37-Putri Oktaviani-2001113686

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 20

TUGAS INDIVIDU

NAMA: PUTRI OKTAVIANI

NIM: 2001113686

NO. URUT: 37

INDONESIA SEBAGAI NEGARA DEMOKRASI DAN


NEGARA HUKUM

RESUME

A. Demokrasi Indonesia
Konsepsi demokrasi selalu menempatkan rakyat pada posisi yang sangat
strategis dalam sistem ketatanegaraan, walaupun pada tataran implementasinya
terjadi perbedaan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Karena
berbagai varian implementasi demokrasi tersebut,maka di dalam literatur
kenegaraan dikenal beberapa istilah demokrasi yaitu demokrasi konstitusional,
demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi
rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. 1 Semua
konsep ini memakai istilah demokrasi, yang menurut asal kata berarti “rakyat
berkuasa” atau government or rule by the people (kata Yunani demos berarti
rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).2
Sementara itu, Sidney Hook memberikan definisi tentang demokrasi
sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintah yang
penting atau arah kebijakan di balik keputusan secara langsung didasarkan
pada keputusan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. 3
Hal ini berarti bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupan mereka, termasuk dalam

1
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi
Revisi,Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 152 – 162.
2
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-7, Gramedia,
Jakarta,1996, hlm. 50.
3
Sidney Hook dalam Nakamura dan Samallowood, The Polities of Policy Imple-
mentation, st. Martin’s Press, New York, 1980, hlm. 67.
menilai kebijaksanaan negara yang turut menentukan kehidupan mereka
tersebut.4 Oleh karena itu, demokrasi sebagai suatu gagasan politik di
dalamnya terkandung 5 (lima) kriteria,yaitu:5 (1) persamaan hak pilih dalam
menentukan keputusan kolektifyang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu
kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan
keputusan secara kolektif,(3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang
yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya
proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap
agenda, yaitu adanya keputusan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan
agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses
pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau
lembaga yang mewakili masyarakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya
masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.
Secara komprehensif kriteria demokrasi juga diajukan oleh Gwendolen M.
Carter, John H. Herz dan Henry B. Mayo. Carter dan Herz
mengkonseptualisasikan demokrasi sebagai pemerintahan yang dicirikan oleh dan
dijalankannya melalui prinsip-prinsip:6 (1) pembatasan terhadap tindakan
pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok dengan
jalan menyusun pergantian pimpinan secara berkala,tertib dan damai, dan
melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif; (2) adanya sikap toleransi
terhadap pendapat yang berlawanan; (3) persamaan di depan hukumyang
diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan
kedudukan politik; (4) adanyapemilihan yang bebas dengan disertai adanya
model perwakilan yang efektif; (5) diberinya kebebasan partisipasi dan
beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan
perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media
massa; (6) adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan

4
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, CV. Rajawali, Jakarta, 1983, hlm.
207.
5
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol,
terjemahan Sahat Simamora, Rajawali Press, Jakarta, 1985, hlm. 19 – 20.
6
Gwendolen M. Carter dan John Herz, Peranan Pemerintah dalam Masyarakat
Masa Kini, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta,
1982,hlm. 86 – 87.
pandangannya betapa pun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu;
dan (7) dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan
perorangan dengan lebih mengutamakan penggunaan cara-cara persuasif dan
diskusi daripada koersif dan represif.
Sedangkan Henry B. Mayo menyatakan bahwa nilai-nilai yang harus
dipenuhi untuk kriteria demokrasi adalah: 7 (1) menyelesaikan pertikaian-
pertikaian secara damai dan sukarela; (2) menjamin terjadinya perubahan secara
damai dalam suatu masyarakat yang selalu berubah; (3) pergantian penguasa
dengan teratur; (4) pengunaan pemaksaan seminimal mungkin;(5) pengakuan dan
penghormatan terhadap nilai-nilai keanekaragaman;(6) menegakkan keadilan; (7)
memajukan ilmu pengetahuan; dan (8) pengakuan dan penghormatan terhadap
kebebasan.
Dalam pandangan lain, demokrasi sebagai suatu gagasan politik
merupakan paham yang universal sehingga di dalamnya terkandung beberapa
elemen sebagai berikut:8
1. Penyelenggara kekuasaan berasal dari rakyat;
2. Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat
mempertanggung jawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah
ditempuhnya;
3. Diwujudkan secara langsung maupun tidak langsung;
4. Rotasi kekuasaan dari seseorang atau kelompok ke orang atau kelompok
yang lainnya, dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan
harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai;
5. Adanya proses pemilu, dalam negara demokratis pemilu dilakukan secara
teratur dalam menjamin hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih; dan
6. Adanya kebebasan sebagai HAM, menikmati hak-hak dasar,
dalamdemokrasi setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-
hakdasarnya secara bebas, seperti hak untuk menyatakan
pendapat,berkumpul dan berserikat dan lain-lain.

7
Henry B. Mayo dalam Miriam Budiardjo, Ibid., hlm. 165 – 191.
8
Afan Gaffar, Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka
Pelajar,Yogyakarta, 2005, hlm. 15.
Dalam rangka mengimplementasikan semua kriteria, prinsip, nilai,dan
elemen-elemen demokrasi tersebut di atas, perlu disediakan beberapa lembaga
sebagai berikut:9

1. Pemerintahan yang bertanggung jawab;


2. Suatu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili golongan-golongan dan
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang dipilih dengan pemilihan
umum yang bebas dan rahasia dan atas dasar sekurang-kurangnya dua
calon untuk setiap kursi. Dewan/perwakilan ini mengadakan pengawasan
(kontrol) memungkinkan oposisi yang konstruktif dan memungkinkan
penilaian terhadap kebijakan pemerintah secara kontinyu;
3. Suatu organisasi politik yang mencakup satu atau lebih partai politik.
Partai-partai menyelenggarakan hubungan yang kontinyu antara
masyarakat umum dan pemimpin-pemimpinnya;
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat; dan
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak-hak asasi dan
mempertahankan keadilan. Itulah landasan mekanisme kekuasaan yang
diberikan oleh konsepsi demokrasi, yang mendasarkan pada prinsip
persamaan dan kesederajatan manusia.

Pada hakikatnya, kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh


berdasarkan legitimasi religious, legitimasi ideologis eliter, atau legitimasi
pragmatis.10 Namun, kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut,
dengan sendirinya, mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena
mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya.
Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi tersebut akan menjadi
kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok
yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih
tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan

9
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Op. Cit., hlm. 171.
Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
10

Modern,PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999, hlm. 30 – 66.


berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi
kekuasaan yang otoriter.11

Dengan demikian, kekuasaan yang diperoleh melalui mekanisme


demokrasi, karena konsepsi demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik
kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat, maka
bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang demokratis karena kehendak
rakyatlah sebagai landasan legitimasinya.

B. Negara Hukum Indonesia

Istilah negara hukum Indonesia sering dipadankan dengan rechtsstaat dan


juga istilah the rule of law. Jika dilihat dari sejumlah konstitusi yang
pernah berlaku di Indonesia, dapat dikatakan bahwa semua konstitusi
dimaksud selalu menegaskan bangsa Indonesia sebagai negara hukum.
Terkait dengan hal itu, istilah yang digunakan dalam UUD 1945 sebelum
perubahan adalah “Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat)”. Di
samping itu juga, dalam rangka menunjukkan ciri khas bangsa Indonesia,
juga dikenal istilah negara hukum dengan menambah atribut Pancasila
sehingga atas dasar itu, maka kemudian sering disebut sebagai negara hukum
Pancasila.
Kini, dalam UUD 1945 setelah perubahan, penegasan negara
hukum bagi Indonesia dilakukan melalui Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Namun
demikian, tidak ditemukan penjelasan terkait dengan negara hukum mana
sesungguhnya yang bangsa Indonesia saat ini. Apakah negara hukum dalam
arti rechtsstaatatau negara hukum dalam arti the rule of law atau justru
merupakan negara hukum dengan ciri khas tersendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa secara umum, lazimnya konsep
negara hukum selalu merujuk pada dua aliran utama, yaitu negara hukum
dalam arti rechtsstaatdan negara hukum dalam arti the rule of law. Namun dalam
UUD 1945 setelah perubahan, penegasan konsep negara hukum bagi Indonesia
tidak dibarengi dengan penjelasan lanjutan terkait dengan paham negara

Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Op. Cit., hlm.
11

532.
hukum yang dianut. Hal demikian pada prinsipnya mengakibatkan paham
negara hukum yang dianut Indonesia menjadi kurang mengandung kejelasan
serta kepastian. Belum lagi ditambah dengan apa yang dikemukakan
Dayanto (2013:498) bahwa pembangunan hukum pasca reformasi terkesan
tambal sulam.
Penerapan prinsip negara hukum di Indonesia dapat dikatakan
dijalankan tanpa berpatokan secara langsung pada prinsip rechtsstaat
atau rule of law. Janpatar Simamora (2016:26) mengemukakan bahwa
terwujudnya negara hukum sebagaimana yang dicita-citakan dalam UUD
1945 akan dapat direalisasikan bila seluruh proses penyelenggaraan
pemerintahan atau negara benar-benar didasarkan pada kaidah-kaidah yang
tertuang dalam konstitusi itu sendiri.
Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri tersendiri yang
barangkali berbeda dengan negara hukum yang diterapkan di berbagai negara.
Hanya saja, untuk prinsip umumnya, seperti adanya upaya perlindungan
terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan,
adanya pelaksanaan kedaulatan rakyat, adanya penyelenggaraan
pemerintahan yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan adanya peradilan administrasi negara masih tetap digunakan sebagai
dasar dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia.
Berdasarkan pelaksanaannya kemudiannya, sejum-lah unsur penting
tersebut diwujudkan dengan baik. Terkait dengan perlindungan hak asasi
manusia, UUD 1945 setelah perubahan cukup mengakomodir masalah hak
asasi manusia secara lengkap. Bahkan dapat dikatakan jauh lebih lengkap dari
pengaturan yang terdapat dalam konstitusi yang pernah berlaku sebelumnya.
Demikian juga halnya dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan,
dilakukan melalui sejumlah lembaga negara yang diatur dalam UUD.
Presiden menjalankan kekuasaan eksekutif, DPR dan DPD menjalankan
kekuasaan legislatif serta adanya MA dan MK sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif (Janpatar Simamora,
2015:332). Keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut diatur secara
jelas dan tegas untuk menjalankan kekuasaan negara secara terpisah. Namun
demikian dalam pelak-sanaannya, kendati disebut terpisah, masing-masing
lembaga negara saling melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangan
yang dimiliki demi terciptanya fungsi kontrol terhadap sesama lembaga
negara.
Terkait dengan unsur berikutnya, yaitu pelaksanaan kedaulatan rakyat,
unsur tersebut juga diterapkan secara langsung di Indonesia.
Dilakukannya proses pemilihan secara langsung terhadap presiden dan
wakil presiden serta para kepala daerah cukup menunjukkan bahwa
Indonesia sangat menunjung tinggi pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Berdasarkan sistem demokrasi yang dijalankan di Indonesia, rakyat
merupakan pemegang kedaulatan tertinggi. Bahkan dilihat dari model
pelaksanaan demokrasi secara langsung di Indonesia, dapat dikatakan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling demokratis dalam
menjalankan dan merealisasikan kedaulatan rakyat.
Selanjutnya, terkait dengan unsur penye-lenggaraan pemerintahan
negara yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau
didasarkan pada hukum yang berlaku, hal tersebut dapat dilihat dari
pelaksanaan kekuasaan negara yang selalu dilandaskan pada aturan yang
sudah ada sebelumnya. Setiap aktivitas pemerintahan tidak dimungkinkan
dijalankan tanpa adanya aturan hukum yang menjadi acuan dan dasar
pelaksanaannya. Dalam konteks ini, sangat terlihat dengan jelas
bagaimana hukum dijadikan sebagai dasar dalam menata kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Selain itu, perwujudan unsur negara hukum berikutnya adalah dapat
dilihat dari adanya peradilan tata usaha negara sebagai jalan dan sarana dalam
rangka melindungi kepentingan individu dalam masyarakat dari pelaksanaan
kekuasaan negara oleh pemerintah. Oleh sebab itu, adanya peradilan tata usaha
negara pada prinsipnya dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu
dalam masyarakat atas pelaksanaan kekuasaan negara atau pemerintahan.
Dilihat dari sejumlah unsur tersebut, dapat ditegaskan bahwa
penerapan prinsip negara hukum Indonesia didasarkan pada prinsip
tersendiri yang barangkali tidak selalu sejalan secara utuh dengan
prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana dikenal pada masa awal
lahirnya konsep negara hukum. Hal demikian dapat dimaknai sebagai
bentuk dinamika atau perkembangan perwujudan negara hukum dalam
tataran kekinian. Bagaimanapun juga bahwa prinsip negara hukum akan
selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan yang dialami oleh suatu negara.
Seiring dengan adanya penerapan negara hukum dengan prinsip
tersendiri di Indonesia, tentu sangat diharapkan agar pelaksanaan negara
hukum itu sendiri benar-benar berjalan sesuai dengan unsur-unsur yang
terkandung dalam prinsip negara hukum. Penerapan negara hukum sangat
membutuhkan konsistensi agar kemudian dapat berjalan dengan baik serta
mampu mencapai tujuan negara hukum itu sendiri.
Penutup

Negara hukum itu harus ditopang dengan sistem demokrasi karena


terdapat korelasi yang jelas antara negara hukum yang bertumpu pada konstitusi,
dengan kedaulatan rakyat yang dijalankan melalui system demokrasi. Dalam
sistem demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem ini. Akan tetapi,
demokrasi tanpa pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, sementara
hukum tanpa demokrasi akan kehilangan makna. Negara hukum yang demokratis,
hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi. Hukum tidak
bolehdibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakkan dengan “tangan besi”
DAFTAR PUSTAKA

Afan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka


Pelajar,Yogyakarta, 2005.

Deliar Noer, Pengantar Ke Pemikiran Politik, CV. Rajawali, Jakarta, 1983.


Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah
TelaahFilosofis,Gramedia, Jakarta, 1997._____ , Etika Politik: Prinsip-
prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT.Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1999.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dan Pelaksanaannya di Indonesia,


Ichtiar Baru Van Hoove, Jakarta, 1994._____ , Kapita Selekta Teori
Hukum (kumpulan Tulisan Tersebar), FH-UI,Jakarta, 2000._____,
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi,
KonstitusiPress, Jakarta, 2005._____, Menuju Negara Hukum Yang
Demokratis, Sekretariat Jenderal danKepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, 2008.

Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Gramedia, Jakarta, 1982._____, Dasar-


dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-7, Gramedia, Jakarta, 1996.
Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Cetakan ke-2,
GayaMedia Pratama, Jakarta, 1988.

Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara otonomi dan Kontrol,


terjemahan Sahat Simamora, Rajawali Press, Jakarta, 1985.
UTS

MENGOMENTARI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN


DAERAH BERDASARKAN 7 ASAS MENURUT

PRAMUDI ATMOSUDIRJO

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,


menyatakan bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik. Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, dalam penyelenggaraan
pemerintahan dinyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan. Prinsip Negara kesatuan ialah pemegang kekuasaan
tertinggi atas seluruh urusan negara adalah pemerintah pusat tanpa ada suatu
delegasi atau pelimpahan kewenangan kepada pemerintahan daerah atau urusan
pemerintahan tidak dibagi-bagi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi di negara adalah pemerintah pusat. Meskipun
memegang kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan, tetapi sistem
pemerintahan Indonesia yang menganut asas Negara Kesatuan
didesentralisasikan (otonomi), maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus oleh
pemerintah daerah sendiri.
Salah satu perubahan besar dalam hubungan pusat dan daerah adalah
dianutnya prinsip residu power (pembagian kewenangan sisa) dalam penataan
hubungan pusat-daerah. Salah satunya, kewenangan daerah otonom mencakup
kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama, serta kewenangan bidang lain.12
Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sesuai UUD 1945 terdapat
2 (dua) nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai
desentralisasi. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia
tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat
negara, artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan Negara Republik

12
Ibid.
Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan regional
atau lokal. Sementara itu, nilai dasar desentralisasi diwujudkan dengan
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan atau diakui
sebagai domain rumah tangga daerah otonom tersebut.
Sesuai UUD 1945, mengingat Indonesia adalah “Eenheidstaat” 13, maka di
dalam lingkungannya tidak dimungkinkan adanya daerah yang bersifat staat juga.
Ini berarti bahwa sebagai pembatas besar dan luasnya daerah otonom dan
hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah menghindari
daerah otonom menjadi negara dalam negara. Dengan demikian pembentukan
daerah otonom dalam rangka desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri:

a. Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya


di negara federal;
b. Desentralisasi dimanisfestasikan dalam bentuk penyerahan atas urusan
pemerintahan;
c. Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir b,
tersebut di atas utamanya terkait dengan pengaturan dan pengurusan
kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) sesuai dengan prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

13
Nilai yang bersifat negara, berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa
dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan
pemerintahan.
Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yaitu:

1. Efektivitas, artinya kegiatannya harus mengenai sasaran yang telah


ditetapkan.
Menurut saya, Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah. Banyaknya urusan
yang diserahkan kepada kabupaten/kota tidak diikuti dengan kemampuan dan
jumlah sumber daya manusia (SDM) aparatur yang tersedia. Terbatasnya
kualititas dan jumlah SDM aparatur merupakan masalah utama yang dihadapi
oleh Pemerintah Daerah sangat dirasakan dalam pelayanan maupun dalam
pengelolaan keuangan daerah. Di sisi lain peran dan fungsi Kepala Daerah sebagai
wakil pemerintahan pusat juga tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak
dapat didistribusikan secara merata kepada Pemerintah Daerah lainnya. 14Contoh
kasus di daerah salah satunya permasalahan PSBB di Jakarta.

PKS DKI Soal PSBB Jakarta: Tak Pembatasan sosial berskala besar
Efektif Jika Tak Didukung Daerah (PSBB) DKI Jakarta berakhir hari ini.
Penyangga Ketua Komisi B DPRD DKI, Abdul
Aziz, mengatakan pelaksanaan PSBB
Isal Mawardi - detikNews tak bakal efektif bila tak didukung
Minggu, 11 Okt 2020 10:47 WIB daerah penyangga.

"Kalau menurut saya apapun


keputusannya tidak akan efektif kalau
itu tidak didukung oleh daerah
penyangga. Jadi mau diperpanjang atau
dikembalikan ke PSBB awal, Saya kira
itu tidak akan efektif kalau daerah
penyangga ini tidak diajak bicara dan
tidak punyai kebijakan yang sama," ujar
Abdul Aziz ketika dihubungi detikcom,
Foto: Ketua Komisi B DPRD DKI Minggu (11/10/2020).
Abdul Aziz. (Arief
Ikhsanudin/detikcom). Abdul Aziz menyebut banyaknya orang
Jakarta - Bekasi, Depok, Tangerang yang bekerja
di Jakarta. Namun, kebijakan
pembatasan sosial di Bekasi, Depok,
dan Tangerang tidak seketat di Jakarta.

Yappika, (2006), disadur dari “Laporan akhir sosialisasi Pemehaman&


14

Sosialisasi Penyusunan RUU Tata Hubungan Kewenangan Pemerintah Pusat &


Daerah”, Kementerian Negara PAN berkerjaama dengan Pusat Kajian
Administrasi Daerah dan Kota, FISIP UI, Depok, 2006.
Sehingga, PSBB di Jakarta jadi tidak "Harusnya itu wewenang pemerintah
efektif. pusat untuk memberikan wewenang
kepada DKI Jakarta untuk mengatur
"Jadi nggak akan efektif apapun daerah penyangga itu. Atau paling tidak
kebijakannya," lanjutnya. (wewenang) ke Gubernur Jawa Barat lah
agar punya bahasa yang sam. Nanti kan
Selain itu, Aziz meminta pemerintah Gubernur Jawa Barat bilang, oh ya
pusat memberi lebih kepada Gubernur karena Jakarta berdekatan dengan
DKI Jakarta Anies Baswedan. Ia Depok Bekasi dan Tangerang atau
berharap agar Anies diberi wewenang Gubernur Banten ya, itu (daerah
untuk mengatur pembatasan sosial di penyangga) mesti punya kelogowoan
daerah penyangga. untuk (kebijakan pembatasan) diatur
Jakarta, 3 daerah itu (Bekasi,Depok,
Tangerang)," lanjutnya.

Menurutnya, PSBB di Jakarta tidak akan


berakhir bila daerah penyangga tidak
dikontrol. Ia menyebut pembatasan di
Jakarta sangat ketat, namun di daerah
penyangga terkesan bebas.

"Mereka (daerah penyangga) terlalu


bebas, terlalu dilepas dan di Jakarta
terlalu dikurung ya sama saja," kata
Aziz.

Diketahui, PSBB ketat di DKI Jakarta


berakhir hari ini. Pemerintah Provinsi
(Pemprov) DKI Jakarta akan
mengumumkan keputusan lanjut
tidaknya PSBB ketat juga pada hari ini.

2. Legitimitas, artinya kegiatan administrasi negara jangan sampai


menimbulkan heboh oleh karena tidak dapat diterima oleh masyarakat
setempat atau lingkungan yang bersangkutan.
Melalui pelaksanaan otonomi daerah, apapun yang dibuat oleh
pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh masyarakatnya
sendiri. selain itu, pada prinsipnya otonomi daerah memberikan kesempatan
yang besar bagi pembangunan masyarakat di tingkat lokal, pemerataan
pembangunan antar-wilayah, dan membuka peluang baru bagi perbaikan kegiatan
ekonomi.
Namun, merujuk pada kondisi yang terjadi, pelaksanaan otonomi daerah
masih dirasa jauh dari harapan. Ini karena masih banyak penyimpangan
yang terjadi di berbagai bidang. Salah satunya, pemerintah daerah kerap
melakukan peningkatan pungutan di daerah sehingga memperlambat iklim
usaha. Alasan yang diajukan oleh pemerintah daerah adalah untuk membiayai
pembangunan daerah (dalam arti kata lain, mengisi Pendapatan Asli
Daerah).Padahal jika iklim usaha di daerah menjadi lebih kondusif, maka
akan muncul multiplier-effects yang diharapkan seperti investor yang
menanamkan modalnya di daerah sehingga membuka lapangan pekerjaan di
daerah dan lainnya.
Pertanyaannya, bagaimana kalau ada Peraturan Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota bertentangan dengan undang-undang? Dan bagaimana pula
jika ada Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bertentangan dengan Peraturan
Daerah Provinsi? Siapakah yang berhak membatalkannya? Untuk
menjawabnya, maka perlu penjelasan-penjelasan sebagai berikut.Pertama,
merujuk Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
pembatalan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada)
didasarkan pada Pasal 250, Ayat (1) yang mengamanahkan Perda dan
Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. Dan, kepentingan
umum yang dimaksud (pada Ayat (2)) meliputi: i.terganggunya kerukunan
antarwarga masyarakat; ii.terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
iii.terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; iv.terganggunya kegiatan
ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atauv.diskriminasi
terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
Pembatalan Perda dan Perkada ditingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Namun, apabila
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat tidak membatalkan Perda
Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/wali kota (Perkada) yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,
kepentingan umum, dan/atau kesusilaan (sebagaimana dimaksud pada Pasal250,
Ayat (2)), maka merujuk Pasal 251, Ayat (3), Menteri dapat membatalkan Perda
Kabupaten/Kota dan/atau peraturan bupati/walikotaberkenaan.
3. Yuriditas, yaitu syarat yang menyatakan bahwa perbuatan para pejabat
administrasi negara tidak boleh melanggar hukum dalam arti luas.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Selanjutnya menurut ketentuan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia harus berdasarkan atas
prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum. Berdasarkan prinsip-prinsip
tersebut, segala bentuk Keputusan dan/atau Tindakan Administrasi Pemerintahan
harus berdasarkan atas kedaulatan rakyat dan hukum yang merupakan refleksi dari
Pancasila sebagai ideologi negara. Dengan demikian tidak berdasarkan kekuasaan
yang melekat pada kedudukan penyelenggara pemerintahan itu sendiri.
Penggunaan kekuasaan negara terhadap Warga Masyarakat bukanlah tanpa
persyaratan. Warga Masyarakat tidak dapat diperlakukan secara sewenang-
wenang sebagai objek. Keputusan dan/atau Tindakan terhadap Warga Masyarakat
harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Pengawasan terhadap Keputusan dan/atau
Tindakan merupakan pengujian terhadap perlakuan kepada Warga Masyarakat
yang terlibat telah diperlakukan sesuai dengan hukum dan memperhatikan
prinsip-prinsip perlindungan hukum yang secara efektif dapat dilakukan oleh
lembaga negara dan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan mandiri.
Karena itu, sistem dan prosedur penyelenggaraan tugas pemerintahan dan
pembangunan harus diatur dalam undang-undang.
Ketentuan penyelenggaraan Pemerintahan tersebut diatur dalam sebuah
Undang-Undang yang disebut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjamin hak-hak dasar dan
memberikan pelindungan kepada Warga Masyarakat serta menjamin
penyelenggaraan tugas-tugas negara sebagaimana dituntut oleh suatu negara
hukum sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 D ayat (3), Pasal 28 F, dan Pasal
28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Warga Masyarakat tidak menjadi objek,
melainkan subjek yang aktif terlibat dalam penyelenggaraan Pemerintahan.
4. Legalitas, yaitu syarat yang menyatakan bahwa perbuatan atau keputusan
administrasi negara yang tidak boleh dilakukan tanpa dasar undang-
undang (tertulis), dalam arti luas, bila sesuatu dijalankan dengan adil “
kedaruratan tersebut wajib dibuktikan kemudian. Jika kemudian tidak
terbukti, maka perbuatan tersebut dapat digugat diperadilan.
Penyelenggaraan pemerintahan harus didasarkan pada asas legalitas, asas
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan AUPB khususnya dalam hal ini asas
tidak menyalahgunakan kewenangan.  Asas tidak menyalahgunakan wewenang
sendiri diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 yaitu Pasal 10 ayat (1) huruf e
dan penjelasannya. Asas ini mewajibkan setiap badan dan/atau pejabat
pemerintahan  untuk tidak menggunakan kewenangannya untuk kepentingan
pribadi atau kepentingan yang lain dan tidak sesuai dengan tujuan pemberian
kewenangan tersebut, tidak melampaui, tidak menyalahgunakan, dan/atau tidak
mencampur adukkan kewenangan.
Pada dasarnya setiap campur tangan pemerintah ini harus
didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai
perwujudan dari asas legalitas, yang menjadi sendi utama Negara hukum. Akan
tetapi, karena ada keterbatasan dari asas ini atau karena adanya kelemahan
dan kekurangan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, maka
kepada pemerintah diberi kebebasan freies Ermessen,yaitu kemerdekaan
pemerintah untuk dapat bertindak atas inisiatif sendiri dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial.15 Freies Ermessen (diskresionare) merupakan
salah satu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau
badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus
terikat sepenuhnya pada undang-undang. Dalam praktek,freies Ermessen ini
membuka peluang terjadinyabenturan kepentingan antara pemerintah dengan
warga Negara.

15
Ibid, hlm. 241
Menurut Sjachran Basah,16 pemerintah dalam menjalankan aktifitasnya
terutama dalam mewujudkan tujuan-tujuan Negara melalui pembangunan,
tidak berarti pemerintah dapat bertindak semena-mena, melainkan sikap
tindak itu haruslah dipertanggung jawabkan. Artinya meskipun intervensi
pemerintah dalam kehidupan warga Negara merupakan kemestian dalam
konsepsi welfare state, tetapi pertanggung jawaban setiap tindakan
pemerintah juga merupakan keharusan dalam Negara hukum yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Nilai-nilai kebenaran
dan keadilan inilah yang menjadi dasar bertindak pejabat administrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai perwujudan dari Asas-asas
Umum PemerintahanYang Layak (AAUPL).
5. Moralitas, yaitu salah satu syarat yang paling diperhatikan oleh
masyarakat; moral dan etnik umum maupun kedinasan wajib dijunjung
tinggi, perbuatan tidak senonoh, sikap kasar, tidak sopan, kata- kata yang
tidak pantas dan sebagainya wajib dihindarkan.
Etika pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus
dilaksanakan oleh para elit pejabat publik dan staf pegawai pemerintahan.
Wujud etika pemerintahan adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam
UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (Pancasila) maupun dasar-dasar
perjuangan negara (Teks Proklamasi). Dalam hal ini, etika pemerintahan
mengandung misi kepada setiap pejabat elit politik untuk bersikap jujur, amanah,
siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap
untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan
secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Para aparatur pemerintahan memiliki kesadaran moral yang tinggi
pada para politisi, pemerintah dalam mengemban tugas dan tanggung
jawabnya, sehingga kejujuran, kebenaran dan keadilan dapat diwujudkan.
Ada beberapa alasan mengapa etika pemerintahan penting diperhatikan
dalam pengembangan pemerintahan yang efisien, tanggap dan akuntabel,
menurut Dwiyanto (2000) bahwa;

Sjachran Basah,Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi,


16

Makalah padaPenataran Hukum Administrasi dan Lingkungan di Fakultas Hukum


Unair, Surabaya, 1995, hlm.1-2
- Pertama, masalah-masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah di masa
mendatang akan semakin kompleks. Modernitas masyarakat yang semakin
meningkat telah melahirkan berbagai masalah-masalah publik yang semakin
banyak dan komplek dan harus diselesaikan oleh birokrasi pemerintah. Dalam
kasus pembebasan tanah, misalnya pilihan yang dihadapi oleh para pejabat
birokrasi seringkali bersifat dikotomis dan dilematis. Mereka harus memilih
antara memperjuangkan program pemerintah dan memperhatikan kepentingan
masyarakatnya. Masalah-masalah yang ada dalam grey area seperti ini akan
semakin banyak dan kompleks seiring dengan meningkatnya modernitas
masyarakat. Pengembangan etika birokrasi mungkin bisa fungsional terutama
dalam memberi policy guidance kepada para pejabat birokrat untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi.
- Kedua, keberhasilan pembangunan yang telah meningkatkan dinamika dan
kecepatan perubahan dalam lingkungan birokrasi. Dinamika yang terjadi
dalam lingkungan tentunya menuntut kemampuan birokrasi untuk melakukan
adjustmentagar tetap tanggap terhadap perubahan yang terjadi dalam
lingkungannya.
Dalam praktek pemerintahan di negara-negara berkembang, praktek
penyimpangan seperti korupsi, suap, kolusi dan nepotisme akan tetap semakin
marak dijalankan, apabila pejabat publik dan aparat birokrasinya ingin
memperkaya diri dengan cara mencuri dan merampok kekayaan rakyat yang
dititipkan melalui negara. Oleh sebab itu, sangat penting untuk diberlakukan
penerapan etika dalam kehidupan pejabat publik, aparat pemerintah baik
secara individu maupun secara kolektif.
6. Efisiensi wajib dikejar seoptimal mungkin, kehematan biaya dan
produktivitas wajib diusahakan setinggi- tingginya.
Efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan negara dalam
praktiknya perlu dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan negara akan berlangsung secara tertib, aman serta bebas dari KKN.
Hal tersebut menunjukkan pentingnya nilai-nilai Pancasila menjadi landasan
dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan negara, karena menjadi landasan
filosofis dalam menjalankan pemerintahan negara.
7. Teknik dan teknologi yang setinggi- tingginya wajib dipakai untuk
mengembangkan atau mempertahankan mutu prestasi yang sebaik-
baiknya.
Dalam praktiknya di negara Indonesia masalah pelayanan publik masih
menjadi permasalahan yang kompleks. Mulai dari rumitnya pelayanan,
proses yang bertele-tele, sampai lambatnya pelayanan. Semua ini disebabkan
oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang membuat kualitas layanan publik
sangat rendah tentu karena penggunaan teknologi informasi yang sangat
rendah. Sistem manualisasi sudah seharusnya digeser oleh onlinenisasi sehingga
akses pelayanan kepada masyarakat bisa cepat, mudah, dan sederhana. Dengan
demikian layanan publik yang prima akan bisa menimbulkan efek yang
sangat besar bagi dunia ekonomi, hukum, politik yang bisa membuat bangsa
kita bisa menjadi kuat dan unggul. Bagaimana pemerintah bisa
mengoptimalkan layanan publik dengan perangkat teknologi informasi
tentu menjadi hal yang ahrus dilakukan oleh pemerintah. Tidak ada alasan
bagi pemerintah tidak menggunakan layanan publik yang prima bagi
pembangunan bangsa ini.
Untuk itu penguasaan teknologi, salah satunya teknologi informasi
sangat diharapkan untuk mampu meningkatkan pembangunan bangsa ini.
Tentu pembangunan, apakah infrastruktur dan suprastruktur berhubungan
dengan pelayanan publik yang prima kepada masyarakat. Pelayanan publik
prima adalah gambaran sebuah bangsa apakah bangsa itu maju atau tidak.
Semakin besar kualitas layanan publik maka ini bisa menjadi salah
satu indikator keberhasilan sebuah bangsa dalam pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, Identitas Universitas Hasanudin,


Makassar, 2013.

Sjachran Basah,Pencabutan Izin Salah Satu Sanksi Hukum Administrasi,Makalah


pada Penataran Hukum Administrasi dan Lingkungan diFakultas
Hukum Unair, Surabaya, 1995.

Nurdin, Ismail. Etika pemerintahan.2017. Yogyakarta:Lintang Rasi Aksara


Agustino, L. (2017). PEMBATALAN 3.143 PERATURAN DAERAH:Satu
Analisis Singkat. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 24-26.

Rajagukguk, J. (2013). Pemanfaatan Teknologi Informasi Untuk Pelayanan Publik


di Era Otonomi daerah. 2-3.

Anda mungkin juga menyukai