Konflik antar negara yang menyebabkan meletusnya Perang Dunia I dan Perang Dunia
II merupakan salah satu alasan mengapa Revolusi Hijau muncul. Perang tersebut
menjadi penyebab hancurnya lahan-lahan pertanian. Kondisi tersebut membuat
pasokan kebutuhan makanan dunia mengalami defisit yang signifikan.
Hadirnya Revolusi Hijau juga menjadi bagian dari perkembangan sektor pertanian, baik
berupa alat pertanian, rotasi tanaman, serta irigasi. Masa transisi tersebut melalui
proses panjang hingga masuk ke wilayah Afrika dan Asia, termasuk Revolusi Hijau di
Indonesia.
Adanya revolusi ini menghasilkan capaian berupa swasembada beberapa jenis bahan
pangan di berbagai negara yang sebelumnya selalu mengalami kekurangan sediaan
bahan pangan, seperti India, China, Bangladesh, Vietnam, Thailand dan Indonesia.
Orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan Revolusi Hijau adalah
Norman Borlaug. Ia pernah menerima penghargaan Nobel Perdamaian pada tahun
1970.
Namun sebelum itu, revolusi bidang pertanian ini telah diawali oleh Ford dan
Rockefeller Foundation yang mengembangkan gandum di Meksiko pada tahun 1950)
dan padi di Filipina pada tahun 1960.
Latar Belakang
Lahirnya Revolusi Hijau dilatarbelakang oleh berbagai kondisi global masa itu, antara
lain:
Jauh sebelum itu, Revolusi Hijau sebenarnya adalah gagasan dari hasil penelitian dan
tulisan Thomas Robert Malthus pada tahun 1766-1834. Ia menjelaskan bahwa masalah
kemiskinan merupakan masalah yang tidak terhindarkan.
Thomas Robert Malthus ialah seorang ekonom sekaligus pencetus teori kependudukan
dari Inggris. Melalui bukunya yang berjudul “Essay on the Principles of Population”, ia
menyatakan jika kemiskinan adalah hal yang tidak dapat dihindari karena pertumbuhan
penduduk tidak sebanding dengan peningkatan produksi pertanian (tanaman pangan).
Menurutnya, pertumbuhan penduduk berjalan menurut deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, 64,
128 dan seterusnya), sedangkan peningkatan produksi pertanian berjalan menurut
deret hitung (1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15 dan seterusnya).
Untuk mengatasi masalah tersebut, para pengusaha di Amerika Serikat berupaya untuk
mengembangkan pertanian guna menjamin cukupnya kebutuhan pangan melalui
berbagai penelitian. Ford and Rockefeller adalah sponsor utama penelitian tersebut.
Revolusi ini terus berkembang hingga pasca Perang Dunia II yang juga menyebabkan
hancurnya lahan-lahan pertanian. Upaya peningkatan produksi pangan pertanian terus
dilakukan dengan membuka lahan-lahan baru, pembuatan mekanisme pertanian efektif
dan efisien, penggunaan pupuk serta pengembangan berbagai metode
pemberantasan hama dan penyakit tanaman.
a. Konferensi Hot Spring
Selain membahas mengenai cara meningkatkan produksi pagan di Eropa, konferensi
Hot Spring yang dilaksanakan pada tahun 1943 juga membahas isu tentang masalah
pertanian dan kemiskinan dalam skala global.
Konferensi ini menjadi pondasi terbentuknya organisasi pangan dan pertanian dunia,
yaitu Food and Agriculture Organization (FAO) dibawah naungan PBB.
Bahkan International Rice Research Institute, yakni salah satu lembaga penelitian pangan
Filipina berhasil mengembangkan padi bibit unggul baru yang sangat produktif dan dikenal
dengan nama IR-8. Keberhasilan ini ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memberikan dampak produksi pangan menjadi berlipat-lipat.
b. Pembentukan CGIAR
Selanjutnya, pada awal tahun 1970, negara-negara di dunia mulai memperhatikan
bagaimana cara untuk meningkatkan hasil produksi pertanian. Langkah ini dimulai
dengan pembentukan Consultative Group on International Agriculture Research
(CGIAR).
CGIAR dibentuk untuk tujuan memberikan bantuak kepada berbagai pusat penelitian
internasional, seperti International Rice Research Institute di Filipina dan International
Maize Wheat Improvement Centre (IMWIC) di Meksiko.
Mulai saat itu, revolusi bidang pertanian ini mulai meluas, terutama masuk ke wilayah
yang dahulunya merupakan daerah berkembang dan kerap mengalami kekurangan
pangan.
Revolusi Hijau dianggap sebagai jawaban akan tantangan ketersediaan pangan yang
diprediksi akan terus meningkat. Meski telah dimulai sejak tahun 1970-an, dampaknya
baru mulai dirasakan pada masa 1980-an.
Akan tetapi pada tahun yang sama pula, para petani mulai mendapat serangan hama,
serta mengalami kemerosotan kesuburan lahan. Selain itu penggunaan pupuk dan
pestisida sudah tidak lagi manjur, serta harga gabah diatur oleh pemerintah.
Bahan kimia yang digunakan untuk lahan pertanian menimbulkan kerusakan pada
struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan-bahan pestisida yang sebelumnya berhasil
meningkatkan produksi pertanian justru merusak ekosistem dan habitat hewan-hewan
yang menguntungkan karena menjadi predator alami hama-hama tertentu. Pestisida
juga menyebabkan imunitas pada beberapa hama.
Lambat laun kerusakan ekologi seakan tak terhindarkan dan produksi pangan kembali
menurun serta ongkos pertanian cenderung meningkat. Kondisi-kondisi tersebut
menyebabkan produksi tidak lagi efisien dan menurunkan minat masyarakat dalam
sektor pertanian.
Bahkan Revolusi Hijau juga mengunga hakekat para petani. Petani yang semula
mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia secara mandiri, kemudian berubah menjadi petani yang tidak
boleh mengembangkan benih sendiri.
Pemerintahan Orde Baru menjadikan Revolusi Hijau sebagai tolak ukur keberhasilan
dalam bidang pertanian. Meskipun faktanya terjadi peningkatan produksi, namun juga
menyebabkan penderitaan bagi kaum petani. Alam dan lingkungan pun turut terkena
dampaknya, yaitu kerusakan sistem ekologi pertanian yang tidak dapat dihitung dengan
uang.