Anda di halaman 1dari 12

Pembentukan Karakter Dalam Pendidikan Seni Melalui Kegiatan

Ektrakurikuler Karawitan di SMP Negeri 26 Surabaya


Dhimas Febriant Astrawira Wae
Pascasarjana Pendidikan Seni Budaya 2020, NIM. 20070865017

Abstrak
Pendidikan adalah ujung tombak dari segala perubahan, dimana untuk mewujudkan masa
depan yang lebih baik, diperlukan pembangunan mulai dari dalam diri pribadi setiap insan.
Pendidikan seni dalam hal ini memiliki peran yang begitu penting sebagai pembentuk
karakter anak bangsa, karena dalam praktiknya seni tidak melulu menekankan pada hal-hal
yang bersifat keterampilan dan rasional saja akan tetapi juga pada kepekaan rasa. Tujuan dari
artikel ini adalah sebagai wacana pembentukan karakter dalam pendidikan seni melalui
kegiatan seni karawitan di lingkup pendidikan formal. Penelitian ini berjenis kualitatif dengan
pendekatan deskriptif-interpretatif yang didasarkan pada hasil observasi terhadap kegiatan
ekstrakurikuler seni karawitan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 26 Surabaya. Adapun
cara yang dilakukan adalah dengan menjelaskan hal-hal terkait dengan pembelajaran
ekstrakurikuler karawitan, yang didalamnya terdapat proses kreatif dan apresiasi. Hasil dari
penelitian menunjukan bahwa pendidikan seni, salahsatunya melalui kegiatan ekstrakurikuler
karawitan di lingkungan sekolah memeiliki peran yang begitu penting dalam pembentukan
karakter anak bangsa. Hal tersebut terlihat pada penekanan secara masif terhadap kemampuan
interpersonal dan intrapersonal pada seluruh pendukung karawitan.
Kata Kunci : Pendidikan Seni, Pembentukan Karakter, Seni Karawitan

A. PENDAHULUAN
Disrupsi adalah era yang kini sedang dialami bangsa Indonesia, dimana kini terjadi
inovasi dan perubahan sangat besar yang secara mendasar mengubah berbagai sistem, tatanan
dan landscape lama kepada cara yang baru. Hal ini selaras dengan kamus besar bahasa
Indonesia yang menyatakan bahwa disrupsi adalah sebuah hal yang tercabut dari akarnya.
Sehingga bagi siapapun yang masih menggunakan cara dan sistem lama akan kalah dalam
persaingan global. Adapun penyebab dari era disrupsi tersebut adalah revolusi Indrustri 4.0
dan Society 5.0.

Society 5.0 adalah kebijakan yang berasal dari negara Jepang yang mana dasar dari
terbentuknya wacana tersebut adalah rendahnya angka pertumbuhan pendduduk di negara
tersebut. Sehingga berimplikasi pada kurangnya tenaga kerja akibat dari minimnya penduduk
dengan usia produktif. Perlu diketahui bahwasannya Society 5.0 adalah pengintegrasian dari
konsep sebelumnya yakni Industri 4.0. Pada tahap Industri 4.0 ini Jepang menuai banyak
kritikan karena robot-robot canggih buatan mereka dirasa telah mendegradasi peran manusia
dalam dunia industri. Sehingga mereka membuat kebijakan baru sebagai jalan keluar, yakni
dengan mengelaborasi teknologi dan manusia, namun manusialah yang berperan sebagai
pusatnya (human centered) dimana teknologi dirancang sebagai bagian dari kehidupan
manusia yang membentuk suatu budaya baru berbasis big data. Society 5.0 diciptakan mereka
untuk semakin memberikan kenyamanan, kemudahan serta kecepatan kepada manusia bukan
hanya dalam hal memperoleh informasi namun juga dalam segala aspek kehidupan. Artinya
bahwa manusia yang hidup di era milenial seperti sekarang ini dituntut untuk hidup
bedampingan dengan segala kecanggihan teknologi agar tetap mampu bertahan ditengah
persaingan global yang ketat.

Pada era disrupsi ditengah peralihan dari industry 4.0 kepada society 5.0 seperti sekarang
ini, penguatan karakter kebangsaan adalah suatu hal yang sangat diperlukan. Mengingat
terdapat banyak sekali pengaruh budaya asing yang masuk, kecanggihan teknologi dengan
segala kemudahan serta tekanan dari persaingan global yang semakin ketat, membuat
manusia Indonesia khususnya para pelajar saat ini memiliki banyak kebiasaan buruk.
Menurunnya tingkat humanisme di kalangan pelajar yang ditandai dengan sikap acuh
terhadap lingkungan, hilangnya sopan santun terhadap orang yang lebih tua, malas, perilaku
konsumtif, pergaulan bebas, narkoba, anarkisme, vandalisme dan lain sebagainya yang
merupakan contoh kasus yang sering ditemui dan sama sekali tidak mencerminkan karakter
bangsa Indonesia dengan keluhuran budaya serta Pancasila.

Melihat berbagai kenyataan tersebut, dimana penguasaan terhadap ilmu pengetahuan,


teknologi dan keterampilan telah menjadi tuntutan zaman, dunia pendidikan Indonesia saat
ini harus mengambil cara jitu untuk mencetak generasi penerus agar sesuai dengan cita-cita
pendidikan, seperti yang tercantum di dalam UU No.20 tahun 23 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam undang- undang tersebut menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Hal tersebut selaras dengan
pendapat Ki Hadjar Dewantara dalam (Suparlan, 2015) yang menyatakan bahwa pendidikan
sebagai ujung tombak dalam rangka memajukan kehidupan bangsa hendaknya mengacu pada
petunjuk “Trikon”, yakni kontinyu, konvergen, dan konsentris. Kontinyu dengan kondisi
masyarakat Indponesia sendiri artinya pendidikan harus mampu mewariskan nilai-nilai adi
luhung yang terdapat dalam masyarakat kepada generasi-generasi berikutnya. Konvergen
dengan alam luar artinya penerimaan nilai-nilai kultural dari bangsa asing harus dilakukan
secara selektif dan adaptif yang pada akhirnya bersatu dengan alam universal. Konsentris
dalam kesatuan universal, artinya hidup berdampingan dengan budaya dan bangsa lain namun
tetap memiliki ciri khas atau kepribadian sendiri. Dengan demikian dapat diartikan bahwa
pendidikan harus mampu mempersiapkan luaran yang relevan dengan segala perubahan
jaman, namun tetap dengan tidak meninggalkan nilai-nilai luhur dan ciri khas kebangsaan.

Pendidikan seni dalam hal ini memiliki peranan yang begitu penting untuk membentuk
karakter sesuai dengan ciri khas bangsa indonesia dengan adat ketimurannya. Mengapa
demikian? karena pada wilayah seni peserta didik tidak hanya dihadapkan kepada materi
yang bersifat penalaran dan saintifik saja (Suherman, 2017), namun juga terhadap
pengembangan kepekaan rasa atau emosional (Sugiharto, 2013). Hal tersebut diperkuat
dengan pernyataan bapak pendidikan Indonesia Ki Hadjar Dewantara dalam konsepnya yang
menyatakan bahwa terdapat empat cakupan dalam bidang pendidikan, yaitu olah pikir, olah
rasa, olah karsa dan oleh raga (Latif, 2020). Artinya bahwa idealnya pendidikan tidak serta
merta hanya berkutat kepada permasalahan kempampuan intelektual (kognitif) dan
keterampilan (psikomotorik) saja, namun juga pada aspek perubahan sikap atau perilaku
(afektif) menuju ke arah yang lebih baik. Adapun untuk mewujudkannya diperlukan
dukungan dari semua pihak, terutama lembaga penyelenggara pendidikan pada berbagai
lingkup pendidikan baik formal, non formal maupun informal.

Sekolah dalam hal ini sebagai lembaga penyelenggara pendidikan formal juga telah
mengadakan pendidikan seni sebagai bentuk upaya untuk membentuk karakter para peserta
didik melalui berbagai kegiatan baik yang bersifat intra maupun ekstra diluar jam pelajaran.
Karawitan adalah salah satu bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang hadir di lingkungan
sekolah, seperti halnya yang terdapat di Sekolah Menengah Pertama Negeri 26 Surabaya.
Karawitan sebagai bentuk seni musik tradisional yang bersifat komunal secara langsung
maupun tidak langsung menuntut para individu pemainnya untuk saling mandiri dan mampu
untuk bekerja sama dengan baik antara satu sama lain dalam menyajikan berbagai komposisi.
Hal tersebut tentunya mengisyaratkan bahwasannya praktik kesenian ini dapat digunakan
sebagai media untuk membentuk karakter para peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan serta memaknai karakter
Pancasila yang terdapat pada ekstrakurikuler seni musik tradisional yaitu karawitan Jawa di
SMPN 26 Surabaya. Manfaat dari penelitian ini secara teoritis diharapkan mampu
memberikan sumbangsih kajian terkait dengan karakter Pancasila serta memberikan
informasi tentang seni karawitan pada tataran sekolah menengah pertama. Adapun manfaat
penelitian secara praktis yaitu diharapkan dapat memberi motivasi kepada siswa untuk lebih
bangga juga cinta terhadap adat dan budaya bangsa Indonesia melalui kesenian tradisional.
Kemudian mampu juga memotivasi para tenaga pendidik untuk terus berinovasi dalam
membentuk karakter anak bangsa yang kreatif, religius, rendah hati, toleran, bertanggung
jawab. Sekaligus menanamkan rasa cinta kepada tanah air, dan memberikan ilmu
pengetahuan, wawasan serta pengalaman yang lebih luas mengenai budaya bangsa Indonesia.

B. METODE
Metode yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif dengan mendeskripsikan
serta menginterpretasikan kembali segala bentuk kegiatan dalam ekstrakurikuler karawitan.
Adapun beberapa hal terkait dengan kegiatan ekstrakurikuler tersebut meliputi apresiasi seni
dan proses kreatif. Peningkatan terhadap kualitas karakter yang dimiliki siswa dapat dilihat
secara bertahap pada setiap proses latihan. Perubahan mental, sikap, keterampilan personal,
serta kekompakan dalam menyajikan repertoar gendhing, aransemen lagu maupun berbagai
komposisi karawitan dapat dijadikan ukuran. Penulis dalam menyimpulkan hasil penelitian
melakukannya dengan berdasarkan hasil observasi dan sumber tertulis yang relevan dengan
paparan.

C. PEMBAHASAN
1. Seni Karawitan dan Pendidikan Karakter
Gamelan Jawa merupakan seperangkat alat atau instrumen musik yang secara
kesluruhan juga lazim disebut dengan istilah karawitan. Karawitan berasal dari bahasa
Jawa rawit yang berarti rumit, sulit, berbelit-belit, akan tetapi rawit juga berarti halus,
cantik, berliku liku dan enak. Kata Jawa karawitan khususnya dipakai untuk mengacu
kepada musik gamelan, musik khas Indonesia dengan tangga nada non diatonis.
Adapun dalam karawitan terdapat laras slendro dan pelog, dimana dalam beragam
bentuk garap komposisinya menggunakan sistem notasi, warna suara, ritme, memiliki
fungsi, pathet dan aturan garap dalam bentuk sajian instrumentalia, vokalia dan
campuran yang indah didengar.
Seni karawitan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa
Indonesia. Dikatakan demikian sebab gamelan Jawa merupakan salah satu seni
budaya yang diwariskan oleh nenek moyang dan hingga kini masih banyak digemari
serta ditekuni orang berbagai kalangan. Secara filosofis gamelan Jawa merupakan satu
bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal demikian
disebabkan filsafat hidup masyarakat Jawa berkaitan dengan seni budayanya yang
berupa gamelan Jawa serta berhubungan erat dengan perkembangan religi yang
dianutnya.
Pradangga Adi Guna Sarana Bina Bangsa. Arti kata motto tersebut adalah
Pradangga sama dengan gamelan (prada + angga) artinya “yang punya badan
mengkilat”, Adi artinya baik, Guna artinya kepandaian, ilmu pengetahuan atau
manfaat, Sarana artinya alat, Bina artinya membangun, membimbing atau
mendidik, sedangkan Bangsa adalah orang-orang yang bertempat tinggal di suatu
tempat yang mempunyai kedaulatan sendiri dan berpemerintahan sendiri. Arti
kata secara bebas “Apabila gamelan itu digunakan dengan sebaik-baiknya, maka akan
dapat digunakan sebagai alat untuk mendidik bangsa”. Adalah suatu kenyataan bila
kita mendengar uyon-uyon rasanya seperti kita dibawa ke alam impian yang serba
nikmat, lupa segala-galanya.
Gamelan adalah alat kesenian yang serba luwes. Gamelan dan pendidikan. Gamelan
dapat digunakan untuk mendidik rasa keindahan seseorang. Orang yang biasa
berkecimpung dalam dunia karawitan, rasa setiakawan tumbuh, tegur sapa halus,
tingkah laku sopan. Semua itu karena jiwa seseorang menjadi sehalus gendhing-
gendhing (Trimanto, 1984).

2. Ekstrakurikuler Seni Karawitan di SMPN 26 Surabaya


Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler seni karawitan di SMPN 26 Surabaya
didasarkan pada buku pedoman yang dimiliki pelatih atau tenaga pendidik. Buku tersebut
dirancang dan dipersiapkan sendiri oleh pelatih untuk memudahkan proses pembelajaran.
Adapun pemilihan materi yang sedianya digunakan sebagai bahan ajar didalamnya juga
disesuaikan dengan kebutuhan siswa, mulai dari pemula hingga yang sudah bisa
memainkan gamelan. Kemudian gendhing yang disiapkan juga merupakan materi pilihan
dengan target estimasi waktu penguasaan yang cukup singkat. Hal tersebut dilakukan
agar tidak terjadi suasana yang monoton atau membosankan, karena akan mempengaruhi
mood atau kondisi psikologis para peserta didik yang tentunya mengganggu jalannya
pembelajaran.
Kegiatan ekstrakurikuler ini rutin diselenggarakan dengan durasi dua jam pelajaran
setiap satu minggu sekali, tepatnya di hari selasa setelah selepas jam pelajaran dan sholat
ashar pada pukul 15.15. Para peserta didik tidak hanya diberikan materi berupa praktek
menabuh saja namun juga diperkuat dengan teori dan wawasan seputar seni tradisi
karawitan. Kemudian pada saat-saat tertentu seperti pengambilan raport, upacara HUT
Kemerdekaan RI, Peringatan Hari Pahlawan, Prosesi Wisuda dan lain sebagainya,
sekolah juga memberikan kesempatan kepada peserta ekstakurikuler karawitan untuk
unjuk keterampilan. Hal tersebut dilakukan sebagai wujud apresiasi yang diharapkan
mampu memotivasi para siswa untuk semakin giat dalam belajar seni tradisi warisan
nenek moyang bangsa Indonesia tersebut.
3. Apresiasi Seni Karawitan
Apresiasi dalam seni karawitan merupakan suatu hal yang sangat penting, dimana
hal tersebut ditanamkan pada para peserta didik ekskul karawitan SMPN 26 bahkan sejak
sebelum dapat mulai menabuh gamelan. Mereka diajarkan tentang bagaimana tata cara
memperlakukan dan sikap ketika menabuh gamelan. Sehingga ketika belajar karawitan,
secara tidak langsung mereka sebenarnya juga telah dikenalkan dengan apa yang
dinamakan unggah-ungguh atau tata krama. Dimana hal tersebut merupakan salah satu
ciri khas karakter bangsa Indonesia dalam memanusiakan manusia. Selain itu dengan
mengikuti kegiatan tersebut para peserta didik sama halnya dengan belajar mengenali
kearifan lokal sebagai manifestasi dari rasa cinta dan bangga terhadap budaya bangsa
Indonesia dengan adat ketimurannya.
Menurut Brent G. Wilson melalui bukunya yang berjudul Evaluation of Learning
in Art Education 1971, menjelaskan tentang pengertian apresiasi pada seni ialah
meliputi feeling, valualing, dan emphatizing. Ketiga poin tersebut merupakan suatu
tindakan yang berhubungan dengan perasaan (feeling), penilaian (valuing), dan rasa
empati (emphatizing) pada karya seni. Feeling, berkaitan dengan perasaan mengenai
suatu keindahan. Valuing, sangat erat kaitannya dengan penilaian suatu karya seni.
Sedangkan emphatizing  berkaitan dengan penghargaan terhadap sebuah karya seni
seolah-olah penikmat seni tersebut turut berperan dalam penciptaannya. Artinya bahwa
dengan melakukan apresiasi siapapun akan merasa ikut memiliki, menjaga dan bangga
terhadap karya seni tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa seni yang bersifat subyektif, membuat orang-orang
yang tertarik pada hal tersebut memiliki berbagai macam cara dalam melakukan
apresiasi. Ada yang mengapresiasi dengan mengabadikan melalalui berbagai media,
menyaksikannya secara langsung, meminta tanda tangan pada seniman tertentu,
mengadaptasi karya tersebut, dan lain sebagainya. Demikian juga yang terdapat pada
karawitan sebagai seni tradisi nusantara yang adi luhung, akan tetapi insan karawitan
memiliki cara tersendiri dalam mengapresiasi karya seni, utamanya gamelan sebagai
media berkesenian. Pada berbagai paguyuban atau sanggar tampak bagaimana seorang
pengrawit bahkan seluruh pendukung kesenian tersebut sangat mengapresiasi keberadaan
gamelan. Sama halnya dengan perlakuan kepada gamelan berumur ratusan tahun yang
disakralkan di keraton yakni, Kyai Sekaten, Kyai Kodhok Ngorek, Kyai Guntur Madu,
dan lain sebagainya, yang selalu dijaga dan dirawat dengan baik oleh para abdi dalem.
Mereka merawatnya dengan sepenuh hati dengan memberikan sesajen, membersihkan,
dan menabuhnya pada hari-hari tertentu. Tentunya hal tersebut menunjukkan bahwa
karakter asli bangsa Indonesia adalah memanusiakan manusia melalui berbagai cara,
bahkan ketika manusia yang dimaksud telah tiada.

Gambar 1. Instrumen Saron

Karawitan dan gamelan adalah dua hal yang tak dapat terpisahkan, dimana
gamelan sebagai alat musik atau media penghasil bunyi-bunyian sedangkan karawitan
adalah keseluruhan dari sajian musik gamelan tersebut baik konsep, komposisi, maupun
bentuk artistik pertunjukan. Satu perangkat gamelan sejak dahulu diciptakan dengan
kondisi yang sedemikian artistik dilengkapi dengan ukiran-ukiran dan bentuk yang indah
namun tetap saja dapat menampakkan sisi kesahajaanya. Seperti pada Gambar 1,
instrumen gamelan dengan logam dan balutan warna dominan emas yang mencolok
diletakkan didasar lantai pada suatu tempat atau ruangan. Hal ini menunjukkan betapa
sederhananya pertunjukan karawitan dengan gamelan yang ada di dalamnya, yang
menuntut para pendukung untuk duduk bersila ketika memainkannya. Maka dari itu tidak
mengherankan apabila estetika yang terdapat dalam seni karawitan bukan hanya berasal
dari suara indah yang dihasilkan melalui komposisi musiknya saja, namun juga terletak
pada etika ketika sedang memainkannya. Tentu saja hal tersebut begitu merefleksikan
karakter manusia Indonesia dengan sifat rendah hati dan keluhuran budinya.
Pendidikan karakter juga terdapat pada saat memperlakukan gamelan, para siswa
diminta untuk tidak melangkahi gamelan. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena secara
logis beberapa instrumen gamelan seperti halnya yang tampak pada Gambar 1, terdapat
paku penahan bilah yang tentunya cukup berbahaya karena dapat melukai kaki bagi yang
melangkahinya. Mitos mengenai tidak diperbolehkannya melangkahi gamelan bukanlah
suatu hal yang baru pada seni karawitan. Cerita turun-temurun melalui sudut pandang
metafisika tentang adanya roh penunggu gamelan memang hingga kini masih diyakini
kebenaranya. Mengingat sejak dahulu gamelan telah dianggap sebagai benda pusaka
layaknya keris yang memiliki tuah dan akan menimbulkan hal negatif (kuwalat) apabila
ada yang berusaha untuk merusak atau melecehkannya. Hal tersebut terjadi karena dalam
proses pembuatan gamelan di masa lalu, diyakini hanya dapat dilakukan oleh Mpu atau
orang-orang pilihan dan dengan cara yang tidak sembarangan melalui serangkaian tirakat
dan upacara khusus. Namun lebih daripada itu perlakuan terhadap gamelan yang
semestinya dengan tidak melangkahi, mengotori atau bahkan merusak adalah wujud dari
apresiasi yang tinggi dari seorang pengrawit terhadap karya seni seorang Mpu yang telah
bersusah payah dalam dalam membuat gamelan.

Demikian juga ekstrakurikuler seni karawitan di SMPN 26 Surabaya, yang juga


menarapkan aturan tersebut dalam setiap kesempatan, baik ketika sedang berlatih
maupun pentas. Pada studio karawitan atau arena pentas, pelatih mengkondisikan
gamelan dengan cara menatanya sedemikian rupa, sehingga membentuk suatu lintasan
yang memudahkan mobilitas dari para siswa tanpa harus melangkahi instrumen gamelan.
Selain itu pelatih dalam menata dan memberi pemahaman tentang contoh yang baik dan
benar ketika memperlakukan gamelan, secara tidak langusung juga mengajari siswa
untuk senantiasa mengedepankan karakter sopan santun dan menghargai hasil kerja
orang lain. Sehingga akan terbangun kesadaran dalam diri siswa untuk bersama-sama
bertanggung jawab dengan menjaga, melestarikan dan mengembangkan seni karawitan.

4. Proses Kreatif Seni Karawitan


Proses kreatif dalam seni karawitan menuntut setiap individu pendukungnya untuk
memiliki kemampuan yang multidisiplin gabungan antara kecerdasan interpersonal dan
intrapersonal, dimana mereka selain harus mampu bekerja secara mandiri juga dapat
bekerja kolektif dengan baik antara satu sama lain. Kemampuan intrapersonal yang
dimaksud adalah bertanggung jawab terhadap instrumen mereka masing-masing ketika
sedang berproses, baik dalam hal penguasaan materi ataupun teknik. Kemudian
kemampuan interpersonal tentang kesadaran akan kerja tim yang harus terjalin dengan
baik antar individu, dimana hal tersebut sangat berpengaruh terhadap performa dari
tampilan mereka saat pementasan.
Dalam pembelajaran karawitan di terdapat beberapa instrumen inti selain kempul
gong dan kenong, yakni kendhang, bonang dan kelompok instrumen balungan. Beberapa
instrumen gamelan tersebut memiliki tugas dan fungsinya masing-masing diantaranya
kendhang sebagai pamurba irama, bonang sebagai pamangku irama, dan balungan
sebagai melodi. Selain itu terdapat juga beberpa instrumen alusan seperti siter, gambang,
suling, rebab, dan gender yang merupakan filler atau pemanis dalam seni karawitan.
Akan tetapi pada tataran pemula materi hanya diprioritaskan pada penguasaan ketiga
instrumen inti tersebut.
Kendhang disebut sebagai pamurba irama atau pencetak atau pembuat irama.
Bagaimana tidak selain sebagai instrumen pencetak irama kendang juga difungsikan
layaknya seorang konduktor dalam penyajian orkestra musik barat. Sudah sangat jelas
bahwasanya fungsi dari konduktor sendiri adalah sebagai pengatur jalannya sajian suatu
komposisi musik untuk memberikan kode atau isyarat pada bagian-bagian tertentu agar
terbentuk sajian yang menarik dengan permainan pola atau dinamika didalamnya. Dalam
hal ini peran pemain kendhang begitu dominan, ia tampil sebagai seorang pemimpin
harus paham betul mengenai struktur dan jalannya sajian. Selain itu seorang
pengendhang dalam memberikan kode juga tidak boleh sesuka hatinya sendiri, dengan
kata lain harus pandai mempertimbangkan celah dengan memastikan kondisi para
pemain lain telah siap untuk menerima aba-aba darinya agar tidak terjadi miss
komunikasi.
Bonang atau yang biasa disebut sebagai pamangku irama, memiliki tugas sebagai
tangan kanan dari kendhang. Sedangkan balungan adalah gabungan dari beberapa
instrumen seperti saron, demung, peking, dan slenthem. Ketepatan tempo dan pola dalam
berbagai irama merupakan tuntutan utama seorang pemain bonang. Ketika kendhang
telah memberikan sasmita atau kode berupa perubahan irama, bonang kemudian
meresponnya dengan melanjutkan irama yang terbentuk tersebut melalui berbagai teknik
pukulan seperti sekaran, kawahan, pipilan, dan lain sebagainya. Lalu pada akhirnya para
pemain lain termasuk balungan meresponnya kembali dengan melanjutkan stimulus
yang telah diberikan oleh bonang dan kendhang. Sehingga dalam praktiknya para pemain
tidak diperbolehkan mencetak irama sendiri dan harus saling mendukung terhadap apa
yang telah diperintahkan kendhang.
Permainan karawitan yang pada dasarnya diharapkan mampu menghasilkan jalinan
nada-nada yang harmoni antar satu sama lain juga dilakukan dengan berbagai teknik
tergantung dari instrumen dan gaya yang digunakan. Teknik tabuh yang diaplikasikan
pada gamelan ditujukan untuk membentuk dinamika dan jalinan nada yang enak untuk
didengar. Dalam pengaplikasiannya teknik tersebut dibedakan menjadi tiga yakni (1)
secara bersamaan, (2) kelompok kecil dan (3) individu.

Teknik tabuh secara bersamaan menuntut kekompakan hampir kepada seluruh


personel, terdapat beberapa teknik seperti sirep dan fade out. Kedua teknik ini dapat
menghasilkan dinamika yang bagus ketika dilakukan secara bersamaan tanpa adanya satu
personelpun yang tidak melakukannya. Sirep adalah teknik yang dilakukan secara
bersamaan oleh seluruh pemain gamelan tanpa terkecuali dengan mengurangi power atau
tenaga menabuh agar tercipta volume suara gamelan yang lirih. Fade out adalah teknik
menabuh gamelan elanorasi dari teknik sirep yang bertujuan untuk menghasilkan volume
suara yang semakin lirih dan pada akhirnya tidak bersuara / suwuk berhenti.

Teknik tabuh secara berkelompok dalam lingkup kecil dapat dilakukan pada
beberapa instrumen seperti Bonang dan Saron oleh minimal 2 orang. Pada instrumen
Bonang terdapat beberapa teknik diantaranya pipilan / mipil, sekaran / bandrekan
(karawitan madura), imbalan, dan kawahan / ngawah. Pipilan adalah teknik dimana
menabuh dengan menggunakan dua nada yang bebeda satu tingkat secara bergantian
oleh satu atau dua orang. Sekaran / bandrekan adalah teknik dimana dilakukan oleh satu
orang pemain bonang babok dan pemain bonang penerusnya mengimbangi dengan
ketukan yang berbeda (saling mengisi). Imbalan teknik yang digunakan pada kedua
bonang (babok dan penerus) sebelum bonang babok melakukan teknik sekaran. Pada
tahap ini kedua bonang tersebut melakukan tabuhan dengan menggunakan dua nada yang
beda satu tingkatan pada bonang babok dan pada bonang penerus mengambil nada
ditengah dan bawahnya. Kawahan adalah teknik dimana menabuh bonang menggunakan
pemilihan dua nada berbeda pada satu tingkat di atas atau di bawahnya oleh bonang
babok dan penerus.

Teknik tabuh kelompok yang dilakukan oleh instrumen saron adalah imbalan,
timpalan dan kintilan. Imbalan adalah teknik yang sama seperti yang digunakan di
bonang nanmun diterapkan di saron oleh dua orang. Timpalan adalah teknik yang
digunakan pada saron dan dilakukan oleh dua orang dengan pemilihan nada dua sampai
tiga nada atau lebih yang dimana saron yang satunya menabuh bagian bawah atau
atasnya. Kintilan adalah teknik dimana ketika saron satu menabuh beberapa nada saron
satunya mengimbanginya dengan menabuh nada yang sama namun dengan
mendahuluinya.

Kepekaan terhadap kode yang diberikan oleh pengendhang sejatinya adalah


tuntutan dari seluruh pemain karawitan tanpa terkecuali, mengingat pada beberapa
komposisi dalam melakukan pola dan unison tidak harus menunggu kode lanjutan dari
bonang. Dalam praktiknya permainan pola dan dinamika yang terjadi karena aba-aba dari
kendhang merupakan suatu tantangan yang seringkali membuat para pemain karawitan
merasa kesulitan untuk beradaptasi. Namun sebenarnya inilah keistimewaan dari seni
karawitan yang mana dalam perjalanan suatu sajian komposisi mulai dari buka (intro)
hingga suwuk (ending), seluruh pemain hanya mengandalkan kepekaan rasa melalui
indra pendengaran terhadap stimulus berupa rangsang audio pada setiap perubahan
tempo, irama dan dinamika.

D. SIMPULAN
Melihat berbagai pengimplementasian kemampuan interpersonal dan intrapersonal dalam
proses kreatif dan apresiasi terhadap seni musik karawitan, dapat ditarik kesimpulan
bahwasannya kegiatan tersebut dapat digunakan sebagai media pendidikan karakter.
Karawitan dengan segala nilai keadiluhungannya mengandung unsur karakter Pancasila yang
kuat. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif, salah satunya dari cara
membunyikannya. Dimana garap komposisi dari seni musik tradisional dengan harmoninya
yang enak didengar, hanya dapat terbentuk melalui permainan yang kompak atau bersamaan.
Hal ini tentunya merefleksikan bahwa kebersamaan menjadi satu hal yang begitu penting
demi mencapai suatu tujuan hasil penyajian musik yang berkualitas. Artinya bahwa dengan
mengikuti kegiatan seni musik karawitan secara berkelompok tersebut juga mengandung
unsur pendidikan karakter yang didalamnya mengajarkan para pesertanya untuk dapat hidup
secara berdampingan, saling toleransi, beradaptasi, cinta akan perdamaian, menghindari sifat
egois, dan individualisme. Maka tidak heran bahwasannya pendidikan karakter melalui
kegiatan seni karawitan Jawa sebaiknya diberikan sedini mungkin kepada peserta didik
sebagai modal bersosialisasi. Hal tersebut dikarenakan gamelan secara filosofis juga
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Jawa.
E. DAFTAR PUSTAKA

Brent G. Wilson in B.S. Bloom. "Evaluation of Learning in Art Education" Handbook on


Formative and \Summative Evaluation of Student Learning, (New York: McGraw
Hill, 1971), pp. 502-503
Latif, Y. (2020). Pendidikan yang Berkebudayaan. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Purwadi (2009). Diktat Seni Karawitan I. Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan
Seni. Universitas Negeri Yogyakarta.
Soeroso. (1993). Bagaimana Bermain Gamelan. Balai Pustaka. Jakarta
Supanggah, Rahayu. (2002). Bothèkan Karawitan I. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia
Supanggah, Rahayu. (2007). Bothekan Karawitan II. Surakarta: ISI Press.
Suparlan, H. (2015). Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi
Pendidikan Indonesia. Jurnal Filsafat, Vol. 25 No. 1, Februari 2015 Hal. 56-74
Thobroni, M. (2015). Belajar & Pembelajaran Teori dan Ptraktik. Ar-ruzz Media.
Yogyakarta.
Trimanto, 1984. Membuat dan Merawat Gamelan. Depdikbud. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai