Anda di halaman 1dari 21

TUGAS MAKALAH DOSEN PENGAMPU

SEJARAH ISLAM INDONESIA Dessy Yoeliani Wikaryo, M. Pd.

Perkembangan Tasawuf di Dunia Islam & Aliran Tarekat-


tarekatnya

Oleh: Kelompok 6

AHMAD AL ANSHORY : 170102010319


AMANUL YAKIN : 170102010355
AHMAD MUZAKKI RAHMAN : 170102010199

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI ANTASARI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2020
BAB I

Pendahuluan.

A. Latar Belakang.
Dalam perkembangan Islam diseluruh dunia, dalam menciptakan manusia
yang bertakwa dan berakhlak mulia, ulama dalam pelaksanaannya menggunakan
berbagai strategi, gerakan dan Aliran.
Tasawuf merupakan salah satu dalam ilmu islam, seperti yang di
ungkapkan ulama Ahlussunnah Wal jamaah bahwa Umat islam wajib menuntuk 3
Ilmu bagi tiap individu. Yakni Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf. Dalam
pembahasan kami kelompok 6 berusaha mencari dan menyajikan sejarah
perkembangan Tasawuf di dunia islam dan aliran-aliran Tarekat.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita dan semoga Allah
memahamkan kita atas ilmu yang kita pelajari.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perkembangan Tasawuf di Seluruh Dunia?
2. Bagaimana Aliran-aliran Tarekat dalam Islam.?
C. Tujuan Penulisan.
1. Untuk mengetahui Bagaimana Perkembangan Tasawuf di Seluruh
Dunia
2. Untuk mengetahui Bagaimana Aliran-aliran Tarekat dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf

Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur
Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim al-Kufy (w. 250 H)
meletakkan kata al-Sufi dibelakang namanya pada abad ke 3 Hijriyah. Menurut
Nicholson, sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur, sebelum Abu Hasyim
al-Kufy telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, tawakkal, dan dalam
mahabbah, namun mereka tidak menggunakan atau mencantumkan kata al-sufi.
Jadi tetap Abu Hasyim orang yang pertama memunculkan istilah itu.1

Nikholson salah seorang sarjana Barat telah menghabiskan waktu yang


cukup lama dalam menyelidiki tasawuf. Telah mengumpulkan puluhan definisi
yang diungkapkan para tokoh sufi yang pada akhirnya berpendapat bahwa tasawuf
tidak dapat didefinisikan.2 Tasawuf merupakan ekspresi pengalaman rohani,
ungkapan-ungkapan mereka berbeda sesuai dengan budaya dan intelektual yang
dimiliki Ahmad Amin dalam bukunya Zhuhru al Islam mengatakan, tasawuf
adalah suatu kecendrungan, dia bukanlah sebuah sekte seperti Syi„ah, Muktazilah,
dan Ahlu Sunnah, bahkan seorang Nasrani, Yahudi, Hindu dan Budha, juga bisa
sebagai seorang pencinta tasawuf.3

Secara etimologi, para ahli berbeda pendapat tentang akar kata tasawuf.
Setidaknya ada ada enam pendapat dalam hal itu, yakni: (1) kata suffah yang
berarti emperan masjid Nabawi yang didiami oleh sebagian sahabat Anshar. Hal
ini karena amaliah ahli tasawuf hampir sama dengan apa yang diamalkan oleh

1
HM. Amin Syukur, “Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad
21”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 7-8.
2
Ahmad Amin, Dzuhrul Islam, jld IV, (Kairo: Maktabah an Nahdh al Misriyah, 1964), h.
156.
3
Harun Nasution, Filsafat Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), h.58.
para sahabat tersebut, yakni mendekatkan diri kepada Allah Swt., dan hidup
dalam kesederhanaan.4(2) kata Shaf yang berarti barisan. Istilah ini dianggap oleh
sebagian ahli sebagai akar kata tasawuf karena ahli tasawuf ialah seorang atau
sekelompok orang yang membersihkan hati, sehingga mereka diharapkan berada
pada barisan (shaf) pertama di sisi Allah Swt. (3) kata shafayang berarti bersih,
karena ahli tasawuf berusaha untuk membersihkan jiwa mereka guna
mendekatkan diri kepada Allah Swt. (4) kata shufanah, nama sebuah kayu yang
bertahan tumbuh di padang pasir. Hal ini karena ajaran tasawuf mampu bertahan
dalam situasi yang penuh pergolakan ketika itu, ketika umat muslim terbuai oleh
materialisme dan kekuasaan, sebagaimana kayu shufanah yang tahan hidup
ditengah-tengah padang pasir yang tandus. (5) Kata Teoshofi, bahasa Yunaniyang
berarti ilmu ketuhanan, karena tasawuf banyak membahas tentang ketuhanan. (6)
kata shufyang berarti bulu domba, karena para ahli tasawuf pada masa awal
memakai pakaian sederhana yang terbuat dari kulit atau bulu domba (wol).5

Definisi tasawuf dalam puisi tersebut dapat diambil pemahaman bahwa


tasawuf adalah: (1) akhlak mulia dan muraqabahkepada Tuhan (Ihsan); (2) cinta
dan kasih sayang (Mahabbah) kepada Tuhan; (3) inti atau akar agama guna
mencapai kedamaian hati; (4) mengkonsentrasikan pikiran [sesuai ajaran
Muhammad] kepada Allah [penyatuan]; (5) kontemplasi yang bertualang menuju
tahta ketuhanan; (6) penjagaan seseorang terhadap imajinasi dan perkiraan guna
mendapatkan keyakinan atau kepastian; (7) penyerahan jiwa kepada Tuhan; (8)
jalan iman dan penegasan persatuan kepada Tuhan; (9) jalan yang halus dan
diterangi untuk menuju surga yang paling mulia; (10)jalan untuk menemukan rasa
agama [penghayatan mendalam, pen]; dan (11) syari‟at. Dari semua definisi di
atas, bisa disimpulkan bahwa pengertian tasawuf adalah bagian dari syari‟at islam
yang memuat suatu metode untuk mencapai kedekatan atau penyatuan antara

4
Julian Baldick, “Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf”, terj. Satrio
Wahono, (Jakarta: Serambi, 2002.), h. 42.
5
Aly Mashar, “Tasawuf: Sejarah, Mazhab, dan Inti Ajarannya”, Jurnal Pemikiran Islam
dan Filsafat, Jurusan Tafsir Hadis dan Akidah FIlsafat IAIN Jakarta, Vol. 12, No.1, Januari-Juni
2015, h. 99.
hamba dan Tuhan dan juga untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan hakiki
(mak‟rifat) dan atau inti rasa agama. 6

B. Perkembangan Tasawuf dalam Dunia Islam


1. Tasawuf pada Abad Pertama dan Kedua Hijriyah

Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime merupakan


fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua Hijriyah.
Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus. Asketisisme
bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi, melainkan hikmah
pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pandangan khusus
terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha,
namun kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbu mereka,
serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Istilah yang populer
digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan „ubbaad.
Nussaakmerupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang
telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad
adalah bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia,
kemegahan, harta benda dan pangkat. Sedangkan ubbaad merupakan bentuk
jamak dari abid yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-
mata kepada Tuhan.

Para ahli berbeda pendapat mengenai faktor-faktor yang menyebabkan


munculnya gerakan asketisisme dalam Islam. R.A. Nicholson berpandangan
bahwa asketisisme dalam Islambersumber dari gerakan Islamitu sendiri,
bahkan hasil nyata dari ide Islamtentang Allah, walaupun ada dampak
pengaruh agama Masehi (Kristen). Sedangkan Ignaz Goldziher melihatnya
melalui dua perspektif. Pertama, asketisisme yang mendekati semangat
Islamdan Ahlus Sunnah, sekalipun terkena pula dampak asketisisme Masehi.
Kedua, tasawuf dalam pengertiannya yang luas yang berkaitan dengan
pengenalan terhadap Allah (ma‟rifah), keadaan ruhaniah (hal), dan rasa
(dzauq). Menurutnya yang kedua ini terkena dampak Neo-Platonisme dan
6
Aly Mashar, Tasawuf: Sejarah…, h. 100.
ajaran-ajaran Budha ataupun Hindu. Dengan demikian, kedua orientalis di atas
menganggap asketisisme dalam Islammuncul dikarenakan dua faktor utama,
yaitu Islamitu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda
pendapat tentang sejauh mana dampak faktor yang terakhir. Sementara itu,
Abu al-Ala Afifi berpendapat bahwa ada empat faktor yang mengembangkan
asketisisme dalam Islam. Pertama, ajaran-ajaran Islamitu sendiri. Kitab suci
Al-Quran sendiri telah mendorong manusia agar hidup saleh, takwa kepada
Allah, menghindari dunia beserta hiasannya, memandangrendah hal-hal yang
duniawi, dan memandang tinggi kehidupan di akhirat. Selain itu Al-Quran
juga menyeru manusia agar beribadah, bertingkah laku baik, salat malam,
salat tahajud, berpuasa dan lain-lain.Kedua, revolusi ruhaniah kaum Muslim
terhadap sistemsosio-politik yang berlaku. Ketiga, karena dampak asketisisme
Masehi. Di zaman pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab terkena dampak para
pendeta Masehi. Dampaknya terhadap para asketis Muslim, setelah timbulnya
Islam, masih tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu lebih
banyak terhadap organisasionalnya ketimbang terhadap aspek prinsip-prinsip
umumnya. Keempat, penentangan terhadap fikih dan kalam. Sebagian kaum
Muslim yang saleh pada masa itu merasa bahwa pemahaman para fuqaha dan
ahli kalam tentang Islam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan
keagamaan mereka. Sehingga mereka pun mengarah pada tasawuf untuk
memenuhi kehausan perasaan keagamaan mereka. Sedangkan Abu al-Wafa‟
al-Taftazani sendiri, melihatnya secara global dari dua aspek. Pertama, faktor
Al-Quran dan Sunnah. Faktor pertama dan utama yang mengembangkan
asketisisme dalam Islamadalah ajaran Islamyang terkandung dalam Al-Quran
dan Sunnah yang berkaitan dengan uraian tentang ketidakartian dunia maupun
hiasannya, dan perlunya berusaha secara sungguh-sungguh demi akhirat,
untuk memperoleh pahala surga ataupun selamat dari azab neraka. Bagi
Taftazani, ada banyak ayat tentang kefanaan dunia, serta hamba-hamba Allah
yang selalu membersihkan diri. 7

7
Ali Rif‟an, “Sejarah dan Perkembangan Tasawuf dalam Tradisi Islam, h. 8-9.
Kedua, kondisi sosio-politik. Konflik politik yang terjadi sejak akhir
masa Khalifah Utsman bin Affan r.a. mempunyai dampak terhadap kehidupan
religius, sosial dan politik kaum Muslim. Puncaknya adalah pada zaman
dinasti Umayyah yang banyak terjadi kezaliman dan penindasan sehingga
banyak orang cenderung pada asketisisme. Kekuasan Bani Umayyah yang
juga hidup dalam kemewahan duniawi mengundang reaksi kaum asketisisme
yang menginginkan kesederhanaan hidup dan tercipta kesetaraan hidup umat
Islam. Kaum asketisisme pertama ini melihat para Khalifah Umayyah
bertingkah laku sama sekali bertentangan dengan kesalehan dan
kesederhanaan empat Khalifah yang pertama. Para Khalifah, keluarga dan
para pembesar istana hidup dalam kemewahan sebagai akibat dari kekayaan
yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotamia, dan
Persia. Muawiyah telah hidup sebagai raja-raja Roma dan Persia dalam
kemewahannya. Di antara Khalifah Bani Umayyah, hanya Khalifah Umar
Abdul Aziz (717-720M.) yang dikenal sebagai Khalifah yang mempunyai sifat
takwa dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya. Khalifah
lainnya hidup dalam kemewahan. Khalifah-khalifah Bani Abbas juga
demikian, selalu dipenuhi dengan keglamoran hidup dan pertikaian. Melihat
fakta-fakta tersebut, orang-orang yang tidak mau terlena dalam hidup
kemewahan dan ingin mempertahankan hidup sederhana, menjauhkan diri dari
kemewahan dunia tersebut. Bahkan di antara sebagian sahabat ada juga
melakukan protes secara keras, seperti Abu Dzar al-Ghiffari dan Said Ibnu
Zubair, sehingga menimbulkan gejolak pada Bani Umayyah.8

Pada paruh kedua Abad ke-1 Hijriyah, muncul nama Hasan Basri
(642-728M), seorang tokoh zahid pertama dan termasyhur dalam sejarah
tasawuf. Hasan Basri tampil pertama dengan mengajarkan ajaran khauf
(takut) dan raja‟ (berharap), setelah itu diikuti oleh beberapa guru yang
mengadakan gerakan pembaharuan hidup kerohaniahan dikalangan muslimin.
Ajaran-ajaran yang muncul pada abad ini yakni khauf, raja‟, ju‟(sedikit

8
Ali Rif‟an, Sejarah dan Perkembangan…, h. 10.
makan), sedikit bicara, sedikit tidur, zuhud (menjauhi dunia)
khalwat(menyepi), shalat sunnah sepanjang malam dan puasa disiang harinya,
menahan nafsu, kesederhanaan, memperbanyak membaca al-Qur‟an dan lain-
lainnya. Para zahid ketika ini sangat kuat memegang dimensi eksteral Islam
(Syari‟ah) dan pada waktu yang sama juga menghidupkan dimensi internal
(Bathiniyyah). 9 Selain tokoh ini, juga Rabiah al-Adawiyah (w.185H) dengan
ajaran populernya al-mahabbah. Dengan ajaran ini dia menghambakan diri
sepenuhnya kepada Allah Swt tanpa atau menghilangan harapan imbalan atas
surga dan karena takut atas ancaman neraka.10 Pada abad ini tasawuf tidak
banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni bercorak kezuhudan. Meski
demikian, pada abad ini juga mulai muncul beberapa istilah pelik yang antara
lain adalah kebersihan jiwa, kemurnian hati, hidup ikhlas, menolak pemberian
orang, bekerja mencari makan dengan usaha sendiri, berdiam diri, melakukan
safar, memperbanyak dzikir dan riyadlah. Tokoh yang mempernalkan istilah
ini antara lain Ali Syaqiq al-Balkhy, Ma‟ruf al-Karkhy dan Ibrahim ibn
Adham.11

2. Tasawuf pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah


Walaupun sulit menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara
gerakan asketisisme dan tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad
ketiga Hijriyah sudah terlihat adanya peralihan dari asketisisme menuju
tasawuf. Para asketis pada masa ketiga Hijriyah tidak lagi dikenal dengan
gelar tersebut, tapi mereka lebih dikenal dengan sebutan sufi. Istilah-istilah
lain yang sebelumnya lebih populer, seperti zuhhaad dan nussaak, secara
perlahan-lahan digantikan oleh istilah sufi yang menjadi sangat terkenal.

Dalam kurun waktu yang sama, tampil Dzu al-Nan al-Mishri (w.245H)
dengan konsepsi metodologi spiritual menuju Allah, yakni al-maqamat yang

9
Aly Mashar, Tasawuf: Sejarah…, h. 103-104.
10
Julian Baldick, “Mystical Islam; An Introduction to Sufism”, (London: I.B. Tauris &
Co Ltd, 1989,) , h. 33.
11
Aly Mashar…, h. 104.
secara parallel berjalan bersama al-hal yang bersifat psiko-gnostik. Sejak
diterimanya secara luas konsepsi al-maqamat dan al-ahwal, perkembangan
tasawuf telah sampai pada tingkat kejelasan perbedaannya dengan kesalehan
asketis, baik dalam tujuan maupun ajarannya. Selain dari pada itu, sejak
periode ini kelihatannya untuk menjadi seorang sufi semakin berat dan sulit,
hampir sama halnya dengan kelahiran kembali seorang manusia, bahkan jauh
lebih berat dari kelahiran pertama. Karena kalau kelahiran pertama
menyongsong kehidupan duniawi yang mengasyikkan, tetapi pada kelahiran
kedua ini, justru melepas dan membuang kehidupan material yang
menyenangkan, untuk kembali ke alam rohaniyah, pengabdian dan kecintaan
serta kesatuan dengan alam malakut. Sementara itu pada abad ketiga ini juga
Abu Yazid al-Busthami (w.260H) melangkah lebih maju dengan doktrin al-
ittihad melalui al-fana, yakni beralih dan meleburnya sifat kemanusiaan
(nasut) seseorang ke dalam sifat ilahiyah sehingga terjadi penyatuan manusia
dengan Tuhan dalam al-fana.

Sejak munculnya doktrin al-fana dan al-ittihad, terjadi pulalah


pergeseran tujuan akhir dari sufisme. Kalau mulanya sufisme bertujuan ethis,
yakni agar selalu dengan Allah sehingga dapat berkomunikasi langsung
dengan Allah, maka selanjutnya tujuan itu menaik lagi pada tingkat penyatuan
diri dengan Tuhan. Konsep ini berangkat dari paradigm, bahwa manusia yang
secara biologis adalah jenis makhluk yang mampu melakukan satu
transformasi dan transendensi melalui peluncuran (mi‟raj) spiritual ke alam
ketuhanan. Berbarengan dengan itu, timbul pula sikap pro-kontra terhadap
konsep al-ittihad dan menjadi salah satu sumber terjadinya konflik dalam
dunia pemikiran Islam, baik intern sufisme maupun dengan fuqaha dan para
teolog. Dua kelompok ini secara bersama menuduh penganut sufisme al-
ittihad sebagai gerakan sempalan yang telah merusak prinsip-prinsip Islam.12
Menurut Abu Al-Wafa‟, pada abad-abad ini ada dua macam aliran

12
Zuherni AB, “Sejarah Perkembangan Tasawuf”, Jurnal Substansia, Universitas Islam
Internasional Malaysia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011, h. 251-252.
tasawuf.Pertama, aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat.
Tasawufnya selalu merujuk kepada Al-Qur‟an dan Sunnah. Dengan kata lain,
tasawuf aliran ini selalu mengikuti pertimbangan syari‟ah. Sebagian sufinya
adalah ulama terkenal dan tasawufnya didominasi ciri-ciri moral. Kedua,
aliran para sufi yang terpesona keadaan-keadaan fana. Mereka ini sering
mengucapkan kata-kata ganjil, yang terkenal sebagai syathahat.13

3. Tasawuf pada Abad Kelima Hijriyah.

Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada
abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis,
yang cenderung dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan
fana‟ mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada
pribadi-pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan
setelahnya.

Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya


disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah wal Jama‟ah melalui
keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy‟ari atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada
era ini cenderung melakukan pembaruan dengan mengembalikannya ke
landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang sangat
terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan dibahas
pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal


pada abad kelima Hijriyah terutama karena karya monumentalnya, al-Risalah
al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di
awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka
para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi memulai kitabnya dengan menguraikan
prinsip-prinsip tauhid, seperti ma‟rifatullah, sifat-sifat, keimanan dan lainnya.
Selanjutnya ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamt wal ahwal,

13
Ali Rif‟an, Sejarah dan Perkembangan…, h. 13.
kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat
mengenai para tokoh sufi ternama.

Menurut Qusyairi, antara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan.


Syariat merupakan disiplin ubudiyah, sedangkan hakikat adalah
musyahadahketuhanan. Setiap syariat yang tidak dikukuhkan dengan hakikat,
tidak bisa diterima. Sebaliknya setiap hakikat yang tidak dikukuhkan syariat,
tidak akan tercapai. Syari‟at berarti menyembah-Nya, sedang hakikat berarti
seorang hamba menyaksikan-Nya.

Begitu pula eksposisinya mengenai tahap-tahap perjalanan sufistik


menuju Tuhan, terlihat sangat sistematis. Dalam perspektif Qusyairi, seorang
hamba tidak akan bisa menaiki satu maqamke maqamlainnya sebelum
terpenuhi hukum-hukum maqam tersebut. Siapa yang belum sepenuhnya
qana‟ah, belum bisa mencapai tahap tawakkal. Siapa yang belum bisa
tawakkal, tidak sah ber-taslim. Siapa yang tidak bertobat, tidak sah ber-inabah.
Dan siapa yang tidak wara‟, tidak sah untuk ber-zuhud. Bahkan ia mampu
menguraikan konsep fana‟yang sering disalah pahami oleh sebagian sufi
lainnya, secara moderat. Fana‟ baginya bukanlah leburnya atau penyatuan
seorang hamba dengan Tuhan, melainkan lenyapnya sifat-sifat tercela pada
diri seorang hamba dan melahirkan ke-baqa‟-an, yakni kekalnya sifat-sifat
terpuji. Dengan uraian semua ini, terlihat sekali bahwa Qusyairi mempunyai
pandangan yang moderat dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.

Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus Sunnah


ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih dikenal
dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran pembaruan dalam
tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-
ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj. Karya Al-Harawi yang
paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin. Dalam karya
ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai
awal dan akhir. Mendekati Qusyairi, ia juga mengungkapkan bahwa tingkatan
akhir tidak bisa diraih tanpa melalui tingkatan awal, seperti halnya bangunan
tidak bisa tegak tanpa berdasarkan fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah
dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.14

Tokoh kedua ialah Al-Harawi. Dia bermadzhab Hanabilah, maka tidak


heran jika dia bersikap tegas dan tandas terhadap tasawuf yang
dianggapmenyeleweng. Hal yang dikritik oleh Al-Harawi atas ajaran tasawuf
semi-falsafiadalah ajaran fana‟ yang dimaknai sebagai kehancuran wujud
sesuatu yang selain Allah Swt. Kemudian dia memberikan pemaknaan baru
atas fana‟ tersebut dengan ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang
disaksikan, Allah Swt. Selain itu, Al-Harawi juga mengkritik syathahiyat.
Terkait ini dia menyatakan bahwa syathahiyathanya muncul dari hati
seseorang yang tidak tentram atau ketidaktenangan.

Kemudian tokoh yang terakhir ialah Al-Ghazali. Dia merupakan tokoh


pembela teologi sunni terbesar, bahkan lebih besar dibanding sang pendirinya,
Abu Hasan Al-Asy‟ari. Al-Ghazali menjauhkan ajaran tasawufnya dari
gnostissebagaimana yang mempengaruhi para filosog muslim, sekte
Isma‟iliyah, Syi‟ah, Ikhwan Shafa dan lain-lain. Ia juga menolak konsep
ketuhanan Aristoteles, yakni emanasi dan penyatuan. Terkait teori kesatuan,
al-Ghazali menyodorkan teori baru tentang ma‟rifat dalam taqarrub ila Allah,
tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya.15

C. Aliran-Aliran Tarekat

Tarekat dalam bahasa Arab berarti: 1. jalan, cara; 2. keadaan; 3. mazhab,


aliran; goresan/garis pada sesuatu; 5. tiang tempat berteduh, tongkat payung; atau
6. yang terkenal dari suatu kaum. Dalam pengertian istilahî, tarekat berarti: 1.
pengembaraan mistik pada umumnya, yaitu gabungan seluruh ajaran dan aturan
praktis yangdiambil dari al-Qur‟an, sunnah Nabi Saw, dan pengalaman guru
spiritual; 2. persaudaraan sufi yang biasanya dinamai sesuai dengan nama
pendirinya.

14
Ali Rif‟an, Sejarah dan Perkembangan…, h. 15-17.
15
Aly Mashar, Tasawuf: Sejarah…, h. 106.
Ilmuan Barat sering menyebut tarekat dengan istilah Sufi Order. Terma
order ini awalnya digunakan dalam kelompokkelompok monastik besar Kristen
seperti Fransiscan dan Benedictan. Pengertian order ini kemudian diluaskan
kepada sekelompok manusia yang hidup bersama di bawah disiplin bersama.
Sehingga kemudian terma order diterapkan penggunaannya pada tarekat.
Tarekat sebagai organized sufism hadir sebagai institusi penyedia layanan
praktis dan terstruktur untuk memandu tahapantahapan perjalanan mistik yang
berpusat pada relasi guru murid; otoritas sang guru yang telah mendaki tahapan-
tahapan mistik harus harus diterima secara keseluruhan oleh sang murid. Ini
diperlukan agar langkah murid untuk bertemu dengan Tuhan dapat terlaksana
dengan sukses.
Relasi guru-murid ini terbangun sambung menyambung hingga sampai
kepada Rasulullah Muhammad Saw sebagai sumbernya. Inilah yang disebut
sebagai silsilah (jama‟: salasul). Silsilah kemungkinan besar merupakan copy-an
dari institusi isnad (sanad) yang digunakan ahli hadis untuk menguatkan validitas
dan otentisitas suatu hadis kepada Rasulullah Saw. Tarekat telah dikenal di dunia
Islam terutama di abad ke 12/13 M (6/7 H) dengan hadirnya tarekat Qadiriyah
yang didasarkan pada sang pendiri Abd Qadir al-Jailani (1077-1166 M), seorang
ahli fiqih Hanbalian yang memiliki pengalaman mistik mendalam. Setelah al-
Jailani wafat, ajaran-ajarannya dikembangkan oleh anak-anaknya dan menyebar
luas ke Asia Barat dan Mesir..16
1. Tarekat Naqsyabandiyah
Tarekat Naqsyabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-
Naqsabandi al-Uwaisi al-Bukhari (w.1389M) di Turkistan.Tarekat ini
merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan
terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-
orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Ciri
yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari‟at secara
ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik

16
Ahmad Khairul Fata, Tarekat, Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai. Vol. 11 No. 2
Desember 2011,, h. 375-376
dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan
kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun
tidak konsisten).
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan
dari asas itu dirumuskan oleh Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya
adalah penambahan oleh Baha‟ al-Din Naqsyaband. Asas-asasnya „Abd al-
Khaliq adalah:Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Nazar bar qadam:
“menjaga langkah” sewaktu berjalan. Safar dar watan: “melakukan perjalanan
di tanah kelahirannya”. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”.
Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah,
dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang
diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu,
bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjama`ah
ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam
hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. Baz gasyt: “kembali”,
”memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-
hal yang menyimpang (melantur), Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga
pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid. Yad
dasyt: “mengingat kembali”.
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya,
adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun
menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai
kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali,
Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal
dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, “
dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai
tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih
banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah dari pada kebanyakan tarekat lain.
Dengan hanya duduk bersama-sama menghadiri majelis Hadhrat
Baginda Nabi Muhammad SAW dengan hati yang benar dan ikhlas serta
penuh cinta biarpun hanya sekali, orang yang hadir itu akan mencapai
kesempurnaan iman pada maqam yang tertinggi. Begitulah keadaannya
apabila seseorang itu hadir dan berkhidmat dalam majelis Naqsyabandiyah,
dengan hati yang benar dan ikhlas, orang yang hadir itu akan dapat merasakan
maqam Syuhud dan „Irfan yang akan diperoleh setelah begitu lama menuruti
jalan-jalan tarekat yang lain.21 Di dalam tarekat Naqsyahbandiyah, Dawam
Hudhur dan Agahi (sentiasa berjaga-jaga) menduduki maqam yang suci
dimana di sisi Para Sahabat dikenali sebagai Ihsan dan menurut istilah Para
Sufiyah disebut Musyahadah, Syuhud, Yad Dasyat atau Ainul Yaqin,
maksudnya ia merupakan hakikat: “Bahwa engkau menyembah Allah seolah-
olah engkau melihat Nya.
2. Tarekat Syatariyah.
Tarekat Syatariyah, nama Syatariyah dinisbahkan kepada Syaikh „Abd
Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki
hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi
(539-632 H/1145-1234 M), ulama yang mempopulerkan Tarekat
Suhrawardiyah.22
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia
Tengah) dengan nama Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat
ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid Al-
Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam
perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai
cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu
tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam
keyakinan dan praktek.
Nisbah asy-Syatar yang berasal dari kata Syatara artinya membelah
dua dan nampaknya dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati
dalam zikir nafi itsbat, La ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan
pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang
kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang
sebagai washitah (mursyid).
Namun karena popularitas tarekat isyqiyah ini tidak berkembang di
tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan
tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar dikirim ke India oleh gurunya
tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah
kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh
popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang
dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin
mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas
inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh
murid-muridnya, terutama Muhammad Al-A‟la, yang dikenal sebagai Qazan
Syatiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan
menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah
Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang
pendiri dari seorang pendiri.
Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang
tokoh sufi terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid
Wajihudin dan mendirikan zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar
luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad
Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian
memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina
Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-
Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan
pengajar Tarekat Syatariyah yang terkenal di wilayah Madinah.
Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul
Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di
Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf Singkel, telah ada seorang toko sufi
yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syatariyah yang
berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-
Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud. Ia adalah
Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid
Wajihuddin.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik
Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk
menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643.
Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh
agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia
kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan
cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang
menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera
Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren
Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul
Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat
Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-
Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699).
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan
di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan.
Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan
berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di
antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah
berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang
didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan
populer orang Jawa.
3. Tarekat Qadiriyah.
Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh
Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al Baghdadi (1077-1166M).
Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian
diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India,
Afrika dan Asia.Syekh Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani
Al-Baghdadi, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat.
Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu bila murid sudah mencapai derajat
syekh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti
tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke
dalam tarekatnya.
Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri,
“Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri
sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya”.23
Tarekat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati
dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan
tarekatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan. Ada anggapan
membaca Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jilani pada tanggal 10 malam tiap
bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di
Jawa maupun Sumatera. Adapun asas-asas dalam tarekat Qodiriyah ialah
bercita-cita tinggi, melaksanakan cita-cita, membesarkan nikmat, memelihara
kehormatan dan memperbaiki khidmat kepada Allah SWT. Sedangkan wirid
dan zikir yang dilafalkan ialah “Lailahaillallahu” dengan berdiri sambil
bersenam, mengepalkan tangan ke samping, ke depan, ke muka dengan badan
yang sigap, dan putus ingatan dengan yang lain, kecuali hanya kepada Allah
SWT.
4. Tarekat Rifaiyah.
Didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Ali Abul Abas (wafat 578 H/1183
M). Syaikh Ahmad yang konon guru Syaikh Abdul Qadir jailani, begitu asyik
berdzikir hingga tubuhnya terangkat keatas angkasa. Tangannya menepuk-
nepuk dadanya. Kemudian Allah memerintahkan kepada bidadari-bidadari
untuk memberinya rebana di dadanya, daripada menepuk-nepuk dada.
Tapi syaikh Ahmad tidak ingat apa-apa, begitu khusuknya, sehingga ia
tidak mendengar suara rebananya yang nyaring itu. Padahal seluruh dunia
mendengar suara rebana itu. Terakat ini agak fanatik dan anggotanya dapat
melakukan hal-hal yang ajaib, misalnya makan pecahan kaca, berjalan di atas
api, dan sebagainya. Rifaiyah, yang memang merinci tarekatnya dengan
rebana, di Acah dulu pernah berkembang besar dan disebut Rapa'i sudah sulit
mencarinya yang asli, yang masih berpegang teguh pada ajaran.17

17
Muhammad Hafiun,Teori Asal-usul Tasawuf, Vol. 13 No. 2 Tahun 2012
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Istilah tasawuf tidak dikenal pada masa kehidupan Nabi dan Khulafaur
Rasyidin. Istilah itu baru muncul ketika Abu Hasyim al-Kufy (w. 250 H)
meletakkan kata al-Sufi dibelakang namanya pada abad ke 3 Hijriyah.
Perkembangan Tasawuf dalam Dunia Islam: (1)Tasawuf pada Abad Pertama dan
Kedua Hijriyah, Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau asketisime
merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama dan kedua
Hijriyah. (2)Tasawuf pada Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah, Walaupun sulit
menentukan secara tepat kapan peralihan waktu antara gerakan asketisisme dan
tasawuf dalam Islam, namun pada permulaan abad ketiga Hijriyah sudah terlihat
adanya peralihan dari asketisisme menuju tasawuf. (3)Tasawuf pada Abad Kelima
Hijriyah. Aliran tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada
abad kelima Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis, yang
cenderung dengan ungkapan-ungkapan ganjil serta bertolak dari keadaan fana‟
mulai tenggelam dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-
pribadi sufi yang juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya.
Aliran-Aliran Tarekat
1. Tarekat Naqsyabandiyah
2. Tarekat Naqsyabandiyah
3. Tarekat Qadiriyah.
4. Tarekat Rifaiyah.
DAFTAR PUSTAKA

AB, Zuherni. “Sejarah Perkembangan Tasawuf”, Jurnal Substansia, Universitas


Islam Internasional Malaysia, Vol. 13, No. 2, Oktober 2011
Amin, Ahmad. Dzuhrul Islam, jld IV, Kairo: Maktabah an Nahdh al Misriyah,
1964.
Baldick, Julian. “Islam Mistik: Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf”, terj. Satrio
Wahono, Jakarta: Serambi, 2002.
Baldick, Julian. “Mystical Islam; An Introduction to Sufism”, London: I.B. Tauris
& Co Ltd, 1989.
Khairul, Fata Ahmad Tarekat, Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai. Vol. 11
No. 2 Desember 2011.
Mashar, Aly. “Tasawuf: Sejarah, Mazhab, dan Inti Ajarannya”, Jurnal Pemikiran
Islam dan Filsafat, Jurusan Tafsir Hadis dan Akidah FIlsafat IAIN Jakarta,
Vol. 12, No.1, Januari-Juni 2015.
Nasution, Harun Filsafat Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1973.
Hafiun, Muhammad,Teori Asal-usul Tasawuf, Vol. 13 No. 2 Tahun 2012
Rif‟an, Ali “Sejarah dan Perkembangan Tasawuf dalam Tradisi Islam.
Syukur. Amin HM “Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial
Abad 21”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Anda mungkin juga menyukai