Sejak pertumbuhan ekonomi yang meningkat hingga mencapai sekitar 6 % per tahun di Era
Orde Baru, kota-kota besar di Indonesia tumbuh semakin pesat. Pada tahun 2008 jumlah
penduduk yang menghuni kawasan perkotaan sudah melampaui separuh penduduk Indonesia.
Namun, proses urbanisasi yang cepat lebih banyak menimbulkan berbagai kekecewaan
ketimbang kenyamanan dan kesejahteraan. Masyarakat perkotaan di Indonesia selalu
mengeluh soal buruknya kualitas ruang kota dan berbagai prasarana dasar seperti air bersih,
sanitasi, tenaga listrik, perumahan, transportasi dan sebagainya.
1
Program Studi Magister Arsitektur
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Tabel. Penduduk Kota dan Desa di Negara Maju dan Berkembang, 1950 – 2030
(Sumber: United Nations Population Division, 2002)
Perkembangan kota-kota terus menjalar tidak terkendali sehingga menyebabkan bentuk jalan
yang berkelok-kelok tanpa jaringan trotoar yang memadai, tanpa tata-guna tanah yang
terkonsolidasi baik sehingga menimbulkan ruang-ruang sisa yang tidak terkendali. Struktur
ruang pinggiran kota yang sudah terlanjur berantakan sulit untuk direstrukturisasi.
3
Program Studi Magister Arsitektur
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Semua fenomena kota seperti di atas adalah ciri-ciri urbanisasi yang cepat namun tidak
terencana dan terkendali dengan baik, sehingga menimbulkan fenomena kota yang eksklusif,
tidak berkeadilan, tidak berkelanjutan dan menimbulkan gejala urban inequilibrium.
Kesimpulannya, miskelola pembangunan kota sekaligus menjadi titik lemah penyediaan
perumahan, sehingga membawa Indonesia ke dalam krisis perumahan dan perkotaan
sekaligus. Inilah fenomena irreversible effect dari pembangunan infrastruktur perumahan dan
perkotaan yang menyebabkan masyarakat yang terjebak di dalam pembangunan kota yang
tidak manusiawi, menurunkan kualitas kehidupan dan menyebabkan masyarakat yang sakit.
Isu pentingnya kemudian adalah, bagaimana menjalankan proses untuk mencapai kota-kota
yang mencapai tingkatan urban equilibrium ? Inilah yang disebut dengan mengelola kota
yang inklusif dan berkelanjutan.
Kota-kota yang tidak manusiawi adalah cerminan lemahnya kebijakan perumahan rakyat,
buruknya manajemen pembangunan kota dan inefektifitas penataan ruang. Kinerja yang
buruk ini selama berpuluh-puluh tahun terus dibiarkan di hadapan urbanisasi yang semakin
tidak terkendali. Untuk itu, pembangunan perumahan dan perkotaan menjadi penting untuk
bisa dikendalikan secara efektif. Tujuannya bukan semata untuk mengembangkan program
infrastruktur, namun tiada lain adalah untuk mencapai integrasi sosial di dalam suatu harmoni
ruang kota yang ramah lingkungan, mengentaskan angka housing backlog dan mencapai
target kota-kota yang bebas kumuh serta sekaligus mengentaskan kemiskinan.
Di tengah krisis perumahan dan perkotaan seperti digambarkan di atas, diperlukan program-
program terobosan seperti penyediaan perumahan publik, perumahan swadaya,
pemberdayaan komunitas, penataan kota secara terpadu dan pembangunan kota-kota baru
dalam jumlah yang signifikan dan waktu yang secepat-cepatnya. Meskipun sederhana,
namun semua program harus menjamin terpenuhinya standar kelayakan bangunan dan
prasarana dasar serta pengelolaannya.
4
Program Studi Magister Arsitektur
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Indonesia harus memiliki Cetak Biru pembangunan kawasan permukiman dan kota-kota baru
yang menyediakan semua kebutuhan dasar secara layak dan berstandar setidaknya di 20 (dua
puluh) kota-kota metropolitan dan kota-kota besar di seluruh tanah air. Beberapa konsep
terkait kapasitas kelembagaan dan manajemen aset publik harus segera diterapkan
konektifitas transportasi publik dan prasarana dasar, kemandirian dan proses kelengkapan
fasilitas, serta tata bentuk dan kompaksitas bangunan dan peraturan zonasi kawasan.
Strategi pembangunan permukiman dan perkotaan tidak diawali semata oleh pembuatan
masterplan ataupun diakhiri dengan serah terima bangunan. Seluruh proses perencanaan,
pembangunan dan pengelolaan harus bersifat evolutif dan berkelanjutan dalam jangka
menengah dan panjang. Bertahap dan semakin disempurnakan, yang seiring sejalan dengan
perkembangan permukiman itu sendiri.
Di dalam Cetak Biru tersebut pembangunan kota-kota baru direncanakan sebagai tempat-
tempat tinggal warga Indonesia di mana semua penghuni dari beragam kelas sosial dan
ekonomi hidup bersama secara harmonis hingga mereka merasa betah seperti di rumah
sendiri. Tempat tinggal dimana warga penduduk pergi ke semua tempat kerja yang terhubung
dengan transportasi publik yang nyaman dan terjangkau. Anak-anak mereka pergi ke
sekolah-sekolah dan ibu-ibu pergi ke pasar, rumah sakit dan balai warga, semuanya dalam
jarak lokal kurang dari dua kilometer.
Hal ini tidak bisa ditawar-tawar lagi dalam rangka membangun Masyarakat Indonesia Baru
yang lebih sejahtera. Untuk itu, setidaknya ada lima strategi yang perlu disusun secara
seksama, yaitu: membangun masyarakat melalui pemberdayaan komunitas, penataan guna
lahan campuran dan kompak, ruang terbuka hijau untuk semua, penyediaan multi-sistem
perumahan rakyat dan pembangunan kota-kota baru.
Gagasan mengenai kota inklusif berangkat dari kenyataan bahwa kondisi kota-kota di negara-
negara berkembang semakin memburuk sebagai akibat dari kebijakan makro-ekonomi dan
industrialisasi yang tidak tepat terjadi bersamaan dengan buruknya tata-kelola perkotaan.
Dampak dari kegagalan kebijakan ekonomi dan perkotaan tersebut adalah semakin menjadi-
jadinya korupsi anggaran pembangunan, alokasi sumberdaya pembangunan yang tidak
berkeadilan dan akhirnya semakin melebarnya jurang sosial-ekonomi penduduk dan
bermuara pada meluasnya kemiskinan perkotaan. Semua kegagalan pembangunan ini
disebabkan kelemahan yang akut dalam membangun sistem penyediaan yang terdiri dari
5
Program Studi Magister Arsitektur
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
mekanisme-mekanisme yang efektif di lapangan, karena tidak didasari tujuan untuk
memenuhi berbagai kebutuhan dasar warga kota dengan mengacu pada pemenuhan hak-hak
dasar manusia.
1. Kepemimpinan kota dan kemauan politik kota dalam menyusun tata kelola kota untuk
semua.
2. Keamanan bermukim, yang terkait dengan hak-hak kepemilikan dan penggunaan yang
diperluas.
3. Akses yang luas terhadap sumber-sumberdaya perkotaan, termasuk lapangan pekerjaan,
iklim dan modal berusaha, pelayanan kebutuhan dasar dan prasarana dasar.
4. Pengembangan potensi-potensi lokal dan berbagai teknologi tepat guna yang melibatkan
kelompok masyarakat berpendapatan rendah
5. Penguatan modal-modal sosial perkotaan seperti penguatan komunikasi antar pelaku
pembangunan, penguatan komunitas, organisasi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat.
6. Penggunaan strategi dan pendekatan pembangunan yang terpadu dan komprehensif,
termasuk rencana pembangunan jangka panjang dan menengah, komitmen anggaran
yang berkelanjutan, kapasitas tata-kelola unit-unit pembangunan kota, serta komitmen
penuh dari para pelaku pembangunan di tingkat lokal.
Bahan bacaan: UNCHS, 2003, Challenges of Slums, Global Report on Human Settlements 2003,
Chapter 9 Towards Inclusive Cities: Reconsidering Development Priorities
6
Program Studi Magister Arsitektur
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
***