hari setelah pasukan Inggris sampai di Medan,
meledak suatu konflik bersenjata antara para pemuda revolusioner dengan
pasukan NICA-Belanda. Peristiwa itu terjadi akibat adanya provokasi langsung
seorang serdadu Belanda yang bertindak merampas lencana merah putih yang
tersemat di peci seorang penggalas pisang yang melintas di depan Asrama
Pension Wilhelmina, Jalan Bali (sekarang Jalan Veteran).
Ratusan pemuda yang berada ditempat itu menyerang serdadu tersebut
dengan berbagai senjata seperti pedang, pisau, bambu runcing, dan beberapa
senjata api. Dalam peristiwa tersebut, banyak memakan korban diantaranya 1
orang opsir yaitu Letnan Goeneberg dan 7 orang serdadu NICA meninggal;
beberapa warga negara Swiss luka dan meninggal; 96 orang serdadu NICA luka-
luka termasuk seorang laki-laki sipil dan 3 orang wanita. Sedangkan pihak
Indonesia gugur 1 orang (menurut prasasti yang didirikan 7 orang) dan luka berat
satu orang. Lokasi pertempuran ini berada dekat dengan Pusat Pasar.
Peristiwa yang terjadi di Jalan Bali tersebut segera menyebar ke seluruh
pelosok kota Medan, bahkan ke seluruh daerah Sumatera Utara dan menjadi
sinyal bagi pemuda bahwa perjuangan menegakkan proklamasi telah dimulai.
Darah orang Belanda dan kaum kolonialis harus ditumpahkan demi Revolusi
Nasional, akibatnya dengan cepat semangat anti Belanda menyebar di seluruh
Sumatera Timur diantara pemuda itu Bedjo, salah seorang pemimpin laskar
rakyat di Pulo Brayan.
Pada tanggal 16 Oktober 1945 tengah hari setelah sehari sebelumnya terjadi
peristiwa Siantar Hotel, Bedjo bersama pasukan selikurnya menyerang gudang
senjata Jepang di Pulo Brayan untuk memperkuat persenjataan. Setelah
melakukan serangan terhadap gudang perbekalan tentara Jepang, Bedjo dan
pasukannya lalu menyerang Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan
Halvetia, Pulo Brayan.
Dalam pertempuran yang berlangsung malam hari, pasukan Bedjo yang
menyerang Helvetia berhasil menewaskan 5 orang serdadu KNIL. Serangan
yang dilakukan oleh para pemuda di Jalan Bali dan Bedjo tersebut telah
menyentakkan pihak Sekutu (Inggris). Mereka mulai sadar bahwa para pemuda
Indonesia telah memiliki persenjataan dan semangat kemerdekaan yang pantas
diperhitungkan.
Selain itu, terjadi bentrokan lain di simpang Jalan Deli dan Jalan Serdang
(sekarang disebut Jalan Perintis Kemerdekaan). Bentrokan tersebut pecah di
sebuah masjid, para pejuang yang dipimpin Wiji Alfisa dan Zain Hamid bertempur
dengan tentara Inggris pada 17 Oktober 1945. Mereka berhasil bertahan dari
gempuran Inggris hingga pada 20 Oktober 1945, Inggris memutuskan untuk
menghancurkan masjid tempat mereka bertahan. Setelah perang, masjid lain
dibangun diatasnya untuk mengenang perjuangan mereka. Masjid tersebut diberi
nama Masjid Perjuangan 45.
Sebagai tentara yang ditugaskan untuk menjaga keamanan dan
ketertiban, pada tanggal 18 Oktober 1945 Komandan Inggris Brigadir Jenderal
TED Kelly mengeluarkan sebuah ultimatum yang menyatakan bahwa bangsa
Indonesia dilarang keras membawa senjata termasuk senjata tajam seperti
pedang, tombak, keris, rencong dan sebagainya. Semua senjata tersebut harus
diserahkan kepada tentara Sekutu. Untuk para komandan pasukan Jepang
diperintahkan untuk tidak menyerahkan senjatanya pada TKR dan Laskar rakyat,
dan harus menyerahkan semua daftar senjata api yang dimilikinya kepada
Sekutu.
Pada tanggal 23 Oktober 1945, pasukan Inggris melakukan
penggerebekan dalam kota Medan dan sekitarnya. Dalam penggerebekan
tersebutm mereka berhasil mendapatkan 3 pistol, 1 senapan, 1 granat kosong, 2
ranjau rakitan sendiri, 6 granat tangan, 3 senapan tiga kaki, 36 pedang, 10 pisau,
4 denator listrik dan 6 tombak.
Sejak para tentara Inggris melakukan razia di sekitar Medan, kecurigaan
masyarakat terhadap Inggris bertambah besar. Patroli tentara Inggris tersebut
sampai ke Sunggal, Pancur Batu, Deli Tua, Tanjung Morawa, Saentis bahkan
ada serdadu dan perwira Inggris yang berjalan-jalan sendiri ke luar kota Medan
dan Belawan. Selain itu, Komandan Inggris untuk Sumatera, Mayor Jendral
Chambers menegaskan bahwa Pasukan Jepang diberikan kekuasaan untuk
mengamankan daerah-daerah di luar kota Medan, Bukit Tinggi dan Palembang.
Akhirnya, kondisi itu menimbulkan konflik bersenjata dengan para pemuda
Republik baik yang bergabung dengan TKR maupun dengan Laskar Rakyat.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan
yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota
Medan. Sejak saat itu istilah Medan Area menjadi terkenal. Tindakan pihak
Inggris tersebut dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan dan tantangan bagi
para pemuda. Pada saat yang bersamaan, Inggris dan NICA melakukan aksi
pembersahan terhadap unsur Republik Indonesia yang berada di kota Medan.
Para pemuda membalas aksi Sekutu dan NICA, sehingga konfrontasi
juga tidak bisa dihindarkan dan mengakibatkan wilayah Medan menjadi tidak
aman. Setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan bahkan seringkali
terjadi pertempuran bersenjata.
Pada tanggal 2 Desember 1945, dua orang serdadu Inggris yang sedang
mencuci trucknya di Sungai dekat Kampung Sungai Sengkol yang sudah
diserang oleh TKR. Kedua serdadu Inggris tersebut tewas, dua buah senjata dan
trucknya dirampas. Dua hari kemudian, seorang perwira Inggris tewas terbunuh
di sekitar Saentis. Akibatnya pasukan Inggris terus melakukan patroli di sekitar
Medan dan mereka mulai bertindak kasar.
Pada tanggal 6 Desember 1945, tentara Inggris datang mengepung
Gedung Bioskop Oranye di Kota Medan. Mereka kemudian merampas semua
filem di gedung tersebut. Tindakan tentara Inggris itu menyebabkan para pemuda
segera mengepung gedung bioskop tersebut sehingga timbul pertempuran kecil
dan berakhir dengan tewasnya seorang tentara Inggris.
Beberapa jam setelah peristiwa “Oranje Bioscop”, markas Pesindo di
Jalan Istana dan markas Pasukan Pengawal Pesindo di sekolah Derma dirazia
oleh tentara Inggris. Di sepanjang Jalan Mahkamah dan Jalan Raja, tentara
Inggris melakukan show of force. Tidak lama sesudah itu, markas TKR di bekas
restoran Termeulen diobrak-abrik dan penghuninya diusir oleh tentara Inggris.
Pada malam harinya para pemuda dan anggota TKR menyerang gedung itu
dengan granat botol, sehingga gedung itu terbakar.
Pada tanggal 7, 8, dan 9 Desember 1945, siang dan malam hari di mana-
mana asrama tentara India-Inggris/NICA diserang oleh pemuda dan TKR. Akibat
serangan tersebut, pada tanggal 10 Desember 1945 tentara Inggris/NICA
menyerang markas TKR di Deli Tua (Two Rivers). Tiga hari kemudian, Brigadir
Jenderal T.E.D. Kelly kembali mengeluarkan Maklumat yang meminta agar
Bangsa Indonesia harus menyerahkan senjatanya kepada tentara Sekutu dan
barang siapa memegang senjata di dalam kota Medan dan 8,5 Km dari batas
kota Medan dan Belawan akan ditembak mati.
Untuk menindaklanjuti intruksi tersebut pada bulan Maret 1946 pasukan
Sekutu/Inggris kembali melakukan razia ke basis-basis laskar rakyat di sekitar
Tanjung Morawa. Barisan Pelopor dan Laskar Napindo yang berada di daerah
tersebut kemudian mencegat pasukan Inggris sehingga terjadi baku tembak.
Kemudian, pertempuran berkobar selama dua hari dan akhirnya pasukan
Inggris menarik pasukannya dari Tanjung Morawa. Walaupun begitu, pasukan
sekutu terus melakukan razia di dalam kota. Akibatnya pada pertengahan April
1946, Markas Divisi IV dan juga seluruh stafnya dan Kantor Gubernur Sumatera
dan semua jawatan-jawatannya pindah ke Pematang Siantar.
Sejak Komando Militer dan Pemerintahan Republik pindah ke Pematang
Siantar, pasukan Inggris setiap hari melancarkan serangan ke kubu-kubu TRI
dan Laskar Rakyat di sekitar Medan Area. Pada akhir bulan Mei, selama satu
minggu mereka menggempur habis kampung-kampung di sekitar kota Medan.
Akibat serangan tersebut, penduduk sipil mengungsi ke luar kota seperti ke
Tanjung Morawa, Pancur Batu, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan
sebagainya.
Kampung-kampung seperti Sidodadi, Tempel, Sukaramai, Jalan Antara,
Jalan Japaris, Kota Maksum, Kampung Masdjid, Kampung Aur, Sukaraja, Sungai
Mati, Kampung Baru, Padang Bulan, Petisah Darat, Petisah Pajak Bundar,
Kampung Sekip, Glugur dan sebagainya menjadi sepi. Dengan demikian, Inggris
tidak leluasa bergerak ke luar kota, karena laskar rakyat dan TRI siap
menghadangnya.
Hingga akhir bulan Juli 1946 pasukan republik yang bertempur di Medan
Area bergerak tanpa komando. Pada bulan Agustus 1946 dibentuklah Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area (K.R.L.R.M.A.) dengan Kapten Nip Karim
dan Marzuki Lubis dipilih sebagai Komandan dan Kepala Staf Umum.
Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area membawahi laskar
Napindo, Pesindo, Barisan Merah, Hisbullah dan Pemuda Parkindo. Setiap
pasukan disusun dalam formasi batalion yang terdiri dari empat kompi. Medan
Area dibagi dalam empat sektor dan tiap sektor terdiri atas dua sub sektor.
Markas Komando ditempatkan di Two Rivers (Treves).
Kemudian Belanda mulai mengarahkan kekuatan militernya ke Sumatera
dalam rangka mengamankan sumber ekonomi yang vital di Sumatera Timur.
Pada awal Oktober 1946 satu batalion pasukan bersenjata dari negeri Belanda
mendarat di Medan. Kemudian, beberapa hari diikuti dengan satu batalion KNIL
dari Jawa Barat. Gerakan militer pasukan Belanda tersebut tidak bisa dilepaskan
dengan adanya rencana Inggris yang ingin secepatnya meninggalkan Indonesia.
Semua instasi penting yang ada di Medan Area segera diserahkan pada
Komandan Militer Belanda. Selanjutnya, Pasukan Belanda mengambil alih
semua tugas penyerangan terhadap pangkalan militer Republik di sekitar Medan
Area. Unit-unit militer Republik baik TRI maupun laskar rakyat segera bereaksi
menanggapi pengambilalihan Belanda dan mulai meningkatkan serangannya
terhadap patroli-patroli Belanda maupun Inggris. Sampai akhir tahun 1946,
berbagai bentrokan fisik antara kekuatan militer Republik dengan Belanda terus
terjadi di segala front Medan Area.
Atas prakarsa pimpinan Divisi Gajah dan KRIRMA pada 10 Oktober 1941
disetujui untuk mengadakan serangan bersama. Sasaran yang akan direbut di
Medan Timur adalah Kampung Sukarame, Sungai Kerah. Di Medan barat adalah
Padang Bulan, Petisah, Jalan Pringgan, sedangkan di Medan selatan adalah
kota Matsum yang akan jadi sasarannya. Rencana gerakan ditentukan, pasukan
akan bergerak sepanjang jalan Medan-Belawan.
Pada hari “H” ditentukan tanggal 27 Oktober 1946 pada jam 20.00 WIB,
sasaran pertama Medan Timur dan Medan Selatan. Tepat pada hari “H”,
batalyon A resimen laskar rakyat di bawah Bahar bergerak menduduki Pasar
Tiga bagian Kampung Sukarame, sedangkan batalyon B menuju ke Kota
Matsum dan menduduki Jalan Mahkamah dan Jalan Utama. Di Medan Barat
batalyon 2 resimen laskar rakyat dan pasukan Ilyas Malik bergerak menduduki
Jalan Pringgan, kuburan China dan Jalan Binjei.

Perlu diketahui, beberapa waktu yang lalu, pihak Inggris telah


menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Belanda. Pada saat sebagian
pasukan Inggris bersiap-siap untuk ditarik dan digantikan oleh pasukan Belanda,
pasukan Indonesia menyerang mereka. Gerakan batalyon resimen Laskar
Rakyat Medan Area rupanya tercium oleh pihak Inggris/Belanda. Daerah Medan
Selatan dihujani dengan tembakan mortir. Pasukan Indonesia membalas
tembakan dan berhasil menghentikannya.
c. Dampak Pertempuran Medan Area
Pertempuran Medan Area berakhir pada 15 Februari 1947 pukul 24.00
setelah ada perintah dari Komite Teknik Gencatan Senjata untuk menghentikan
kontak senjata. Setelah itu, Panitia Teknik genjatan senjata melakukan
perundingan untuk menetapkan garis demarkasi yang definitif untuk Medan
Area.
Dalam perundingan yang berakhir pada tanggal 10 Maret 1947 itu,
ditetapkan suatu garis demarkasi yang melingkari kota Medan dan daerah
koridor Medan Belawan. Panjang garis demarkasi yang dikuasai oleh tentara
Belanda dengan daerah yang dikuasai oleh tentara Republik seluruhnya adalah
8,5 Km. Pada tanggal 14 Maret 1947 dimulai pemasangan patok pada garis
demarkasi itu.
Namun kedua pihak, Indonesia dan Belanda, selalu bertikai mengenai
garis demarkasi ini. Empat bulan setelah pertempuran ini berakhir, Belanda
melaksanakan Operatie Product atau disebut Agresi Militer Belanda I. Berikut
ini dampak akibat dari Pertempuran Medan Area diantaranya yaitu:
• Terbaginya kawasan Medan oleh garis demarkasi.
• Perpindahan pusat pemerintahan Provinsi Sumatera ke Pematang
Siantar.
3. Pertempuran Ambarawa
a. Latar Belakang Pertempuran Ambarawa
Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin Jenderal
Soedirman pada pertengahan Desember 1945, membuat tentara sekutu terjepit
dan akhirnya mundur dari Ambarawa menuju Semarang. Walaupun dihadang
dengan seluruh kekuatan persenjataan modern serta kemampuan taktik dan
strategi sekutu, para pejuang RI tak pernah gentar sedikitpun. Mereka
melancarkan serangan dengan gigih seraya melakukan pengepungan ketat di
semua penjuru kota Ambarawa. Dengan gerakan pengepungan rangkap ini
sekutu benar-benar terkurung dan kewalahan.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan perlunya
mengusir tentara sekutu dan Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu akan
menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah.
Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh
hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa
atau dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945,
menyebabkan vacuum of Power (kekosongan kekuasaan) di Hindia Belanda
(Indonesia). Kekosongan kekuasaan tersebut tidak disia-siakan oleh bangsa
Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Bangsa Indonesia
pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta. Hal ini
berarti, bangsa lain tidak lagi mempunyai hak untuk melakukan penjajahan di
atas bumi Indonesia. Proklamasi berarti pengumuman yang dilakukan oleh suatu
bangsa yang menyatakan bahwa bangsa tersebut telah merdeka dan lepas dari
penjajahan.
Meskipun demikian, terdapat pihak-pihak yang berusaha untuk
mengembalikan Indonesia sebagai jajahan Belanda. Hal ini dikarenakan
pemerintah Belanda merasa masih mempunyai historiesch recht (hak sejarah)
untuk meneruskan pemerintahan kolonialnya. Hal ini didasarkan dari perjanjian
yang dilakukan Inggris dengan Belanda yang disebut Civil Affairs Aggreement
pada tanggal 24 Agustus 1945 yang mengatur pemindahan kekuasaan di
Indonesia dari British Military Administration kepada NICA (Netherlands Indies
Civil Administration). Oleh sebab itu, Belanda dengan organisasi
pemerintahannya, NICA membonceng tentara sekutu kembali ke Indonesia.
Maksud kedatangan Sekutu adalah pertama, menerima penyerahan
kekuasaan dari tangan Jepang. kedua, membebaskan para tawanan perang dan
inteniran Sekutu. Ketiga, melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk
kemudian dipulangkan. Keempat, menegakkan dan mempertahankan keadaan
damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil. Kelima,
menghimpun keterangan tentang dan menuntut penjahat perang. Oleh sebab itu,
RI menerima kedatangan Sekutu dengan sambutan yang baik.
Pendaratan tentara Sekutu pada tanggal 20 Oktober 1945 di Semarang,
berbarengan dengan usaha perebutan kekuasaan dan senjata rakyat Indonesia
terhadap Jepang. Usaha melucuti tentara Jepang oleh para pejuang Indonesia
ini memang merupakan tindakan yang harus dilakukan sesegera mungkin.
Sebab, usaha tersebut sudah diperhitungkan akan adanya suatu kemungkinan
bahaya yang ditimbulkan sehubungan dengan mendaratnya Sekutu di Indonesia.
Bagaimanapun, pasti Sekutu tidak akan rela melepaskan bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang merdeka begitu saja. Dengan demikian, tujuan kedatangan
Sekutu yang bermaksud untuk melucuti tentara Jepang telah dilakukan oleh para
pejuang Indonesia, sehingga menimbulkan kekecewaan dari pihak Sekutu.
Selanjutnya, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa
dan Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para
tawanan tersebut justru dipersenjatai. Ketegangan dimulai ketika tawanan-
tawanan Belanda yang dibebaskan bertingkah congkak dan sombong, serta
mengabaikan kedaulatan pemerintah dengan terang-terangan berusaha untuk
menduduki kembali Indonesia.
Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia, sehingga muncul
gerakan pemboikotan keperluan makanan dan kebutuhan sehari-hari terhadap
Sekutu yang semula dibantu oleh rakyat Indonesia dalam usaha melucuti tentara
Jepang. Akhirnya pecah pertempuran melawan Sekutu di Semarang pada
tanggal 20 Oktober 1945, disusul tanggal 31 Oktober 1945 di Magelang.
Di Magelang tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba
melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen
Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari
kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil
menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam
meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa
tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera
mengadakan pengejaran terhadap mereka dan meluas sampai ke Ambarawa.
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan
Brigadir Bethell mendarat di Semarang dengan maksud mengurus tawanan
perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini
diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan
Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan
bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang
Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan
tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak
Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi
pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang
mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan.
TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan
tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka
selamat dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil
menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam
meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa.
Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan
Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan
mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan
Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh
pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di
Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa
di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur terlebih
dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol.
Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun
ke lapangan untuk memimpin pertempuran.
Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan-
pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan
pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah
serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir
dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah
tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja
dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon.
Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan
tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat
kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah
ke Bedono. Pertempuran Ambarawa berlangsung empat hari, dari 13-15
Desember 1945. Semangat juang pasukan TKR menjadi penentu kemenangan
dalam melawan musuh.
b. Kronologi Pertempuran Ambarawa
Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat
dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember
1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai
dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-
penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam
kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan
TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit.
Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan
taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga
musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya
diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15
Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut
Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Serangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung selama empat hari
empat malam dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur. Dari
tanggal 12 hingga 15 Desember 1945, para pejuang tidak menghiraukan
desingan-desingan peluru maut dan lawan. Letusan tembakan sebagai isyarat
dimulainya serangan umum pembebasan Ambarawa, terdengar tepat pukul
04.30 WIB pada 12 Desember 1945. Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh
penjuru Ambarawa mulai merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan,
dengan siasat penyerangan mendadak secara serentak di segala sektor.
Seketika, dan segala penjuru Ambarawa penuh suara riuh desingan peluru,
dentuman meriam, dan ledakan granat. Serangan dadakan tersebut diikuti
serangan balasan musuh yang kalang kabut. Pada tanggal [[20 Oktober]]
[[1945]], tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di
Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang
berada di Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh [[NICA]].
Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah
[[Wongsonegoro|Mr Wongsonegoro]] menyepakati akan menyediakan bahan
makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu
berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan
tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak
Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi
pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa yang
mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR
Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut
dengan mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat
dari kehancuran berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil
menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-diam
meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa
tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera
mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu
tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah
pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari
Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di
Ngipik. Pada saat pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa
di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman
berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur terlebih
dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol.
Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun
ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman
memberikan napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di
antara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin
ketat. Siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua
sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta, Solo, Salatiga, Purwokerto,
Magelang, Semarang, dan lain-lain. Tanggal 23 November 1945 ketika matahari
mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang bertahan
di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan
Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng.
Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat
tanknya, menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena
itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Pertempuran Ambarawa berlangsung empat hari, dari 13-15 Desember
1945. Semangat juang pasukan TKR menjadi penentu kemenangan dalam
melawan musuh.Awal Pertempuran Perjuangan Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) yang dipimpin Jenderal Soedirman pada pertengahan Desember 1945,
membuat tentara sekutu terjepit dan akhirnya mundur dari Ambarawa menuju
Semarang.

Walaupun dihadang dengan seluruh kekuatan persenjataan modern serta


kemampuan taktik dan strategi sekutu, para pejuang RI tak pernah gentar
sedikitpun. Mereka melancarkan serangan dengan gigih seraya melakukan
pengepungan ketat di semua penjuru kota Ambarawa. Dengan gerakan
pengepungan rangkap ini sekutu benar benar terkurung dan kewalahan.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan menegaskan perlunya
mengusir tentara sekutu dan Ambarawa secepat mungkin. Sebab sekutu akan
menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa Tengah.
Dengan semboyan “Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh
hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa
atau dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi. Peristiwa Pertempuran
AmbarawaSerangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung selama empat
hari empat malam dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur. Dari
tanggal 12 hingga 15 Desember 1945, para pejuang tidak menghiraukan
desingan-desingan peluru maut dan lawan.Letusan tembakan sebagai isyarat
dimulainya serangan umum pembebasan Ambarawa, terdengar tepat pukul
04.30 WIB pada 12 Desember 1945.
Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh penjuru Ambarawa mulai
merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan, dengan siasat penyerangan
mendadak secara serentak di segala sektor. Seketika, dan segala penjuru
Ambarawa penuh suara riuh desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan
granat. Serangan dadakan tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang
kabut.Akhir pertempuran. Sekitar pukul 16.00 WIB, TKR berhasil menguasai
Jalan Raya Ambarawa Semarang, dan pengepungan musuh dalam kota
Ambarawa berjalan dengan sempurna. Terjadilah pertempuran jarak dekat.
Musuh mulai mundur pada 14 Desember 1945. Persediaan logistik maupun
amunisi musuh sudah jauh berkurang. Akhirnya, pasukan sekutu mundur dan
Ambarawa sambil melancarkan aksi bumi hangus pada 15 Desember 1945,
pukul 17.30 WIB. Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang pada
pihak TKR. Pasukan TKR berhasil merebut benteng pertahanan sekutu yang
tangguh. Kemenangan pertempuran Ambarawa pada 15 Desember 1945.
Keberhasilan Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan
dalam bentuk monumen Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati tanggal
tersebut setiap tahun sebagai Hari Infanteri.
3. Peristiwa Bandung Lautan Api
Setelah meraih kemerdekaan, kondisi keamanan dan pertahanan
Indonesia masih belum benar-benar stabil. Kondisi di daerah masih didominasi
oleh perebutan kekuasaan serta pertempuran. Salah satu pertempuran yang
terjadi ialah pertempuran Bandung Lautan Api. Kejadian ini diawali dengan
datangnya pasukan sekutu di bawah Brigade MacDonald pada 12 Oktober 1945.
Sejak semula, hubungan antara pemerintah RI setempat sudah memanas.
Sekutu meminta seluruh senjata api yang dimiliki penduduk, kecuali milik Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) dan Polisi diserahkan kepada Sekutu.
Kondisi Bandung semakin memanas saat orang-orang Belanda yang
baru saja bebas dari kamp tahanan mulai melakukan tindakan yang
mengacaukan keamanan. Akibatnya, bentrokan antara tentara Sekutu dengan
TKR tidak dapat dihindari. Pada malam tanggal 24 November 1945, TKR dan
badan–badan perjuangan lainnya melancarkan serangan terhadap markas–
markas Sekutu di Bandung bagian utara, termasuk Hotel Homan dan Hotel
Preanger yang menjadi markas besar Sekutu.
Tiga hari setelah penyerangan markas Sekutu, MacDonald
menyampaikan ultimatumnya kepada Gubernur Jawa Barat agar segera
mengosongkan wilayah Bandung Utara oleh seluruh warga Indonesia termasuk
pasukan bersenjata. Ultimatum tersebut harus dilaksanakan selambat–
lambatnya pukul 12.00 tanggal 29 November 1945. Dengan adanya ultimatum
tersebut, Sekutu membagi kota Bandung Utara menjadi wilayah kekuasaan
mereka sedangkan Bandung Selatan kekuasaan pemerintah RI. Ultimatum
dijawab pasukan Indonesia dengan mendirikan pos – pos gerilya di berbagai
tempat.
Selama bulan Desember terjadi beberapa pertempuran di berbagai
tempat antara lain, Cihaurgeulis, Sukajadi, Pasir Kaliki dan Viaduct. Sekutu
berusaha merebut Balai Besar Kereta Api namun usaha tersebut gagal. Sekutu
juga berusaha membebaskan interniran Belanda di Ciater, Sekutu terlibat dalam
pertempuran dengan pasukan Indonesia di wilayah Lengkong Besar. Memasuki
awal tahun 1946, pertempuran semakin berkobar secara sporadis.
Selama pertempuran berlangsung, banyak serdadu India yang
merupakan bagian dari pasukan Sekutu melakukan desersi dan bergabung
dengan pasukan Indonesia. Salah satu serdadu India yang membelot di
antaranya adalah Kapten Mirza dan pasukannya saat terjadi pertempuran di jalan
Fokker (sekarang jalan Garuda) pada pertengahan Maret 1946. Tak lama
kemudian, pihak Sekutu menghubungi Panglima Divisi III Jenderal A.H Nasution
meminta agar pasukan India tersebut diserahkan kembali kepada Sekutu.
Nasution menolak. Bukan hanya untuk mengembalikan pasukan India semata,
tetapi juga untuk mengadakan pertemuan dengan pihak Sekutu.
Serangan – serangan sporadis dari pasukan Indonesia dan kegagalan
mencari penyelesaian di tingkat daerah membuat posisi Sekutu semakin
terdesak. Sekutu memutar otak dengan melakukan pendekatan terhadap pihak
petinggi pemerintahan RI. Pada tanggal 23 Maret 1946, mereka menyampaikan
ultimatum kepada Perdana Menteri Syahrir agar selambat – lambatnya pada
pukul 24.00 tanggal 24 Maret 1946 pasukan Indonesia sudah meninggalkan
Bandung Selatan sejauh 10 sampai 11 kilometer dari pusat kota.
Menanggapi Ultimatum tersebut, Syahrir menugasi Syafruddin
Prawiranegara dan Jenderal Mayor Didi Kartasasmita hadir ke Bandung. Baik
Jenderal Mayor Nasution maupun aparat pemerintah menolak Ultimatum sebab,
sangat mustahil memindahkan ribuan pasukan dalam waktu singkat. Mereka
menemui Mayor Jenderal Hawthorn meminta agar batas Ultimatum
diperpanjang. Sementara itu, pihak Sekutu terus menyebarkan pamflet berisi
tentang berita Ultimatum tersebut. Sore hari tanggal 23 Maret 1946, Nasution ikut
ke Jakarta bersama Syafruddin dan Didi Kartasasmita untuk menemui Perdana
Menteri Syahrir.
Dengan alasan menyelamatkan Tentara Republik Indonesia (TRI) dari
kehancuran, Syahrir mendesak Nasution agar memenuhi Ultimatum tersebut.
Syahrir berpendapat bahwa TRI belum mampu menandingi kekuatan pasukan
Sekutu. Esok harinya, Nasution kembali ke Bandung untuk sekali lagi melakukan
negosiasi terkait penundaan pelaksanaan Ultimatum. Namun, tentara Sekutu
tetap pada pendiriannya menolak penundaan Ultimatum. Sebaliknya, Nasution
juga menolak tawaran Sekutu yang hendak meminjamkan seratus truk untuk
membawa pasukan Indonesia ke luar kota.
Dalam pertemuan yang diadakan Nasution dengan para Komandan TRI
para pemimpin laskar dan aparat pemerintahan dicapai kesepakatan untuk
membumihanguskan Bandung sebelum kota itu ditinggalkan. Menurut rencana,
bumi hangus akan dilakukan pada tanggal 24 Maret pukul 00.00. Ternyata, bumi
hangus dilaksanakan lebih awal yakni pukul 21.00. Gedung pertama yang
diledakkan ialah Bank Rakyat. Disusul dengan pembakaran tempat seperti
Banceuy, Cicadas, Braga dan Tegalega. Anggota TRI membakar sendiri asrama
– asrama mereka. Pada malam tanggal 24 Maret 1946 bukan hanya pasukan
bersenjata yang meninggalkan kota Bandung dan seketika kota itu terbakar.
C. Soal Latihan/ Tugas
1. Berikan analisis saudara mengenai Pertempuran Surabaya sebagai simbol
nasional perlawanan Indonesia atas kolonalisme!
2. Coba saudara berikan analisis mengenai peranan kol Soedirman dalam
pertempuran Ambarawa!
3. Berikan analisis saudara mengenai sebab terjadinya peristiwa Bandung
Lautan Api!

D. Referensi
Djanoed Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah
Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
Maeswara, Garda. 2010. Sejarah Revolusi Indonesia. Yogyakarta: Narasi.
Poesponegoro, Marwati Djoened. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta Gadjah Mada
University Press

Anda mungkin juga menyukai