Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN KALA III DAN IV

OLEH

CICILIA RAMADANTI

P00324020058

TINGKAT 2B

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KENDARI

PRODI D-III KEBIDANAN

T.A 2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Atas rahmat dan
karunia Nya,menyelesaiakan tugas penulisan makalah untuk memenuhi mata kuliah
ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN KALA III IV penulis sangat bersyukur dalam
menyelesaikan makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan tepat waktu.

Penulis menyadari makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan
dan kekurangan.Penulis terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat
lebih baik.Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini,baik terkait penulisan maupun
konten,penulis memohon maaf.

Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................i
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................2
A. Latar Belakang................................................................................................................2
B. Rumusan masalah............................................................................................................1
C. Tujuan .............................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................22
A.PEMERIKSAANKALAIII
………………………………………………………………………………………………......
....9
B. KONTRAKSI, ROBEKAN JALAN LAHIR DAN PERINEUM; TANDA VITAL;
HYGIENE………. 9
C. PEMERIKSAAN SERVIK, VAGINA DAN
PERINEUM……………………………………………….. 5
D. PEMANTAUAN DAN EVALUASI LANJUT IBU BERSALIN KALA IV…………..…..
…………. 4
E.PERKIRAAN DARAH YANG
HILANG……………………………………………………………….. 2
F. PENGISIHAN PARTOGRAF KALA III DAN
IV………………………………………….. 5

BAB III PENUTUP...............................................................................................................2


3.1 Kesimpulan............................................................................................................1
3.2 Saran......................................................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Persalinan kala IV dimulai sejak plasenta lahir sampai dengan dua jam sesudahnya,
adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kontraksi uterus sampai uterus kembali
normal. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan rangsangan taktil (masase) untuk
merangsang uterus berkontraksi dengan baik dan kuat. Perlu juga dipastikan bahwa plasenta
telah lahir lengkap dan tidak ada yang tersisa sedikitpun dalam uterus serta benar-benar
dijamin tidak terjadi pendarahan lanjut.

Dua jam pertama setelah persalinan merupakan saat yang paling kritis bagi ibu dan
bayinya. Tubuh ibu melakukan adaptasi yang luar biasa setelah kelahiran bayinya agar
kondisi tubuh kembali stabil, sedangkan bayi melakukan adaptasi terhadap perubahan
lingkungan hidupnya di luar uterus. Kematian ibu terbanyak terjadi pada kala ini oleh karena
itu bidan tidak boleh meninggalkan ibu dan bayi sendirian.

Persalinan merupakan rangkaian proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan


plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau
melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan dengan kekuatan ibu sendiri
(Sulistyawati, 2012). Persalinan normal di awali dengan kala I yaitu kala pembukaan yang
dimulai dari saat persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm), proses ini terbagi
menjadi dua fase, fase laten (8 jam) serviks membuka hingga 3 – 4 cm, dan fase aktif (7 jam)
serviks membuka dari 3 – 4 cm hingga pembukaan lengkap atau 10 cm (Prawirohardjo,
2014). Berdasarkan Kurve Friedman diperhitungkan pembukaan primigravida 1 cm per jam
dan pembukaan multigravida 2 cm per jam (Sulistyawati, 2012). Persalinan dengan kala I
memanjang yaitu persalinan dengan fase laten lebih dari 8 jam dan pada fase aktif
pembukaan kurang dari 1 cm perjam (Prawirohardjo, 2014)Lama persalinan fisiologis tidak
sama pada setiap peristiwa persalinan. waktu persalinan antara multigravida dan primigravida
juga berbeda, hal ini dipengaruhi salah satunya oleh elastisitas otot dinding perut atau uterus
(Manuaba, 2012).

Persalinan dapat berlangsung dengan baik bila 5 (lima) faktor esensial yang
mempengaruhi proses persalinan dan kelahiran berjalan dengan harmonis, yaitu 5P terdiri
dari passage way, passanger, power, position dan psychologic (Bobak, 2005). Artinya power
atau kekuatan his sesuai dengan perjalanan persalinan, passanger meliputi janin dan plasenta
yang besarnya dalam batas normal, dan passage atau jalan lahir yang tidak terdapat hambatan
yang berat dibantu dengan posisi yang benar sehingga his dapat mengatasinya dengan benar
dan psychologic ibu tidak terganggu (Manuaba, 2012) Persalinan yang lama dapat
menyebabkan trauma, asidosis, dan infeksi pada janin. Sedangkan pada ibu dapat
menyebabkan kelelahan, dehidrasi, infeksi dan resiko ruptur uterus. Sehingga meningkatkan
intervensi bedah pada ibu hamil (Maryunani, 2013). Saat terjadi persalinan lama, intervensi
yang sering dilakukan diantaranya adalah induksi oksitosin, vakum ekstraksi dan sectio
caesarea dan dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada ibu dan janin (Oxorn, 2010).

Persalinan yang lama merupakan salah satu penyebab kematian ibu di Indonesia
yang angka kejadiannya meningkat yaitu 1% pada Tahun 2010, 1,1% pada Tahun 2011, dan
1,8% pada Tahun 2012. Bedasarkan Renstra Dinas Kesehatan Propinsi Lampung (2015),
didapatkan bahwa partus lama rata-rata didunia menyebabkan kematian ibu sebesar 8%, di
Indonesua sebesar 9%, dan di Lampung sebesar 0,63%. Oleh karena itu untuk menghadapi
persalinan ibu harus dipersiapkam sejak masa kehamilan. Upaya pemerintah dalam
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas ibu adalah mengadakan program pelayanan
antenatal terpadu. Pelayanan antenatal terpadu adalah pelayanan antenatal komprehensif dan
berkualitas yang diberikan kepada semua ibu hamil. Salah satu intervensi kesehatan yang
efektif pada pelayanan antenatal yaitu senam hamil. Bidan dalam melakukan pelayanan
kepada ibu hamil memiliki wewenang untuk membimbing dalam melakukan senam hamil
(Depkes RI, 2010).

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan kala III DAN IV ?

2. Bagaimana fisiologi kala III dan IV

3. Apa yang dimaksud denga pemeriksaan servik, vagina dan perineum ?

4. Apa indikasi pemeriksaan kala IV ?

C. TUJUAN

1. Mengetahui tentang kala III dan IV.

2. Mengetahui fisiologi kala III DAN IV.


3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan pemeriksaan servik, vagina dan perineum.

4. Mengetahui pemeriksaan kala III dan I

BAB II

PEMBAHASAN

A. Fisiologi Persalinan Kala III

Kala tiga persalinan dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban secara lengkap, melibatkan pelepasan, penurunan, dan
pengeluaran plasenta dan selaput ketuban serta pengendalian perdarahan dari daerah plasenta.
Tidak hanya itu setelah kelahiran dilakukan juga pemeriksaan saluran genetalia dan bila perlu
dilakukan perbaikan perineum. Dengan Lahir nya bayi, volume intrauterine menurun secara
drastis (dari 4 L sebelum persalinan menjadi 0,5 L), menyebabkan uterus menjadi lebih kecil.
Hal ini disertai dengan pengecilan daerah plasenta (dari diameter kira-kira 20 cm menjadi
kira-kira 7,5 cm). Kontraksi dan rettraksi miometrium terus berlanjut seperti pada kala I dan
II. Tekanan intrauterine meningkat, dari 100 mmHg pada kala II menjadi 40 mmHg pada kala
III.
Plasenta mengalami kompresi, yang :

1. Mendorong aliran darah dari plasenta kebayi (bila tali pusat tidak diklem dan masih
utuh), mengakibatkan penebalan dinding plasenta, dan
2. Mendorong aliran darah dirongga intervili kembali ke vena yang berada dilapisan
spongiosa desi dua basalis. Namun, darah tersebut tidak dapat kembali keperedaran
darah ibu kerana adanya kontraksi serat miometrium. Tekanan dalam pembuluh darah
meningkat , menyebabakan kongesti dan penekenan pembuluh darah.

Pada kontraksi uterus berikutnya, buluh darah mengalami rupture dan darah mengalir
diantara permukaan plasenta dengan septum tipis dari lapisan spongiosa ,mengakibatkan
plasenta terlepas dari desidua. Dapat terbentuk sedikit darah dibelakang plasenta. Darah yang
terbentuk itu disebut bekuan retroplasenta, yang dapat membantu pelepasan dan pengeluaran
plasenta dengan menambah berat bagian tengah plasenta. Serap otot oblik disekitar pembuluh
darah berkontraksi, menutup ujung pembuluh darah ibu yang mengalami robekan, membantu
pencegahan pendarahan. Plasenta turun ke uterus bagian bawah, mengakibatkan selaput
ketuban menjauh dari dindinga uterus. Pada saat uterus berkontraksi, plasenta turun kevagina,
bibantu gravitasi, diikuti oleh slaput ketuban.

Metode pelepasan plasenta menurut Schultze, plasenta dan selaput ketuban


dikeluarkan dengan dorongan ibu. Permukaan janin telihat pertama kali pada vulva, diikuti
oleh selaput ketuban dan darah. Terkadang tepi bawah plasenta terlepas lebih dulu dari
bagian tengtanya kemudian turub sehingga permukaan maternal terlihat di vulva, keluar
bersama slaput ketuban. Proses tersebut merupakan proses yang lebih lambat, denga
pendarahan yang lebih banyak (mekanisme control perdarahan kurang efektif bila sebagian
plasenta masih melekat), kejadian ini disebut metode pelepasan Matthew Duncan.

B. Manajemen Aktif Kala III


Persalinan kala III merupakan tahap yang berbahaya bagi ibu karena dapat terjadi
perdarahan postpartum yang merupakan penyebab kematian ibu dan kesalahan
penatalaksanaan kala III dapat meningkatkan resiko perdarahan tersebut.
Sebagian besar kasus kesakitan dan kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh perdarahan
pascapersalinan dimana sebagian besar disebabkan oleh Antonia uteri dan retensio plasenta
yang sebenarnya dapat dicegah dengan melakukan manajemen aktif kala III.

Prosedur Tetap Manajemen Aktif Kala III

Pengertian : Tindakan yang dilakukan setelah bayi lahir untuk mempercepat lepasnya
placenta
Tujuan :
1. Menurunkan kejadian perdarahan post partum
2. Mengurangi lamanya kala III
3. Mengurangi angka kematian dan kasakitan yang berhubungan dengan perdarahan
Kebijakan :

Lakukan manajemen aktif kala III segera setelah bayi lahir pada semua persalinan
Persiapan :
1. Oxytocin 10 IU
2. Spuit 3 cc
3. Sarung tangan

Prosedur :
1. Palpasi abdominal untuk memastikan tidak ada janin kedua
2. Beri penjelasan pada ibu bahwa akan dilakukan injeksi pada paha
3. Injeksi oxytocin 10 IU IM pada bagian lateral dari paha ibu kira-kira 1/3 atas paha
dalam waktu 2 menit dari kelahiran bayi
4. Pindahkan klem tali pusat diujung, tempatkan kira-kira 5-10 cm dari vulva
5. Lakukan penegangan tali pusat terkendali ( PTT ) dengan cara:

6. Letakkan tangan kiri diatas symfisis


7. Tegangkan tali pusat dengan tangan kanan
8. Dorong uterus kearah dorso kranial pada saat ada his dan terlihat tanda-tanda
pelepasan placenta, sementara tangan kanan menegangkan tali pusat
9. Bila dalam waktu 15 menit uterus tidak berkontraksi, ulangi pemberian oxytocin 10
IU
10. Keluarkan placenta
11. Setelah plasenta lahir,segera tangan kiri melakukan masase fundus uteri menggunakan
palman dengan gerakan melingkar sampai uterus berkontraksi
12. Sementara itu tangan kanan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta dan
selaput ketuban
9. Tempatkan plasenta pada wadah yang telah disediakan,cuci tangan dengan larutan klorin
Keuntungan Manajemen Aktif Kala III

– Mengurangi jumlah kehilangan darah


– Mengurangi kejadian retensio plasenta

Yang harus dipantau pada kala III


– Kontraksi uterus
– Tanda pelepasan plasenta
– Perdarahan

Manajemen aktif kala tiga terdiri dari tiga langkah utama

1. Pemberian Suntikan Oksitosin


 Segera berikan bayi yg telah terbungkus kain kepada ibu utk diberi ASI
 Letakkan kain bersih diatas perut ibu
 Periksa uterus utk memastikan tdk ada bayi yg lain
 Memberitahukan pd ibu ia akan disuntik
 Selambat-lambatnya dlm wkt dua menit setelah bayi lahir, segera suntikan oksitosin
10 unit IM pd 1/3 bawah paha kanan bagian luar.

Alasan : oksitoksin merangsang fundus uteri untuk berkontraksi dengan kuat dan efektif
sehingga dapat membantu pelepaasan plasenta dan mengurangi kehilangan darah. Aspirasi
sebelum penyuntikan akan mencegah penyuntikan oksitoksin kepembuluh darah.
Catatan : jika oksitoksin tidak tersedia, minta ibu untuk melakukan simulasi puting susu atau
menganjurkan ibu untuk menyusui dengan segera. Ini akan menyebabkan pelepasan
oksitoksin secara alamiah. Jika peraturan atau program kesehatan memungkinkan, dapat
diberikan misoprostol 600 mcg (oral/sublingual) sebagai pengganti oksitoksin.

2. Penegangan Tali Pusat Terkendali


 Berdiri disamping ibu
 Pindahkan klem kedua yang telah dijepit sewaktu kala dua persalinan pada tali pusat
sekitar 5-10 cm dari vulva
 Letakkan tangan yang lain pada abdomen ibu (alas dengan kain) tepat dibawah tulang
pubis, gunakan tangan lain untuk meraba kontraksi uterus dan menahan uterus pada
saat melakukan peregangan pada tali pusat, tangan pada dinding abdomen menekan
korpus uteri ke bawah dan atas (dorso-kranial) korpus.

 tegangkan kembali tali pusat ke arah bawah bersamaan dengan itu, lakukan
penekanan korpus uteri ke arah bawah dan kranial hingga plasenta terlepas dari
tempat implantasinya
 Jika plasenta tidak turun setelah 30-40 detik dimulainya peregangan tali pusat dan
tidak ada tanda-tanda yg menunjukkan lepasnya plasenta, jangan teruskan penegangan
tali pusat
 Setelah plasenta terlepas, anjurkan ibu utk meneran plasenta akan terdorong ke
introitus vagina. Tetap tegang kearah bawah mengikuti arah jalan lahir
 Pada saat plasenta terlihat pada introitus vagina, teruskan kelahiran plasenta dengan
menggunakan kedua tangan. Selaput ketuban mudah robek: pegang plasenta dengan
kedua tangan rata dengan lembut putar plasenta hingga selaput terpilin
 Lakukan penarikan secara lembut dan perlahan-lahan untuk melahirkan selaput
ketuban
 Jika terjadi selaput robekan pada selaput ketuban saat melahirkan plasenta, dengan
hati-hati periksa vagina dan serviks dengan seksama

3. Rangsangan Taktil (Pemijatan) Fundus Uteri


 Segera setelah kelahiran plasenta
 Letakkan telapak tangan pada fundus uteri
 Jelaskan tindakan ini kepada ibu dan mungkin merasa tidak nyaman
 Dengan lembut gerakkan tangan secara memutar pd fundus uteri Þ uterus berkontraksi
(gambar 5-2) jika tdk berkontraksi dlm wkt 15 dtk, lakukan penatalaksanaan atonia
uteri
 Periksa plasenta dan selaputnya utk memastikan keduanya lengkap dan utuh
 Periksa uterus setelah satu hingga dua mnt memastikan uterus berkontraksi dgn baik,
jika blm ulangi rangsangan taktil fundus uteri
 periksa kontraksi uterus setiap 15 mnt selama satu jam pertama pascapersalinan dan
setiap 30 mnt selama satu jam kedua pascapersalinan

C. Penatalaksanaan Kala III Aktif

Penatalaksanaan aktif terdiri dari pemberian obat oksitosik, pengkleman tali pusat
secara dini, dan pengeluaran plasenta denganmenggunakan tarikan tali pusat. Cara ini
berlangsung lebih cepat dari penatalaksanaan Pasif kala III, dengan pendarahan yang lebih
sedikit, namun demikian, obat oksitosik dapat menimbulakan epek samping yang tidak
diinginkan. Prendville et al (1998) berpendapat bahwa penatalaksaan aktif harus menjadi
penatalaksaan pilihan pada persalinan pervaginam tunggal dirumah sakit karena
penatalaksaan aktif kala III termasuk dalam standar praktik penatalaksaan kala III. Secara
tradisional, penatalaksaan aktif tidak diperlukan menunggu tanda-tanda pelepasan plasenta
sebelum melakukan penarikan tali pusat. Namun disarankan untuk menunggu tanda-tanda
tersebut, dengan alas an bila penarikan tali pusat dilakukan sebelum munculnya tanda-tanda
pelepasan dan ternyata tidak berhasil, kehilangan darah yang terjadi akan bertambah.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menetapkan perlu tidaknya menunggu tanda-tanda
pelepasan.
Penggunaan obat oksitosik terbukti berperan dalam menurunkan angka ketian ibu akibat
perdarahan pascapartum, penatalaksanaan aktif dianjurkan untuk digunakan pada ibu dengan
resiko perdarahan pascapartum. Resiko tersebut antara lain :
Adanya riwayat perdarahan pascapartum
– Grande multipara
– Fibroid
– Kehamilan kembar
– Anemia
– Pre-eklampsia
– Perdarahan antepartum, baik akibat solusio placenta maupun plasenta praevia
– Pemberian obat tokolitik untuk persalinan praterm
– Induksi persalinan
– Persalinan dengan tindakan
– Persalinan lama
– Persalinan presipitas
– Anestisia umum

1. Obat oksitosik
Obat oksitosik adalah obat-obatan yang menstimulasi kontraksi uterus, mengandung
oksitosin, dan ada dalam bentuk Syntocinon, ergometrin atau kombinasi keduanya. Obat ini
dapat diberikan secara profilaktik selama penatalaksanaan aktif untuk mengurangi risiko
perdarahan postpartum atau sebagai bagian dari penetaklaksaan kedaruratan terhadap
perdarahan pascapartum untuk menghentikan perdarahan.

2. Syntocinon
Syntocinon menyebabkan uterus berkontraksi secara teratur dan kuat, terutama uterus
bagian atas, mengikuti kerja tubuh. Bila diberikan secara intravena akan menimbulkan reaksi
dalam 40 detik, sedangkan bila diberikan secara intramuscular memerlukan waktu 2-3 menit.
Efek samping utamanya adalah retensi cairan akibat pengaruh antidiuretiknya. Dosis bianya
antara 5-10 unit.

3. Ergometrin
Ergometrin menyebabkan spasma uterus dan servik yang kontinu dan tidak fisiologis,
selama lebih dari 2 jam, oleh karena itu, biasanya digunakan pada perdarahan postpartum
akibat atonia uteri. Ergometrin juga menimbulakan vasospasme yang dapat meningkatkan
tekanan darah, dan tidak boleh diberikan pada ibu penderita hipertensi. Juga dapat
menimbulkan kontraksi otot polos bronkiolus yang dapat menimbulkan masalah pada ibu
menderita asma. Jika diberikan pada intravena, akan menimbulakan efeka dalam 40 detik,
secara intramuscular memerlukan waktu 5-7 menit. Dosis biasa adalah 0,25-0,5 mg. Efek
sampingnya terutama berkaitan dengan kontraksi otot polos dan meliputi tinnitus, nyeri
kepala, nyeri dada, palpitasi, nyeri seperti kram pada punggung dan kaki, mual dan muntah,
peningkatan tekanan darah, penurunan kadar prolaktin dan bila ibu dianestensi umum, akan
terjadi peningkatan risiko edema paru atau edema otak akut setelah persalinan.

4. Syntometrine
Obat ini mengandung ergometrin 0,5 mg dan oksitosin 5 unit/ml. Obat ini memiliki efek
gabungan dari kedua obat tersebut dan bianya diberikan bila kala III ditatalaksanakan secara
aktif, tetapi obat ini juga memiliki gabungan efek samping dari kedua obat trsebut. Bila
dibandingkan dengan Syntocinon, obat ini menurunkan resiko perdarahan postpartum jika
darah yang keluar kurang dari 1000 ml. Bila obat oksitosik digunakan secara profilaktik,
biasanya diberikan secara intramuscular pada saat kelahiran baru anterior, hal ini member
cukup waktu bagi obat tersebut untuk breaksi sebelum pelahiran plasenta. Bila bayi yang
dilahirkan lebih dari satu, obat diberikan pada saat kelahiran bahu anterior bayi terakhir.

D.Prinsip Pentalaksanaan Aktif

 Pada saat interior lahir, obat oksitosik diberikan


 Klem dan potong tali pusat, pastikan bahwa kedua ujung tali pusat dalam keadaan
baik, letakkan ujung tali pusat maternal (sering diklem dengan klem arteri) di wadah
steril , dan diletakkan didekay vulva.
 Bentangkan handuk steril diatas perut ibu, kemudian letakkan bagian nondominan di
atas pundus uteri dan tunggu datangnya kontraksi, biarkan tangan berada di tempatnya
pada saat saat terjadi tanda-tanda terjadi pelepasan dan penurunan plasenta.
 ketika uterus berkontraksi, letakkan tangan non-dominan di atas simfisis pubis ibu
dengan ibu jari dan jari-jari lain direnggangkan dan telapak tangan menghadap ke
bawah.
 Pegang tali pusat dengan tangan dominana dan lakukan tarikasn kebawah (tarikan tali
pusat terkendali), pad saat yang sama , dorong uterus menuju umbilikalis
menggunakan tangan kiri (untuk mencegah risiko inverse uterus).
 Tarikan tali pusat terkendali dapat dilakukan dengan baik bila bidan dapat
memepertahankan letak tangan yang menarik tali pusat tetap berada didekat vulva.
Pandangan harus mantap dengan memegang forsep arteri pada tali pusat dekat dengan
vulva, karena tali pusat memanjang, klem harus digerakkan keatas supaya tetap dekat
dengan vulva. Sebaliknya lilitkan tali pusat mengelilingi jari tangan yang dominan,
kemudian gerakkan mendekati vulva bila perlu
 Bila dirasakan ada tahanan, hentikan dan lepas tekanan dari tangan dominan dan dari
tangan non-dominan (plasenta mungkin belum terlepas) dan tunggu beberapa menit
sebelum mencoba lagi, pastikan uterus berkontraksi .
 Bila plasenta tampak dari vulva, penarikan dilakukan kearah atas mengikuti
lengkungan jalan lahir.
 Tangan non-dominan dipindahkan ke bawah untuk memebantu penerimaan plasenta,
memeberi waktu pada selaput ketuban untuk keluar secara perlahan.
 Bila terjadi kesulitan pelahiran selaput ketuban, tarikan harus dilakukan kea rah atas
dan bawah (untuk membantu melakukannya forsep arteri dapat dipasang pad selaput
ketuban) atau dengan memilih plasenta sehinnga selaput ketuban berbentuk seperti
tali, kedua cara tersebut membantu pelepasan dan pengeluaran selaput ketuban.
 Observasi kondisi ibu, terutama untuk adanya perdarahan per vaginam.
 Catat waktu keluarnya plasenta dan selaput ketuban (sering dalam 5 – 10 menit).
 Kaji kondisi ibu, catat kondisi uterus, jumlah darah yang keluar, nadi dan tekanan
darah setelah kala III berakhir, kondisi saluran genitalia juga harus diperiksa, bila
perlu lakukan penjahitan.
 Bantu ibu memperoleh posisi yang nyaman, ganti alat tenun yang kotor , bila hasil
observasinya berada dalam bats normal beri kesempatan pada ibu untuk bersama
bayinya (bersama pasangan atau orang yang menemaninya pad saat melahirkan),
dekatkan bel di tempat yang mudah dijangkau ibu.
 Periksa plasenta dan catat jumlah darah yang keluar.
 Buang plasenta dan bereskan alat dengan benar.
 Dokumentasikan hasil dan lakukan tindakan yang sesuai.
Setelah penatalakanaan kala III selesai , catatan persalinan harus dilengkapi secara
rinci, termasuk pemberitahuan kelahiran. Keluarga diberi kesempatan untuk
berkumpul, observasi tanda-tanda vital dilakukan, begitu juga uterus ibu dan
kehilangan darah dalam bentuk lokia yang dialami ibu. Ibu dan bayi dibersihkan dan
perawatan bayi dilakukan, pemberian makan pada bayi harus dilakukan pada masa
ini.

E.Pemeriksaan Plasenta

Pemeriksaan plasenta setelah persalinan merupakan keterampilan yang sangat penting


yang dilakukan oleh bidan untuk menurunkan kemungkinan terjadinya perdarahan
pascapartum dan infeksi. Struktur dan tampilan Plasenta adalah struktur berbentuk diskus
yang memiliki dua permukaan yaitu permukaan maternal dan permukaan janin. Terkadang
plasenta berkembang dengan struktur dan tampilan abnormal seperti plasenta sirkumvalat.
Plasenta melebar di bawah permukaan endometrium dan kantong embrionik membesar di
atasnya, endometrium di antara keduanya terdesak dan hancur, menyebabkan terbentuknya
membrane aseluler, dan dapat memengaruhi penempelan plasenta di desidua sehingga
meningkatkan risiko terjadinya abrupsio plasenta. Plasenta memiliki cincin tebal putih_abu-
abu menonjol yang mengelilingi bagian tengah permukaan janin, cincin tersebut terjadi akibat
terlipatnya selaput janin ke arah belakang (Blackburn & Loper ,1992). Pada kehamilan cukup
bulan, berat plasenta sekitar 500-600 gr (kira-kira 1/6 berat badan bayi) , diameternya 15-20
cm dengan tebal 2-3 cm.

pengekleman tali pusat yang terlalu dini dapat menyebabkan plasenta menjadi lebih
ringan. Hal tersebut disebabkan oleh jumlah darah yang dialirkan dari plasenta ke bayi pada
saat kelahiran. Plasenta yang besar dapat berhubungan dengan ibu yang diabetes dan
kehamilan kembar, plasenta yang kecil berhubungan dengan terjadinya defisiensi
pertumbuhan intrauterine kronis. Pada bagian permukaan janin, plasenta tampak berkilau
karena lempeng korion , membrane tipis yang bersambungan dengan korion, dan amnion,
yang menutupi permukaan.
Pada bagian permukaan janin terdapat 50-60 lobus atau kotiledon yang terbagi dalam 1-5
lobus. Terkadang plasenta terdiri atas dua (bipartal atau tiga (tripartal) lobus yang berbeda
dengan tali pusat berada disetiap lobusnya. Tali pusat tersebut sebenarnya hanya satu, tetapi
saat mendekati permukaan plasent a tali pusat tersebut mengalami percabangan dua atau tiga
untuk mengalirkan darah ke setiap lobus.

Pembuluh darah, cabang vena dan arteri umbilikalis tampak dengan jelas keluar dari
titik insersi tali pusat, yangbiasanya terletak di tengah atau agak kesamping . tali pusat
tertanam di tepi plasenta insersi “battledore” biasanya tidak signifikan, perlekatannya rapuh,
meningkatkan resiko terlepas pada saat penarikan tali pusat terkendali, insersi “velamentosa”
yaitu insersi tali pusat pada selaput janin, dimana pembuluh darah mengalir menembus
selaput janin menuju plasenta . perlekatannya sangat rapuh, dapat putus pada saat penarikan
tali pusat terkendali . pembuluh darah dapat berada di ostirium maupun artificial, akan
menimbulkan perdarahan janin yang massif. Pada plasenta bagian permukaan maternal,
plasenta terdiri dari 15 – 20 koti ledon (yang oleh septum) yang muncul dari 2 vili utama atau
lebih serta percabangannya. Selama trimester kedua dan ketiga, dapat terjadi penumpukan
fibrin disekitar vili, yang menyebabkan infark vili yang terpisah. Hal ini biasanya tidak
signifikan kecuali jika kejadiannya berlebihan, memengaruhi pertukaran nutrisi dan produk
sisa antara sirkulasi ibu dan janin sehingga menyebabkan terjadinya defisiensi pertumbuhan
intrauterine. Klasifikasi akibat penumpukan garam kapur pada permukaan dapat dirasakan
seperti berpasir, hal ini tidak signifikan. Terkadang kotiledon berada di selaput ketuban,
terpisah dari plasenta, tetapi dihubungkan oleh pembuluh darah lobus “suksemturiata”. Bila
tertinggal dalam uterus, dapat mencetuskan

perdarahan pasca partum dan infeksi seperti halnya jika selaput ketuban yang tertinggal
didalam uterus. Selaput plsenta harus diperiksa dengan cermat untuk adanya lobus yang
hilang, dicurigai bila terdapat lubang yang tidak jelas penyebabnya pada koriun, terutama bila
pembuluh darah mengalir kearah lubang dan tiba-tiba berhenti mengalir.
Plasenta yang pucat dapat terjdi akibat pengkleman tali pusat yang terlambat sehingga darah
yang tertinggal diplasenta hanya sedikit, dapat pula mengindikasikan terjadinya anemia
intrauterine. Mekonium juga dapat terlihat pada plasenta bagian permukaan janin, yang
merupakan tanda-tanda infeksi dan hiperbilirubinemia. Plasenta yang berbau busuk sering
mengindikasikan adanya infeksi intrauterine. Prosedur pemeriksaan plasenta Jelaskan
prosedur pada orang tua, dan tanyakan apakah nereka ingin mengopserpasi pemeriksaan
Siapkan alat :
1. Sarung tangan dan apron
2. Kantong sekali pakai untuk plasenta
3. Penutup pelindung sekali pakai
4. Plasenta Cuci tangan dan pakai sarung tangan dan apron
5. Letakkan plasenta diatas penutup (letakkan diatas permukaan datar) dengan
permukaan janin menghadap keatas, cacat ukuran, bentuk dan bahu serta warnanya.
6. Periksa tali pusat, catat panjangnya, titik insersi dan kemungkinan adanya
simpulHitung jumlah pembuluh darah diujung potongan tali pusat (bila ujungnya
sudah hancur, potong lagi sedikit tali pusat, dan hitung jumlah pembuluh darah yang
ada).
7. Observasi permukaan janin untuk adanya ketidakteraturan
8. Pegang tali pusat dengan tali tangan non-dominan, angkat plasenta dan periksa
robekan selaput plasenta dan kembalikan ketempatnya
9. Buka membran plasenta ke arah luar, periksa adanya pembuluh darah atau lobus
tambahan, atau adanya lubang yang tidak penyebabnya Pisahkan amnion dan korion,
tarik amnion ke arah belakang melewati dasar tali pusat
10. Balik plasenta sehingga permukaan maternal berada diatas
11. Periksa kotiledon, periksa kelengkapannya, catat ukuran dan jumlah area yang
mengalami infark atau terdapat bekuan darah
12. . Timbang dan cuci plasenta bila diindikasikan
13. Buang placenta dan bereskan alat dengan benar
14. Cuci tangan
15. Diskusikan hasilnya dengan orang tua

Dokumentasikan hasilnya dan lakukan tindakan yang sesuai


Bila diperlukan darah tali pusat,mis; pada ibu dengan rhesus-negatif, maka dianjurkan agar
darah tali pusat diambil dari plasenta bagian permukaan janin pada saat pembuluh darah
berkongesti dan dapat dilihat. Sampel harus diambil secepatnya sebelum darah membeku dan
biasanya dilakukan sebelum pemeriksaan plasenta.
Dibeberapa unit meternitas, plasenta dikumpukan dan bekukan untuk tujuan penelitian, yang
dapat meliputi plasenta atau tali pusat. Darah tali pusat dapat didonorkan ke London Cord
Blood Bank dan digunakan untuk berbagai penyakit hematologis, seperti leukemia. Penelitian
histologi dapat diperlukan untuk situasi tertentu, seperti kelahiran kembar, kelahiran praterm,
lahir mati, dan kecurigaan infeksi.

Tanda pelepasan dan penurunan plasenta


– Perdarahan : 30-60 ml darah dapat keluar dari vagina ( hal ini juga dapat terjadi akibat
pelepasan plasenta parsial, meskipun perdarahan sering kali lebih banyak, atau akibat
laserasi).
– Pemanjangan tali pusat : hal ini terjadi karena penurunan plasenta, tetapi dapat juga terjadi
bila tali pusat bergulung dan kemudian melurus.
– Uterus membulat, mengeras, meninggi, mobile dan terasa melengking : hal ini dikaji
dengan mempalpasi pundus, hal ini harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat
menyebatkan kontraksi yang tidak teratur, mengakibatkan pelepasan sebagian plasenta dan
selaput ketuban, dan perdarahan hebat. Fundus dapat teraba dibawah umbilikalis, dan teraba
lebih lebar, sampai plasenta telepas dan turun kebagian bawah uterus. Tinggi fundus
bertambah, biasanya diatas umbilikalis, dengan fundus yang menyempit.
Pengendalian perdarahan
Perdarahan dari tempat pelepasan plasenta dapat terjadi banyak dan cepat, karena pada
kehamilan aterm sirkulasi plasenta diperkirakan sebesar 500-800 ml /menit. Mengendalikan
perdarahan merupakan hal yang sangat penting.tubuh berupaya mengendalikan perdarahan
melalui 3 cara :
1. Serat oblik bagian tengah dari uterus berkontraksi dan beretraksi , sehingga terjadi
komplikasi pembuluh darah yang mwngalir disekitar nya. Hal ini menyebabkan kekusutan
pembuluh darah sehingga aliran darah melambat dan berhenti, memungtkinkan terbentuknya
bekuan darah.
2. Dinding uterus mengecil, menimbulkan tekanan pada daerah plasenta.
3. Mekanisme pembekuan darah mulai bekerja pada daerah bekas plasenta, pada sinus dan
pembuluh darah yang robek. Jaringan yang rusak melepaskan trombokinase yang mengubah
protrombin menjadi thrombin . hal ini dikombinasikan lagi dengan trombosit untuk
membentuk bekuan. Agar proses pembekuan darah berlangsung secara efisien diperlukan
vitamin K, kalsium dan factor pembekuan lainnya .

F.Pemeriksaan Selaput Ketuban

Amnion dan korion terdiri dari selaput janin, yang tampak menyatu sebenarnya tidak .
menarik salah satunya dapat merusaknya, amnion dapat ditarik kearah tali pusat. Amnion
terasa halus, tembus cahaya dan liat, sedangkan karion lebih tebal, keruh dan rapuh. Korion
mulai terdapat di tepi plasenta dan melebar ke sekitar desidua. Setelah kelahiran, selaput
ketuban akan berlubang karena dilewati bayi. Bila selaput ketuban tampak tidak rata,
kemungkinana ada bagian yang tertinggal di uterus. Hal ini dapat mempengaruhi
kontraktillitas uterus dan mencetuskan perdarahan pascapartum. Hal ini juga menjadi media
tumbuhnya mikroorganisme, yang menjadi pencetus infeksi. Bekuan pascapartum yang
keluar harus diperiksa untuk adanya selaput ketuban.

G.Pemeriksaan Tali Pusat

Tali pusat terdiri dari dua arteri umbilikalis dan satu vena umbilikalis, dikelilingi oleh
jeli warthon dan ditutupi oleh amnion. Tali pusat dengan dengan jumlah pembuluh darah
kurang dari tiga mengindikasikan adanya abnormalitas congenital, bayi harus di rujuk ke
dokter anak dan sampel tali pusat diperlukan dianalisis. Panjang tali pusat adalah 50 cm
(berkisar 30 – 90 cm), diameter 1-2 cm dan berbentuk spiral untuk melindungi pembuluh
darah dari tekanan. Tali pusat yang pendek adalah tali pusat yang panjangnya kurang dari 40
cm, dan hal ini biasanya tidak signifikan, kecuali jika terlalu pendek, karena pada saat anin
turun kerongga panggul tali pusat akan tertarik dan terjadi juga tarikan pada plasenta. Tali
pusat yang terlalu panjang dapat melilit janin atau tersimpul, sehingga terjadi penyumbatan
pembuluh darah, risiko presentasi atau prolaps tali pusat mengalami peningkatan jika tali
pusat terlalu panjang, terutama bila bagian terendah janin tidak sesuai dengan serviks. Lilitan
palsu dapat terjadi jika pembuluh darah lebih panjang dari tali pusat dan memebentuk
lingkaran di jeli wharton, hal ini tidak begitu bermakna. Tali pusat yang terlalu besar atau
terlalu kecil akan sulit untuk diklem setelah kelahiran. Pengkleman tali pusat Kebiasaan
memotong tali pusat mulai diperkenal kan pada abat ke – 17, bersamaan dengan dilakukan
nya praktik persalinan ditempat tidur. Akibatnya, tempat tidur menjadi basah oleh darah dan
kemudian pengkleman tali pusat mulai banyak dilakukan untuk mengurangi hal tersebut.
Pelepasan plasenta tergantung pada kemampuan uterus untuk berkontraksi dan beretraksi,
memeras plasenta. Bila tali pusat di klem, terjadi tahanan balik di plasenta, memecah aliran
darah kebayi. Ukuran plasenta tidak banyak berkurang dan dijaga agar tidak terjadi kompresi.
Hal ini dapat menghambat kontraksi dan retraksi, memperlambat proses pelepasan. Efek dari
hal ini ada dua macam :

1. Penundaan pelepasan plasenta,yang berarti penundaan penutupan pembuluh darah ibu


yang rupture, meningkatnya ukuran bekuan retroplasenta dan meningkatnya resiko
perdarahan.
2. Serviks dapat mengalami retraksi sebelum plasenta dikeluarkan, menyebabkan
tertahanya plasenta, yang sering memerlukan tindakan manual untuk mengeluarkan
plasenta dan selaput janin dibawah anastesia epidural, spinal atau umum.

Pengkleman tali pusat dan isoimunisasi rhesusBila tali pusat sudah dijepit, akan lebih
banyak darah janin yang tertinggal di plasenta, meningkatkan tekanan didalam plasenta. Pada
saat uterus berkontraksi, tekanan meningkat lagi dan permukaan pembuluh darah plasenta
mengalami rupture. Sel darah janin dilepaskan kedalam rongga uterus dan dapat masuk
kesirkulasi ibu. Bila bayi memiliki rhesus positif sedangkan ibu mempunyai rhesus negative,
ibu akan memproduksi antibody yang berlawanan dengan sel darah dengan rhesus positif.
Isoimunisasi rhesus dapat mempengaruhi kehamilan berikutnya karena antibody cukup kecil
untuk dapat menembus plasenta dan melakukan hemolisis terhadap sel janin jika janin
memiliki rhesus positif. Semua ibu dengan rhesus negative yang memiliki bayi dengan rhesus
positif harus mendapatkan anti immunoglobulin D pada saat persalinan untuk mengurangi
risiko terjadinya isoimunisasi.

Pengkleman tali pusat dan dampaknya pada bayi


Pada persalinan kala III, selama tali pusat masih berdenyut, 75-125 ml darah masih dapat
dialirkan dari plasenta ke bayi. Darah tambahan ini diperlukan untuk sirkulasi paru yang baru
terbentuk. Pengkleman tali pusat yang terlalu cepat akan mengurangi jumlah darah yang
dialirkan ke bayi, sehingga menimbulkan hipovolaemia. Hal ini dapat menyebabkan
terjadinya sindrom distres pernapasan dan memburuknya kondisi bayi yang lahir dengan Hb
rendah. Kinmond et al. (1993) menemukan bahwa memperlambat penjepitan tali pusat
memungkinkan terjadinya aliran darah ke bayi, dan memperbaiki kondisi bayi praterm. Bila
obat oksitosin diberikan dan tali pusat tidak dijepit, akan terjadi resiko aliran darah yang
berlebihan dari plasenta ke bayi yang masih dapat menerima setengah dari jumlah volume
darah totalyang ada ditubuhnya. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya ikterik dan bila sudah
memburuk, dapat terjadi beban sirkulasi yang berlebihan. Oleh karena itu untuk
mencegahnya, tali pusat harus diklem sesegerra mungkin bila diberikan oksitosin.

Bila bayi ditempatkan 40 cm lebih rendah dari introitus, transpusi plasenta akan
selesai secaraa fisiologis dalam waktu 30 detik, bila bayi berada diatas 40 cm, proses
transfusi plasenta terjadi lebih lambat. Bila diperlukan obat oksitosin, bayi dapat ditempatkan
dibawah introitus selama 30 detik (posisi tersebut ideal untuk posisi ibu tegak, all fours atau
berjongkok, dan sulit bila posisi ibu semirekumben atau miring kekiri). Setelah itu, barulah
obat oksitosik dapat diberikan dan tali pusat diklem. Ujung tali pusat ibu dapat dibiarkan
tanpa diklem untuk mengurangi gangguan proses fisiologis.

B. Pemantauan : kontraksi, robekan jalan lahir dan perineum; tanda vital; hygiene
 Pemantauan Kontraksi

Seperti diketahui bahwa otot rahim terdiri atas tiga lapis yang teranyam dengan
sempurna yaitu, lapisan otot longitudinal dibagian luar, lapisan otot sirkuler dibagian dalam,
dan lapisan otot menyilang diantara keduanya. Dengan susunan demikian, pembuluh darah
yang terdapat diantara otot rahim akan tertutup rapat saat terjadinya kontraksi postpartum
sehingga menghindari perdarahan. Pada saat inpartu perlu dilakukan observasi yang seksama
karena tertutupnya pembuluh darah mengurangi oksigen ke peredaran darah retroplasenter,
sehingga dapat menimbulkan asfiksia intrauterin. Dengan demikian pengawasan dan
pemeriksaan djj segera setelah kontraksi rahim, terutama pada kala 2, sangat penting
sehingga dengan cepat dapat diketahui terjadinya asfiksia janin. Kontraksi otot rahim bersifat
otonom artinya tidak dapat dikendalikan oleh parturien, sedangkan serat saraf simpstis dan
parasimpatis hanya bersifat koordinasi.

Beberapa sifat kontraksi rahim dijabarkan sebagai berikut:

1. Amplitudo

 Kekuatan his diukur dengan mm Hg

 Cepat mencapai puncak dan diikuti relaksasi yang tidak lengkap sehingga
kekuatannya tidak mencapai 0 mm Hg.

 Setelah kontraksi otot rahim mengalami retraksi (teidak kembali kepanjang semula).

2. Frekuensi

 Jumlah terjadinya his selama 10 menit

3. Durasi his

 Lamanya his terjadi pada setiap saat

 Diukur dengan detik

4. Interval His

 Tenggang waktu antara 2 his

5. Kekuatan His

 Perkalian antar amplitudo dengan frekuensi yang ditetapkan dengan satuan


Montevideo.

Aktivitas kontraksi rahim (his) mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:

1. Saat Hamil

Perubahan perimbangan estrogen dan progesteronb menimbulkan kontraksi otot rahim


dengan sifat tidak teratur menyeluruh, tidak nyeri dan berkekuatan 5 mm Hg yang disebut
dengan kontraksi Braxton hicks. Makin tua kehamilan, kontraksi Braxton Hicks makin sering
terjadi sejak umur kehamilan 30 minggu. Kekuatan kontraksi tersebut akan menjadi kekuatan
his dalam persalinan.

2. Kekuatan His kala pertama


Sifat kontraksi otot rahim pada kala pertama adalah:

a. Kontraksi bersifat simetris

b. Fundal dominan, artinya bagian fundus uteri sebagai pusat dan mempunyai kekuatan
yang paling besar.

c. Involunter artinya tidak dapat diatur oleh parturien

d. Intervalnya makin lama makin pendek

e. Kekuatannya makin besar dan pada kala pengusiran diikuti dengan refleks mengejan.

f. Diikuti retraksi artinya panjang otot rahim yang telah berkontraksi tidak akan kembali
kepanjang semula.

g. Setiap kontraksi dimulai dengan pace maker yang terletak sekitar insersi tuba, dengan
arah perjalaran ke daerah serviks uteri dengan kecepatan 2 cm/detik.

h. Kontraksi rahim menimbulkan rasa sakit pada pinggang, daerah perut daan dapat
menjalar kedaerah paha. Distribusi susunan otot rahim ke arah serviks yang semakin
berkurang menyebabkan serviks bersifat pasif, sehingga terjadi keregangan/penipisan,
seolah-olah janin terdorong kearah jalan lahir. Bagian rahim yang berkontraksi
dengan yang menipis dapat diraba atau terlihat, tetapi tidak melebihi batas setengah
pusat simfisis.

Pada kala pertama, amplitudo sebesar 40 mm Hg, menyebabkan pembukaan serviks,


interval 3 sampai 4 menit dan lamanya berkisar antara 40 sampai 60 detik. Akhir kala
pertama ditetapkan dengan kriteria yaitu, pembukaan lengkap, ketuban pecah, dan dapat
disertai refleks mengejan.

3. Kekuatan His kala kedua (pengusirana)

Kekuatan his pada akhir kala pertama atau permulaan kala dua mempunyai amplitudo
60 mm Hg, interval 3 sampai 4 menit dan durasi berkisar 60 sampai 90 detik. Kekuatan his
dan mengejan dorong janin ke arah bawah dan menimbulkan keregangan yang bersifat pasif.
Kekuatan his menimbulkan putar paksi dalam, penurunan kepala atau bagian terendah,
menekan serviks dimana terdapat fleksus Frankenhauser, sehingga terjadi reflek mengejan.
Kedua kekuatan his dan reflek mengejan makin mendorong bagian terendah sehingga
terjadilah pembukaan pintu, dengan crowning dan penipisan perinium. Selanjutnya kekuatan
his dan refleks mengejan menyebabkan ekspulsi kepala, sehingga berturut-turut lahir ubun-
ubun besar, dahi, muka dan kepala seluruhnya.

Untuk meningkatkan kekuatan his dan mengejan lebih berhasil guna, posisi parturien
sebagai berikut:

o Badan dilengkungkan sehingga dagu menempel pada dada.

o Tangan merangkul paha sehingga pantat sedikit terangkat yang menyebabkan


pekebaran pintu bawah panggul melalui persedian sacro coccygeus.

o Dengan jalan demikian kepala bayi akan ikut serta membuka diafragma pelvis
dan vulva perenium semakin tipis.

o Sikap ini dikerjakan bersamaan dengan his dan mengejan, sehingga resultante
kekuatan menuju jalan lahir.

4. Kekuatan his (kontraksi) rahim pada kala ketiga

Setelah istirahat sekitar 8 sampai 10 menit rahim berkontraksi untuk melepaskan


plasenta dari insersinya, dilapisan Nitabusch. Pelepasan plasenta dapat dimulai dari pnggir
atau dari sentral dan terdorong kebagian bawah rahim. Untuk melahirkan plasenta diperlukan
dorongan ringan secara crede.

5. Kekuatan his pada kala IV

Setelah plasenta lahir, kontraksi rahim tetap kuat dengan amplitudo sekitar 60 sampai
80 mm Hg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval pembuluh darah tertutup rapat
dan terjadi pembentukan trombus terjadi penghentian pengeluaran darh postpartum. Kekuatan
his dapat diperkuat dengan memberi obat uterotonika. Kontraksi diikuti saat menyusui bayi
bayi sering dirasakan oleh ibu postpartum, karena pengeluaran oksitosin oleh kelenjar
hipofisis posterior.

Pengeluaran oksitisin sangat penting yang berfungsi:

 Merangsang otot plos yang terdapat disekitar alveolus kelenjar mamae, sehingga ASI
dapat dikeluarkan.

 Oksitosin merangsang kontraksi rahim.

 Oksitosin mempercepat involusi rahim.


 Kontraksi otot rahim yang disebabkan oksitisin mengurangi perdarahan postpartum

Dalam batas yang wajar maka rasa sakit postpartum tidak memerlukan pengobatan
serta dapat dibatasi dengan sendirinya.

B. Robekan Jalan Lahir dan Perinium

Rebokan perineal sering terjadi, khususnya pada wanita primipara. Robekan derajat
satu kadang kala bahkan tidak perlu untuk dijahit, robekan derajat dua biasanya dapat dijahit
dengan mudah dibawah pengaruh analgesia lokal dan biasanya sembuh tanpa komplikasi.
Robekan derajat tiga dapat mempunyai akibat yang lebih serius dan dimana pun bila
memungkinkan harus dijahit oleh ahli obstetri, dirumah sakit dengan peralatan yang lengkap,
dengan tujuan mencegah inkontinensia vekal dan atau fistula fekal. Episitomi sering
dilakukan, tetapi insidennya berbeda-beda. Episitomi midline lebih mudah dijahit dan
memiliki keuntungan meninggalkan sedikit jaringan perut, sementara episitomi medioteral
lebih efektif minghindari spinkter anal dan rektum. Alasan yang baik untuk melakukan
episitomi selama persalinan normal hingga kini dapat berupa: tanda-tanda gawat janin;
kemajuan persalinan yang tidak cukup, ancaman robekan derajat tiga (termasuk robekan
derajat tiga di persalinan sebelumnya).

Ketiga indikasi tersebut benar, meskipun perkiraan robekan derajat tiga sangat sulit.
Angka kejadian robekan derajat tiga sekitar 0,4% sehingga diaknosis ”ancaman robekan tiga”
seharusnya hanya dibuat kadang-kadang, kalau tidak diagnosis tersebut tiodak ada artinya.
Selain yang sudah disebutkan, diberikan untuk penggunaan episiotomi pada semua kasus. Hal
ini termasuk argument bahwa episiotomi menggantikan irisan pembedahan yang lurus dan
rapi untuk laseradsi yang tidak beraturan, lebih mudah diperbaiki, dan sembuh lebih baik sari
robekan (cunningham et al, 1989); penggunaan episiotomi pada semua kasus mencegah
trauma pariniel yang serius; episiotomi mencegah trauma pada kepala janin; dan episiotomi
mencegah trauma pada otot dasar panggul sehingga mencegah stres urinarius yang
inkontinen. Penggunaan episiotomi pada ksus dihubungkan dengan tingkat trauma pada
pariniel yang lebih tinggi dan lebih sedikit wanita yang periniumnya masih utuh. Kelompok-
kelompok dengan penggunaan episiotomi pada semua kasus dan penggunaan yang direstriksi
mengalami sejumlah nyeri perinial yang sebanding, yang dikaji pada 10 hari dan 3 bulan
pasca partum. Tidak ada bukti tentang efek perlindungan episiotomi pada kondisi janin.
Dalam studi – tindak lanjut, hingga 3 tahun pasca partum tidak ada pengaurh penggunaan
episiotomi pada semua kasus terhadap inkontinen urine yang ditemukan. Dalam studi
observasi dari 56.471 persalinan yang bantu oleh oleh bidan, insiden robekan derajat tiga
sebesar 0,4% jika episiotopmi tidak dilakukan dan presentasenya sama besar dengan
episiotomi mediolatral; insiden dengan episiotomi midline sebnesar 1,2% (pel dan heres,
1995).

Pemberian perawatan yang melakukan episotomi harus mampu untuk menjahit robekan dan
episiotomi secara tepat. Ia harus dilataih untuk hal tersebut. Episiotomi harus dilakukan dan
dijahti dibawah pengaruh anastese lokal, dengan tindakan pencegahan yang tepat untuk
mencegah infeksi HIV dan hepatitis.

Sedangkan kerusakan perineal adalah salah satu trauma yang paling sering diderita
oleh wanita selama melahirkan, bahkan selama proses persalinan dan pelahiran yang
dianggap normal. Ada beberapa teknik dan praktek yang diarah untuk mengurangi kerusakan
atau memodifikasikan keproporsi yang dapat diatur. Menjaga perinium selama melahirkan
kepala janin: jaari-jari satu tangan (biasanya yang kanan menyangga perinium, sementrara
tangan kiri melakukan tekanan pada kep[ala janin untuk mengendalikan kecepatan
crowning(ketika sekmen besar dari kepal janin terlihat diorificium vaginae, perinum
merenggang) dengan demikian mencoba untuk mencegah atau mengurangi kerusakan pada
jaringan perinial. Kemungkinan bahqwa dengan manuver tersebut robeknya perinial dapat
dicegah, tetapi ada kemungkinan juga bahwa tekanan pada kepala janin menghalangi
perluasan pergerakan kepala dan mengalihkannya dari lengkung pubis ke perinium, sehingga
meningkatkan kemungkinan kerusakan perineal. Oleh karena belum ada evaluasiformal
mengenai strategi ini atau sebaliknya; tidak menyentuh perinium atau kepala selama fase
melahirkan, tidak mungkin untuk memutuskan strategi mana yang di pilih. Praktik menjaga
perineum dengan tangan ahli obstetri dapat diterapkan dengan lebih mudah jika wanita pada
posisi supine. Jika ia pada posisi tegak lurus penolong persalinan tidak dapat menyokong
perineum, atau dipaksa untuk mengikuti strategi ”tanpa sentuhan”.

Teknik lain yang bertujuan mengurangi trauma pada perineum ialah memijat perineum
selama akhir kala dua persalinan, jadi mencoba meregangkan jaringan. Teknik tersebut tidak
pernah dievaluasi secara tepat, tetapi ada keraguan tentang keuntungan memijat jaringan terus
– menerus yang vaskularisasinya sudah banyak dan edema.

Manuver lain, yang efektivitasnya belum cukup terbukti, ialah metode yang bervariasi
untuk melahirkan bahu dan perut bayi setelah kelahiran kepala. Tidak jelas apakah manuver
ini selalu diperlukan dan apakah tepat. Data penelitian tentang masalah ini tidak tersedia.
Namun, National Perinatal Epidemiology Unit di Oxford baru – baru ini mengadakan uji
coba terkontrol acak tentang ”Perawatan Perineum saat Melahirkan – Menyerah atau Siap
(Hands On Or Poised)”, atau disebut juga studi ”HOOP”, yang memberikan data mengenai
efek pendekatan

yang berbeda untuk melahirkan kepala dan bahu janin pada perineum (McCandlish, 1996).

C.Tanda Vital dan Hygien

Banyak perubahan fisiologis normal yang terjadi selama kala astu dan dua persalinan,
yang berakhir ketika plasenta dikeluarkan dan tanda-tanda vital wanita kembali ketingkat
sebelum persalinan selama kala tiga:

1.Tekanan darah

Tekanan sistolik dan distolik mulai kembali ketingkat sebelum persalian. Peningkatan
atau penurunan tekanan darah masing-masing merupakan indikasi gangguan hipertensi pada
kehamilan atau syok. Peningkatan tekanan sistolik dengan tekanan diastolik dalam batas
normal dapat mengindikasikan ansietas atau nyeri.

2.Nadi

Nadi secara bertahap kembali ketingkat sebelum melahirkan. Peningkatan denyut nadi
dapat menunjukkan infeksi, syok, ansietas, atau dehidrasi.

3.Suhu

Suhu tubuh kembali meningkat perlahan. Peningkatan suhu menunjukkan proses infeksi
atau dehidrasi.

4.Pernapasan

Pernapasan kembali normal, pada peningkatan frekuensi pernapasan dapat


menunujukan syok atau ansietas.

Tekanan darah dan nadi ibu sebaiknya diukur paling tidak satu kali selama kala tiga
dan lebih sering jika pada kala tiga memanjang daripada rata-rata atau tekanan darah dan nadi
berada pada batas atau dalam kisaran abnormal. Pemantauan ini tidak hanya dilakukan
setelah evaluasi peningkatan sebelumnya, tetapi penting sebagai sarana penapisan syok pada
kejadian perdarahan.

B. Pemerikaan serviks, vagina dan perineum


A. DEFINISI KALA IV

Dua jam pertama setelah persalinan merupakan saat yang paling keritris bagi pasien
dan bayinya. Tubuh pasien melakukaan adaptasi yang luar biasa setelah kelahiran bayinya
agar kondisi tubuh kembali stabil., sedangkan bayi melakukan adaptasi terhadap perubahan
lingkungan hidupnya di luar uterus.

Observasi yang harus dilakukan pada kala IV.

a) Tingkat kesadaran.

b) Pemeriksaan tanda vital.

c) Kontraksi uterus.

d) Terjadinya pendarahan, pendarahan masih di anggap normal jika jumlahnya tidak


melebihi 400 sampai 500 cc.

B. FISIOLOGI KALA IV

a. Tanda vital

Dalam dua jam pertama setelah persalinan, tekanan darah, nadi, pernapasan, akan
kembali beransur normal.

b. Gemetar

Hal ini normal sepanjang suhu kurang dari 38C dan tidak di jumpai tanda-tanda infeksi
lain.

c. Sistem gastrointenstinal

Selama dua jam paskca persalinan kadang di jumpai pasien merasa mual sampai
muntah, oleh karena itu hidrasi sangat penting diberikan untuk mencegah dehidrasi.

d. Sistem renal

Pasca persalinan sistem kandung kemih masih dalam keadaan hipotonik akibat adanya
alokasi sehingga sering dijumpai kandung kemih dalam keadaan penuh. Kondisi ini dapat di
ringankan dengan selalu mengosonhkan kandung kemih. Setelah melahirkan kandung kemih
sebaiknya tetap kosong guna mencegah uterus berubah posisi dan terjadi atoni.
e. Sistem kardiovaskuler

Selama dua jam pasca persalianan kadang di jumpai pasien merasa mual sampai muntah
atasi hal ini dengan posisi tubuh yang memungkinkan dapat mencegah terjadinya aspirasi
korpus aleanum kesaluran pernahfasan dengan setengah duduk atau duduk di tempst tidur.
Persaan haus pasti dirasakan pasien, oleh karena itu hidrasi sangat penting diberikan untuk
mencegah dehidrasi.

f. Serviks

Bentuk serviks agak mengaga seperti corong. Bentuk ini disebabkan oleh korpus uterus
yang dapat mengadakan kontraksi, sedangkan serviks tidak berkontraksi sehingga seolah-olah
pada perbatasan antara korpus dan serviks berbentuk semacam cincin.

g. Perineum

Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur karena sebelumnya teregang oleh
tekanan bayi yang bergerak maju. Pada hari ke-5 pasca melahirkan, perinuem sudah
mendapatkan kembali sebagian tonusnya sekalipun tetap lebih kendur dibandingkan keadaan
sebelum hamil.

h. Vulva dan vagina

Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan yang sangat besar selama
proses melahirkan, dan dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut kedua organ ini
dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak
hamil dan ruge dalam vagina secara beransur-ansur akan muncul kembali, sementara labia
lebih menonjol.

B. PEMERIKSAAN SERVIK, VAGINA DAN PERINEUM

Hal ini berguna untuk mengetahui terjadinya laserasi ( adanya robekan) yang dapat
diketahui dari adanya pendarahan pasca persalinan, plasenta yang lahir lengkap serta adanya
kontraksi uterus.
Segera setelah kelahiran bayi servik dan vagina harus diperiksa secara menyeluruh
untuk mencari ada tidaknya laserasi dan dilakukan perbaikan lewat pembedahan kalau
diperlukan. Servik, Vagina dan Perineum dapat diperiksa lebih mudah sebelum pelepasan
plasenta karena tidak ada perdarahan rahim yang mengaburkan panangan ketika itu.
Pelepasan plasenta biasanya terjadi dalam waktu 5 sampai 10 menit pada akhir kala II.

Memijat fundus seperti memeras untuk mempercepat pelepasan plasenta tidak


dianjurkan karena dapat meningkatkan kemungkinan masuknya sel janin kedalam sirkulasi
ibu. Setelah kelahiran plasenta perhatian harus ditujukan pada setiap perdarahan rahim yang
dapat berasal dari tempat implantasi plasenta. Kontraksi uterus yang mengurangi pendarahan
ini dapat dilakukan dengan pijat uterus dan penggunaan oksitosin. 20 unit oksitosin rutin
ditambahkan pada infus intravena setelah bayi dilahirkan.

Plasenta harus diperiksa untuk mengetahui kelengkapannya. Kalau pasien menghadapi


perdarahan masa nifas ( misalnya karena anemia, pemanjangan masa augmentasi oksitosin
pada persalinan, kehamilan kembar atau hidramion ) dapat diperlukan pembuangan pasenta
secara manual, eksplorasi uterus secara manual atau kedua-duanya.

D. PEMERIKSAAN KALA IV

1. Serviks

Indikasi pemeriksaan serviks

a. Aliran perdarahan per vagina berwarna merah terang dari bagian atas tiap
laserasi yang diamati, jumlahnya menetap atau sedikit setelah kontraksi
uterus dipastikan.

b. Persalinan cepat atau presipitatus.

c. Manipulasi servik selama persalinan, misalnya untuk mengurangi tepi


anterior.

d. Dorongan maternal (meneran) sebelum dilatasi maksimal.

e. Kelahiran per vagina dengan tindakan, misalnya ekstraksi vakum atau


forsep.
f. Kelahiran traumatik, misalnya distosia bahu.

Adanya salah satu faktor diatas mengindikasikan kebutuhan untuk pemeriksaan


serviks secara spesifik untuk menentukan langkah perbaikan. Inspeksi servik tanpa adanya
perdarahan persisten pada persalinan spontan normal tidak perlu secara rutin dilakukan.

2. Vagina

Pengkajian kemungkinan robekan atau laserasi pada vagina dilakukan setelah


pemeriksaan robekan pada serviks. Penentuan derajat laserasi dilakukan pada saat ini untuk
menentukan langkah penjahitan.

3. Perineum

Setelah pengkajian derajat robekan: perineum kembali dikaji dengan melihat adanya
edema, memar, dan pembentukan hematom yang dilakukan bersamaan saat pengkajian lokia.
Pengkajian ini termasuk juga untuk mengetahui apakah terjadi hemoroid atau tidak. Jika
terjadi lakukan tindakan untuk mengurangi ketidaknyamanan yang ditimbulkan dengan
memberikan kantong es yang ditempelkan diarea hemoroid. Selain itu dapat diberikan zat
yang bersifat menciutkan, misalnya witch hazel, krim anastesi, analgesik yang digunakan
secara lokal.

O: OBJEKTIF

1. Pemeriksaan Umum

· Keadaan umum : baik

· Kesadaran : compos mentis

· TTV: T :100/70 mmHG P : 98 kali/menit

N : 25 kali/menit S : 36,80C

2. Pemeriksaan fisik

1) Kepala

a. Bentuk : normal

b. Nyeri tekan : tidak ada

c. Benjolan : tidak ada


d. Kebersihan : bersih

2) Muka

a. Kebersihan : bersih

b. Odema : tidak ada

c. Closma gravidarum: tidak ada

3) Mata

a. Konjungtiva : merah muda

b. Sclera : putih

4) Hidung

a. Kebersihan :bersih

b. Polip : tidak ada

5) Telinga

a. Kebersihan : bersih

b. Bentuk : simetris

c. Serumen : tidak ada

6) Mulut

a. Kebersihan : bersih

b. Stomatitis : tidak ada

c. Caries gigi : ada

d. Gusi berdarah : tidak ada

e. Pembekakan gusi : tidak ada

7) Leher

a. Pem.kel. limfe : tidak ada

b. Pem.kel.tyroid : tidak ada


c. Pem.vena jugularis : tidak ada

8) Payudara

a. Bentuk : simetris

b. Benjolan patologis : tidak ada

c. Papila : menonjol

d. Ariola : hiperpikmentasi

e. Colostrum : sudah keluar

9) Ekstremitas atas dan bawah

a. Bentuk : simetris

b. Odema : tidak ada

c. Varices : tidak ada

d. Reflek patella : +/+

3. Pemeriksaan obstetric

a. Abdomen

a) Infeksi

1. Linea : nigra

2. Striae : --

3. Luka bekas operasi : tidak ada

b) Palpasi

1. TFU :1 jari dibawah pusat

2. Kontraksi uterus : baik

3. Nyeri tekan :tidak ada

b. Genetalia

a) Pengeluaran : darah 250 cc


b) Perineum : terdapat robekan perineum grade II

C. Pemantauan dan evaluasi lanjut ibu bersalin kala iv

Pemantauan dan evaluasi lanjut

1. Tanda Vital

Pemantauan tanda-tanda vital pada persalinan kala IV antara lain:

a) Kontraksi uterus harus baik

b) Tidak ada perdarahan dari vagina atau alat genitalia lainnya.

c) Plasenta dan selaput ketuban harus telah lahir lengkap.

d) Kandung kencing harus kosong.

e) Luka-luka pada perineum harus terawat dengan baik dan tidak terjadi hematoma.

f) Bayi dalam keadaan baik.

g) Ibu dalam keadaan baik.

Pemantauan tekanan darah pada ibu pasca persalinan digunakan untuk memastikan
bahwa ibu tidak mengalami syok akibat banyak mengeluarkan darah. Adapun gejala syok
yang diperhatikan antara lain: nadi cepat, lemah (110 kali/menit atau lebih), tekanan rendah
(sistolik kurang dari 90 mmHg, pucat, berkeringat atau dingin, kulit lembab,nafas cepat (lebih
dari 30 kali/menit), cemas, kesadaran menurun atau tidak sadar serta produksi urin sedikit
sehingga produksi urin menjadi pekat, dan suhu yang tinggi perlu diwaspadai juga
kemungkinan terjadinya infeksi dan perlu penanganan lebih lanjut.

2. Kontraksi uterus

Pemantauan adanya kontraksi uterus sangatlah penting dalam asuhan kala IV


persalinandan perlu evaluasi lanjut setelah plasenta lahir yang berguna untuk memantau
terjadinya perdarahan. Kalau kontraksi uterus baik dan kuat kemungkinan terjadinya
perdarahan sangat kecil. Pasca melahirkan perlu dilakukan pengamatan secara seksama
mengenai ada tidaknya kontraksi uterus yang diketahui dengan meraba bagian perut ibu serta
perlu diamati apakah tinggi fundus uterus telah turun dari pusat, karena saat kelahiran tinggi
fundus uterus telah berada 1-2 jari dibawah pusat dan terletak agak sebelah kanan sampai
akhirnya hilang dihari ke-10 kelahiran.

3. Lochea

Melalui proses katabolisme jaringan, berat uterus dengan cepat menurun dari sekitar
1000gr pada saat kelahiran menjadi sekitar 50gr pada saat 30 minggu masa nifas. Serviks
juga kahilangan elastisitasnya dan menjadi kaku seperti sebelum kehamilan. Selama beberapa
hari pertama setelah kelahiran sekret rahim (lochea) tampak merah (lochea rubra) karena
adanya eritrosit. Setelah 3 sampai 4 hari lochea menjadi lebih pucat (lochea serosa) dan di
hari ke-10 lochea tampak putih atau putih kekuningan (lochea alba). Lochea yang berbau
busuk diduga adanya suatu di endometriosis.

4. Kandung Kemih

Pada saat setelah plasenta keluar kandung kencing harus diusahakan kosong agar uterus
dapat berkontraksi dengan kuat yang berguna untuk menghambat terjadinya perdarahan lanjut
yang berakibat fatal bagi ibu. Jika kandung kemih penuh, bantu ibu untuk mengosongkan
kandung kemihnya dan ibu dianjurkan untuk selalu mengosongkannya jika diperlukan, dan
ingatkan kemungkinan keinginan berkemih berbeda setelah dia melahirkan bayinya. Jika ibu
tidak dapat berkemih,bantu dengan menyiramkan air bersih dan hangat pada perineumnya
atau masukkan jari-jari ibu kedalam air hangat untuk merangsang keinginan berkemih scara
spontan. Kalau upaya tersebut tidak berhasil dan ibu tidak dapat berkemih secara spontan
maka perlu dan dapat dipalpasi maka perlu dilakukan kateterisasi secara aseptik dengan
memasukkan kateter Nelaton DTT atau steril untuk mengosongkan kandung kemih ibu,
setelah kosong segera lakukan masase pada fundus untuk menmbantu uterus berkontraksi
dengan baik.

5. Perineum

Terjadinya laserasi atau robekan perineum dan vagina dapat diklarifikasikan berdasarkan
luas robekan. Robekan perineum hampir terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan
cara menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya
kepala janin akan lahir jangan ditekan terlalu kuat dan lama.

Apabila hanya kulit perineum dan mulosa vagina yang robek dinamakan robekan
perineum tingkat satu pada robekan tingkat dua dinding belakang vagina dan jaringan ikat
yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenetalis pada garis menghubungkan otot-otot
diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka. Sedang pada tingkat tiga atau robekan total
muskulus sfringter ani ekstrium ikut terputus dan kadang-kadang dinding depan rektum ikut
robek pula. Jarang sekali terjadi robekan yang mulai pada dinding belakang vagina diatas
introitus vagina dan anak dilahirkan melalui robekan itu, sedangkan perineum sebelah depan
tetap utuh (robekan perineum sentral). Pada persalinan sulit disamping robekan perineum
yang dapat dilihat, dapat pula terjadi kerusakan dan keregangan muskulus puborektalis kanan
dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Robekan perineum yang melebihi robekan tingkat
satu harus dijahit, hal ini dapat dilakukan sebelum plasenta lahir tetapi apabila ada
kemungkinan plasenta harus dikeluarkan secara manual lebih baik tindakan itu ditunda
sampai plasenta lahir. Perlu diperhatikan bahwa setelah melahirkan kandung kemih ibu harus
dalam keadaan kosong, hal ini untuk membantu uterus agar berkontraksi dengan kuat dan
normal dan kalau perlu untuk mengosongkan kandung kemih perlu dilakukan dengan
kateterisasi aseptik.

D. Pemantauan Kala IV Perkiraan Darah Yang Hilang

- Pemantauan Kala IV

Dalam satu jam setelah persalinan, penolong persalinan harus memastikan bahwa
miometrium berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan dalam jumlah besar atau
500 cc Prawirohardjo, 2008, hal. 357. Pantau tanda vital setiap 15 menit pada jam pertama
dan setiap 30 menit pada jam kedua, nilai kontraksi uterus dan jumlah perdarahan, ajarkan
ibu dan keluarganya untuk melakukan rangsangan taktil, menilai kontraksi uterus, menilai
estimasi perdarahan, rawat gabung ibu-bayi, berikan asuhan esensial bayi baru lahir yaitu
Inisiasi Menyusui Dini IMD Rukiyah, dkk, 2009. Universitas Sumatera Utara

D. Perkiraan Darah Yang Hilang

Moore Levy 1983 menemukan bahwa kehilangan darah sampai 300 ml sering kali
dianggap remeh. Hal ini merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan ketika
mengkaji berbagai faktor lainnya. Dalam studinya tentang arti penting dan kesulitan
perkiraan perdarahan pascapartum yang tepat, Brandt 1967 menghitung bahwa 20 wanita
mengalami kehilangan darah lebih dari 500 ml setelah kelahiran per vagina. Sebagian besar
teknik pengukuran yang ada tidak cukup sensitif untuk mendeteksi perubahan volume yang
cepat dalam situasi yang membutuhkan pembuatan keputusan yang cepat. Studi tersebut
dilakukan dengan mengumpulkan semua kain dan penyeka yang basah oleh darah,
mengumpulkan percikan darah dan bekuannya dan kemudian di peras. Disimpulkan bahwa
jika kehilangan darah kurang dari 500 ml, perkiraan dan pengukuran darah dilakukan cukup
akurat. Kehilangan darah lebih dari 500 ml menunjukkan bahwa perhitungan yang dilakukan
tidak akurat Fraser, D.M Cooper, M.A, 2009. Perkiraan darah yang hilang sangat penting
artinya untuk keselamatan ibu, namun untuk menentukan banyaknya darah yang hilang
sangatlah sulit karena darah seringkali bercampur dengan cairan ketuban atau urin dan
mungkin terserap kain, handuk atau sarung.Sulitnya menilai kehilangan darah secara kurat
melalui perhitungan jumlah sarung, karena ukuran sarung yang bermacam-macam dan
mungkin telah diganti jika terkena sedikit darah atau basah oleh darah. Mengumpulkan darah
dengan wadah atau pispot yang diletakkan dibawah bokong ibu bukanlah cara efektif untuk
mengukur kehilangan darah dan bukan cerminan asuhan Universitas Sumatera Utara sayang
ibu karena berbaring diatas wadah atau pispot sangat tidak nyaman dan menyulitkan ibu
untuk memegang dan menyusui bayinya IMD. Cara yang baik untuk memperkirakan
kehilangan darah adalah dengan menyiapkan botol 500 ml yang digunakan untuk
menampung darah dan dinilai berapa botol yang telah digunakan untuk menampung darah,
kalau setengah botol berarti 250 cc dan kalau 2 botol sama dengan 1 liter. Dan ini merupakan
salah satu cara untuk menilai kondisi ibu. Cara tidak langsung untuk mengukur jumlah
kehilangan darah adalah melalui penampakan gejala dan tekanan darah Rukiyah, dkk, 2009.

Perdarahan kala IV sangat penting untuk diperhatikan karena sangat berhubungan


erat dengan kondisi kesehatan ibu.Akibat banyaknya darah yang hilang dapat menyebabkan
kematian ibu.Perdarahan yang terjadi karena kontraksi miometrium tidak kuat dan baik,
sehingga tidak mampu menjepit pembuluh darah yang ada disekitarnya akibatnya perdarahan
tidak dapat berhenti.Sulitnya menilai kehilangan darah secara akurat melalui perhitungan
jumlah sarung, karena ukuran sarung yang bermacam-macam dan mungkin telah diganti jika
terkena sedikit darah atau basah oleh darah.Mengumpulkan darah dengan wadah atau pispot
yang diletakkan dibawah bokong ibu bukanlah cara efektif untuk mengukur kehilangan darah
dan bukan cerminan asuhan sayang ibu karena berbaring diatas wadah atau pispot sangat
tidak nyaman dan menyulitkan ibu untuk memegang dan menyusui bayinya Sumarah, dkk,
2009.

E. Pengisihan partograf kala III DAN IV

Partograf adalah alat bantu untuk memantau kemajuan persalinan dan informasi
untuk membuat keputusan klinik. Tujuan utama dari penggunaan partograf adalah mencatat
hasil observasi dan kemajuan persalinan, mendeteksi proses persalinan apakah berjalan
secara normal, memantau kondisi janin, kemajuan proses persalinan, medikamentosa yang
diberikan. Penggunaan partograf secara tepat dan konsisten akan membantu penolong
persalinan. Penggunaan partograf harus dilakukan pada semua ibu dengan semua persalinan,
baik normal maupun patologis sehingga akan sangat membantu penolong persalinan dalam
memantau, mengevaluasi dan membuat keputusan klinik, baik persalinan dengan penyulit
maupun yang tidak disertai dengan penyulit (Saifuddin, 2010).

Waktu pengisian partograf adalah saat proses persalinan dalam fase aktif kala I.
Partograf dikatakan terisi lengkap bila seluruh komponen informasi tentang ibu, kondisi
janin, kemajuan persalinan, waktu dan jam, kontraksi uterus, kondisi ibu, obat-obatan,
pemeriksaan laboratorium, keputusan klinik dan asuhan tindakan dicatat secara rinci sesuai
pencatatan dalam partograf. Pengisian partograf yang tidak lengkap dapat mempengaruhi
bidan dalam pengambilan keputusan klinik akibat kelalaian dalam pencatatan.Partograf
merupakan alat monitoring yang digunakan bidan dalam menolong persalinan. Monitoring
merupakan serangkaian kegiatan memantau perkembangan asuhan yang di berikan, dalam hal
ini asuhan kepada ibu bersalin, apakah sesuai yang di rencanakan atau terjadi penyimpangan.
Kegiatan tersebut meliput kondisi janin (DJJ, penyusupan, ketuban), kondisi ibu (pembukaan,
penutunan kepala, kontraksi his, tanda vital). Kegiatan tersebut harus dilakukan sesuai
dengan ketentuan pendokumentasian.

Cara Mencatat Temuan pada Partograf Halaman depan :


1.) Informasi tentang ibu : Lengkapi bagian awal (atas) partograf secara teliti pada saat
memulai asuhan persalinan. Waktu kedatangan (tertulis sebagai : jam atau pukul pada
partograf) dan perhatikan kemungkinan ibu datang pada fase laten. Catat waktu pecahnya
selaput ketuban dan waktu mulainya ibu merasakan his.
2) Kondisi janin : bagian atas grafik pada partograf adalah untuk pencatatan denyut jantung
janin (DJJ), air ketuban, dan penyusupan kepala janin.
a) Nilai dan catat DJJ setiap 30 menit (lebih sering jika ada tanda-tanda gawat janin). Setiap
kotak di bagian atas partograf menunjukkan waktu 30 menit. Skala

angka disebelah kolom paling kiri menunjukkan DJJ. Kemudian hubungkan satu titik dengan
titik lainnya dengan garis tegas bersambung. Kisaran normal DJJ terpapar pada partograf
diantara garis tebal pada angka 180 dan 100. Sebaiknya penolong harus

waspada bila DJJ mengarah hingga di bawah 120 atau di atas 160. Catat tindakan-tindakan
yang dilakukan pada ruang yang tersedia pada salah satu dari kedua sisi partograf (Varney,
2004).

b) Warna dan adanya air ketuban

Nilai kondisi air ketuban setiap kali melakukan pemeriksaan dalam dan nilai warna air
ketuban jika selaput ketuban pecah. Catat temuan dalam kotak yang sesuai di bawah lajur DJJ
dan gunakan

lambang :
B: selaput ketuban masih utuh (belum pecah)
J: selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban jernih
M: selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur mekonium.
D: selaput ketuban sudah pecah dan air ketuban bercampur darah.

K: selaput ketuban sudah pecah tapi air ketuban tidak mengalir lagi (kering).

Mekoneum dalam cairan ketuban tidak selalu menunjukkan adanya gawat janin,
pantau DJJ dengan seksama untuk mengenali tanda-tanda gawat janin selama proses
persalinan. Jika ada tanda-tanda gawat janin atau terdapat mekoneum kental, segera rujuk
ibu.

c) Penyusupan tulang kepala janin

Setiap kali melakukan pemeriksaan dalam, nilai penyusupan antar tulang (molase)
kepala janin. Catat temuan yang ada dalam kotak yang sesuai dibawah lajur air ketuban.
0 : tulang-tulang kepala janin terpisah, sutura dengan mudah dapat di palpasi
1 : tulang-tulang kepala janin hanya saling bersentuhan
2 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tetapi masih dapat dipisahkan
3 : tulang-tulang kepala janin saling tumpang

Kemajuan persalinan
Kolom dan lajur kedua pada partograf adalah untuk pencatatan kemajuan persalinan.
Angka 0-10 yang tertera pada kolom paling kiri adalah besarnya dilatasi serviks dalam satuan
(cm) dan menempati lajur serta kotak tersendiri. Perubahan nilai atau perpindahan lajur
menunjukkan penambahan dilatasi serviks sebesar 1cm. Pada lajur dan kotak yang mencatat
penurunan
bagian terbawah janin tercantum angka 1-5 yang sesuai dengan metode perlimaan.
Setiap kotak menunjukkan waktu 30 menit untuk pencatatan waktu pemeriksaan.
a) Pembukaan serviks

Nilai dan catat pembukaan serviks setiap 4 jam (lebih sering jika ada tanda penyulit).
Pilih angka pada tepi kiri luar kolom pembukaan serviks yang sesuai dengan besarnya
pembukaan serviks pada persalinan fase aktif yang diperoleh dari hasil pemeriksaan dalam.
Untuk pemeriksaan pertama, hasil dicantumkan pada garis waspada. Pilih angka yang sesuai
dengan pembukaan serviks dan cantumkan tanda X pada ordinat atau titik silang garis di
latasi serviks dan garis waspada. Hubungkan tanda X dari setiap pemeriksaan dengan garis
utuh (tidak terputus).

b) Penurunan bagian terbawah janin


Nilai dan catat hasil pemeriksaan setiap 4 jam (lebih sering jika ada tanda penyulit).
Cantumkan hasil pemeriksaan penurunan kepala (perlimaan) yang menunjukkan seberapa
jauh bagian terendah janin telah memasuki rongga panggul. Pada persalinan normal
kemajuan pembukaan serviks selalu diikuti dengan turunnya bagian terbawah janin. Tulisan
“Turunnya kepala” dan garis tidak terputus dari 0-5 tertera disisi yang sama dengan angka
pembukaan serviks. Berikan tanda “O” yang ditulis pada garis waktu yang sesuai.
Hubungkan tanda “O” dari setiap pemeriksaan dengan garis tidak terputus

c) Garis waspada dan garis bertindak


Garis waspada dimulai pada pembukaan serviks 4 cm dan berakhir pada titik di
mana pembukaan lengkap diharapkan terjadi jika laju pembukaan adalah 1 cm per jam.
Pencatatan selama persalinan fase aktif harus dimulai di garis waspada. Jika pembukaan
serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada, maka harusdipertimbangkan adanya
penyulit. Garis bertindak tertera sejajar dan di sebelah kanan (berjarak 4 jam) garis waspada.
Jika pembukaan serviks telah melampaui dan berada disebelah kanan garis bertindak, maka
hal ini menunjukkan perlu di lakukan tindakan untuk menyelesaikan persalinan.

4) Jam dan waktu


a) Waktu mulainya persalinan fase aktif Pada bagian bawah partograf (pembukaan serviks
dan penurunan kepala) tertera kotak-kotak yang diberi angka 1-12. Setiap kotak menyatakan
satu jam sejak di mulainya persalinan fase aktif.
b) Waktu aktual saat pemeriksaan atau persalinan Di bawah lajur kotak untuk waktu
mulainya fase aktif, tertera kotak-kotak untuk mencatat waktu aktual saat pemeriksaan
dilakukan. Setiap kotak menyatakan satu jam penuh dan berkaitan dengan dua kotak waktu
30 menit yang berhubungan dengan lajur untuk pencatatan pembukaan serviks, DJJ pada
bagian atas dan lajur kontraksi dan nadi ibu dibagian bawah. Saat ibu masuk dalam
persalinan fase aktif,cantumkan pembukaan serviks di garis waspada.

5. kontraksi uterus

Pada lajur bawah waktu partograf, terdapat lima kotak dengan keterangan kontraksi
per 10 menit di sebelah luar kolom paling kiri. Setiap kotak menyatakan satu kontraksi.
Setiap 30 menit, raba dan catat jumlah kontraksi dalam 10 menit dan lamanya kontraksi
dalam satuan detik. Nyatakan jumlah kontraksi yang terjadi dalam waktu 10 menit dengan
cara mengisi kotak kontraksi yang tersedia dan disesuaikan dengan angka yang
mencerminkan temuan dari hasil pemeriksaan kontraksi.

- Kala III
Isikan data pada masing-masing tempat yang telah disediakan, atau dengan cara
memberi tanda (√) pada kotak disamping jawaban yang sesuai. Untuk pertanyaan nomor 25,
26 dan 28, lingkari jawaban yang sesuai.
-Kala IV

Pemantauan kala IV di lakukan setiap 15 menit pada 1 jam pertama setelah


melahirkan dan setiap 30 menit pada jam berikutnya. Isikan pada kolom atau ruang yang
sesuai. Apabila terdapat masalah selama kala IV, tuliskan jenis dan cara menangani pada
bagian masalah kala IV dan bagian berikutnya.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dua jam pertama setelah persalinan merupakan saat yang paling keritris bagi pasien
dan bayinya. Tubuh pasien melakukaan adaptasi yang luar biasa setelah kelahiran bayinya
agar kondisi tubuh kembali stabil., sedangkan bayi melakukan adaptasi terhadap perubahan
lingkungan hidupnya di luar uterus.

Pemeriksaan servik, vagina dan perineum, Hal ini berguna untuk mengetahui
terjadinya laserasi ( adanya robekan) yang dapat diketahui dari adanya pendarahan pasca
persalinan, plasenta yang lahir lengkap serta adanya kontraksi uterus.

Persalinan merupakan rangkaian proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta)
yang telah cukup bulan atau dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau melalui
jalan lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan dengan kekuatan ibu sendiri (Sulistyawati,
2012). Persalinan normal di awali dengan kala I yaitu kala pembukaan yang dimulai dari saat
persalinan mulai sampai pembukaan lengkap (10 cm), proses ini terbagi menjadi dua fase,
fase laten (8 jam) serviks membuka hingga 3 – 4 cm, dan fase aktif (7 jam) serviks membuka
dari 3 – 4 cm hingga pembukaan lengkap atau 10 cm (Prawirohardjo, 2014).
B. SARAN

Dengan adanya makalah tentang pemeriksaan servik,vagina dan perineum ini, semoga
dapat menambah ilmu pengetahuan tentang melakukan asuhan kebidanan persalinan kala IV
bagi pembaca. Makalah ini tidak luput dari kesalahan diterima kritik dan saran yang
mendukung.

DAFTAR PUSTAKA

Susilawati ari, dkk. 2010. Asuhan kebidanan pada ibu bersalin. Jakarta: Salemba medika.

Sumarah, dkk. 2009. Perawatan ibu bersalin(askeb pada ibu bersalin). Yogyakarta:
Fitramaya.

Unknown di 02.37

Anda mungkin juga menyukai