Anda di halaman 1dari 3

Nama : Daffa Fathin Noor Mustofa

NPM : 2106645153
Kelas : AHPK A

PENDAHULUAN
Perkembangan Zaman berkembang begitu pesat seiring dengan perkembangan zaman
kemajuan dan perkembangan teknologi begitu canggih masyarakat menjadi dipermudah dengan
hadirnya internet.
Akan tetapi Perkembangan teknologi membawa dampak positif dan negatif. Dampak positifnya
ialah ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut dapat diperoleh dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan masyarakat. Dan dampak negatifnya sebaliknya, ilmu pengetahun dan teknologi
dimanfaatkan untuk merugikan orang lain demi keuntungan sendiri.
Perkembangan teknologi juga menjadi Salah satu penyebab pelanggaran kejahatan
(cybercrime) sepert berikut ini :
1) spionase dan pengambilan data pribadi,
2) Penipuan dengan memanipulasi komputer,
3)sabotase komputer,
4) Penggunaan computer yang tidak sah,
5) Akes tidak sah ke sistem suatu Lembaga.
Oleh karena itu Perkembangan teknologi dan informasi dalam hal ini, internet, memberikan
pandangan baru tentang hukum pidana yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi dan
informasi, khususnya mengenai perkembangan kejahatan melalui sarana internet.
dengan begitu banyak definisi cybercrimes, baik menurut para ahli maupun berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Definisi-definisi tersebut dapat dijadikan dasar pengaturan
hukum pidana siber materil. Misalnya, Sussan Brenner W. (2001) membagi cybercrimes
menjadi tiga kategori:
1. Kejahatan di mana komputer menjadi sasaran kegiatan kriminal,
2. kejahatan di mana komputer adalah alat yang digunakan untuk melakukan kejahatan,
3. dan kejahatan di mana penggunaan komputer merupakan aspek insidental dari pelaksanaan
kejahatan.

PEMBAHASAN
Indonesia tidak memiliki definisi hukum untuk kejahatan cyber. sebenarnya sudah ada
aturannya seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagai amandemen dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
(Prahassacitta, https://business-law.binus.ac.id/2019/06/30/konsep-kejahatan-siber-dalam-
sistem-hukum-indonesia/) adalah undang-undang administratif. Namun, para legislatif
memasukkan beberapa ketentuan tentang tindak pidana.
UU ITE yang dimaksud sistem elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur
elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis,
menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan menyebarkan Informasi
Elektronik. Berdasarkan definisi tersebut, dapat simpulkan bahwa sumber dari informasi
elektronik dalam pelaksanaannya atau dalam praktisnya melalui sebuah sistem elektronik.
Suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik menjadi akurat dan terpecaya bila
sistem yang digunakan di dalam operasional dikeluarkan oleh sebuah sistem elektronik yang
akurat dan terpecaya pula. Di dalam pelaksanaan sebuah sistem elektronik haruslah
tersertifikasi sehingga informasi elektronik yang dikeluarkan darinya dapat dipercaya
keberadaannya. Peranan alat bukti elektronik dalam cybercrime bukan merupakan sesuatu yang
baru.
The Real evidence route merupakan alat bukti yang berdiri sendiri yang harus dapat diberikan
jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku
dengan pengesahan atas keabsahan suatu data (staturoty route) untuk disidangkan di
pengadilan. (Makarim, 2005:425) Ada 3 tipe pembuktian yang dibuat oleh komputer, yaitu:
1. Real evidence, bukti nyata ini meliputi kalkulasi-kalkulasi atau analisaanalisa yang dibuat
oleh komputer itu sendiri melalu aplikasi software dan penerima informasi dari devise lain.
Bukti nyata ini muncul dari beberapa kondisi;
2. Hearsay evidence, adalah dokumen-dokumen data yang diproduksi oleh komputer yang
merupakan salinan dari informasi yang diberikan oleh manusia ke dalam komputer;
3. Derived evidence, adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nyata dengan
informasi yang diberikan manusia kepada komputer dengan tujuan untuk membentuk suatu
data yang tergabung
Keabsahan dan Kekuatan Pembuktian Dokumen Elektronik Berdasarkan UU ITE Dengan
diberlakukannya UU ITE maka terdapat suatu pengaturan yang baru mengenai alat-alat bukti
dokumen elektronik. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 1 UU ITE ditentukan bahwa informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah.
Dan di dalam Pasal 5 ayat 2 UU ITE ditentukan bahwa informasi elektronik atau dokumen
elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan
alat bukti yang sah dan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan
demikian, bahwa UU ITE telah menentukan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan suatu alat bukti yang sah dan merupakan perluasan alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang telah berlaku di Indonesia, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti di
muka persidangan.
Pada pasal 6 UU ITE tersebut dapat disimpulkan bahwasannya alat bukti elektronik dan hasil
cetaknya adalah sah secara hukum manakala dapat dijamin dan ditampilkan sesuai aslinya.
Pembuktian dan alat bukti di dalam hukum acara perdata, merupakan hal yang sangat penting
dalam rangka mencari suatu kebenaran dan kepastian hukum atas suatu perkara yang diajukan
oleh penggugat, sehingga jika suatu alat bukti tidak dapat ditemukan dan/atau tidak
diketemukannya aturan hukum yang mengatur, maka aparat penegak hukum akan kesulitan
dalam menegakkan hak-hak keperdataan bagi para pihak.
Dengan adanya UU ITE diharapkan dapat memberantas suatu tindakan-tindakan yang melawan
hukum di bidang informasi dan teknologi. Namun demikian, pada kenyataannya sejak UU ITE
disahkan sudah banyak masyarakat yang menanyakan tentang isi muatan akan UU ITE ini, hal
tersebut dikarenakan salah satu dari pasalnya dianggap membatasi para pengguna internet untuk
dapat mengemukakan suatu pendapatnya, yang salah satunya adalah para blogger (Enda
Nasution, http://blog.kenz.or.id/2006/02/09/ definisi-blog-menurut-orang-indonesia.html)
yang merasa ada suatu pembatasan dalam mencurahkan pendapat dan kritikan terhadap suatu
kejadian yang ada.

KESIMPULAN
Berdasarkan keseluruhan uraian-uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
Bahwa setelah diberlakukannya UU ITE terdapat penambahan macam alat bukti, dan diakuinya
dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 5 ayat 1
dan 2 jo. Pasal 6 UU ITE yang menentukan bahwa dokumen elektronik atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah dan dapat digunakan di muka persidangan, sepanjang informasi
yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan, Dengan demikian, hasil cetak informasi elektronik dapat dijadikan
atau memenuhi kretia sebagai alat bukti sah.

Daftar Pustaka
Brenner, S. W. (2001). Defining Cybercrime: A review of State and Federal Law di dalam
Cybercrime: The Investigation. North Carolina: Prosecution and Defense of A
Computer-Related Crime.
Edmon, M. (2005). MODERNISASI HUKUM NOTARIS MASA DEPAN. kajian hukum terhadap
kemungkinan cyber notary di indonesia, 425.

Nasution, E. (2006). Definisi Blog Menurut Orang Indonesia. Jogja: Kenz. Retrieved from
http://blog.kenz.or.id/2006/02/09/ definisi-blog-menurut-orang-indonesia.html

Prahassacitta, V. (2019). Konsep Kejahatan Sibber Dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta:
Binus. Retrieved from https://business-law.binus.ac.id/2019/06/30/konsep-
kejahatan-siber-dalam-sistem-hukum-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai