Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Islam adalah agama yang komprehensif (rahmatan lil‟alamin) yang mengatur
semua aspek kehidupan manusia yang telah di sampaikan oleh Rasulullah SAW.
Salah satu yang di atur adalah masalah aturan atau hukum, baik yang berlaku secara
individual maupun sosial, atau lebih tepatnya islam mengatur kehidupan
bermasyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial, yaitu Makhluk yang berkodrat hidup dalam
masyarakat. sebagai makhluk sosial, dalam hidup bermasyarakat manusia selalu
berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Pergaulan hidup tempat setiap orang melakukan perbuatan
dalam hubunganya dengan orang- orang lain disebut Muamalat.
Muamalah merupakan salah satu bagian dari hukum Islam yang mengatur
hubungan antara manusia dalam masyarakat berkenaan dengan kebendaan dan
kewajiban.3 Dalam mengadakan klasifikasi aspek- aspek hukum Islam, para fukaha
membatasi pembicaraan hukum muamalat dalam urusan keperdataan yang
menyangkut hubungan kebendaan. Dalam hukum muamalat dibicarakan pengertian
benda dan macam macamnya, hubungan manusia dengan benda yang menyangkut
hak milik, pencabutan hal milik perikatan- perikatan tertentu, seperti jual beli.
Secara etimologis jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al ba‟i
yang makna dasarnya menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Ulama madzhab Maliki, Syafi‟i dan Hanbali memberikan pengertian, jual
beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam pemindahan milik dan
pemilikan. Jual beli meiliki beberapa hal yang harus ada terlebih dahulu agar akadnya
diangap sah dan mengikat. Jumhur ulama menetapkan rukun jual beli itu ada 4 yaitu
orang yang berakad, atau al-muta‟aqidain (penjual dan pembeli). Sighat (ijab dan
qabul), barang yang dibeli ada nilai tukar pengganti barang.
Syarat syarat orang yang berakad yaitu akil- Baligh (Dewasa) bisa memilih baik
dan buruk, berakal sehat. Maka tidak sah transaksi jual beli yang dilakukan anak kecil
yang belum nalar, atau orang yang tidak cakap untuk bertindak seperti orang gila,
orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur) dan karena boros. Syarat yang
berkaitan dengan Sighat akad, yaitu ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis,
artinya penjual dan pembeli hadir dalam satu ruangan yang sama.
Syarat yang diperjualbelikan harus suci, bermanfaat, bisa diserah terimakan dan
merupakan milik penuh penjual. Maka tidak sah memperjualbelikan bangkai, darah,
babi dan barang lain yang menurut syara‟ tidak ada manfaatnya. Juga tidak sah
memperjualbelikan barang yang masih belum berada dalam kekuasaan penjual,
barang yang tidak mampu diserahkan dan barang yang berada di tangan seseorang
yang tidak memilikinya. Syarat nilai tukar pengganti barang adalah harga yang
disepakati kedua belah pihak. Dan harus jelas jumlahnya, boleh diserahkan pada saat
akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit,
apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-
munaqayadah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang di
haramkan oleh syara.
Setelah melihat syarat dan rukun jual beli di atas, penulis mencoba melihat
fenomena yang terjadi dalam praktik jual beli. Saat ini manusia telah di beri
kemudahan untuk menjalankan praktek jual beli, namun bukan berarti semua dapat
di laksanakan, semua punya batasan- batasan dan aturan yang harus di taati dalam
segala praktiknya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An- Nisa‟ ayat 29 :

‫اض ِّم ْن ُك ْم ۗ َواَل‬ َ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ أْ ُكلُ ْٓوا اَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل آِاَّل اَ ْن تَ ُك وْ نَ تِ َج‬
ٍ ‫ارةً ع َْن تَ َر‬
‫تَ ْقتُلُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِح ْي ًما‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu;
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa‟ ayat : 29).
Dari ayat di atas terlihat bahwasanya praktik jual beli merupakan hal yang
diperbolehkan, selama tidak melanggar ketentuan hukum yang beralaku. Seiring
dengan perkembangan zaman. Praktik jual beli kini semakin beraneka ragam. Demi
memenuhi kebutuhan hidup segala bentuk jual beli yang dahulu dianggap tabu kini
berubah menjadi trend. Binatang yang dahulu dianggap kurang bermanfaat,
sekarang mempunyai nilai yang tinggi, bahkan semakin dicari dan banyak diminati
oleh masyarakat, di antara binatang tersebut yaitu kucing. Memelihara kucing sudah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sebagian masyarakat. Bagi para
pecinta kucing muncul tanggung jawab untuk merawat dengan baik. Sementara ada
juga yang membudidaya kucing untuk di perjualbelikan.
Maka dalam pembahasan ini kami berencana akan menjelaskan praktek dan
hukum yang berkaitan dengan proses jual beli kucing peliharaan yang masih simpang
siur berita kehalalan dan juga keharamannya. Apakah kucing peliharaan itu boleh
dipelihara Dan apakah boleh juga untuk diperjual belikan? Berikut akan kami
jelaskan detailnya. Semoga makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi
penulis pribadi dan para pembacanya. Jika terdapat banyak kesalahan dari segi
konten (isi) atau penulisannya maka mohon di maafkan karena penulis hanyalah
manusia biasa yang takkan lepas dari pekerjaan luput dan dosa. Dan penulis
memohon untuk agar makalah ini untuk terus di kembangkan dan diperbaiki
semakin harinya oleh penulis-penulis lainnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Hukum jual beli dalam Islam
2. Jual beli kucing dalam Islam
3. Hukum jual beli kucing peliharaan

C. TUJUAN MASALAH
1. Mengetahui hukum jual beli dalam islam secara umum
2. Mengetahui hukum Jual beli kucing dalam Islam
3. Mengetahui bagaimana Hukum jual beli kucing peliharaan
BAB II
PEMBAHASAN

A. HUKUM JUAL BELI MENURUT ISLAM

Jual beli atau perdagangan dalam istilah fiqh disebut al-Ba’i yang menurut
etimologi berarti menjual atau mengganti. Wahbah al-Zuhaily mengartikan secara
bahasa dengan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata al-Ba’i dalam
Bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata al-Syira
(beli). Dengan demikian, kata al-Ba’i berarti jual, tetapi sekalius juga berarti beli.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli yang masing definisi
sama. Sayyid Sabiq mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan
harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat
dibenarkan. Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang
dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.
Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian),
sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan
dengan jual beli yang terlarang.
Menurut Ulama Hanafiyah jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain
melalui cara yang khusus. Yang dimaksud Ulama Hanafiyah dengan kata-kata
tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan
barang dan harga dari penjual dan pembeli Menurut Ibnu Qudamah jual beli adalah
saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.
Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar
menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu
perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di
antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain
menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’
dan disepakati. Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan
mengandunghal-hal antara lain:

a) Jual beli dilakukan oleh dua sisi yang saling melakukan tukar menukar.
b) Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi
seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
c) Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya
tidak sah untuk diperjualbelikan.
d) Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak
memiliki sesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan
jual beli dengan kepemilikan abadi.

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 275:

ۗ ‫َواَ َح َّل هّٰللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم الرِّ ٰب‬


‫وا‬
Artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Dari kandungan ayat Al-qur’an di atas, para Ulama fiqh mengatakan bahwa
hukum asal dari jual beli yaitu mubah (boleh). Akan tetapi, pada situasi-situasi
tertentu. Menurut Imam al-Syathibi (w. 790 h), pakar fiqh Maliki, hukumnya boleh
berubah menjadi wajib.Imam al-Syathibi memberi contoh ketika terjadi praktik
ihtikar (penimbunan barang sehingga stok hilang dari pasar dan harga melonjak
naik). Apabila seorang melakukan ihtikar dan mengakibatkan melonjaknya harga
barang yang ditimbun dan disimpan itu, maka menurutnya, pihak pemerintah boleh
memaksa pedagang untuk menjual barangnya itu sesuai dengan harga sebelum
terjadinya pelonjakan harga. Dalam hal ini menurutnya, pedagang itu wajib menjual
barangnya sesuai dengan ketentuan pemerintah. Hal ini sama prinsipnya dengan al-
Syathibi bahwa yang mubah itu apabila ditinggalkan secara total , maka hukumnya
boleh menjadi wajib. Apabila sekelompok pedagang besar melakukan boikot tidak
mau menjual beras lagi, pihak pemerintah boleh memaksa mereka untuk berdagang
beras dan pedagang ini wajib melaksanakannya. Demikian pula, pada kondisi-kondisi
lainnya.
Dilihat dari bentuknya jual beli ada tiga macam yaitu, pertama jua beli barang
yang dilihat oleh mata, kedua jual beli barang yang digambarkan di dalam jaminan.
Terakhir, jual beli barang yang ghaib.(Tak dapat dilihat oleh mata).
Untuk jual beli yang pertama, hukumnya boleh. Demikian juga jenis jual beli
yang kedua. Namun untuk jual beli dalam bentuk yang ketiga, hukumnya tidak boleh.

Rukun-Rukun dan Syarat-Syarat Jual Beli


Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu
dpat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat
perbedaan pendapat Ulama Hanafiyah dengan jumhur Ulama.
Rukun jual beli menurut Ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab qabul, ijab
adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan qabul adalah ungkapan menjual dari
penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan
(ridha) kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, karena
unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak
kelihatan, maka diperlukan indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah
pihak. Indikasi yang menunjukkan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan
transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar dalam ijab dan qabul, atau
melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.

Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab qabul).
3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.

Menurut Ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai
tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan
jumhur Ulama diatas sebagai berikut:
a) Syarat-Syarat Orang yang Berakad
Para Ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual
beli harus memenuhi syarat, yaitu :
1) Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal
yang sehat agar dapat melakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli
yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2) Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak
manapun.
3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang
tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus
sebagai pembeli.

b) Syarat-Syarat Terkait Ijab Qabul


1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual
beli tidak sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak
yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.

c) Syarat-Syarat Barang Yang Diperjual Belikan


Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjual belikan sebagai berikut :
1) Suci, dalam islam tidak sah melakukan transaksi jual beli barang najis, seperti
bangkai, babi, anjing, dan sebagainya.
2) Barang yang diperjual belikan merupakan milik sendiri atau diberi kuasa orang
lain yang memilikinya.
3) Barang yang diperjualbelikan ada manfaatnya. Contoh barang yang tidak
bermanfaat adalah lalat, nyamauk, dan sebagainya. Barangbarang seperti ini tidak
sah diperjualbelikan. Akan tetapi, jika dikemudian hari barang ini bermanfaat akibat
perkembangan tekhnologi atau yang lainnya, maka barang-barang itu sah
diperjualbelikan.
4) Barang yang diperjual belikan jelas dan dapat dikuasai.
5) Barang yang diperjualbelikan dapat diketahui kadarnya, jenisnya, sifat, dan
harganya.
6) Boleh diserahkan saat akad berlangsung.

C. Macam-macam jual beli


Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:

a. Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:


1) Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya
ada di hadapan penjual dan pembeli.
2) Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3) Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam
agama Islam.
b. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1) Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu
dapat diganti dengan isyarat
2) Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini
dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan
menurut syara’.
3) Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab
kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label
harganya. Menurut sebagian Ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah
rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi
membolehkannya.

c. Dinjau dari segi hukumnya yaitu jual beli dinyatakan sah atau tidak sah
bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di
atas. Dari sudut pandang ini, jumhur Ulama membaginya menjadi dua, yaitu:

1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.


2) Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan
rukunnya.

Sedangkan fuqaha atau Ulama Hanafiyah membedakan jual beli


menjadi tiga, yaitu:
1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2) Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini
tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a. Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di
dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b. Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
c. Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat
tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau
buku-buku bacaan porno.
e. Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram,
seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.

3) Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun
terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya, misalnya:
a) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika
berlangsungnya akad.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai
barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika
harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d) Jual beli barang rampasan atau curian.
e) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.
B. LARANGAN JUAL BELI KUCING
Bagi seorang muslim, pertimbangan utama dalam jual beli adalah halal
haramnya sesuatu serta dapat bermanfaat menurut islam, bukan pertimbangan
keuntungan yang menggiurkan, karena keuntungan yang banyak tidak akan berarti
apabila tidak mendapat ridho dari Allah SWT, dalam islam praktik jual beli anjing beli
kucing sudah dilarang dalam Islam sebagaimana terdapat dalam beberapa Hadist :

“Menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Al-Razy, dan menceritakan


kepada kami al- Rabi‟ bin Nafi‟ Abu Taubah dan „Ali bin Bahr, keduanya berkata :
menceritakan kepada kami Isa, dan Ibrahim berkata: al-A‟mash menceritakan
kepada kami, dari Abu sufyan, dari Jabir bin Abdullah berkata ; Sesungguhnya Nabi
SAW melarang dari hasil penjualan anjing dan kucing” (HR. Abu Dawud).

ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬


‫ب َوال ِّسنَّوْ ِر‬ َ ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan uang hasil penjualan
anjing dan sinnur. (HR. Abu Daud 3479, At Tirmidzi 1279, dan dishahihkan al-Albani).

Terdapat berbagai pandangan mengenai hukum menjual beli kucing, Pertama


pendapat bahawa kucing ini haram dijual-beli secara mutlak berdasarkan hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Abu Zubair pernah bertanya kepada sahabat
Jabir bin Abdullah Ra. :

ِ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬


َ ِ‫ َز َج َر ع َْن َذل‬: ‫ب َوال ِّسنَّوْ ِر فَقَال‬
‫ك َرسُو ُل‬ ُ ‫َسأ َ ْل‬
ِ ‫ت َجابِرًا َر‬
‫هَّللا ِ صلى هللا عليه وسلم‬
Artinya: "Aku bertanya kepada Jabi bin Abdullah tentang jual beli sinaur (kucing
liar) dan anjing. Lalu beliau menjawab: Nabi shallallhu a’alaih wa sallam melarang
itu." (HR. Muslim).

Tetapi, pendapat yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Al-Qayyim ini ditanggapi oleh
Imam al-Nawawi. Alasan yang dimiliki Imam al-Nawawi adalah :

Artinya : “Jawaban Abi al-Abbas bin Qash, Abi Sulaiman al-Khattaby dan Imam
Qaffaal dan Ulama lain: Al-Murad (Sebuah perkara yang dikehendaki dari hadits yang
telah diuraikan di atas) adalah kucing liar. Maka tidak sah jika menjualnya (kucing
liar), karena menjual kucing liar tersebut tidak mengandung kemanfaatan (menurut
Syara’).”

Karena sebagian kucing , sepertihalnya kucing liar merupakan binatang yang


cukup berbahaya dari segi kesehatan, karena binatang ini dapat menyebabkan
timbulnya penyakit zoonosis, yakni penyakit yang menular dari hewan ke manusia.
Penyakit ini disebabkan oleh berbagai agen infeksius seperti virus, bakteri, parasit
dan juga berbagai sumber penyakit menular lainnya.

Larangan menerima uang hasil Jual Beli Kucing

Rasulullah SAW pernah menyampaikan hadist larangan tentang mengambil atau


menerima uang hasil penjualan dari kucing :

‫ المراد الهرة الوحشية إذ ليس فيها‬:‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم نهى عن ثمن الهرة قال القفال‬
‫منفعة استئناس وال غيره‬

Artinya: Sesungguhnya Nabi SAW melarang uang (dari penjualan) kucing”. Al-
Qaffal berkata : "Yang dimaksud dalam hadist ini adalah kucing liar karena tidak ada
kemanfaatan di dalamnya baik bersifat sebagai penghibur atau lainnya".

Dalam hadis lain juga meriwayatkan tentang larangan menerima uang dari hasil
penjualan anjing serta kucing :

‫َّازيُّ ح و َح َّدثَنَا ال َّربِي ُع بْنُ نَافِ ٍع أَبُو تَوْ بَةَ َو َعلِ ُّي بْنُ بَحْ ٍر قَااَل َح َّدثَنَا‬
ِ ‫َح َّدثَنَا إِ ْب َرا ِهي ُم بْنُ ُمو َسى الر‬
‫ش ع َْن أَبِي ُس ْفيَانَ ع َْن َجابِ ِر‬ ِ ‫ال إِ ْب َرا ِهي ُم أَ ْخبَ َرنَا ع َْن اأْل َ ْع َم‬
َ َ‫ِعي َسى َوق‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم نَهَى ع َْن ثَ َم ِن ْال َك ْل‬
‫ب َوال ِّسنَّوْ ِر‬ َّ ِ‫ب ِْن َع ْب ِد هَّللا ِ أَ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa Ar-Razi. (dalam
jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami ArRabi' bin Nafi' Abu Taubah
dan Ali bin Bahr mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isa dan Ibrahim
telah mengabarkan kepada kami dari Al A'masy dari Abu Sufyan dari Jabir bin
Abdullah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melarang uang dari hasil penjualan
anjing serta kucing.”

Diterangkan pula dalam kitab Asnaa al-Mathaalib II/31 :

‫ي عن ثَ َم ِن ْال ِه َّر ِة كما في ُم ْسلِ ٍم ُمتَأ َ َّو ٌل أَيْ َمحْ ُمو ٌل على‬
ُ ‫َويَجُو ُز بَي ِْع ْال ِه َّر ِة اأْل َ ْهلِيَّ ِة َوالنَّ ْه‬
‫ض ِة َو ْال َم ْقصُو ُد‬
َ ْ‫َاس َواَل َغ ْي ُرهُ أو ْال َك َراهَةُ فيه لِلتَّ ْن ِزي ِه قال في ال َّرو‬
ِ ‫ْال َوحْ ِشيَّ ِة ْإذ ليس فيها َم ْنفَ َعةُ ا ْستِ ْئن‬
‫أَ َّن الناس يَتَ َسا َمحُونَ بِ ِه‬

Artinya: Dan boleh menjual belikan kucing rumahan. Sedang pelarangan


pengambilan uang hasil penjualan kucing dalam hadits Muslim dita’wil bahwa kucing
yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah kucing liar, karena tiada manfaat
sebagai penghibur dan lainnya didalamnya, atau kemakruhan tersebut tergolong
makruh tanzih. An-Nawaawy dalam kitab ar-Raudhah menjelaskan “Yang dimaksud
dalam hadits tersebut adalah semua orang".

Tapi sebagian ulama cenderung memakruhkan menjual belikannya, di antaranya


adalah Abu Hurairah, Mujahid, Thoowus, Jaabir Bin Zaid” Para pengikut as-Syafi’i
berargumentasi: “ia adalah binatang suci yang bermanfaat dan ditemukan di
dalamnya semua syarat jual beli dengan masa khiyar maka boleh menjualnya
sebagaimana keledai dan Bighal (peranakan keledai dan kuda).

Sinnur artinya kucing. As-Syaukani mengatakan:

‫ال أَبُوْ هُ َر ْي َرةَ َو ُم َجا ِه ُد َو َجابِ ُر َوابْنُ زَ ْي ٍد َح َكى َذلِكَ َع ْنهُ ْم‬
َ َ‫فِ ْي ِه َدلِ ْي ٌل َعلَى تَحْ ِري ِْم بَي ِْع ْال ِه ِّر َوبِ ِه ق‬
ِ ‫َب ال ُج ْمهُوْ ُر إِلَى َج َو‬
‫از بَي ِْع ِه‬ َ ‫س َو َذه‬ ٍ ‫طا ُو‬ َ ‫ي أَ ْيضًا ع َْن‬ ُ ‫ابْنُ ْال ُم ْن ِذ ِر َو َح َكاهُ اَ ْل ُم ْن ِذ ِر‬

“Dalam hadits ini terdapat dalil haramnya menjual kucing dan ini merupakan
pendapat Abu Hurairah, Mujahid, Jabir, dan Ibnu Zaid. Sebagaimana disebutkan oleh
Ibnul Mundzir. Kemudian al-Mundziri menyebutkan bahwa ini juga pendapat
Thawus. Sementara itu, mayoritas ulama berpendapat, boleh melakukan jual beli
kucing.”

Para ulama yang membolehkan jual beli kucing beralasan, bahwa hadits di atas
statusnya dhaif. Namun menilai hadits di atas dhaif adalah penilaian yang tidak bisa
diterima. Ketika membahas tentang hadits yang melarang jual beli kucing, An-
Nawawi mengatakan, “Apa yang dinyatakan Al-Khathabi dan Ibnul Mundzir bahwa
hadits di atas statusnya dha’if, adalah kesalahan. Karena hadits ini ada di shahih
Muslim dengan sanad yang shahih.” (Al-Majmu’, 9/230)

Al-Baihaqi mengatakan – sebagai bantahan untuk pendapat jumhur-, “Sebagian


ulama memahami bahwa larangan ini berlaku untuk kucing liar yang tidak bisa
ditangkap. Ada juga yang mengatakan bahwa larangan ini berlaku di awal islam
ketika kucing dinilai sebagai hewan najis. Kemudian setelah liur kucing dihukumi suci,
boleh diperjual belikan. Namun kedua pendapat ini sama sekali tidak memiliki dalil
pendukung.” (Sunan Al-Kubro, Al-Baihaqi, 6/11).
C. HUKUM JUAL BELI KUCING PELIHARAAN

Kucing dikenal sebagai hewan peliharaan yang manis dan lucu, sehingga banyak
orang yang berminat untuk memiliki kucing sebagai peliharaan di rumah. Bahkan
Abu Hurairah terkenal sebagai penyanyang kucing kelas Wahid, hingga disebut
bapaknya para kucing karena di sekelilingnya selalu ada kucing yang menemaninya.

Kucing merupakan jenis binatang karnivora yang mempunyai taring dan kuku
yang tajam, akhir akhir ini binatang ini banyak digemari oleh masyarakat untuk di
perjual belikan, dari yang hanya sekedar hoby hingga hanya iseng ingin memiliki
hewan peliharaan tersebut, entah nantinya bermanfaat atau tidak namanya sudah
hobby pasti apa saja di beli.

Kucing dizaman kini berbeda dengan kucing dizaman dulu. Kucing dizaman dulu
dianggap sebagai hewan yang biasa tetapi dizaman kini kucing mempunyai harga
yang luar biasa. Dari seekor kucing seseorang dapat membuka peluang bisnis seperti
Petshop, Hotel Kucing, Salon Kucing dan menjual alat-alat berkaitan dengan kucing.
Mereka yang mencintai dan merawat kucingnya sanggup mengeluarkan uang untuk
kucing kesayangannya. kisaranya beragam untuk jenis kucing persia yang biasa-biasa
saja, sekitar Rp 300.000 sampai Rp 800.000 rupiah, dan jenis kucing yang
diperjualbelikan kini sangat banyak dan beragam, yakni ada kucing persia, anggora,
himalaya, dan lainya, bahkan kucing yang terbiasa berkeliharaan di sekitar manusia
juga mempunyai nilai jual yang tinggi kalau dikawinakan dengan kucing jenis ras dan
wujud kucing- kucing tersebut bagus, lucu dan menarik hati.

Dikatakan pada abad ke-13, sebagai manifestasi penghargaan masyarakat Islam,


rupa kucing dijadikan sebagai ukiran cincin para Khalifah, termasuk porselen, patung
hingga mata uang. Di dunia sastera, para penyair membuat syair khusus buat kucing
peliharaannya yang telah berjasa melindungi buku-buku mereka dari gigitan tikus.

ٌ‫َوالَ يَ ِحلُّ بَ ْي ُع ْال ِهرِّ فَ َم ْن اُضْ طُ َّر إلَ ْي ِه ألَ َذى ْالفَأْ ِر فَ َوا ِجب‬
Artinya: "Tidak dihalalkan jual beli kucing, (tapi) barang siapa yang terdesak
karena gangguan tikus (di rumahnya) maka hukumnya menjadi wajib."
Sehingga walaupun madzhab ini mengharamkan, tapi keharamannya tidak mutlak.
Terdapat kondisi di mana jual beli kucing diperbolehkan, bahkan menjadi wajib
hukumnya.

Jadi hukum keharaman menjual belikan kucing dari beberapa hadist di atas ini
bisa berubah menjadi wajib jika memang ada penyebab tertentu, seperti keterangan
yang ada pada hadist tadi. contoh : jika memang kucing itu dibutuhkan untuk
menakut-nakuti tikus.

Setelah melihat kepada sejarah tadi, maka kucing sangat dekat dalam kehidupan
manusia. Cuma berbeza kucing pada waktu dulu dianggap sebagai haiwan jinak yang
bebas berkeliaran. Berbeda pada zaman kini yang menganggap kucing merupakan
haiwan domestik yang mempunyai harga. Bahkan pada sekitar abad ke-16 SM,
masyarakat Mesir kuno telah menjadikan Kucing sebagai hewan yang sangat dekat
dalam kehidupan mereka. Kucing dijadikan seperti keramat dan juga haiwan pujaan
yang dianggap perbuatan kriminal membunuhnya.

Dari beberapa hadist di atas, sebagian ulama berpendapat bahwasanya jual beli
kucing merupakan hal yang dilarang oleh Rasulullah SAW, namun seiring dengan
pekembangan zaman ulama ada yang membolehkan jual beli kucing seperti Ulama 4
madzhab, yakni madzhab Hanafi, Hanbali, Maliki dan Syafii‟i sepakat atas kebolehan
jual beli kucing karena hewan kucing dianggap tidak najis hingga tidak ada larangan
untuk memperjualbelikan pernyataan ini ditulis dalam kitab- kitab mereka.

Penjelasan Ketidak Najisan Kucing


Selain menggemaskan, kucing juga hewan mamalia yang tidak najis sehingga
banyak dijadikan hewan peliharaan. Rasulullah SAW pun menyukai kucing.
Menkopolhukam Minta Masyarakat Tak Terpengaruh Ajakan Melanggar Hukum
Dalam sebuah hadits disebutkan:

‫ك أَ َّن أَبَا قَتَ ا َدةَ َدخَ َل َعلَ ْيهَا ثُ َّم‬


ٍ ِ‫ب ب ِْن َمال‬ ِ ‫ت َك ْع‬ِ ‫ت ُعبَ ْي ِد ب ِْن ِرفَا َع ةَ ع َْن َكب َْش ةَ بِ ْن‬
ِ ‫ع َْن ُح َم ْي َدةَ بِ ْن‬
‫ت‬ ْ َ‫ص غَى لَهَا اإْل ِ نَ ا َء َحتَّى َش ِرب‬ ْ َ ‫ت ِم ْن هُ فَأ‬ ْ َ‫ت ِه َّرةٌ فَ َش ِرب‬ ُ ‫ت َكلِ َمةً َم ْعنَاهَا فَ َس َكب‬
ْ ‫ْت لَهُ َوضُو ًءا فَ َجا َء‬ ْ ‫َذ َك َر‬
‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ُ ‫ت َك ْب َشةُ فَ َرآنِي أَ ْنظُ ُر إِلَ ْي ِه فَقَا َل أَتَ ْع َجبِينَ يَا ا ْبنَةَ أَ ِخي فَقُ ْل‬
َ ‫ت نَ َع ْم قَا َل إِ َّن َرس‬ ْ َ‫قَال‬
ِ ‫س إِنَّ َما ِه َي ِم ْن الطَّ َّوافِينَ َعلَ ْي ُك ْم َوالطَّ َّوافَا‬
‫ت‬ ٍ ‫ت بِن ََج‬ ْ ‫َو َسلَّ َم قَا َل إِنَّهَا لَ ْي َس‬
Dari Humaidah binti Ubaid bin Rifa`ah dari Kabsyah binti Ka`ab bin Malik bahwa
Abu Qatadah masuk ke dalam-menemuinya -kemudian menyebutkan suatu kalimat
-yang maknanya- aku menuangkan air wudlu kepada beliau, lalu datang seekor
kucing yang meminum air wudlu tersebut. Beliau lalu menyodorkan bejana tadi
kepada kucing tersebut hingga kucing tersebut meminumnya. Kabsyah berkata, "Dia
melihatku sedang memperhatikannya, maka dia berkata, `Apakah kamu merasa
heran wahai anak perempuan saudaraku? ` Aku berkata, `Ya`. Dia berkata,
`Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, " Kucing itu tidak najis. Kucing itu
termasuk hewan yang ada di sekeliling kalian." (HR. Nasa`i) [ No. 68 Maktabatu Al
Ma`arif Riyadh] Shahih.

Hadits lain mengenai ketidaknajisan kucing yakni:

ُ ‫ض َي هَّللا‬ ِ ‫يس ٍة إِلَى عَائِ َش ةَ َر‬ َ ‫ار ع َْن أُ ِّم ِه أَ َّن َموْ اَل تَهَا أَرْ َس لَ ْتهَا بِهَ ِر‬
ِ ‫ار التَّ َّم‬
ٍ َ‫ح ْب ِن ِدين‬ َ ‫ع َْن دَا ُو َد ْب ِن‬
ِ ِ‫ص ال‬
‫ت ِم ْن‬ ْ َ‫ت أَ َكل‬
ْ َ‫ص َرف‬ ْ َ‫ت ِه َّرةٌ فَ أ َ َكل‬
َ ‫ت ِم ْنهَا فَلَ َّما ا ْن‬ ْ ‫ض ِعيهَا فَ َج ا َء‬ َ ‫ي أَ ْن‬
َّ َ‫ت إِل‬ َ ‫صلِّي فَأ َ َش‬
ْ ‫ار‬ َ ُ‫َع ْنهَا فَ َو َج َد ْتهَا ت‬
‫س إِنَّ َما ِه َي ِم ْن‬ ْ ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم قَ ا َل إِنَّهَا لَي َْس‬
ٍ ‫ت بِنَ َج‬ َ ِ ‫ت إِ َّن َر ُس و َل هَّللا‬ْ َ‫ت ْال ِه َّرةُ فَقَ ال‬ ْ َ‫ْث أَ َكل‬
ُ ‫َحي‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَت ََوضَّأ ُ بِفَضْ لِهَا‬
َ ِ ‫ْت َرسُو َل هَّللا‬ ُ ‫الطَّ َّوافِينَ َعلَ ْي ُك ْم َوقَ ْد َرأَي‬
Dari Dawud bin Shalih bin Dinar At Tammar dari Ibunya, bahwasanya tuan
wanitanya memerintahkan kepadanya untuk membawa kue (terbuat dari tepung
gandum) kepada Aisyah radliallahu `anha, namun dia mendapati Aisyah sedang
shalat, maka Aisyah memberikan isyarat kepadanya untuk meletakkan apa yang dia
bawa. Lalu seekor kucing datang dan langsung memakan sesuatu darinya. Setelah
Aisyah selesai shalat, dia memakan dari bagian yang dimakan oleh kucing tersebut
seraya berkata; Sesungguhnya Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya kucing tidaklah najis, ia di antara binatang yang selalu mengelilingi
kalian." Dan aku pernah melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berwudhu
dengan air sisa jilatan kucing. (HR. Abu Daud) [ No. 76 Baitul Afkar Ad Dauliah]
Shahih.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Keharaman Jual Beli kucing dalam perincian maknanya adalah ‫السنور‬
ialah kucing liar yangmana biasanya kucing liar itu tidak dapat diajari dan
tidak dapat diambil manfaatnya. Maka hukum jual belinya disini ialah tidak
diperbolehkan atau di haramkan sama seperti Anjing.
Sementara untuk ‫ القط‬/ ‫( الهرة‬kucing jinak) berbeda hukumnya dengan
‫( السنور‬Kucing Liar), kucing jinak diberikan pengecualian oleh Rasulullah SAW
bahwasanya ia adalah ‫ الطوفون‬atau kucing yang sering berada disekeliling kita
dan boleh untuk merawat dan bahkan bisa menjadi wajib memilikinya jika
kucing tersebut memang bisa digunakan untuk membantu mengurus
pekerjaan kita dalam beberapa keadaan.
Artinya bahwa walaupun ‫ القط‬/ ‫ الهرة‬itu Najis, bertaring, bercakar dan
tidak bisa kita makan. Tapi air liur kucing itu suci (tidak najis) maka
memeliharanya pun diperbolehkan dan disepakati oleh golongan 4 mazhab
(Hanafi, Hambali, Maliki dan Syafi'i).
Sedangkan untuk mengambil suatu upah / biaya dari hasil Jual beli
kucing tersebut dihukumi Makruh, yaitu lebih diutamakan untuk tidak
mengambil upah/ biayanya.

3.2 SARAN
Maka hendaknya kita berhati-hati dalam membedakan makna suatu
lafadz antara ‫ السنور‬dengan ‫ القط‬/ ‫ الهرة‬agar kita dapat membedakan pula kucing
mana yang diperbolehkan untuk dijual belikan seperti ‫ القط‬/ ‫ الهرة‬dan yangmana
yang diharamkan jual belinya seperti ‫ السنور‬.

Anda mungkin juga menyukai