Anda di halaman 1dari 6

TUGAS AKHIR SEMESTER 3

BAHASA INDONESIA

Disusun oleh :

AHMAD RIZAL ADI NUGROHO ( XI MIPA 9 / 01 )

SMA NEGERI 2 KEDIRI

NPSN. 20534388 NIS. 200004

Website : https://sman2kediri.sch.id E-mail : smadakdr@yahoo.com

Jalan Veteran 7 Kode Pos 64112 Kediri Telp / fax : 0354-771759

2020 / 2021
Robu dan Harapan Bapak

"Wah, gimana Mas Robu, rasanya punya 300 kafe yag tersebar di Jawa Timur dan
lebih dari 600 unit waralaba serta kebun yang berhektar-hektar di seluruh Indonesia ?" ucap
seorang presenter muda yang duduk berhadapan denganku, anggun seirama dengan setelan
jas dan mikrofon yang digenggamannya.

Dengan gugup aku menjawab pertanyaannya, "Alhamdulillah, rasanya sangat senang,


berkat semangat dan dukungan banyak pihak saya bisa mendirikan semua itu. Selain itu,
almarhum Bapak saya juga terus memberikan inspirasi pada saya."

"Wah, Mas Robu memang rendah hati, kira-kira jika Mas Robu bisa kembali ke masa
lalu, apasih yang pengen Mas Robu sampaikan kepada almarhum Bapak ?" tanya presenter
dengan muka rasa ingin tahunya.

Seketika fokusku hilang, aku terdiam, gemuruh suara penonton yang menunggu
jawaban. Aku terlelap dalam lamunan yang begitu dalam, aku terbawa ke dalam bayangan
masa lalu .

Pagi itu aku terbangun lebih pagi dari biasanya. Bukan karena suara kokok ayam yang
menggema, bukan pula karena sinar pagi telah menyingsing. Namun, karena Bapak. Bapak
dan aroma kopi hangatnya membuat indra penciumanku meningkat, disusul dengan mataku
yang terbuka lebar dan badanku yang tiba-tiba semangat untuk memulai hari. Setiap hari
Bapak memang minum kopi. Namun, pagi itu kopi yang Bapak minum lebih spesial dari
biasanya yang membuat harumnya mampu mengalihkan dunia.

"Loh, tumben anak Bapak sudah bangun ?" ucapnya saat itu.

"Kopinya Bapak baunya wangi sampai aku pengen nyium baunya terus," ucapku yang
masih berusia tujuh tahun dengan polosnya.

"Pak, aku boleh cobain kopinya gak ?" timpalku.

Sambil mengelus kepalaku Bapak berkata, "Ini kopi robusta namanya, wangi baunya
tetapi pait rasanya, anak kecil kayak kamu mana doyan." Tak lama setelah itu Bapak berdiri,
menghabiskan cairan hitam di gelas yang penuh asap bernama kopi robusta itu sambil
berkata, "Udah, mending ikut Bapak manen kopi di kebun."
Dengan sedikit kekecewaan karena tidak bisa mencicipi kopi Bapak aku berdiri dan
mengikutinya ke sawah. Pada saat itu keluargaku bukanlah keluarga yang berkecukupan.
Pekerjaan Bapak hanyalah buruh kebun kopi dan Ibu di rumah merawat kami sambil sesekali
ikut membantu Bapak menumbuk dan menggoreng kopi. Keluarga kami memang hanya
terdiri dari tiga orang. Namun, beban ekonomi kami terbilang tinggi karena Bapak juga harus
membiayai pengobatan Nenek yang terkena penyakit jantung.

Rumahku berjarak tidak jauh dari kebun tempat Bapak bekerja, diwaktu luang aku
membantu Bapak memanen kopi yang nanti akan diolah. Setiap harinya berkutik dengan
dunia perkopian lebih dari 8 jam di kebun, meskipun aku sering bertanya pada Bapak apakah
kesehariannya lelah, beliau selalu menjawab, "Nak, kopi sudah menjadi bagian dari keluarga
dan budaya kita. Bapak bekerja jadi petani kopi, Ibu bekerja menumbuk kopi, bahkan
kakekmu dulu juga bekerja sebagai petani kopi. Keluarga kita bergantung pada kopi untuk
mencari makan. Itulah yang membuat Bapak tidak pernah lelah untuk terus berkutat dengan
kopi."

Meskipun saat itu usiaku terbilang masih sangat belia, Bapak sudah menanamkan
padaku berbagai macam kemahiran yang berhubungan dengan pekerjaan Bapak dalam bidang
kopi, meskipun Bapak dan Ibu bukanlah sarjana. Namun, mereka berusaha mati-matian
untuk membuat nasibku lebih baik.

Namun, sayang sekali semangat Bapak yang terus menjadi motivasiku harus sirna. Di
malam itu, malam yang terasa sama seperti biasanya. Angin berhembus semilir diikuti suara
binatang malam yang bersautan, Bapak mengeluh jika ia merasa lelah dan pusing
berkepanjangan, Ibu yang khawatir mengajak Bapak menuju puskesmas terdekat untuk
memeriksakan keadaan Bapak. Namun, Bapak menolak dengan alasan takut tidak memiliki
dana untuk pengobatan Nenek. Hari-hari terus berlalu, kesehatan Bapak kian memburuk
bahkan Bapak sempat pingsan saat bekerja sehingga Ibu memintaku menemani Bapak ke
ladang. Disana aku mengingat Bapak berkata, "Nak, kamu harus bisa jaga Ibu dengan baik,
ya ? Bapak memberi kamu nama Robu dari nama kopi robusta. Bapak merawat kopi itu di
kebun ini yang mempunyai arti kuat. Bapak harap ‘kuat’ bukan hanya kata yang melekat
didirimu saja tetapi merupakan cerminan jiwa kamu yang sebenarnya"

Seorang anak tujuh tahun mendengar perkataan tersebut, campur aduk rasanya
mendapatkan amanah untuk menjaga Ibu, sedangkan aku sendiri bahkan tidak bisa menjaga
diriku dengan baik dan benar. Tidak ada satu pun hal buruk yang terbesit dibenakku kala itu.
‘Suatu kebodohan yang terlampau kelam’ Setidaknya itulah yang ingin kusampaikan pada
diriku di masa lalu.

Mentari tampak jelas makin menjauhi diriku yang saat itu berjalan di belakang Bapak
menuju rumah. Setiap menit makin menghilang sinarnya dari pelupuk mata. Tampak sinar
jingga cerah bersinar membuat langit berwarna merah dan membuat siluet bayangan Bapak
terlihat begitu nyata. Di depan pintu terlihat Ibu melambaikan tangan membawa secangkir
kopi hitam yang baunya semerbak, terlihat senyum tipis dipipinya. Selama menikmati
suasana sore itu, Bapak terasa lebih banyak berbicara pada aku dan Ibu. Ia bercerita mengenai
tentang pertemuan Bapak dan Ibu pertama kali, betapa cintanya Bapak pada kebun kopi yang
ia datangi tiap hari, dan betapa besar rasa sayangnya pada kopi robusta yang ia teguk tiap
hari. Namun, yang paling aku ingat Bapak berkata, "Nak, kalau nanti kamu sudah besar,
Bapak mau kamu melanjutkan budaya keluarga kita yang terus berhubungan dengan kopi dan
buat Ibu bangga padamu."

Aku merasakan kehangatan yang begitu dalam menyelimuti keluarga kecil kami.
Namun, semuanya sirna begitu saja, kala itu malam tiba sunyi mulai terasa, hanya suara
hening yang menemani dengan rumput dan daun yang bergoyang di hembus oleh angin
malam, mendadak aku mendengarkan teriakan kencang dari kamar orang tuaku.

"Bapakkk," suara Ibu bergema. Saat kudatangi air matanya berderai deras dengan
tangan mengepal memeluk erat tubuh lelaki dengan kulit sawo matang itu yang sudah
terbujur kaku.

‘Bapak sudah pergi’

Selama tujuh hari tujuh malam rumah kami penuh akan deraian air mata, sanak
saudara silih berganti datang, membawa air mata lalu pulang. Ibu yang kehilangan Bapak
masih tetap duduk di sudut itu sembari tersedu-sedu. Mereka mencoba menenangkannya
dengan berkata, "Tidak usah menangis". Namun, Ibu lebih histeris saat mendengar kata itu,
kudatangi Ibu dan kupeluk erat dirinya, pasti beban pikirannya banyak. Bagaimana tidak, Ibu
tidak mempunyai pekerjaan tetap tetapi dia harus menghidupiku.

Hari-hari telah berlalu terhitung sudah lebih dari sebulan kepergian Bapak. Ibu
memilih menggantikan pekerjaan Bapak, sedangkan aku membantu warung tetanggaku
sepulang sekolah untuk menambah penghasilan keluarga kami. Disana aku belajar menyeduh
kopi, mulai dari kopi sachet hingga kopi bubuk sudah pernah kucoba, meskipun penghasilan
kami tidak banyak tetapi kami tetap giat membanting tulang. Hingga saat itu usia beliaku
tiba. Tanpa sengaja aku melihat lowongan kerja disuatu kafe yang ramai dimana para
pegawai nampak kesulitan meladeni para pelanggan, tanganku tergerak membuka pintu kafe
itu. Aku pun menuju meja pesanan seraya bertanya, "Kak, masih buka lowongan pekerjaan ?"

Seketika semua karyawan disana memandangiku yang masih menggunakan seragam


sekolah lengkap. Salah seorang karyawan keluar dari ruangan nampaknya ia adalah manajer
disana.

Orang itu namanya Pak Rudi, ia memanggilku keruangannya dan memintaku duduk
disebuah kursi berkaki empat tepat didepannya, tanpa basa basi ia berkata, "Jadi apa
pengalamanmu?"

Lalu aku menjawab, “Aku mungkin memang bukan peracik kopi yang handal dan
pengalamanku masih jauh dibawah orang orang. Namun, aku besar pada keluarga yang
mencintai kopi, selanjutnya kami saling berbincang selama 30 menit lamanya.”

Diakhir perbincangan kami, ia memberiku celemek bergambar kopi di atasnya dan


berkata, "Besok datang kesini sepulang sekolah, ya ? kamu bisa mulai kerja paruh waktu
disini, sambil cari-cari pengalaman."

Mulai dari sana semua berjalan begitu cepat, lima tahun bekerja di warung kopi
tetangga dan tiga tahun bekerja di kafe Pak Rudi memberiku banyak cerita dan pengalaman.
Momen-momen itu berjalan seiring dengan lulusnya aku dari SMA. Besar keinginan Ibu
untuk membawaku ke jenjang kuliah . Namun, aku sadar ekonomi kami tidak sebaik itu,
meski begitu Ibu mati-matian mengelak ingin menyekolahkanku hingga jenjang S1.

Akhirnya, aku megambil jalan tengah untuk tetap masuk universitas sembari bekerja
paruh waktu. Saat siang aku belajar dan malamnya aku membuka warung sederhana di depan
rumahku dengan modal tabunganku.

Rasanya seperti mimpi saat terbangun. Aku sudah berada di dunia yang kuimpikan,
dari warung yang kubuka di teras rumah, terus berkembang hingga aku membuka warung
ditempat lain lagi. Lalu, berkat bantuan Ibu yang menjual perhiasannya, aku dapat
membangun kafe sederhana. Tidak kusangka teman-temanku datang dan berinvestasi di
kafeku. Mungkin terdengar mudah. Namun, banyak pengorbanan yang harus aku lakukan.
Tenaga, waktu bahkan kesehatanku menjadi pertaruhan. Semuanya terus kukejar untuk
menjalankan amanah Bapak agar dapat membuat Ibu bahagia dan bangga padaku.
Tak terasa sudah beberapa warsa. Aku berhasil membawa Ibu kepada griya yang aku
hadiahkan khusus padanya dekat dengan peristirahatan Bapak. Ibu meneteskan air mata
bahagia dan memelukku, aku pun memeluknya balik. Kami menikmati waktu bersama kami
yang hilang selama aku bekerja. ‘Andai Bapak masih ada disini, pasti Ibu lebih bahagia’ Satu
satunya hal yang terpikirkan dibenakku saat itu.

" Mas Robu??" ucap presenter didepanku.

Kesadaranku kembali, aku masih ada di sesi wawancara itu. Aku pun menjawab
pertanyaan presenter, "Ah, maaf, saya tadi sedikit teringat almarhum Bapak. Ehmm, jika
Bapak masih ada disini saya ingin menyampaikan pada beliau kalau Robu sudah gede. Robu
pengen duduk lagi bareng Bapak sambal minum kopi yang Bapak bilang pait. Robu juga
pengen kita kumpul lagi bareng-bareng. Robu sudah berusaha semaksimal mungkin menjaga
Ibu dan membuat Ibu bangga padaku. Seperti kata Bapak, Robu artinya kuat sehingga Robu
berusaha semaksimal mungkin untuk tetap berdiri tegak meski Bapak sudah pergi. Terima
kasih, pak, atas segalanya."

Sekuat tenaga aku berusaha menahan air mataku. Namun, tak kuat lagi terbendung,
gemuruh tepuk tangan penonton mengema diseluruh ruangan, berjuta mata menatapku dari
layar kaca. Inilah ceritaku sebagai anak dari perkebunan kopi yang berjuang mati-matian dan
hidup bersama Ibu untuk menjalankan amanah dari Bapak yang hidup bahagia di alam sana.

Anda mungkin juga menyukai

  • PELUANG-bank Soal Persiapan PAT
    PELUANG-bank Soal Persiapan PAT
    Dokumen12 halaman
    PELUANG-bank Soal Persiapan PAT
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat
  • Soal-Pat-Mat Wajib
    Soal-Pat-Mat Wajib
    Dokumen2 halaman
    Soal-Pat-Mat Wajib
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat
  • Laporan Uprak BINDON
    Laporan Uprak BINDON
    Dokumen8 halaman
    Laporan Uprak BINDON
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat
  • MC Tumpeng
    MC Tumpeng
    Dokumen2 halaman
    MC Tumpeng
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat
  • Jaringan Hewan
    Jaringan Hewan
    Dokumen7 halaman
    Jaringan Hewan
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat
  • Visi 1
    Visi 1
    Dokumen4 halaman
    Visi 1
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat
  • Visi
    Visi
    Dokumen1 halaman
    Visi
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat
  • Teks Promosi Amane
    Teks Promosi Amane
    Dokumen2 halaman
    Teks Promosi Amane
    TheHass SlingingSlasher
    Belum ada peringkat