Anda di halaman 1dari 12

Bab I

Pendahuluan

Masyarakat sebagai komunitas tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan.

Tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, demikian juga tidak ada

kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah pendukungnya. E.B.Tylor mendefinisi-

kan kebudayaan sebagai “kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,

kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-

kebiasaan lain yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota komunitas”1.

Menurut Koentjaraningrat, ada sedikitnya 7 unsur kebudayaan, yakni sistem religi

dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan,

bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan2.

Agama3 sebagai salah satu unsur kebudayaan adalah sebuah eksplanasi

tentang arti hidup yang ultimate, didasarkan pada sebuah gagasan tentang yang

transenden, yang dapat berarti roh-roh, dewa-dewa, tuhan, dan sebagainya, dan

bagaimana seharusnya sebuah kehidupan dijalani. Antony F.C.Wallace mendefinisi-

kan agama sebagai


1
Semuel A. Patty. Pengantar Antropologi Agama. (Salatiga: Fakultas teologi UKSW, 1999),
18
2
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, cet. 20, 2002), 2.
3
Kata agama berasal dari bahasa Arab yang berarti sistem kepercayaan manusia yang
melakukan pemujaan kepada sesuatu yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dibandingkan
keberadaan manusia. Di Indonesia kata agama dibatasi pada sistem kepercayaan yang memenuhi
kriteria mempunyai nabi, kitab suci, tempat ibadah, tata cara ibadah, dan umat. Sehingga yang
diakui sebagai agama hanyalah 6 agama besar, yakni Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha,
Kong Hu Cu. Sementara agama-agama lokal cenderung disebut sistem kepercayaan yang dipahami
sebagai yang berasal dari sumber tradisional asli setempat dan berbeda dengan agama seperti yang
dijelaskan dalam Pancasila. Lihat James J. Fox (Peny.), Indonesia Heritage, Agama Dan Upacara,
(Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002), 99. Namun dalam tesis ini istilah agama tersebut tidak dibatasi
pada pemahaman demikian, namun menyangkut semua sistem kepercayaan yang dianut masyarakat
yang kadang penggunaannya diganti dengan kata religi.

1
a set of rituals, rationalized by myth, which mobilizes
supernatural powers for the purpose of achieving or
preventing transformation of state in man and nature4.

Secara normal agama mengandung empat unsur, yakni pengajaran atau

dogma (creed), aturan (code), kultus (cult), dan struktur komunitas (community

structure). Creed menunjuk kepada aspek kognitif dari agama. Merupakan semua

hal yang berhubungan dengan gagasan pengertian dasar hidup. Code atau etik

termasuk semua peraturan dan kebiasaan atau adat yang mengikuti satu aspek atau

pengakuan yang lain. Cult berarti semua aktivitas ritual yang diikuti aspek

transenden secara langsung maupun tidak. Community structure menunjuk kepada

hubungan di antara para penganut5.

Agama merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan dan

kebudayaan manusia karena telah ikut memengaruhi aspek-aspek lain seperti

aspek ekonomi, politik, kekeluargaan, maupun rekreatif. Dalam pandangan sosiologi,

agama dapat dianggap sebagai suatu sarana kebudayaan bagi manusia yang

dengannya ia mampu menyesuaikan diri dengan pengalaman-pengalamannya

dalam seluruh kehidupannya termasuk dengan dirinya sendiri, anggota-anggota

kelompoknya, alam, dan lingkungan lain yang dirasakan sebagai sesuatu yang

transendental. Agama mencakup semua sistem kepercayaan yang dimiliki oleh

pelbagai masyarakat manusia di dunia, baik itu masyarakat yang sudah sangat

maju, maupun yang masih sangat terbelakang atau sederhana.

4
Semuel A. Patty. Kebatinan Jawa, Apakah Agama Atau Kebudayaan Dalam Reformasi
Kehidupan Beragama Di Indonesia. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Antropologi Agama,
(Salatiga: UKSW, 2000), 4
5
Leonard Swidler & Paul Mojzes. The Study Of Religion In An Age Of Global Dialogue.
(Philadelphi: Temple University Press, 2000), 7-8

2
A. Latar Belakang Masalah

Menurut Elizabeth Nottingham, bagi masyarakat sederhana6 agama sangat

memengaruhi kehidupan mereka. Agama memasukkan pengaruhnya yang sakral

ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak, dan menjadi fokus utama bagi

pengintegrasian dan persatuan masyarakat secara keseluruhan. Bagi individu,

agama memberi bentuk pada keseluruhan proses sosialisasi yang ditandai oleh

upacara-upacara keagamaan pada peristiwa kelahiran, masa remaja, perkawinan

dan saat-saat penting lainnya dalam hidup. Karenanya praktek-praktek keagamaan

hampir selalu mewarnai seluruh aktivitas masyarakat sederhana ini7.

Fenomena ini juga dapat ditemukan dalam kehidupan komunitas suku

Da’a. Suku Da’a merupakan salah satu sub-suku Kaili 8, yang mendiami daerah

Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Sub suku Kaili Da’a merupakan suatu

kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman dan memiliki tradisi budaya

6
Nottingham membagi masyarakat dalam tiga tipe, yakni masyarakat terbelakang, masyarakat
pra-industri yang sedang berkembang, dan masyarakat industri-sekuler. Yang dimaksud dengan
masyarakat terbelakang adalah masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Pada tipe masyarakat
ini, tingkat perkembangan teknik rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas sosial
relative masih kecil. Keluarga merupakan lembaga mereka yang paling penting dan spesialisasi
pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih sangat sederhana. Laju perubahan
sosial pun masih lambat. Lihat Elizabeth K. Nottingham, Agama Dan Masyarakat, Suatu Pengantar
Sosiologi Agama. (Jakarta: RajaGrafindo Perkasa, cet.8, 2002), 43
7
Nottingham, Ibid, 43-45. Sementara Evans Pritchard mengatakan bahwa pada masyarakat
tertutup (primitif), agama dipikirkan, dirasakan, dan dikehendaki oleh individu-individu, juga merupa-
kan fenomena sosial dan obyektif yang tidak bergantung pada pikiran-pikiran individual. Agama
menjadi obyektif karena tiga karakteristiknya, yakni: Pertama, agama diwariskan dari satu generasi
ke generasi lainnya. Agama ada pada individu juga di luar individu, karena telah ada sebelum
individu itu lahir dan tetap ada sesudah individu itu mati; Kedua, pada masyarakat tertutup, agama
bersifat umum. Setiap orang mempunyai bentuk yang sama tentang kepercayaan dan pelaksanaan
agama, dan kolektivitas mereka memberi sifat obyektivitas yang menempatkan agama melampaui
pengalami psikologis setiap individu; Ketiga, agama merupakan kewajiban. Selain sanksi-sanksi
positif dan negatif, agama juga merupakan sarana yang umum pada masyarakat tertutup, sehingga
seseorang tidak punya pilihan lain selain menerima apa yang disetujui oleh setiap orang. Lihat
Evans Pritchard, Teori Tentang Agama Primitif, 70-71
8
Suku Kaili terdiri dari empat sub-suku, yakni Kaili Da’a, Kaili Unde, Kaili Edo dan Kaili
Tar’a

3
leluhur yang masih dipertahankan hingga kini. Tradisi leluhur yang masih teguh

dipegang menyebabkan orang-orang yang berdiam di wilayah Palu dan sekitarnya

sering mengklaim diri mereka sebagai masyarakat primitif9.

Agama yang merupakan tradisi leluhur memainkan peran yang penting. Ada

titik-titik dalam hidup dan aktivitas mereka di mana ritus dilakukan. Ritus-ritus

dalam aktivitas keseharian mereka seperti berburu dan bertani, ritus pengobatan,

hingga upacara-upacara dalam siklus hidup mereka seperti perkawinan dan ritus

inisiasi yang dilakukan sekali seumur hidup bagi semua anak Da’a. Salah satu

bentuk ritus yang masih tersisa hingga kini (setelah orang Da’a menganut agama

Kristen) adalah ritus yang dilakukan dalam aktivitas pertanian orang Da’a. Sebagai

petani, orang Da’a menyadari ketergantungan mereka terhadap alam, Yang Maha

Kuasa, dan roh-roh leluhur. Dalam kepercayaan mereka, makhluk hidup seperti

binatang, tanaman, dan unsur-unsur dalam bumi memiliki roh, berasal dari manusia

(leluhur) yang telah berkorban bagi kesejahteraan orang banyak yang dalam bahasa

budaya lokal disebut tomanuru (jelmaan), karenanya harus dikasihi, dihormati,

dan dihargai10.

Kepercayaan ini nyata dalam ritus-ritus yang dilakukan dalam aktivitas

pertanian mereka. Ritus-ritus yang disebut ramaya11, dibungkus dengan tabu dalam

9
Dalam arti peyoratif, sering diartikan kolot, bodoh, terbelakang, berbeda dari suku-suku lain
yang mendiami daerah sekitar Palu dan Donggala, yang rata-rata merupakan pendatang dari luar
Sulawesi Tengah (dari Jawa, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sumatera, Sulawesi Utara, dan lain-lain).
Istilah primitif kini cenderung dihindari dan diganti dengan masyarakat sederhana. Tondowidjojo
mencoba menjelaskan tanda-tanda masyarakat primitif sebagai berikut: 1. bersifat statis, konservatif
dalam arti kuat mempertahankan adat nenek moyang, tidak berani merubah warisan leluhur; 2.
bergantung pada alam, dan; 3. belum ada diferensiasi, terutama di bidang kekuasaan dan pekerjaan.
Lihat R.M.John Tondowidjojo, Etnologi Dan Pastoral Di Indonesia, (Nusa Indah, tt), 15
10
Hasil wawancara dengan Bpk. Andi Lasipi, S.Pd, 18 Oktober 2005
11
Dalam bahasa Da’a, ramaya berarti pantangan, khususnya pantangan atas jenis makanan
tertentu. Ada 3 jenis ramaya, yakni: ramaya wunja, ramaya balera, dan ramaya sonjo. Hasil
wawancara dengan Bpk. Sidi, Mbuwu, 9 November 2005

4
aktivitas pertanian dan siklus hidup mereka. Ramaya dilakukan oleh keluarga-

keluarga, baik keluarga batih (nuclear family) maupun keluarga luas (extended

family) yang mengolah sebidang tanah bersama-sama, secara khusus untuk tanaman

padi ladang. Rangkaian ritus ini dimulai dari permohonan untuk kesuburan secara

massal yang dipusatkan di desa adat suku Da’a (desa Dombu), menetapkan lokasi

(ritus numpepoyu), menebang pohon-pohon besar (ritus mobanta), menanam padi

(ritus pantilowu), ulang tahun padi (ritus momporoya), mendirikan rumah padi,

panen (mo anai) yang dimulai dengan ramaya atau pantangan, hingga syukur

panen (muwae dan potamba). Ritus-ritus ini diyakini akan memberi petunjuk

lokasi yang tepat, kesuburan ladang, juga menghasilkan panen yang melimpah.

Beberapa bagian dari rangkaian ritus ini dilakukan dalam keluarga dan

terpusat di ladang, namun juga ada yang dilakukan dalam komunitas suku yang

berpusat di desa adat suku Da’a. Bentuk-bentuk ritus ini adalah doa, pemberian

(sesajian, pengorbanan), gerak isyarat tubuh (lagu), hingga pantangan atau tabu

yang sebenarnya merupakan inti ritus ini. Simbol-simbol yang digunakan

memiliki makna yang dalam dan berkaitan erat dengan kepercayaan suku Da’a

yang tersimpul dalam mitos-mitos yang mereka warisi.

Ritus yang berakar pada sistem kepercayaan orang Da’a ini merupakan

budaya lokal yang terus terpelihara, walaupun tak dapat disangkal telah

mengalami berbagai perubahan. Perubahan ini tentunya disebabkan karena

kebudayaan itu sendiri (termasuk di dalamnya agama atau sistem kepercayaan)

bukanlah sesuatu yang statis tetapi selalu berubah.

Perubahan tersebut terjadi karena beberapa faktor, di antaranya adalah

5
faktor interaksi atau kontak dengan komunitas lain. Interaksi tersebut

menyebabkan pertemuan dua unsur kebudayaan yang dapat menyebabkan

kemungkinan penerimaan kebudayaan lain, penolakan kebudayaan lain, atau

bahkan percampuran kebudayaan atau akulturasi. Akulturasi akan menghasilkan

perubahan kebudayaan. Cepat atau lambatnya perubahan sebuah kebudayaan

tergantung pada sering atau tidaknya interaksi suatu kebudayaan dengan

kebudayaan lain12.

Agama, menurut Koentjaraningrat, adalah unsur kebudayaan yang sukar

berubah atau dipengaruhi kebudayaan lain. Ia mengalami perubahan yang lebih

lambat dibandingkan unsur kebudayaan lainnya seperti teknologi13. Kita melihat

bahwa kehadiran suatu agama baru tidak serta merta diterima oleh masyarakat

dengan agama yang berbeda dan merubah kepercayaan yang lama. Dibutuhkan

proses dalam waktu yang panjang, seperti yang terjadi pada interaksi antara

kekristenan dengan agama lain di Indonesia, khususnya agama-agama suku.

Kehadiran agama baru khususnya Kristen tidak serta merta merubah atau

menghilangkan bentuk kebudayaan yang lama.

Rachmat Subagya dalam bukunya “Agama dan Alam Kerohanian Asli di

Indonesia” menyebutkan bahwa agama asli Indonesia (agama-agama suku) kini

nampak dalam dua ragam. Yang satu murni tak-tercampur, yang kedua menyamar

dan tercampur. Agama asli sebagai jenis murni terutama terdapat pada suku-suku

bangsa yang dikenal dengan nama protomelayu14, sementara daerah-daerah yang


12
Patty, ibid,
13
Koentjaraningrat, ibid, 3.
14
Yakni suku-suku yang leluhurnya merupakan gelombang imigrasi yang tertua dari Asia
Tenggara daratan ke Asia Tenggara kepulauan, yang terbentang dari barat ke timur sehingga
menempati pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur hingga Irian Jaya. Rachmat Subagya. Agama
Dan Alam Kerohanian Asli Di Indonesia. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1979, 32-33

6
berpenduduk turunan deuteromelayu15 agama asli bergerak di dalam lingkungan

agama universal. Secara publik dan formal agama universal ini mengganti agama

asli, tetapi unsur-unsur rohani dari agama asli tetap lestari dalam keadaan menyamar.

Agama asli tersebut tidak statis, tetapi bergerak bersama dengan agama publik,

belajar daripadanya, meminjamkan istilah-istilah untuk lebih menegaskan ilhamnya

semula, tetapi tidak diperkenankan menjalankan suatu organisasi atau manifestasi

terbuka16.

Kita menemukan ciri ini dalam pertemuan Injil dan budaya lokal (agama

suku) di beberapa daerah di Nusantara. Sebagai contoh, perjumpaan Injil dan adat

di tanah Batak yang telah terjadi sejak abad ke-17 tidak menghilangkan kebudayaan

Batak. Gereja Batak malah pernah disebut sebagai suatu gereja-adat, yakni gereja

yang diresapi oleh adat asli setempat. Walaupun adat itu telah berubah, namun

masih tetap merupakan adat asli dan tetap mempertahankan sifatnya yang pra-

Kristen. Pemujaan kepada nenek moyang yang termanifestasi lewat pembangunan

tugu misalnya, hingga kini masih dilakukan17.

Contoh lain, perjumpaan Injil dan adat di Maluku yang dimulai pada abad

ke-15, di mana kepercayaan asli orang Maluku yang menyembah roh-roh leluhur

masih tetap dipertahankan dan termanifestasi melalui upacara-upacara adat yang

diyakini “menghadirkan” para leluhur18. Demikian juga yang terjadi di Jawa setelah

masuknya kekristenan di sana, masih ada tradisi asli Jawa yang berasal dari

15
Kelompok ini meliputi hampir semua suku di Sumatra, Jawa, Madura, Bawean, Bali,
Lombok, Sumbawa dan Nias. Subagya, ibid, 33
16
Subagya, ibid, 35
17
Untuk lebih jelas baca Lothar Schreiner. Adat Dan Injil, Perjumpaan Adat Dengan
Iman Kristen Di Tanah Batak. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, Cet. Ke-5, 2000)
18
Untuk lebih jelas baca Frank L. Cooley. Mimbar Dan Takhta: Hubungan Lembaga-
Lembaga Keagamaan dan Pemerintahan di Maluku Tengah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987).

7
kepercayaan lama mereka yang terus dipertahankan walaupun mengalami

perubahan19.

Bagi masyarakat Da’a, kehadiran kekristenan yang dimulai sejak awal

abad ke-20 dengan hadirnya para misionaris Bala Keselamatan telah turut mewarnai

eksistensi budaya lokal20. Hampir satu abad Injil diberitakan dan diterima oleh

orang Da’a. Suatu kepercayaan baru yang berbeda dari kepercayaan lama mereka.

Sistem kepercayaan lama warisan leluhur mengalami interaksi dengan agama baru

ini. Namun hingga kini, kepercayaan lama tersebut masih tetap terjaga. Di sana-

sini ada sedikit perubahan, beberapa di antaranya tidak lagi dilakukan, tetapi

kepercayaan lama tersebut tidak benar-benar ditinggalkan. Upacara-upacara yang

dilatarbelakangi oleh kepercayaan lama terus dilakukan, beberapa diantaranya

telah dimaknai ulang oleh kekristenan termasuk di dalamnya ritus ramaya.

Pertanyaan yang kemudian muncul, adalah mengapa orang Da’a Kristen

masih tetap melakukan praktek-praktek kepercayaan lama atau agama suku?

Bagaimanakah interaksi agama suku Da’a dengan kepercayaan baru ini (agama

Kristen)? Sejauh mana interaksi ini merubah kebudayaan Da’a, khususnya yang

berhubungan dengan kepercayaan dan praktek-praktek ritual mereka. Manakah

unsur-unsur dalam ritus-ritus tersebut yang tetap bertahan dan perubahan-

perubahan apakah yang terjadi akibat interaksi tersebut? Seperti apakah sistem

kepercayaan Da’a pra-kekristenan? Apa makna dan fungsi ritus tersebut bagi
19
Penjelasan lebih jelas tentang pertemuan Injil dengan budaya Jaw abaca Philip Van
Akkeren. Dewi Sri Dan Kristus, Sebuah Kajian Tentang Gereja Pribumi Di Jawa Timur.
20
Kekristenan hadir di daerah Sulawesi Tengah pada akhir abad ke-19 dengan kehadiran
misionaris NZG yang memusatkan perhatian di daerah Poso. Sementara di lembah Palu kekristenan
baru hadir di awal abad ke-20 (tahun 1913) melalui misionaris Bala Keselamatan yang memusatkan
perhariannya di daerah Marawola yang berpenduduk masyarakat suku Da’a. Lihat Th Van den
End & J. Weitjens, S.J. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja Di Indonesia 1860-an~Sekarang. (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, cet.6, 2003), 291. selanjutnya akan dibahas pada bab 3 (A.11), 69-71

8
kehidupan masyarakat Da’a Kristen sehingga mereka masih melakukannya?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang ingin dijawab dalam tesis ini, yang diberi judul:

Ramaya

Studi Antropologi Agama Terhadap Ritus Bercocok Tanam

Dalam Masyarakat Suku Da’a Kristen, Sulawesi Tengah

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan tersebut di atas maka rumusan masalah studi ini adalah:

1. Bagaimanakah wujud ramaya dan sistem religi suku Da’a yang

melatarbelakanginya?

2. Apa makna dan fungsi ramaya bagi komunitas Da’a Kristen?

3. Apakah yang menyebabkan komunitas Da’a Kristen tetap melakukan

ramaya?

C. Tujuan Penelitian

Dengan masalah penelitian tersebut maka tujuan studi ini adalah:

1. Mendeskripsikan wujud ritus ramaya dan sistem religi suku Da’a.

2. Menganalisa makna dan fungsi ritus ramaya bagi masyarakat Da’a

Kristen.

3. Mendeskripsikan dan menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan

masyarakat Da’a Kristen tetap mempraktekkan ritus ramaya.

D. Manfaat Penelitian

Tesis ini diharapkan dapat:

1. Memberikan sumbangan gagasan bagi telaah antropologis terhadap

9
fenomena agama dalam masyarakat sederhana.

2. Memberikan sumbangan pemikiran bagi gereja-gereja di Sulawesi

Tengah khususnya dalam interaksi dengan budaya-budaya lokal demi

membangun teologi kontekstual.

3. Menjadi referensi tentang masyarakat dan budaya Da’a.

E. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif–kualitatif.

Metode ini bertujuan untuk membuat deskripsi, yakni gambaran atau lukisan

secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antar

fenomena yang diselidiki. Metode deskriptif berusaha menggambarkan sifat suatu

keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian, dan memeriksa sebab-

sebab dari suatu gejala tertentu21. Fenomena yang diteliti dengan pendekatan studi

antropologi agama22 ini adalah fenomena ritus ramaya dan sistem religi dalam

realitas kehidupan masyarakat Da’a, makna dan fungsinya serta pergeseran atau

perubahannya dan faktor-faktor yang memengaruhinya.

1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dipusatkan pada dusun Pompa, yang merupakan salah satu

dusun dari desa Ongulara, kecamatan Marawola, kabupaten Donggala, Sulawesi

21
Lihat Imam Suprayogo & Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003), 136-137
22
Fokus kajian antrologi agama secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan
kebutuhan makhluk budaya yang meliputi: 1) pola-pola keberagamaan manusia, dari perilaku
bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magi, mitos, animisme, totemisme,
paganisme pemujaan terhadap roh, dan polyteisme, sampai keberagamaan masyarakat industri
yang mengedepankan rasionalitas dan monoteisme. (2) agama dan pengungkapannya dalam
bentuk mitos, simbil-simbol, ritus, tarian ritual, upacara pengorbanan, semedi, selametan; (3)
pengalaman religis, yang meliputi meditasi, doa, mistisisme, sufisme.
http://bashirmujahid.blogspot.com/

10
Tengah. Desa ini merupakan salah satu desa tua suku Da’a, yang berada di sebelah

barat kota Palu, sebelah barat daya kota Donggala, berjarak ± 134 kilometer dari

kota kecamatan, dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor roda dua maupun

empat dalam kurun waktu ± 2 jam kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki

mendaki selama ± 2 ½ jam.

Pemilihan lokasi ini berdasarkan beberapa alasan. Yang pertama, orang

Da’a hidup berpencar dalam kelompok-kelompok (kampung atau ngata) di

wilayah pegunungan Gawalise dengan jarak tempuh yang sangat jauh sehingga

sulit untuk menjangkau semuanya. Kedua, Ongulara adalah salah satu desa tua

suku Da’a, yang terbagi atas empat dusun dan jarak tempuh antar dusun paling

dekat 1 jam berjalan kaki mendaki. Dusun Pompa merupakan dusun yang paling

mudah dijangkau dibanding dusun-dusun lain. Ketiga, masyarakat di dusun Pompa

masih melakukan ritus ramaya sementara dusun-dusun lainnya tidak lagi

melakukannya. Dengan demikian diharapkan penulis bisa memperoleh informasi

seperti yang diharapkan, dari orang-orang yang masih bertahan dengan ramaya.

Penelitian telah dilakukan pada bulan Oktober hingga November 2005

yang didahului dengan penelitian awal selama dua minggu pada bulan April 2005.

2 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data tentang ritus ramaya dan sistem kepercayaan asli

Da’a, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

a. Observasi partisipasi, melakukan pengamatan dengan berinteraksi secara

intensif dengan masyarakat yang diteliti. Selama masa penelitian,

11
penulis berada di tengah komunitas dusun Pompa dan memperhatikan

kegiatan keseharian mereka.

b. Wawancara mendalam. Untuk mendapatkan data penulis telah melaku-

kan wawancara tak berstruktur atau terbuka, yakni wawancara yang

bebas tanpa terikat pada pedoman wawancara yang telah tersusun

secara sistematis dan lengkap23. Wawancara ini dilakukan terhadap

kepala suku, tua-tua adat, tokoh-tokoh agama, maupun komunitas Da’a

di Pompa dan beberapa desa lain seperti Dombu, Mbuwu, dan Wayu.

c. Studi kepustakaan. Penulis menelusuri perpustakaan daerah Palu untuk

mendapatkan data tentang budaya suku Da’a.

3 Teknik Pengolahan Data

Data-data yang diperoleh melalui penelitian tersebut kemudian diolah

dengan tahapan

a. codefikasi, tabulasi, dan analisa data

b. Penyajian data, dalam bentuk narasi atau deskripsi

c. Verifikasi

23
Wawancara tak berstruktur bersifat luwes, susunan pertanyaan dapat diubah pada saat
wawancara, disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik
sosial-budaya informan yang dihadapi. Lihat Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Paradigma Baru Ilmu Komunikasi Dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Rosdakarya, cet. 4, 2004),
180-181.

12

Anda mungkin juga menyukai