Anda di halaman 1dari 19

KASUS KLINIK DAN PENILAIAN FARMAKOLOGI KLINIK

TERHADAP FARMAKOTERAPINYA

ABSES HATI AMEBIK

Oleh :

Dr. Hendra Widjaja


Dr. Finny Warouw

PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2011

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Abses hati ameba (AHA) merupakan salah satu komplikasi dan penyulit ekstra
intestinal yang sering terjadi yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica.1-3 Penyakit ini
tersebar luas diseluruh dunia dan lebih sering dijumpai di negara-negara dengan iklim
tropis dan sub tropis, terutama di Afrika, Asia Tenggara dan Amerika Latin. 4-5 Hal
tersebut berhubungan dengan masalah kesehatan dan sosial dari wilayah tersebut dimana
terdapat sanitasi yang buruk, status sosio-ekonomi yang rendah, serta status gizi yang
kurang baik.4
Insidens abses hati ameba di dunia berkisar antara 3 – 9%, sedang di Asia
Tenggara berkisar 5 – 40%.6 Di Indonesia diperkirakan angka kejadian berkisar antara 5–
15 penderita pertahun.7 Pada umumnya penyakit ini mengenai usia 18–50 tahun dengan
perbandingan laki-laki 3 – 10 kali lebih sering daripada perempuan. Lokasi abses lebih
sering pada lobus kanan dibandingkan dengan lobus kiri, dengan perbandingan 5-6:1. 1,7,8
Gambaran klinis dapat berupa demam, nyeri perut kanan yang dapat menjalar ke
bahu dan punggung kanan, menggigil, berkeringat banyak, anoreksia, nausea, penurunan
berat badan, kelemahan, ikterus, hepar membesar dan nyeri tekan. 1,4,9 Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan leukositosis ringan sampai sedang, laju endap darah yang
meningkat, kelainan fungsi hati meliputi hipoalbuminemia, peningkatan fosfatase alakali,
sedangkan enzim transaminase dan bilirubin dapat normal atau sedikit meningkat. Pada
pemeriksaan feses dapat ditemukan kista dan bentuk vegetatif ameba. Ameba juga dapat
ditemukan pada pemeriksaan mikrobiologis terhadap aspirasi pus. Pada pemeriksaan
serologis antibody terhadap Entamoeba histolytica terutama pada keadaan-keadaan
dimana kuman tidak ditemukan. Pemeriksaan penunjang lain berupa foto toraks,
ultrasonografi dan CT Scan.1,3,4,10,11
Diagnosis abses hati ameba ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, serologis antibodi, radiologis dan ultrasonografi. 1,5,7 Penanganan meliputi
terapi suportif dan defenitif, dapat berupa kemoterapi, aspirasi jarum dan secara

2
operasi.1,7 Prognosis ditentukan oleh diagnosis dini, pengobatan yang dilakukan dengan
cepat dan tepat, serta ada tidaknya komplikasi.4

1.2. Rumusan masalah


Bagaimana rasionalitas pemilihan obat dalam kasus ini.

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui rasionalitas pemilihan obat.
2. Untuk mengetahui efektivitas dan keamanan terapi dari obat yang dipakai.
3. Untuk pemilihan obat pada saat keluar rumah sakit.

1.4. Manfaat
Untuk mengetahui bagaimana penanganan farmakoterapi yang rasional bagi
penderita dengan abses hati ameba.

3
BAB II
LAPORAN KASUS

Penderita, laki-laki, 46 tahun, menikah, anak 4, suku Minahasa, pekerjaan


pengendara ojek, alamat Manado, masuk rumah sakit Prof. R.D. Kandou tanggal 22
Agustus 2011 dengan keluhan utama nyeri perut kanan atas.
Pada anamnesis ditemukan nyeri perut kanan atas dirasakan oleh penderita sejak
10 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri perut hilang timbul dan seperti ditusuk-tusuk,
nyeri bertambah jika bila perut kanan atas ditekan, nyeri menjalar ke bahu dan punggung
kanan, nyeri berkurang dengan posisi tubuh membungkuk. Selain itu penderita juga
mengeluhkan rasa mual-mual tapi tidak muntah. Panas di alami penderita sejak 10 hari
yang lalu, panas naik turun disertai menggigil dan berkeringat banyak Penderita
mengeluh lemah, nafsu makan menurun dan berat badan menurun. Buang air kecil
berwarna kuning tua. Buang air besar normal tapi terdapat riwayat diare kurang lebih 2
minggu sebelum masuk rumah sakit. Penderita sudah berobat ke puskesmas, namun
penderita merasa tidak ada perubahan dalam keluhan sakitnya kecuali diare yang telah
berhenti. Hanya penderita yang sakit seperti ini dalam keluarga.
Selama ini penderita tidak mempunyai riwayat penyakit jantung, paru, ginjal, hati dan
kencing manis. Penderita mempunyai kebiasaan merokok dan alkohol.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, tinggi badan kurang lebih 165 sentimeter, berat badan 55
kilogram, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 108 x/menit, regular, isi cukup, pernapasan
24 x/menit, suhu badan 38,70 C.
Pada pemeriksaan kepala didapatkan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, pupil
bulat dan isokor, refleks cahaya positif normal, tidak tampak kelainan pada telinga,
hidung dan tenggorokan. Bibir tidak sianosis, tekanan vena jugularis 5+0 cm, trakea
ditengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid.
Pada pemeriksaan dada nampak simetris, pergerakan dinding dada kiri sama dengan
kanan. Pada pemeriksaan fisik paru stem fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi sonor
pada kedua paru, batas paru hati pada linea midklavikularis kanan sela iga ke VI dengan
peranjakan 1 cm. Suara pernapasan vesikuler kedua paru, tidak ditemukan ronki dan

4
wheezing. Pada pemeriksaan jantung iktus kordis tidak tampak, tidak kuat angkat, batas
kiri jantung pada sela iga V garis midklavikula kiri, batas kanan jantung pada sela iga IV
garis sternalis kanan. Suara jantung I dan II normal, bising tidak ada.
Pada pemeriksaan abdomen tampak cembung pada hipokondrium kanan sampai dengan
epigastrium, hepar teraba 3 sentimeter dibawah arkus kosta kanan, tepi tumpul,
permukaan rata, lunak dan nyeri tekan ada. Limpa tidak teraba, tidak ada asites, bising
usus dalam batas normal, balotemen ginjal tidak teraba.
Pada pemeriksaan anggota gerak akral hangat, tidak ada edema..
Pada pemeriksaan anus dan colok dubur: sfingter cekat, mukosa licin, ampula terisi feses,
pada sarung tangan terdapat feses warna kuning, tidak terdapat darah.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin (Hb) 12,6 gr/dl,
hematokrit 35,7%, lekosit 17.200/mm3, trombosit 210.000/mm3, laju endap darah 60 mm
pada jam pertama. Hitung jenis lekosit: eosinofil 1, basofil 0, batang 6, netrofil segmen
72, limfosit 19, monosit 2.
Pemeriksaan hapusan darah tepi ditemukan eritrosit normokrom normositer, normolast
tidak ada, lekosit jumlah meningkat, blast tidak ada, trombosit jumlah normal, morfologi
normal, aglutinasi tidak ada.
Pemeriksaan malaria negatif. Pemeriksaan widal negatif.
Pemeriksaan tinja: makroskopis warna kuning kecoklatan, konsistensi lembek, lendir
tidak ada, darah tidak ada, cacing tidak ada. Mikroskopis lekosit 1-0, eritrosit tidak ada,
telur/larva cacing bakteri (-), ameba (-), darah samar (-).
Pada pemeriksaan urinalisis: berat jenis 1.015, leukosit negatif, nitrit negatif, protein
negatif, glukosa negatif, keton negatif, leukosit negatif, bilirubin positif, darah negatif,
sedimen: sel epitel 1-3, leukosit 0-2/LPB, eritrosit 0-3/LPB, bakteri (-), silinder negatif,
kristal negatif.
Gula darah sewaktu 110 mg/dL.
Pemeriksaan fungsi ginjal: ureum 25 mg/dL, kreatinin 0,6 mg/dL.
Pemeriksaan elektrolit: natrium 135 mmol/L, kalium 4,8 mmol/L, klorida 92 mmol/L.
Pemeriksaan fungsi hati: GOT 55 U/L, GPT 35 U/L, GGT 48 U/L, alkaline phospatase
330U/L, bilirubin total 0,6 mg/dL, bilirubin direk 0,4 mg/dL, bilirubin indirek 0,2 mg/dL.
Pemeriksaan serum protein: protein total 5,7, albumin 3,4.

5
Pemeriksaan profil lipid: kolesterol total: 168 mg/dL, kolesterol-HDL: 46, kolesterol-
LDL: 120, trigliserida: 165 mg/dL.
Pemeriksaan foto toraks: jantung kesan dalam batas normal, paru tidak tampak kelainan,
kedua sinus kostofrenikus tajam. Kesan jantung dan paru dalam batas normal.
Pemeriksaan elektrokardiografi: irama sinus dengan frekuensi 104 x/menit, aksis normal,
gelombang P normal, PR interval normal, QRS kompleks normal, ST segmen isoelektrik,
gelombang T normal, kesan: dalam batas nomal.
Pemeriksaan serologi anti ameba positif: 1: 128.
Pemeriksaan ultrasonograsi ditemukan ukuran hati tampak membesar pada lobus kanan,
permukaan agak bergelombang, tepi agak tumpul. Tampak lesi sebagai suatu area yang
berekho struktur kompleks terdiri dari hipoekhoik-hiperekhoik dan enekhoik, dinding
tipis dan tidak rata, berukuran 104 x 81 mm. Sistem vaskuler – bilier masih normal/tidak
melebar; kantung empedu: besar dan bentuk normal, tidak tampak batu/sludge, tidak
tampak penebalan pada dinding kantung empedu; pankreas: besar dan bentuk normal,
ekho parenkim homogen, tidak tampak pelebaran duktus pankreatikus mayor
/kalsifikasi/SOL; lien: besar dan bentuk normal, tidak tampak varises daerah hilus;
ginjal: besar dan bentuk kedua ginjal normal, tidak tampak bendungan/SOL/batu; buli-
buli: besar dan bentuk normal, trabekulasi normal, tidak tampak batu/SOL/sludge;
prostat: besar dan bentuk normal, eko parenkim homogen, tidak tampak SOL. Tidak
tampak asites atau pleural efusi kanan atau kiri, tidak tampak pembesaran KGB
paraaorta/caval. Kesan: abses hati lobus kanan.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan penunjang lainnya, maka ditegakan diagnosis abses hati ameba.
Pengobatan yang diberikan adalah infuse dextrose 5% : NaCl 0,9% 2:1 dengan 20
tetes/menit, metronidazol 500 mg intravena tiga kali sehari, parasetamol 500 mg tiga kali
sehari, ranitidin injeksi intravena dua kali sehari, diet lunak rendah serat tinggi kalori
tinggi protein.

6
Pada hari ketujuh perawatan, keadaan umum membaik, penderita sudah tidak
mual, tidak panas, keluhan nyeri perut kadang-kadang, tekanan darah 110/70 mmHg,
nadi 70 x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu badan 36,40C.
Hasil pemeriksaan laboratorium hemoglobin (Hb) 12,6 gr/dL, leukosit 9.400/mm 3,
trombosit 388.000/mm3, hematokrit 39,6%, GOT 35 U/L, GPT 30 U/L.
Karena perbaikan klinis dan sudah tidak adanya keluhan mual dan muntah, pengobatan
melalui intravena dihentikan kemudian diberikan metronidazol tablet 500 mg tiga kali
sehari. Ranitidin tablet 150 mg dua kali sehari.
Pada hari kedelapan perawatan keadaan umum penderita membaik, keluhan tidak
ada. Penderita dipulangkan dengan pengobatan metronidazol tablet 500 mg tiga kali
sehari, dan dianjurkan untuk kontrol di poliklinik gastroenterohepatologi.

BAB III
PENILAIAN FARMAKOLOGI KLINIK

7
Dalam bab ini akan dibahas tentang penilaian farmakologi klinik terhadap terapi yang
dilakukan pada pasien ini. Obat-obat yang akan dibahas yaitu: Metronidazol, parasetamol
dan ranitidin.

3.1. Metronidazol
3.1.1. Rasionalitas Pemilihan Obat Dalam Terapi
Metronidazol adalah (1β-hidroksi-etil)–2–metil–nitroimidazol (derivat dari
nitroimidazol) yaitu suatu amubisid yang berbentuk kristal kuning muda dan sedikit larut
dalam air dan alkohol. Metronidazol memperlihatkan daya amubisid langsung,
merupakan drug of choice pada pengobatan amubiasis ekstraintestinal atau amubiasis
jaringan.12,13 Absorpsi metronidazole berlangsung baik/efektif sesudah pemberian oral
dan distribusi luas pada jaringan.12-15 Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam
waktu 1-3 jam dan waktu paruh sekitar 8-10 jam (7,5 jam). Metronidazol sedikit terikat
dengan protein (< 20 %). Penetrasi dari metronidazol baik pada cairan tubuh termasuk
cairan vagina, pleura, cairan serebrospinal. Obat ini dan metabolitnya diekskresi terutama
di urin.12-14 Selain itu metronidazol juga diekskresikan melalui air susu, cairan vagina dan
cairan seminal dalam kadar yang rendah.12 Mekanisme kerja metronidazol adalah
menghambat sintesa DNA dan merusak DNA dari kuman.14
Pada kasus ini penggunaan dari metronidasol telah tepat, karena metronidazol
merupakan drug of choice pada pengobatan amubiasis ekstraintestinal yang dalam kasus
ini adalah abses hati amuba13. Namun dosis yang digunakan masih kurang dari dosis yang
dianjurkan, yaitu 750 mg per oral atau IV per hari.

3.1.2. Efektivitas Obat


Metronidazol terutama digunakan untuk amubiasis, trikomoniasis dan infeksi
bakteri anaerob. Metronidazol efektif untuk amubaisis interstinal maupun ekstra
intestinal. Namun efeknya lebih jelas pada jaringan, sebab sebagian besar metronidazol
mengalami penyerapan di usus halus.12-15
Pada kasus ini terdapat indikasi dari penggunaan terapi dengan metronidazol dan
terbukti efektif. Ini dapat dilihat dari adanya perbaikan pada penderita.

8
3.1.3. Keamanan Terapi
Metronidazol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg, suspensi
125mg/5ml, tablet vagina 500 mg dan 1 gr, infus 500 mg/100ml. Dosis yang dianjurkan
adalah 750 mg peroral atau intravena (IV) tiga kali sehari, selama 5-10 hari.7
Efek samping yang hebat yang memerlukan penghentian pengobatan jarang ditemukan.
Efek samping yang sering terjadi yaitu sakit kepala, mual, mulut kering, rasa kecap
logam. Efek samping yang jarang ditemukan adalah muntah, diare, insomnia, kelemahan,
pusing, parestesia, spasme usus, rash, flushing. Metronidazol memiliki ’disulfiram-like
effect’ jika mengkonsumsi alkohol selama terapi.12-15
Dalam kasus ini tidak ditemukan efek samping dari metronidazol.
3.1.4. Terapi Ekonomis
Metronidazol tergolong dalam amubisid yang poten dengan harga yang
terjangkau, serta mudah diperoleh.

3.2. Parasetamol

3.2.1. Rasionalitas Pemilihan Obat Dalam Terapi


Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik dan
analgetik.12,13 Parasetamol diberikan oral dan diabsorpsi cepat dan sempurna melalui
saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu 30-60 menit (30
menit) dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
Dalam plasma, 25% parasetamol terikat dengan protein plasma dan dimetabolisme oleh
enzim mikrosom hati. Parasetamol dieksresi melalui ginjal.12,13
Dalam dosis biasa parasetamol hanya efektif sebagai analgetik dan anti piretik sebanding
dengan NSAID, tapi tidak memiliki efek anti inflamasi atau efek anti inflamasi yang
sangat lemah.12,13 Parasetamol mempunyai efek analgesik yaitu menghilangkan atau
mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Sebagai analgesik tempat kerja utama dari
paracetamol adalah menurunkan produksi prostaglandin pada jalur nyeri di susunan saraf
pusat seperti di hipotalamus. Sirkulasi pirogen menambah produksi prostaglandin di
hipotalamus, yang mana akan menekan respon neuron yang mengatur suhu tubuh.

9
Parasetamol menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek
sentral, panas yang diturunkan melalui penghambatan prostaglandin di hipotalamus.12,14
Dalam kasus ini parasetamol ditujukan untuk pengobatan simptomatis dengan
efek anti piretik maupun analgetiknya.

3.2.2. Efektivitas Obat


Untuk pengobatan simptomatis diberikan parasetamol sebagai antipiretik.
Parasetamol ini merupakan metabolit aktif fenasetin yang mempunyai kemampuan
analgetik dan antipiretik. Pemberian parasetamol pada penderita ini cukup efektif dimana
terjadi penurunan panas yang cepat.

3.2.3. Keamanan Terapi


Parasetamol tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan 650 mg, suspensi
120mg/5ml dan 250 mg/5 ml, drops 100mg/ml, rektal tube 125 mg/2,5ml dan 250
mg/4ml. Pada anak digunakan dosis 10-15 mg/kgbb/dosis. Pada orang dewasa
parasetamol diberikan peroral dengan dosis 500 mg – 1000 mg setiap 6 jam. 11,12 Setelah
pemberian dosis terapetik, penurunan demam terjadi dalam 30 menit, puncak dicapai
sekitar 3 jam dalam darah akan dapat rekuren 3-4 jam setelah pemberian. Parasetamol
berikatan dengan protein secara minimal sehingga dieliminasi dengan cepat. Karena itu
keracunan kronik akibat akumulasi tidak pernah terjadi.12
Efek iritasi, erosi dan perdarahan pada lambung tidak ditemukan. Reaksi alergi
pada parasetamol jarang terjadi. Manifestasinya dapat berupa eritema atau urtikaria. Efek
samping parasetamol yang ringan (dosis terapi) diantaranya mual, muntah, nyeri perut,
ruam dan penglihatan kabur. Pada dosis besar efek samping yang dapat terjadi berupa
pusing, eksitasi, disorientasi dan dapat menyebabkan toksisitas pada hati dan ginjal . Pada
keracunan parasetamol dapat berakibat fatal, kematian dapat terjadi akibat hepatotoksik
berat dengan nekrosis sentralobular, kadang disertai nekrosis akut tubus ginjal. Sebagai
analgesik parasetamol sebaiknya tidak diberikan terlalu lama karena dapat menimbukan
nefropati analgesik.11-14

3.2.4. Terapi Ekonomis

10
Parasetamol tergolong obat analgetik dan anti piretik yang efektif. Parasetamol
dijual bebas dengan harga yang relatif murah.

3.3. Ranitidin

3.3.1. Rasionalitas Pemilihan Obat Dalam Terapi


Ranitidin termasuk kelompok histamin, H2 reseptor antagonis. Ranitidin
menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2 akan
merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pemberian ranitidin akan menghambat
sekresi cairan lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan
lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen
menjadi pepsin juga menurun. Ranitidin diabsorpsi dari intestinal dengan cepat dan
hampir lengkap, melalui metabolisme lintas pertama di hati menghasilkan bioavailabilitas
sekitar 50%.12,14 Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang
pada orang tua dan pasien ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam, dan yang
tidak terikat protein plasma hanya15 %. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama
melalui ginjal, sisanya melalui tinja. 12
Penggunaan ranitidin pada penderita sini mungkin dimaksudkan sebagai terapi
tambahan dikarenakan pasien mual-mual dan sakit perut. Sebagai terapi tambahan
ranitidin tidak tepat, karena ranitidin tidak dindikasikan untuk mual-mual. Mungkin perlu
dipertimbangkan untuk penggunaan preparat anti emetik jika penderita muntah-muntah.
Untuk nyeri perutnya telah diberikan analgetik dalam hal ini adalah parasetamol.

3.3.2 Efektivitas Obat


Pada penderita ulkus peptikum, ranitidin efektif dalam menurunkan sekresi asam
dan pepsin. Penurunan sekresi asam mencapai 60%.12,14 Nyeri perut akan menghilang jika
nyeri perut tersebut disebabkan karena ulkus, karena dengan mengobati ulkusnya secara
tidak langsung nyeri yang disebabkan oleh ulkus juga diobati.

3.3.3. Keamanan Terapi

11
Ranitidin tersedia dalam bentuk tablet 150 mg dan 300 mg, larutan suntik 50
mg/2ml. Dosis yang dianjurkan 150 mg dua kali sehari untuk pemberian oral, sedangkan
untuk pemberian suntikan (IM/IV) dosis yag dianjurkan 50 mg tiap 6-8 jam.
Insidens efek samping dari obat ini kecil dan umumnya tidak berhubungan
dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
sakit kepala, malaise, pusing, mialgia, insomnia, pruritus, ruam kulit, gangguan
gastrointestinal seperti mual, diare, konstipasi.12,14
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan simetidin karena
ranitidin lebih kurang dalam menurunkan aktifitas enzim sitokrom P-450. Akir-akhir
dilaporkan adanya interaksi ranitidin dengan obat-obat antara lain nifedipin, warfarin,
teofilin dan metoprolol dimana ranitidin dapat meningkatkan level/efek dari obat-obat
tersebut, sedangkan dengan ketokonazole, itrakonazole dan delavirdine ranitidin dapat
menurunkan level/efek dari obat-obat tersebut.12
Pada penderita ini tidak ditemukan efek samping tersebut diatas.

12
BAB IV
PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang penderita laki-laki 46 tahun dengan diagnosis abses hati
ameba lobus kanan;
 Diagnosis ditegakkan berdasarkan anemnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium,
serologis, dan pemeriksaan penunjang lain.
 Penanganan dilakukan secara konservatif dengan pemberian metronidazol
 Pemilihan obat untuk terapi definitif pada kasus ini adalah rasional, tepat sesuai
dengan indikasi, karena metronidazol merupakan drug of choice pada pengobatan
amubiasis ekstraintestinal yang dalam kasus ini adalah abses hati amuba. Selain
itu meronidazol obat yang relatif murah dan mudah terjangkau.
 Pada terapi suportif yang diberikan yaitu parasetamol sebagai antipiretik dan
analgetik di sesuaikan dengan indikasi.
Parasetamol juga merupakan sediaan yang dijual bebas dan ekonomis.
 Penggunaan ranitidin pada kasus ini kurang tepat indikasinya

13
Pertanyaan dan jawaban pada saat presentasi:
1. Bagaimana interaksi ranitidin dengan nifedipin, warfarin, teofilin dan metoprolol?
Interaksi ranitidin dengan obat-obat tersebut adalah ranitidin dapat meningkatkan
level/efek dari obat-obat tersebut.
2. Kapan dilakukan aspirasi pada abses hati ameba:
Tindakan aspirasi pada abses hati ameba secara rutin tidak diindikasikan baik untuk
tindakan diagnostik ataupun teraupetik karena sampai saat ini belum terbukti bahwa
aspirasi pada abses hati ameba tanpa komplikasi akan mempersingkat penyembuhan.
Selain itu resiko dari tindakan aspirasi tersebut dapat mencetuskan infeksi sekunder
bahkan peritonitis.
Indikasi aspirasi yaitu:
 Abses yang besar dengan anaman ruptur (> 10 cm)
 Abses pada lobus kiri dengan bahaya ruptur ke perikardium
 Abses hati posterior yang menyebabkan obstruksi vena cava superior
 Gagal/respon pengobatan yang kurang dalam 3 – 4 hari
3. Pertimbangan apa sehingga pemberian metronidazole secara IV dan diganti
pemberian peroral?
Karena pada penderita ini terdapat keluhan mual dan muntah, sedangkan diketahui
bahwa metronidazole dapat menyebabkan efek samping mual dan muntah, terutama
rasa kecap ogam pada metronidazole dapat menyebabkan penderita muntah-muntah.
Pengobatan diganti ke oral dengan pertimbangan pada saat itu keadaan umum
penderita sudah membaik dan tidak mengeluh mual dan muntah lagi.
Terapi/obat lain yang dapat digunakan pada amebiasis hepar:
 Kloroquin; mempunyai daya amebisid terhadap tropozoit. Dosis: 4 x 250 mg
untuk 2 hari kemudian dilanjutkan 2 x 250 mg selama 2 minggu.
 Emetin; obat yang cukup lama dan sangat efektif untuk ameba, tapi sudah jarang
digunakan karena efek toksik pada jantung yaitu takikardia, hipoternsi dan nyeri
dada. Dosis: 1 mg/kgBB SC/IM (maksimal 60 mg) selama 8 – 10 hari.

14
15
DAFTAR PUSTAKA

1. Reed SL. Amebiasis and infection with free living amebas. In: Kasper DL, Fauci
AS, Longo DL et al (Ed). Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed, vol 1,
Mc Graw-Hill, New Yoork; 2005, 1214-18
2. Wells CD, Arquedas M. Amebic liver abscess. South Med J 2004; 97(7):673-82
3. Leder K, Weller PF. Extraintestinal Entamoeba histolytica amebiasis. In: Rose BD
(ed). Up to date CD-ROM, 13.1 edition 2005
4. Sherlock S. The liver infection. In: Sherlock S, Dooley J (Ed). Disease of the liver
and biliary. 11th ed, Blackwell Scientific Publications, London; 2002, 495-500
5. Hughes MA, Petri WA. Amebic liver Abscess. Infectious disease clinics of North
America 1992; 20: 565-80
6. Mathur S, Gehlot RS, Mohta A et al. Clinical profile of amoebic liver abscess.
JIACM 2002;3(4):467-73
7. Soewondo ES. Amebiasis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I et al (Ed). Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; 2006, 1810-14
8. Hague R, Huston CD, Hughes M et al. Amebiasis. N England J Med 2003; 348:
1565-73
9. Waleleng BJ, Wibisono M, Wibowo C. Gambaran klinis, laboratorium dan
radiologist abses hati ameba di RSUP Manado. Dibawakan pada KOPAPDI XII
Manado tanggal 7-9 Agustus 2003
10. De Cock KM, Reynolds TB. Amebic and pyogenic liver abscess. In: Schiff I, Schiff
ER. Disease of the liver, 7th ed, vol 2, J.B Lipincott Company Philadelphia 1995,
1320-33
11. Tierney LM, Mc Phee SJ, Papadakis MA (Ed). Current medical diagnosis and
treatment. 44th ed, Lange Medical Books/Mc Graw-Hill, New York, 2005: 72,
1417-22
12. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, Purwantyastuti, Nafrialdi (Ed).
Farmakologi dan terapi. 4th Ed, Bagian Farmakologi FKUI, Gaya Baru, Jakarta,
1995; 214-15; 256-58; 540-42
13. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology, 9 th ed, Lange Medical Books/Mc
Graw Hill, Boston, 2004; 595-96; 875-78
14. Waller DG, Renwick AG, Hillier K. Medical pharmacology and therapeutics. WB
Saunders, Edinburgh, 2004; 309-11, 338
15. Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. Katzung and trevor,s pharmacology
examination and board review, 6th ed, Lange Medical Books/Mc Graw-Hill, New
York, 2002; 462-63

16
METRONIDAZOL
Keamanan Terapi
Efek samping yang jarang ditemukan adalah muntah, diare, insomnia, kelemahan, pusing,
lidah berselaput, spasme usus, rash, disuria, sistitis, flushing, kencing kecoklatan, vertigo,
ataksia, parestesia pada ekstremitas urtikaria, flushing, pruritus, disuria, sistitis, rasa tekan
pada pelvik, rasa kering pada mulut, vagina dan vulva. Untuk pemberian lebih dari 7 hari
harus dilakukan pemeriksaan lekosit secara berkala, terutama pada penderita usia muda
dengan daya tahan ubuh yang randah. Neutropenia dapat terjadi selama pengobatan dan
akan kembalinormal setelah pengoobatan dihentikan. Obat ini tidak dianjurkan utuk
diberikan pada penderita dengan riwayat penyakit darah atau gangguan SSP12

Efek samping yang sering terjadi yaitu sakit kepala, mual, mulut kering, rasa kecap
logam Efek samping yang jarang ditemukan adalah, muntah, diare, insomnia,,kelemahan,
pusing, trush, rash, dysuria, dark urine, vertigo, parestesia pada ekstremitas, dan
neutropenia.13,14,15 Meminum obat dengan makanan mengurangi iritasi GI. Pankreatitis
dan severe CNS toxicity (ataksia, encephalopathy, kejang) jarang terjadi.
Metronidazol memiliki ’disulfiram-like effect’ seperti mual dan muntah dapat terjadi jika
mengkonsumsi alkohol selama terapi. Dosis harus disesuaikan pada penderita dengan
penyakit hati atau ginjal yang berat.13
Metronidazol dilaporkan mempunyai potensiasi efek antikoagulan dari antikoagulan tipe
kumarin. Toksisitas dari sediaan lithium dapat terjadi jika digunakan bersama
metronidazol.

DISULFIRAM
Obat ini digunakan dalam pengobatan pecandu alkohol dan dimaksudkan unutk
menimbulkan efek samping bila ia meminum etil alkohol. Disufiram mengganggu
metabolisme etil alkohol dan efek toksik yang ditimbulkannya disebabkan oleh
akumulasi asetaldehid. Karena disulfiram diekskresi dengan sangat lambat, efek seperti
itu dapat terjadi untuk sekurang-kurangnya 3 minggu setelah menelan obat terakhir.
Pembentukan asetaldehid mengakibatkan efek toksik terutama pada sistem
kardiovaskuler.

PARASETAMOL
Akibat dosis toksis yang paling serius adalah nekrosis hati. Nekrosis tubuli renalis
serta koma hipoglikemik dapat terjadi. Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian
dosis tunggal 10-15 gr (200-250 mg/kgBB) parasetamol. Gejala pada hari pertama
keracunan akut belum mencerminkn bahaya yang mengancam. Anoreksia , mual, muntah
serta sakit perut terjadi dalam 24 jam pertama dan dapat berlangsung selama 1 minggu
atau lebih. Gangguan hepar dapat terjadi pada hari kedua, dengan gejala peningkatan
aktivitas serum transaminase, laktat dehidrogenase, kadar bilirubin serum serta
pemanjangan masa protrombin. Aktivitas alkali fosfatase dan kadar albumin serum tetap
normal. Kerusakan hati dapat menyebabkan ensefalopati, koma dan kematian. Kerusakan
hati yang berat pulih dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. 12 Pada dosis 15 gr

17
dapat fatal, kematian dapat terjadi akibat hepatotoksik berat dengan nekrosis
sentralobular, kadang disertai nekrosis akut tubus ginjal. Gejala awal dari kerusakan hati
termasuk mual, muntah, diare dan nyeri perut. Data terakhir juga dinyatakan bahwa
parasetamol dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kerusakan ginjal tanpa disertai
kerusakan hati, dan kerusakan ini terjadi setelah penggunaan parasetamol dengan dosis
biasa.13 Hepatotoksis dapat terjadi pada dosis lebih dari 4 gr/hr dan pemberian kronik.
Pada usia lanjut dan penderita dengan penyakit hati parasetamol sebaiknya tidak
diberikan lebih dari 2 gr/hr. 11 Sebagai analgesik parasetamol sebaiknya tidak diberikan
terlalu lama karena dapat menimbukan nefropati analgesik. 12
Hambatan biosintesis prostaglandin (PG) hanya terjadi bila lingkungnnya rendah
kadar perioksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak
peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Hal ini yang menjelaskan mengapa efek anti
inflamasi parasetamol praktis tidak ada.
Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukoronat dan sebagian kecil
lainnya dengan asam sulfat. Obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi dan metabolit
hasil hidroksilasi dapat menimbulkan methemoglobulinemia dan hemolisis erittrosit.
Obat ini dieksresi melalui ginjal

RANITIDIN
Antagonis H2 reseptor yang lain, yaitu simetidin terikat pada sitokrom P-450
sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, sehingga obat lain akan
terakumulasi jika diberikan diberikan bersama. Obat-obat tersebut adalah warfarin,
fenitoin, kafein teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol, metoprolol,
dan imipramin. Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan
simetidin karena ranitidin lebih kurang dalam menurunkan aktifitas enzim sitokrom P-
450. Akhir-akhir ini makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin antara
lain nifedipin, warfarin, teofilin dan metoprolol. Ranitidin dapat menghambat asorpsi
diazepem dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Sehingga obat-obat ini
diberikan dengan selang waktu 1 jam. Penggunaan ranitidin dangan antasida atau
antikolnergik sebaiknya diberikan dengan selang waktu minimal 1 jan. Simetidin dan
ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga memperlambat bersihan obat
lain

Metronidazol
 Kerja: sidal
 Mekanisme: menghambat sintesis asam nukleat
 Kegunaan klinis: trikomonas, giardia, entamoeba histolytica
 Resistensi: perubahan aktivitas nitrogen reduktase (mempengaruhi anaerob yang
mereduksi nitrogen, membentuk intermediate reaktif)
 Efek samping: kelemahan, vertigo, parastesia, mual, diare, intoleransi etanol (like
disulfiram) rasa logam, mutagenik

18
 Farmakokinetik: PO/IV. Diabsorpsi baik, distribusi mencakup otak dan abses-
abses, metabolit aktif

Asetaminofen
 Mekanisme kerja: mekanisme kerja belum jelas, inhibitor lemah sntesis
prostaglandin, efek analgetik dan antipiretik sebanding dengan aspirin, efek
antiinflamasi jauh lebih lemah
 Indikasi: panas, nyeri ringan sampai sedang, untuk anak lebih disukai
dibandingkan aspirin karena kurang menyebabkan sindroma Reye
 Efek samping: tidak menyebabkan gangguan atau perdarahan GI, ruam, kadang-
kadang demam. Over dosis dapat menyebabkan nekrosis hati berat yang
menimbulkan koma dan kematian
 Farmakokinetik: PO/PR. Mudah diabsorpsi, ikatan protein plasma sedikit,
dimetabolisme dihati, kiekskresi di urin.
 Interaksi obat: pada dosis tinggi dapat memperkuat antikoagulan

Ranitidin
 Mekanisme kerja: antagonis reseptor H2
 Indikasi: ulkus lambung/duodenum, hipersekrsi lasam lambung, PRGE
 Efek samping: ditoleransi baik. Diare, ruam, sakit keepala, kebingungan,
somnolen. (libido menurun, impotensi, ginekomasti → simetidin) pada ranitidin
efek pada ss dan seksul lebih sedikit. Jarang diskrasia darah, hepatotoksisitas dan
toksisitas ginjal.
 Kontra indikasi (simetidin): pada usia lanjut (> 50 thn) dengan gagal ginjal atau
hati
 Farmakokinetik: PO/IV. Metabolisme lintas pertama tinggi, obat yang tidak
diubah dan metabolit diekskresikan dalam urin
 Interaksi obat : penghambatan enzim metabolisme P 450 lebih sedikit daripada
simetidin. Simetidin → meningkatkan konsentrasi banyak obat dalam serum
(antikoagulan oral, teofilin, lidokain, fenitoin, benzodiazepin, nifedipin,
propanolol) dengan menghambat enzim hati P450, dapat menghambat sekresi
prokainamid dalam tubus ginjal.

19

Anda mungkin juga menyukai