TERHADAP FARMAKOTERAPINYA
Oleh :
PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
operasi.1,7 Prognosis ditentukan oleh diagnosis dini, pengobatan yang dilakukan dengan
cepat dan tepat, serta ada tidaknya komplikasi.4
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui rasionalitas pemilihan obat.
2. Untuk mengetahui efektivitas dan keamanan terapi dari obat yang dipakai.
3. Untuk pemilihan obat pada saat keluar rumah sakit.
1.4. Manfaat
Untuk mengetahui bagaimana penanganan farmakoterapi yang rasional bagi
penderita dengan abses hati ameba.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
4
wheezing. Pada pemeriksaan jantung iktus kordis tidak tampak, tidak kuat angkat, batas
kiri jantung pada sela iga V garis midklavikula kiri, batas kanan jantung pada sela iga IV
garis sternalis kanan. Suara jantung I dan II normal, bising tidak ada.
Pada pemeriksaan abdomen tampak cembung pada hipokondrium kanan sampai dengan
epigastrium, hepar teraba 3 sentimeter dibawah arkus kosta kanan, tepi tumpul,
permukaan rata, lunak dan nyeri tekan ada. Limpa tidak teraba, tidak ada asites, bising
usus dalam batas normal, balotemen ginjal tidak teraba.
Pada pemeriksaan anggota gerak akral hangat, tidak ada edema..
Pada pemeriksaan anus dan colok dubur: sfingter cekat, mukosa licin, ampula terisi feses,
pada sarung tangan terdapat feses warna kuning, tidak terdapat darah.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin (Hb) 12,6 gr/dl,
hematokrit 35,7%, lekosit 17.200/mm3, trombosit 210.000/mm3, laju endap darah 60 mm
pada jam pertama. Hitung jenis lekosit: eosinofil 1, basofil 0, batang 6, netrofil segmen
72, limfosit 19, monosit 2.
Pemeriksaan hapusan darah tepi ditemukan eritrosit normokrom normositer, normolast
tidak ada, lekosit jumlah meningkat, blast tidak ada, trombosit jumlah normal, morfologi
normal, aglutinasi tidak ada.
Pemeriksaan malaria negatif. Pemeriksaan widal negatif.
Pemeriksaan tinja: makroskopis warna kuning kecoklatan, konsistensi lembek, lendir
tidak ada, darah tidak ada, cacing tidak ada. Mikroskopis lekosit 1-0, eritrosit tidak ada,
telur/larva cacing bakteri (-), ameba (-), darah samar (-).
Pada pemeriksaan urinalisis: berat jenis 1.015, leukosit negatif, nitrit negatif, protein
negatif, glukosa negatif, keton negatif, leukosit negatif, bilirubin positif, darah negatif,
sedimen: sel epitel 1-3, leukosit 0-2/LPB, eritrosit 0-3/LPB, bakteri (-), silinder negatif,
kristal negatif.
Gula darah sewaktu 110 mg/dL.
Pemeriksaan fungsi ginjal: ureum 25 mg/dL, kreatinin 0,6 mg/dL.
Pemeriksaan elektrolit: natrium 135 mmol/L, kalium 4,8 mmol/L, klorida 92 mmol/L.
Pemeriksaan fungsi hati: GOT 55 U/L, GPT 35 U/L, GGT 48 U/L, alkaline phospatase
330U/L, bilirubin total 0,6 mg/dL, bilirubin direk 0,4 mg/dL, bilirubin indirek 0,2 mg/dL.
Pemeriksaan serum protein: protein total 5,7, albumin 3,4.
5
Pemeriksaan profil lipid: kolesterol total: 168 mg/dL, kolesterol-HDL: 46, kolesterol-
LDL: 120, trigliserida: 165 mg/dL.
Pemeriksaan foto toraks: jantung kesan dalam batas normal, paru tidak tampak kelainan,
kedua sinus kostofrenikus tajam. Kesan jantung dan paru dalam batas normal.
Pemeriksaan elektrokardiografi: irama sinus dengan frekuensi 104 x/menit, aksis normal,
gelombang P normal, PR interval normal, QRS kompleks normal, ST segmen isoelektrik,
gelombang T normal, kesan: dalam batas nomal.
Pemeriksaan serologi anti ameba positif: 1: 128.
Pemeriksaan ultrasonograsi ditemukan ukuran hati tampak membesar pada lobus kanan,
permukaan agak bergelombang, tepi agak tumpul. Tampak lesi sebagai suatu area yang
berekho struktur kompleks terdiri dari hipoekhoik-hiperekhoik dan enekhoik, dinding
tipis dan tidak rata, berukuran 104 x 81 mm. Sistem vaskuler – bilier masih normal/tidak
melebar; kantung empedu: besar dan bentuk normal, tidak tampak batu/sludge, tidak
tampak penebalan pada dinding kantung empedu; pankreas: besar dan bentuk normal,
ekho parenkim homogen, tidak tampak pelebaran duktus pankreatikus mayor
/kalsifikasi/SOL; lien: besar dan bentuk normal, tidak tampak varises daerah hilus;
ginjal: besar dan bentuk kedua ginjal normal, tidak tampak bendungan/SOL/batu; buli-
buli: besar dan bentuk normal, trabekulasi normal, tidak tampak batu/SOL/sludge;
prostat: besar dan bentuk normal, eko parenkim homogen, tidak tampak SOL. Tidak
tampak asites atau pleural efusi kanan atau kiri, tidak tampak pembesaran KGB
paraaorta/caval. Kesan: abses hati lobus kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan penunjang lainnya, maka ditegakan diagnosis abses hati ameba.
Pengobatan yang diberikan adalah infuse dextrose 5% : NaCl 0,9% 2:1 dengan 20
tetes/menit, metronidazol 500 mg intravena tiga kali sehari, parasetamol 500 mg tiga kali
sehari, ranitidin injeksi intravena dua kali sehari, diet lunak rendah serat tinggi kalori
tinggi protein.
6
Pada hari ketujuh perawatan, keadaan umum membaik, penderita sudah tidak
mual, tidak panas, keluhan nyeri perut kadang-kadang, tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 70 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu badan 36,40C.
Hasil pemeriksaan laboratorium hemoglobin (Hb) 12,6 gr/dL, leukosit 9.400/mm 3,
trombosit 388.000/mm3, hematokrit 39,6%, GOT 35 U/L, GPT 30 U/L.
Karena perbaikan klinis dan sudah tidak adanya keluhan mual dan muntah, pengobatan
melalui intravena dihentikan kemudian diberikan metronidazol tablet 500 mg tiga kali
sehari. Ranitidin tablet 150 mg dua kali sehari.
Pada hari kedelapan perawatan keadaan umum penderita membaik, keluhan tidak
ada. Penderita dipulangkan dengan pengobatan metronidazol tablet 500 mg tiga kali
sehari, dan dianjurkan untuk kontrol di poliklinik gastroenterohepatologi.
BAB III
PENILAIAN FARMAKOLOGI KLINIK
7
Dalam bab ini akan dibahas tentang penilaian farmakologi klinik terhadap terapi yang
dilakukan pada pasien ini. Obat-obat yang akan dibahas yaitu: Metronidazol, parasetamol
dan ranitidin.
3.1. Metronidazol
3.1.1. Rasionalitas Pemilihan Obat Dalam Terapi
Metronidazol adalah (1β-hidroksi-etil)–2–metil–nitroimidazol (derivat dari
nitroimidazol) yaitu suatu amubisid yang berbentuk kristal kuning muda dan sedikit larut
dalam air dan alkohol. Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung,
merupakan drug of choice pada pengobatan amubiasis ekstraintestinal atau amubiasis
jaringan.12,13 Absorpsi metronidazole berlangsung baik/efektif sesudah pemberian oral
dan distribusi luas pada jaringan.12-15 Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam
waktu 1-3 jam dan waktu paruh sekitar 8-10 jam (7,5 jam). Metronidazol sedikit terikat
dengan protein (< 20 %). Penetrasi dari metronidazol baik pada cairan tubuh termasuk
cairan vagina, pleura, cairan serebrospinal. Obat ini dan metabolitnya diekskresi terutama
di urin.12-14 Selain itu metronidazol juga diekskresikan melalui air susu, cairan vagina dan
cairan seminal dalam kadar yang rendah.12 Mekanisme kerja metronidazol adalah
menghambat sintesa DNA dan merusak DNA dari kuman.14
Pada kasus ini penggunaan dari metronidasol telah tepat, karena metronidazol
merupakan drug of choice pada pengobatan amubiasis ekstraintestinal yang dalam kasus
ini adalah abses hati amuba13. Namun dosis yang digunakan masih kurang dari dosis yang
dianjurkan, yaitu 750 mg per oral atau IV per hari.
8
3.1.3. Keamanan Terapi
Metronidazol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg, suspensi
125mg/5ml, tablet vagina 500 mg dan 1 gr, infus 500 mg/100ml. Dosis yang dianjurkan
adalah 750 mg peroral atau intravena (IV) tiga kali sehari, selama 5-10 hari.7
Efek samping yang hebat yang memerlukan penghentian pengobatan jarang ditemukan.
Efek samping yang sering terjadi yaitu sakit kepala, mual, mulut kering, rasa kecap
logam. Efek samping yang jarang ditemukan adalah muntah, diare, insomnia, kelemahan,
pusing, parestesia, spasme usus, rash, flushing. Metronidazol memiliki ’disulfiram-like
effect’ jika mengkonsumsi alkohol selama terapi.12-15
Dalam kasus ini tidak ditemukan efek samping dari metronidazol.
3.1.4. Terapi Ekonomis
Metronidazol tergolong dalam amubisid yang poten dengan harga yang
terjangkau, serta mudah diperoleh.
3.2. Parasetamol
9
Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek
sentral, panas yang diturunkan melalui penghambatan prostaglandin di hipotalamus.12,14
Dalam kasus ini parasetamol ditujukan untuk pengobatan simptomatis dengan
efek anti piretik maupun analgetiknya.
10
Parasetamol tergolong obat analgetik dan anti piretik yang efektif. Parasetamol
dijual bebas dengan harga yang relatif murah.
3.3. Ranitidin
11
Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet 150 mg dan 300 mg, larutan suntik 50
mg/2ml. Dosis yang dianjurkan 150 mg dua kali sehari untuk pemberian oral, sedangkan
untuk pemberian suntikan (IM/IV) dosis yag dianjurkan 50 mg tiap 6-8 jam.
Insidens efek samping dari obat ini kecil dan umumnya tidak berhubungan
dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
sakit kepala, malaise, pusing, mialgia, insomnia, pruritus, ruam kulit, gangguan
gastrointestinal seperti mual, diare, konstipasi.12,14
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan simetidin karena
ranitidin lebih kurang dalam menurunkan aktifitas enzim sitokrom P-450. Akir-akhir
dilaporkan adanya interaksi ranitidin dengan obat-obat antara lain nifedipin, warfarin,
teofilin dan metoprolol dimana ranitidin dapat meningkatkan level/efek dari obat-obat
tersebut, sedangkan dengan ketokonazole, itrakonazole dan delavirdine ranitidin dapat
menurunkan level/efek dari obat-obat tersebut.12
Pada penderita ini tidak ditemukan efek samping tersebut diatas.
12
BAB IV
PENUTUP
Telah dilaporkan kasus seorang penderita laki-laki 46 tahun dengan diagnosis abses hati
ameba lobus kanan;
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,
serologis, dan pemeriksaan penunjang lain.
Penanganan dilakukan secara konservatif dengan pemberian metronidazol
Pemilihan obat untuk terapi definitif pada kasus ini adalah rasional, tepat sesuai
dengan indikasi, karena metronidazol merupakan drug of choice pada pengobatan
amubiasis ekstraintestinal yang dalam kasus ini adalah abses hati amuba. Selain
itu meronidazol obat yang relatif murah dan mudah terjangkau.
Pada terapi suportif yang diberikan yaitu parasetamol sebagai antipiretik dan
analgetik di sesuaikan dengan indikasi.
Parasetamol juga merupakan sediaan yang dijual bebas dan ekonomis.
Penggunaan ranitidin pada kasus ini kurang tepat indikasinya
13
Pertanyaan dan jawaban pada saat presentasi:
1. Bagaimana interaksi ranitidin dengan nifedipin, warfarin, teofilin dan metoprolol?
Interaksi ranitidin dengan obat-obat tersebut adalah ranitidin dapat meningkatkan
level/efek dari obat-obat tersebut.
2. Kapan dilakukan aspirasi pada abses hati ameba:
Tindakan aspirasi pada abses hati ameba secara rutin tidak diindikasikan baik untuk
tindakan diagnostik ataupun teraupetik karena sampai saat ini belum terbukti bahwa
aspirasi pada abses hati ameba tanpa komplikasi akan mempersingkat penyembuhan.
Selain itu resiko dari tindakan aspirasi tersebut dapat mencetuskan infeksi sekunder
bahkan peritonitis.
Indikasi aspirasi yaitu:
Abses yang besar dengan anaman ruptur (> 10 cm)
Abses pada lobus kiri dengan bahaya ruptur ke perikardium
Abses hati posterior yang menyebabkan obstruksi vena cava superior
Gagal/respon pengobatan yang kurang dalam 3 – 4 hari
3. Pertimbangan apa sehingga pemberian metronidazole secara IV dan diganti
pemberian peroral?
Karena pada penderita ini terdapat keluhan mual dan muntah, sedangkan diketahui
bahwa metronidazole dapat menyebabkan efek samping mual dan muntah, terutama
rasa kecap ogam pada metronidazole dapat menyebabkan penderita muntah-muntah.
Pengobatan diganti ke oral dengan pertimbangan pada saat itu keadaan umum
penderita sudah membaik dan tidak mengeluh mual dan muntah lagi.
Terapi/obat lain yang dapat digunakan pada amebiasis hepar:
Kloroquin; mempunyai daya amebisid terhadap tropozoit. Dosis: 4 x 250 mg
untuk 2 hari kemudian dilanjutkan 2 x 250 mg selama 2 minggu.
Emetin; obat yang cukup lama dan sangat efektif untuk ameba, tapi sudah jarang
digunakan karena efek toksik pada jantung yaitu takikardia, hipoternsi dan nyeri
dada. Dosis: 1 mg/kgBB SC/IM (maksimal 60 mg) selama 8 – 10 hari.
14
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Reed SL. Amebiasis and infection with free living amebas. In: Kasper DL, Fauci
AS, Longo DL et al (Ed). Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed, vol 1,
Mc Graw-Hill, New Yoork; 2005, 1214-18
2. Wells CD, Arquedas M. Amebic liver abscess. South Med J 2004; 97(7):673-82
3. Leder K, Weller PF. Extraintestinal Entamoeba histolytica amebiasis. In: Rose BD
(ed). Up to date CD-ROM, 13.1 edition 2005
4. Sherlock S. The liver infection. In: Sherlock S, Dooley J (Ed). Disease of the liver
and biliary. 11th ed, Blackwell Scientific Publications, London; 2002, 495-500
5. Hughes MA, Petri WA. Amebic liver Abscess. Infectious disease clinics of North
America 1992; 20: 565-80
6. Mathur S, Gehlot RS, Mohta A et al. Clinical profile of amoebic liver abscess.
JIACM 2002;3(4):467-73
7. Soewondo ES. Amebiasis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I et al (Ed). Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; 2006, 1810-14
8. Hague R, Huston CD, Hughes M et al. Amebiasis. N England J Med 2003; 348:
1565-73
9. Waleleng BJ, Wibisono M, Wibowo C. Gambaran klinis, laboratorium dan
radiologist abses hati ameba di RSUP Manado. Dibawakan pada KOPAPDI XII
Manado tanggal 7-9 Agustus 2003
10. De Cock KM, Reynolds TB. Amebic and pyogenic liver abscess. In: Schiff I, Schiff
ER. Disease of the liver, 7th ed, vol 2, J.B Lipincott Company Philadelphia 1995,
1320-33
11. Tierney LM, Mc Phee SJ, Papadakis MA (Ed). Current medical diagnosis and
treatment. 44th ed, Lange Medical Books/Mc Graw-Hill, New York, 2005: 72,
1417-22
12. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi (Ed).
Farmakologi dan terapi. 4th Ed, Bagian Farmakologi FKUI, Gaya Baru, Jakarta,
1995; 214-15; 256-58; 540-42
13. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology, 9 th ed, Lange Medical Books/Mc
Graw Hill, Boston, 2004; 595-96; 875-78
14. Waller DG, Renwick AG, Hillier K. Medical pharmacology and therapeutics. WB
Saunders, Edinburgh, 2004; 309-11, 338
15. Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. Katzung and trevor,s pharmacology
examination and board review, 6th ed, Lange Medical Books/Mc Graw-Hill, New
York, 2002; 462-63
16
METRONIDAZOL
Keamanan Terapi
Efek samping yang jarang ditemukan adalah muntah, diare, insomnia, kelemahan, pusing,
lidah berselaput, spasme usus, rash, disuria, sistitis, flushing, kencing kecoklatan, vertigo,
ataksia, parestesia pada ekstremitas urtikaria, flushing, pruritus, disuria, sistitis, rasa tekan
pada pelvik, rasa kering pada mulut, vagina dan vulva. Untuk pemberian lebih dari 7 hari
harus dilakukan pemeriksaan lekosit secara berkala, terutama pada penderita usia muda
dengan daya tahan ubuh yang randah. Neutropenia dapat terjadi selama pengobatan dan
akan kembalinormal setelah pengoobatan dihentikan. Obat ini tidak dianjurkan utuk
diberikan pada penderita dengan riwayat penyakit darah atau gangguan SSP12
Efek samping yang sering terjadi yaitu sakit kepala, mual, mulut kering, rasa kecap
logam Efek samping yang jarang ditemukan adalah, muntah, diare, insomnia,,kelemahan,
pusing, trush, rash, dysuria, dark urine, vertigo, parestesia pada ekstremitas, dan
neutropenia.13,14,15 Meminum obat dengan makanan mengurangi iritasi GI. Pankreatitis
dan severe CNS toxicity (ataksia, encephalopathy, kejang) jarang terjadi.
Metronidazol memiliki ’disulfiram-like effect’ seperti mual dan muntah dapat terjadi jika
mengkonsumsi alkohol selama terapi. Dosis harus disesuaikan pada penderita dengan
penyakit hati atau ginjal yang berat.13
Metronidazol dilaporkan mempunyai potensiasi efek antikoagulan dari antikoagulan tipe
kumarin. Toksisitas dari sediaan lithium dapat terjadi jika digunakan bersama
metronidazol.
DISULFIRAM
Obat ini digunakan dalam pengobatan pecandu alkohol dan dimaksudkan unutk
menimbulkan efek samping bila ia meminum etil alkohol. Disufiram mengganggu
metabolisme etil alkohol dan efek toksik yang ditimbulkannya disebabkan oleh
akumulasi asetaldehid. Karena disulfiram diekskresi dengan sangat lambat, efek seperti
itu dapat terjadi untuk sekurang-kurangnya 3 minggu setelah menelan obat terakhir.
Pembentukan asetaldehid mengakibatkan efek toksik terutama pada sistem
kardiovaskuler.
PARASETAMOL
Akibat dosis toksis yang paling serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis
serta koma hipoglikemik dapat terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian
dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB) parasetamol. Gejala pada hari pertama
keracunan akut belum mencerminkn bahaya yang mengancam. Anoreksia , mual, muntah
serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung selama 1 minggu
atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatan
aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta
pemanjangan masa protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap
normal. Kerusakan hati dapat menyebabkan ensefalopati, koma dan kematian. Kerusakan
hati yang berat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. 12 Pada dosis 15 gr
17
dapat fatal, kematian dapat terjadi akibat hepatotoksik berat dengan nekrosis
sentralobular, kadang disertai nekrosis akut tubus ginjal. Gejala awal dari kerusakan hati
termasuk mual, muntah, diare dan nyeri perut. Data terakhir juga dinyatakan bahwa
parasetamol dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kerusakan ginjal tanpa disertai
kerusakan hati, dan kerusakan ini terjadi setelah penggunaan parasetamol dengan dosis
biasa.13 Hepatotoksis dapat terjadi pada dosis lebih dari 4 gr/hr dan pemberian kronik.
Pada usia lanjut dan penderita dengan penyakit hati parasetamol sebaiknya tidak
diberikan lebih dari 2 gr/hr. 11 Sebagai analgesik parasetamol sebaiknya tidak diberikan
terlalu lama karena dapat menimbukan nefropati analgesik. 12
Hambatan biosintesis prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungnnya rendah
kadar perioksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak
peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Hal ini yang menjelaskan mengapa efek anti
inflamasi parasetamol praktis tidak ada.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil
lainnya dengan asam sulfat. Obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi dan metabolit
hasil hidroksilasi dapat menimbulkan methemoglobulinemia dan hemolisis erittrosit.
Obat ini dieksresi melalui ginjal
RANITIDIN
Antagonis H2 reseptor yang lain, yaitu simetidin terikat pada sitokrom P-450
sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, sehingga obat lain akan
terakumulasi jika diberikan diberikan bersama. Obat-obat tersebut adalah warfarin,
fenitoin, kafein teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol,
dan imipramin. Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan
simetidin karena ranitidin lebih kurang dalam menurunkan aktifitas enzim sitokrom P-
450. Akhir-akhir ini makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin antara
lain nifedipin, warfarin, teofilin dan metoprolol. Ranitidin dapat menghambat asorpsi
diazepem dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Sehingga obat-obat ini
diberikan dengan selang waktu 1 jam. Penggunaan ranitidin dangan antasida atau
antikolnergik sebaiknya diberikan dengan selang waktu minimal 1 jan. Simetidin dan
ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga memperlambat bersihan obat
lain
Metronidazol
Kerja: sidal
Mekanisme: menghambat sintesis asam nukleat
Kegunaan klinis: trikomonas, giardia, entamoeba histolytica
Resistensi: perubahan aktivitas nitrogen reduktase (mempengaruhi anaerob yang
mereduksi nitrogen, membentuk intermediate reaktif)
Efek samping: kelemahan, vertigo, parastesia, mual, diare, intoleransi etanol (like
disulfiram) rasa logam, mutagenik
18
Farmakokinetik: PO/IV. Diabsorpsi baik, distribusi mencakup otak dan abses-
abses, metabolit aktif
Asetaminofen
Mekanisme kerja: mekanisme kerja belum jelas, inhibitor lemah sntesis
prostaglandin, efek analgetik dan antipiretik sebanding dengan aspirin, efek
antiinflamasi jauh lebih lemah
Indikasi: panas, nyeri ringan sampai sedang, untuk anak lebih disukai
dibandingkan aspirin karena kurang menyebabkan sindroma Reye
Efek samping: tidak menyebabkan gangguan atau perdarahan GI, ruam, kadang-
kadang demam. Over dosis dapat menyebabkan nekrosis hati berat yang
menimbulkan koma dan kematian
Farmakokinetik: PO/PR. Mudah diabsorpsi, ikatan protein plasma sedikit,
dimetabolisme dihati, kiekskresi di urin.
Interaksi obat: pada dosis tinggi dapat memperkuat antikoagulan
Ranitidin
Mekanisme kerja: antagonis reseptor H2
Indikasi: ulkus lambung/duodenum, hipersekrsi lasam lambung, PRGE
Efek samping: ditoleransi baik. Diare, ruam, sakit keepala, kebingungan,
somnolen. (libido menurun, impotensi, ginekomasti → simetidin) pada ranitidin
efek pada ss dan seksul lebih sedikit. Jarang diskrasia darah, hepatotoksisitas dan
toksisitas ginjal.
Kontra indikasi (simetidin): pada usia lanjut (> 50 thn) dengan gagal ginjal atau
hati
Farmakokinetik: PO/IV. Metabolisme lintas pertama tinggi, obat yang tidak
diubah dan metabolit diekskresikan dalam urin
Interaksi obat : penghambatan enzim metabolisme P 450 lebih sedikit daripada
simetidin. Simetidin → meningkatkan konsentrasi banyak obat dalam serum
(antikoagulan oral, teofilin, lidokain, fenitoin, benzodiazepin, nifedipin,
propanolol) dengan menghambat enzim hati P450, dapat menghambat sekresi
prokainamid dalam tubus ginjal.
19