Anda di halaman 1dari 51

BAB IV

PENAFSIRAN HAMKA TENTANG AYAT-AYAT ZĪNAH ,

PESAN-PESAN YANG TERKANDUNG DAN RELEVANSI

KONTEKS KEKINIAN.

A. Pengertian Zīnah Menurut Hamka

1. Perhiasan Secara Umum dan Jenis Perhiasan

a. QS. al-A’raf : 31

‫ُوا َواَل تُ ۡس ِرفُ ٓو ۚ ْا إِنَّ ۥهُ اَل‬ ۡ ‫وا َو‬


ْ ‫ٱش َرب‬ ْ ُ‫وا ِزينَتَ ُكمۡ ِعن َد ُك ِّل َم ۡس ِج ٖد َو ُكل‬
ْ ‫۞ ٰيَبَنِ ٓي َءا َد َم ُخ ُذ‬

٣١ َ‫يُ ِحبُّ ۡٱل ُم ۡس ِرفِين‬

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap


(memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS.al-A’raf ayat
31).1

Dalam penafsiran Hamka, ayat ini membahas tentang perintah

berhias bagi perempuan dan juga laki-laki dalam rangka menunaikan

shalat, baik shalat wajib terlebih shalat jum’at. Perhiasan yang

dimaksud di sini, yaitu pakaian. karena berdasarkan asbāb al-nuzūl

yang ada menjelaskan perintah memakai pakaian saat thawaf, yang

mana dilakukan orang jahiliyah pada saat itu dalam keadaan telanjang2.

1
QS.al-A’raf ayat 31.
2
Al-Suyuthi, Lubāb al-Nuqūl fi Asbāb al-Nuzūl (Beirut: Mu’assasaah al-Kitab 2002),
hlm. 119.

44
45

“Wahai anak-anak Adam! pakailah perhiasan kamu pada


tiap-tiap masjid” (pangkal ayat 31). artinya kalau kita
hendak bersujud sembahyang, karena arti asal dari masjid
ialah tempat sujud, hendaklah kita memakai perhiasan
artinya hendaklah memakai pakaian yang pantas dan
terasa oleh hati kita sendiri bahwa begitulah yang pantas.
Sebab turun ayat ini ialah karena orang jahiliyah masuk
Masjid Haram dan thawaf dengan bertelanjang, Dalam
ayat ini sudah dijelaskan bahwasanya bukan saja masuk
kedalam masjidil Haram, bahkan masuk kedalam segala
masjid hendaklah berhias baik-baik, hendaklah pelihara
masjid itu, karena dia tempat menyembah Allah dan para
jama’ah, kalau kita perdalam lagi pengertian masjid, yaitu
tempat bersujud sembahyang kepada Allah, walaupun
dalam rumah sendiri, sebaiknya sediakan tempat yang
khusus untuk sembahyang.3

Pakaian menjadi pembahasan khusus dalam ayat ini karena

pakaian berkaitan erat dengan perintah menutup aurat. Aurat

merupakan suatu yang mengundang syahwat, oleh karenanya perlu

ditutup dalam rangka menjaga dari fitnah. Istilah pakaian ini secara

makna harfiahnya sesuatu yang menutup kulit baik baju, sarung, celana

bahkan cincin juga termasuk pakaian, meski dalam arti harfiah begitu

singkat tapi yang dimaksud dalam ayat di atas adalah pakaian yang

menutupi aurat seperti jilbab yang harus diulurkan. Lain halnya jilbab

merupakan perhiasan dari jenis pakaian yang multifungsi bahkan

dikatakan oleh Quraish Shihab bahwa fungsi jilbab, selain menutup

aurat juga untuk menjaga kehormatan dan yang tidak kalah penting

sebagai atribut seorang muslimah yang harus diperhatikan.4

3
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX (Surabaya: Pustaka Islam Masa, 1982), hlm. 248.

4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2003), Vol 11, hlm. 321.
46

Ilmu fiqih telah memberi keterangan tentang batas-batas


aurat, ada Hadist yang mengatakan bahwa yang aurat atau
yang wajib ditutup ketika melakukan sembahyang ialah
yang di antara pusat dan lutut itulah yang aurat, ada pula
hadis yang mengatakan bahwa yang aurod adalah
sauaata>ni artinya dua kemaluan: qubul dan dubur
pelepasan muka dan belakang, yang di sebut juga
sabi>laini ,artinya dua jalan. Kalau kita hanya berpegang
kepada dua hadis itu saja, dan telah di beri ketentuan nya
oleh ilmu fiqih niscaya sah juga lah sembahyang kita, kalo
kita terpaksa karena tidak ada kain, karena miskin dan
hanya sekedar memakai celana kolor yang menutup di
antara pusar dan lutut atau sekedar kemaluan itu saja. Tapi
di dalam ayat ini kita sudah di suruh berhias kalo sudah
hendak bersembahyang. Lantaran itu berusahalah kita agar
walau kita sembahyang janganlah hanya menutup dua
kemaluan saja atau hanya menutup antara pusar dan lutut
saja. untuk sembahyang sendiri, tetapi kalau pergi
berjamaah setiap waktu apatah lagi sudah pergi kejumat
kalo pakaian kita hanya sekedar menutup dua kelamin kita
tidak wajib berjamaah dan berjumat lagi, pakai pakaian
yang pantas yang berhias sekedar kemampuan kita.
Kesimpulan nya sah sembahyang hanya tertutup aurod
kalo di atas ketiadaan atau terpaksa dan berusaha lah
menghiasi diri.5

Adapun makna yang lebih luas diterangkan oleh Hamka dalam

kitabnya, perhiasan sangatlah banyak maknanya jika dikaitkan dengan

shalat, diperintahkannya berhias dalam shalat berarti berhias baik

dengan pakaian yang layak, baik, dan sopan, serta menutup aurat serta

melengkapinya dengan atribut sunah lainnya seperti berpenampilan

rapi, wangi, dan mejaga kebersihan diri. Pada ayat di atas mempertegas

adanya jenis zīnah fisik atau zīnah yang bersifat melengkapi fisik.

Dalam istilah lain disebut dengan zīnah dhahiriyah atau kharijiah

seperti yang dikatakan oleh ulama’ tafsir sekaligus fikih imam al-

Qurthubi berkata perhiasan ada dua tipe yaitu perhiasan yang bawaan
5
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IX..... hlm. 249.
47

dan perhiasan yang bersifat usaha memperolehnya. Perhiasaan bawaan

seperti wajah. Wajah merupakan inti perhiasan dan keindahan bentuk

yang memberikan kesegaran. Sedangkan perhiasan tipe kedua yaitu

perhiasan yang diupayakan dalam memperolehnya dan memilikinya

seperti pakaian, perhiasan, emas, perak, dan pewarna.

“Aturan berhias sembahyang itu telah di tentukan oleh


Rasulullah. Hadis yang diriwayatkan oleh ibnu Aidi dan
abu syaih dan ibnu mardawih dari abu hurairah berkata:
Artinya: pakailah perhiasan sembahyang “maka bertanya
lah mereka apakah perhiasan sembahyang beliau bersabda:
‘’ pakailah sandal dan sembahyanglah dengan membawa
sandal. Na’al artinya segala alas kaki terompah sepatu,
meski dinegara kita ini sembahyang tidak terbiasa
memakai sepatu sandal tapi hadits ini menambah
pengetahuan bahwa misalnya ketika bersembahyang hari
raya di tanah lapang orang tidak perlu membuka
sepatunya, malahan Rasulullah menyuruh memakainya
terus untuk perhiasan sembahyang menghadap Allah dan
segala keterangan ini telah nampak oleh kita apa maksud
berhias sembahyang itu. Yaitu menurut kemampuan kita
kalau ada kain satu apa boleh buat, kita berhias dengan
yang satu titik, kalau kita mempunyai kain dua tiga ada
sarung ada baju ada kemeja walaupun hanya sembahyang
sendiri di dalam kamar jangan hanya dengan sehelai kain.
Alangkah baiknya di atas kemeja itu berbaju pula tapi kalo
kita miskin apa boleh buat dengan sehelai celana sajapun
jadi”.6

Menerapkan praktik berhias bagi seorang mukmin sudah dilatih

dengan adanya ritual menyambut shalat Jum’at yaitu dengan

disunahkan mandi, sampai dalam suatu pendapat ulama’ disunahkannya

bersetubuh di malam Jumat merupakan sarana untuk memperkuat

keinginan mandi di hari Jumat. Begitu pula dengan berwangi-wangian

hendak melaksanakan shalat Jum’at sangat disunahkan karena wangi-

6
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX..... hlm. 250.
48

wangian bagian dari perhiasan yang membuat seseorang tampak bersih

dan wangi, sebaliknya yang berbau busuk seperti makan makanan yang

berbau menyengat seperti pete, jengkol dan lain sebagainya untuk

menghindari penampilan seorang yang menganggu kenyaman orang

lain.

“Besar sekali kesannya berhias atau berhias masuk masjid


itu merupakan cara hidup orang muslim, apalagi pada hari
jum’at dianjurkan berwangi-wangi berharum-haruman
berhias, sampai sangat dianjurkan mandi sebelum shalat
jumat. Sehingga kalau ada orang malas mandi namun
jumat, hendaklah dia mandi. Imam al-Ghazali
menganjurkan suami istri bersetubuh malam jumat supaya
terkumpul wajib mandi junub dengan amanat mandi jumat
dan makruh memakan makanan busuk yang akan
menganggu penciuman orang dalam shaf shalat. Didalam
hadits dimakruhkan memakan bawang berbau ketika akan
berjumat apatah lagi pete dan jengkol di negara kita.
Sebab itu dalam kehidupan modern kita apabila kantor
telah ditutup pulanglah dahulu untuk mandi dan memakai
pakaian yang bersih baru kejumatan.”7

Beberapa mufassir berpendapat tentang makna zīnah dalam ayat

di atas antara lain menurut al-Qurthubi dalam kitabnya yang dimaksud

dengan zīnah.

Perhiasan dalam ayat ini menurut al-Qurthubi ada tiga poin yaitu

menutup aurat, memakai pakaian yang indah dan terakhir memperindah

gerakan shalat dengan mengangkat tangan saat hendak rukuk, bangun

dari rukuk.

“perhiasan dalam ayat ini berkaitan dengan hadits thawaf


dalam keadaan telanjang, kemudian diperintahkan
memakai pakaian yang menutupi aurat, selain itu
diperintahkan berpakaian yang memperindah seperti rida’
7
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX..... hlm. 355.
49

dan juga sandal yang dipergunakan untuk berangkat


ketempat ibadah. Lebih luas lagi yang dimaksud perhiasan
perhiasan shalat yaitu sesuai dengan riwayat sahabat
Annas bin Malik dengan memakai sandal, selain itu
perhiasan dalam shalat yaitu, mengangkat tangan saat
hendak rukuk dan bangun dari rukuk. 8

Berbeda dengan Quraish Syihab dalam menafsirkan ayat ini:

Pakaian merupakan unsur terpenting dalam perhiasan shalat,

terutama dalam hal menutup aurat dan suci dari najis. Dalam al-Qur’an

dikatakan bahwa nabi diperintah terus menerus untuk memotivasi

kebersihan dalam arti memperhatikan kesucian pakaian dan badan

karena diterimanya ibadah sebab bersihnya sarana dan prasarana dalam

shalat.

“Perhiasan dalam shalat dengan berpakaian yang menutup


aurat dan memandang arti penting suatu kebersihan dan
suci, memang salah satu unsur mutlak keindahan adalah
kebersihan.”9

Lain halnya dengan pengertian zīnah dalam shalat menutut al-Razi

dalam ayat tersebut adalah:

Menurut al-Razi zīnah dalam shalat berkaitan dengan penerapan

pakaian yang menutup aurat saja, tidak berkaitan dengan urusan lain,

karena ini berkaitan dengan asaba>b al-nuzul, yang menunjukan bahwa

perhiasan yang dimaksud adalah pakaian.

“pakaian saja bukan yang lain karena perintah tersebut


berbentuk amar yang mana bermakna wajib. Sedangkan

8
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz 9 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1427),
hlm. 195.
9
M. Quraish Shihab, al-Misbah, Juz 7 (Bandung: Mizan. 1997), hlm. 75.
50

kewajiban di dalam ayat tersebut adalah memakai pakaian


yang menutupi aurat.”10

Dari ketiga penafsiran di atas, jelas sudah makna perhiasan

dalam shalat persamaan ketiga tafsir di atas dengan pandangan Hamka

bahwa, hakikat dari fungsi zīnah dalam shalat secara garis besar

memperindah seseorang, memperelok penampilan, dengan perhiasan

yang bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan perilaku manusia

yaitu berpakaian yang menutup aurat. Adapun perbedaan dari ketiganya

bahwa Hamka sangat mirip dengan dengan penafsiran Qurthubi dalam

persoalan zīnah ini, berpandangan bahwa perintah memakai perhiasan

shalat lebih dari sekedar menutup aurat tapi juga secara tegas

memperindah penampilan yang sunah seperti bersorban dan memakai

sandal. Dan Hamka menambahkan konteks ke Indonesiaan yaitu

apabila shalat di lapangan bepakaian sepatu, disunahkan memakainya

dan tidak melepasnya dalam shalat karena sebagai wujud memenuhi

perintah memakai perhiasan dalam shalat.

b. QS. al-A’raf : 32

ِ ۚ ‫ت ِمنَ ٱل ر ِّۡز‬
َ‫ق قُ ۡل ِه َي لِلَّ ِذين‬ ِ َ‫قُ ۡل َم ۡن حَ َّر َم ِزينَةَ ٱهَّلل ِ ٱلَّتِ ٓي أَ ۡخ َر َج لِ ِعبَا ِد ِهۦ َوٱلطَّيِّ ٰب‬
٣٢ َ‫ت لِقَ ۡو ٖم يَ ۡعلَ ُمون‬ ِّ َ‫ص ٗة يَ ۡو َم ۡٱلقِ ٰيَ َم ۗ ِة َك ٰ َذلِكَ نُف‬
ِ َ‫ص ُل ٱأۡل ٓ ٰي‬ َ ِ‫وا فِي ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَا خَ ال‬
ْ ُ‫َءا َمن‬

“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan


dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-
hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezeki yang baik?" Katakanlah:"Semuanya itu (disediakan)
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia.
(QS. al-A’raf ayat 32).11
10
Farhruddin al-Razi, al-Kabir, Juz 14 (Beirut: Dar al-Fikr, 1401), hlm. 65.
11
QS. al-A’raf ayat 32.
51

Posisi perhiasan bagi orang mukmin dalam ayat ini dibahas,

bahwa seorang mukmin dipersilahkan mengambil bagian perhiasan

yang hendak dimilikinya, karena Islam mengajarkan untuk

berpenampilan indah dengan memakai perhiasan. Tidak seperti agama-

agama lain yang berpandangan tentang level tertinggi suatu keimanan

seseorang terletak pada melepaskan seluruh duniawi tanpa

mengambilnya sedikitpun. Paham inilah yang meniadakan sikap

berhiasan memperindah diri dengan sesuatu yang Allah telah ciptakan

semestinya. Seperti dalam hadits dikatakan bahwa “Allah itu indah dan

menyukai keindahan”.12

“Apa sebab timbul kata sanggahan dalam ayat karena


memang sebagaimana ditemukan orang-orang sangat
berlebihan yang amat tidak disukai oleh Allah ada pula
orang yang meninggalkan perhiasan, sana sini
sebagaimana orang yang thawaf itu mereka menyangka
kalau kita hendak beragama yang khusyuk hendaknya kita
tinggal segala perhiasan. Kita lihat bekas pendirian yang
demikian itu pada pemeluk agama hindu atau kadang-
kadang hanya memakai jubah penutup aurat dan bagian
badan lain terbuka. Konon dalam agama kristen zaman
dahulu pada pendeta-pendeta yang benci mandi benci
memotong kuku, memotong jenggot dan terdapat pula
dalam kalangan kaum sufi yang sampai puasa terus
menerus memakai pakaian sekedar menutup aurat saja,
yaitu pakaian shuf yang terdiri dari bulu. Hal serupa ini
timbul sendirinya dalam semua agama karena ada
pemahaman bahwa jiwa ini hendaklah dibebaskan dari
pengaruh benda, apalagi dalam agama hindu dan budha
dikatakan bahwa hidup ini adalah sensara belaka untuk
mencapai derajat nirwana hendaklah orang menyiksa
jasmani. Kata sanggahan yang ada dalam ayat ini
menjelaskan bahwa jalan yang benar adalah al-Wasth atau
12
Hadits Al-Turmidzi, al Jāmi’ al-Mukhtashar min Sunnah (Riyad: Dar al-Ma’rifah,
1423), hlm. 453.
52

jalan tengah jangan boros dan jangan menolak berhias atau


al-iqtishaf artinya sederhana diantara berlebih-lebihan dan
sangat kekurangan sampai teraniaya”13

Jelas sudah bahwasanya orang mukmin mendapat bagian dunia

namun tidak diperkenankan berlebihan dan betah di dalamnya. Kata

zīnah dalam ayat ini bermakna zīnah kharijiah (zīnah yang berada

diluar fisik) diperkenankan untuk memakainya dan memilikinya,

namun dalam hal ini Islam membatasinya dengan batasan yang pasti,

yaitu tidak boleh berlebihan.

“Perhiasan mencakup seluruh perhiasan termasuk di


antaranya membersihkan badan kendaraan yang baik
perhiasan kaum perempuan dan termasuk pula lingkungan
yang baik dan sesuatu yang enak rasa nya dan
menimbulkan selera makan dan minuman. bahkan nabi
Muhammad SAW menolak paham Utsman bin Maksun
yang pernah ingin memotong alat fitalnya dan hidup
sebagai orang pendeta maka datanglah sambungan ayat
“katakanlah dia adalah untuk orang orang yang beriman
didalam hidup di dunia dan kiamat. Artinya bahwa orang
orang yang berimanpun mendapat bagian dalam perhiasan
dan di akhir kelak hanya mereka yang diberi karunia
khusus mendapatkan itu dan orang kafir tidak
mendapatkannya.”14

Para mufassir juga berpendapat tentang zīnah dalam ayat ini,

seperti Ibnu Katsir berpendapat bahwa:

“zīnah dalam ayat ini bersifat umum baik sandang, pangan


boleh dimanfaatkan atau dipergunakan untuk kepentingan
keberlangsungan hidup manusia, yang mana sebelumnya
ada pendapat-pendapat orang yang rusak pola pikirnya
tidak boleh menggunakannya.”15
13
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid IX.....hlm. 356.
14
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid XI..... hlm. 358.
15
Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm, Juz 2 (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1420H), hlm.
753.
53

Menurut Zamahsyari dalam kitab al-Kasyaf makna zīnah dalam

ayat tersebut adalah:

“pakaian dan segala sesuatunya yang bersifat


memperindah penampilan adalah perhiasan, selain itu
segala sesuatu yang terasa nikmat seperti makanan dan
minuman.”16

Sedangkan menurut al-Razi makna zīnah ada dua.

“zīnah dalam ayat ini ada dua pertama bermakna pakaian


karena sesuai dengan ayat sebelumnya. kedua zīnah
mencakup segala hal baik berupa keindahan dan termasuk
diantaranya bersihnya badan dari segala kotoran,
kendaraan, perhiasan emas, perak, rizki yang baik, dan
segala sesuatu yang lezat baik berupa makanan ataupun
minuman.”17

Dari ketiga penafsiran di atas memperjelas makna perhiasan

dalam surat al-A’raf ayat 32. Ketiga tafsir di atas membahas ruang

lingkup zīnah dalam ayat tersebut meliputi hal yang menjadi kebutuhan

seseorang baik sandang, pangan, kenikmatan dalam menjalani

kehidupan seperti rizki yang melimpah baik berupa kendaraan, harta

dan lain sebagainya. Ruang lingkup ketiganya sama dengan penafsiran

Hamka, yang berbeda dari Hamka memandang, perlu adanya batasan

perhiasan itu dipakai, asumsi beliau berangkat dari keadaan sosial

kemasyarakatan yang dihadapi oleh Hamka dihalalkan memakai

perhiasan pakaian pada saat itu muncul mode pakaian yang bermacam-

macam yang mengancam nilai etika anak bangsa dengan mengumbar

16
Zamahsyari, al-Kasyaf, Juz 2 ( Beirut; Dar al-Ma’rifah, 1430), hlm. 362.
17
Farhruddin al-Razi, Tafsīr al-Kabīr, Juz 2 ( Beirut: Dar al-Fikr, 1401), hlm. 65.
54

aurat. Keadaan ini yang kemudian membuat beliau memberi batasan-

batasan perhiasan yang digunakan umat Islam khususnya Indonesia.

c. QS. Yunus : 88

‫َوقَا َل ُمو َس ٰى َربَّنَٓا إِنَّكَ َءات َۡيتَ فِ ۡرع َۡونَ َو َمأَل َهۥُ ِزين َٗة َوأَمۡ ٰ َواٗل فِي ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَا َربَّنَا‬
ْ ُ‫ٱش د ُۡد َعلَ ٰى قُلُ وبِ ِهمۡ فَاَل ي ُۡؤ ِمن‬
‫وا‬ ۡ ‫س َعلَ ٰ ٓى أَمۡ ٰ َولِ ِهمۡ َو‬ ۡ ‫ك َربَّنَا‬
ۡ ‫ٱط ِم‬ َ ۖ ِ‫وا عَن َس بِيل‬ ْ ُّ‫ُض ل‬
ِ ‫لِي‬
َ ‫َحتَّ ٰى يَ َر ُو ْا ۡٱل َع َذ‬
٨٨ ‫اب ٱأۡل َلِي َم‬

“Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau


telah memberi kepada Fir´aun dan pemuka-pemuka
kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan
dunia, ya Tuhan Kami akibatnya mereka menyesatkan
(manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami,
binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati
mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka
melihat siksaan yang pedih" ( QS. Yunus ayat 88).18

Ayat ini menunjukan perhiasan yang begitu banyak dimiliki

Fir’aun dan bala tentaranya berupa emas, perak, permata dan lain

sebagainya. Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan arti zīnah dalam ayat ini adalah harta benda yang berjumlah

banyak sehingga memiliki harta sebanyak itu termasuk dalam kategori

kemewahan dunia yang perlu dihindari dalam agama Islam.

“Ahli-ahli purbakala yang husus menyelelidiki Mesir itu,


yang telah berdiri sejak Napoleon memasuki negeri itu,
pada permulaan abad ke 19, Yang dinamai ilmu
Egyptologie (ilmu kemesiran) menggali bekas-bekas
purbakala, didapati kuburan batu tutankhmen di dalam
sebuah keranda emas berlapis tujuh dan didapatlah
singgahsana dari emas, barang-barang perhiasan dari batu
permata yang mahal, tidak terhingga. Di sana-sini teruslah
bertemu barang-barang itu, banyak di antaranya yang
dibawa orang ke eropa lalu dijadikan perhiasan musium di
negri-negeri barat itu.Tentu saja disamping raja-raja
permaisuri, penyokong-penyokong istana, menteri-mentri,
18
QS. Yunus ayat 88.
55

orang besar-besar, kepala-kepala perang, pendeta,


semuanya lengkap dengan perhiasan dan harta benda.19

Kemudian dalam surat ini juga dikatakan bahwa harta benda

tidaklah baik, jika berlebihan dalam mengumpulkannya. Karena selama

seseorang memiliki harta yang melimpah digenggaman tangannya,

maka dia memiliki kesempatan untuk melakukan banyak hal dengan

segala cara, terlebih lagi manusia bisa dikendalikan dengan uang dan

harta benda. Ayat ini membahas orang yang berlebihan dalam

menyikapi perhiasan dan menjadikannya sebagai tradisi yang harus

dipegang oleh pengikutnya dengan berlimpahnya harta benda dan juga

kemewahan dalam gaya hidup dan prilaku kesehariannya, pada

waktunya nanti akan menjadi sesuatu yang membahayakan bagi

pelakunya. Zīnah kharijiah yang berupa harta benda, kekayaan ini

sangat perlu diwaspadai keberadaannya meski diperbolehkan

memilikinya, namun bisa membinasakan pemiliknya.

“Penilaian terhadap seseorang, ditentukan oleh harta


benda dan perhiasannya. Musa sendiri semasa hidup
dalam istana, menuruti hidup yang mewah itu. tetapi
setelah dia datang kembali ke Mesir, sebagai seorang
Rasul Allah, dia telah melempar jauh kemewahan itu. Dia
datang membawa kebesaran jiwa, keteguhan hati dan
keberanian dalam memepertahankan kebenaran, dia
datang menemui Firaun di istana dengan berpakaian yang
sederhana, sebagai layaknya seorang Rasulallah.
Dilukiskan dalam al-Qur’an suarat ke 43 al-zuhruf, bahwa
Fira’un mengomel, mengapa Musa datang hanya
berpakaian biasa tidak menuruti protokol dan adat istiadat.
”Mengapa dia datang tidak memakai perhiasan dan
gelang-gelang yang memilit ditangan yang terbuat dari
emas dan kalau dia mengakui utusan Tuhannya, mengapa
dia tidak diiringi oleh pengawal-pengawal yang terdiri dari
19
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid X (Surabaya: Pustaka Islam Masa, 1982), hlm. 331.
56

malaikat? Selanjutnya berdoalah nabi Musa: “ Ya Tuhan


kami! Musnahkanlah harta benda mereka”. Karena selama
harta benda itu masih mereka kuasai, mereka masih akan
berlaku aniaya dan kejam pada rakyat dan sesama
manusia. Karena dengan harta benda yang banyak itu,
mereka masih mempunyai kesempatan berbuat segala
maksiat dalam negeri.”20

Para mufassir juga membahas surat Yunus ayat 88 di atas.

penafsiran lain dari mufassir tentang ayat tersebut sebagai berikut:

al-Qurthubi berkata dalam al-Jāmi’ li Ahkāmi al-Qur’an sebagai

berikut.

Perhiasan pada ayat di atas berupa barang-barang mahal seperti

emas, perak, mutiara dan lain sebagainya. Sudah tentu barang mulia ini

mendapatkan perhatian husus seperti disimpan dalam ruangan yang

aman dari pencurian. Seperti dalam sajarah Fir’aun yang menyimpan

harta mereka di tempat yang aman dan dijaga oleh bala tentaranya.

“Zīnah yang dimaksud dalam ayat ini yaitu harta kekayaan


yang dimiliki Fir’aun dan pengikutnya. Mereka memiliki
kota khusus di daerah Habasan terdapat gunung yang di
dalamnya terdapat emas, perak, berlian, mutiara, dan
benda-benda berharga lainnya.”21

Menurut Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasyaf sama seperti

dengan penafsiran al-Qurthubi. Sedangkan menurut Ibnu Katsir

dikatakan bahwa yang namanya perhiasan dalam ayat ini adalah:

Lain halnya menurut Ibnu Katsir bahwa, perhiasan dalam ayat

ini adalah suatu wujud kemewahan dunia yang menggoyahkan

20
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid X ...... hlm. 333.
21
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz 10 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1427),
hlm. 38.
57

keyakinan seseorang sehingga seseorang tersebut keluar dari jalan yang

benar demi mendapatkan dan menumpuk kemewahan dunia tersebut.

“Unsur-unsur duniawi dan berbagai macam kenikmatan,


semuanya itu sebagai cobaan untuk menyesatkan dari
jalan yang benar, terutama bagi orang yang terlalu
mengutamakannya melebihi segalanya.”22

Penafsiran Hamka dalam ayat ini, relevan dengan ketiga kitab di

atas yaitu mengulas sejarah Fir’aun dan bala tentaranya yang memiliki

segudang perhiasan berupa harta kekayaan. Yang berbeda dari

panafsiran Hamka dalam ayat ini menggunakan pendekatan sosial

bahwa perhiasan yang berupa harta kekayaan menentukan status sosial

di masyarakat dan membuat pemiliknya menjadi semena-mena merasa

dirinya memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mengatur orang yang

ada disekitarnya dengan harta tersebut.

d. QS. al-Nahl : 8

ُ ُ‫ير ِلت َۡر َكبُوهَا َو ِزين َٗۚة َويَ ۡخل‬


٨ َ‫ق َما اَل ت َۡعلَ ُمون‬ َ ‫َال َو ۡٱل َح ِم‬
َ ‫َو ۡٱلخ َۡي َل َو ۡٱلبِغ‬

“Dia telah menciptakan kuda, bagal dan keledai, agar


kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan.
Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya” (QS.al-Nahl ayat 8)23

Dalam ayat ini juga menjelaskan tentang zīnah kharijiah berupa

kendaraan yang menjadi alat untuk mempermudah perjalanan

seseorang. Dikategorikan sebagai perhiasan karena dengan memilikinya

akan membuat seseorang terlihat nikmat, ketika memiliki kendaraan,


22
Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm, Juz 2.... hlm 942.
23

QS al-Nahl Ayat 8.
58

kemana mereka berjalan mereka memiliki kendaraan yang bisa

mempersingkat jarak tempuh yang awalnya membutuhkan waktu lama

menjadi singkat.

“Dan kuda, bighal dan keledai untuk kamu tunggangi dia


dan jadi perhiasan” (pangkal ayat 8). Sehingga belum
lama berlalu masanya, bahwa kuda tunggangan adalah
merangkap jadi kendaraan dan perhiasan, kendaraan raja-
raja dan pahlawan diberi pelana indah dan sanggurdi,
dilagakkan bahkan dipelajari “tuah”nya dengan melihat
warnanya, di negeri-negeri barat terutama inggris pacuan
kuda ialah permainan orang-orang bangsawan, sampai
kini.
“Dan dia dijadikan (pula) apa yang tidak kamu ketahui”
Tuhan hanya memberi syarat bahwa disamping binatang-
binatang ternak yang untuk kendaraan, yaitu kuda, baghal
(peranakan diantara keledai betina dengan kuda jantan
sehingga baghal itu sehingga badannya sebesar badan
kuda, tetapi berbentuk seperti keledai dengan telinga
besar). Dan keledai, dan adapula yang dijadikan tuhan
kendaraan lain yang kita tidak tahu. Niscaya menjalarlah
fikiran kita di dalam penafsirannya. Apakah yang
diketahui Tuhan ialah, yang tidak diketahui manusia di
zaman al-Qur’an turun? yang di abad kita ini telah
diajarkan tuhan kepada manusia, yaitu kendaraan
bermotor, mobil kereta api, kapal udara dan akan ada lagi
yang lain nya, apakah kendaraan lain, yang sampai kiamat
pun manusia tidak akan dapat mngetahui nya, yaitu
semacam buraq Nabi Muhammad SAW yang beliau
tunggangi ketika isra’ dan tangga emas yang beliau naiki
seketika mi’raj? Wallahu a’lam, masih lebih banyak yang
tidak kita ketahui.”24

Dalam ayat ini diperjelas oleh para mufassir dalam literatur

tafsir sebagai berikut:

Kendaraan merupakan anugrah dari sang pencipta kepada

manusia yang memiliki fungsi untuk menunjang kelangsungan hidup

manusia itu sendiri. Fungsi kendaraan dalam kehidupan manusia


24
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid XIV (Surabaya: Pustaka Islam Masa, 1982), hlm. 3890.
59

membantu mempermudah dalam melakukan aktivitas yang dituntut

menyusuri jalan.

Zīnah dalam ayat ini menurut Ibnu Katsir adalah:

“Sesuatu anugerah atau pemberian, seperti kendaraan,


kuda, himar. Semua pemberian tersebut mempunyai tujuan
yang sangat besar sebagai fasilitas yang dimanfaatkan
dengan baik dan sebagai alat untuk membantu
kelangsungan hidup manusia.”25

Sedangkan menurut Zamahsyari zīnah dalam ayat ini adalah:

Kendaraan dikatakan sebagai perhiasan karena pada dasarnya

kendaraan tersebut secara tabi’at terdesain sebagai kendaraan yang kuat

dalam membantu perjalanan, terdesain husus memiliki kecepatan berlari

dengan fisik yang bisa ditunggangi manusia. Dari situlah hakikat

kendaraan dikatakan sebagai zīnah

“Sesuatu yang diciptakan secara khusus berfungsi untuk


kebanggaan karena bisa digunakan sebagai kendaraan dan
mempermudah dalam perjalanan. Kuda, himar dan
sejenisnya dikatakan zīnah karena, keindahannya yang
terdesain husus untuk berkendara dan menarik untuk
dimiliki.”26

Sedangkan menurut al-Sinqiti, dalam kitab adhwaul baya>n

berkata bahwa yang dinamakan zīnah adalah:

Kendaraan dikatakan sebagai perhiasan dikarenakan menjadi

kebanggaan masyarakat Arab. Seperti unta yang mampu memiliki

kekuatan untuk mengarungi perjalanan berkilo-kilo meter,

25
Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm, Jilid 2 (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1420H), hlm.
1056.
26
Zamahsyari, al-Kasyaf, Juz 2 ( Beirut; Dar al-Ma’rifah, 1430), hlm. 200.
60

mengantarkan pengendaranya dengan berbekal air yang dicadangkan di

dalam tenggorokannya. Begitu juga mereka bangga dengan kuda hitam

yang memiliki kekuatan dalam kecepatan menempuh perjalanan. Oleh

karena itu, zīnah dalam hal ini merupakan kebanggaan seseorang yang

memilikinya

“Zīnah yaitu, sesuatu yang dipergunakan untuk


memperindah adapun kontek ke Araban, bahwa orang
Arab lebih bangga dengan kuda, unta, dan sejenisnya,
begitu sebaliknya mereka tidak bangga dengan kerbau,
kambing, dan sejenisnya ini sesuai dengan pendapat Ibnu
Abas.”27.

Ketiga tafsir di atas dan juga penafsiran Hamka sepakat jika

kendaraan merupakan perhiasan berupa fasilitas, yang mana Allah

anugrahkan kepada manusia yang membuat hidup lebih mudah,

tentunya dalam melakukan perjalanan. Namun tidak sepenuhnya sama,

dalam penafsiran Hamka memandang secara matematis, kenikmatan

berkendara mempercepat daya tempuh jarak yang merupakan keinginan

seseorang pada umumnya, sehingga pola pemilihan terhadap kendaraan

hewan pun mejadi anjuran nabi semua dalam rangka memanfaatkan

perhiasan yang Allah ciptakan.

e. QS. al-Kahfi : 46

َّ ٰ ‫ت ٱل‬
ُ ‫صلِ ٰ َح‬
ۡ ‫ت خ َۡي ٌر ِعن َد َربِّكَ ثَ َوابٗ ا َو‬
‫خَي ٌر‬ ُ َ‫ۡٱل َما ُل َو ۡٱلبَنُونَ ِزينَةُ ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َو ۡٱل ٰبَقِ ٰي‬
٤٦ ‫أَ َماٗل‬

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia


tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih

27
al-Sinqiti, Aḍwā’ al-Bayān (Riyad: Dar al- fadhilah, 1426H), hlm. 328.
61

baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk


menjadi harapan” (QS. al-Kahfi ayat 46)28

Dari penafsiran Hamka di atas memberikan pemahaman bahwa,

yang dinamakan perhiasan secara naluri manusia terpatri di dalam

dirinya rasa kecintaan terhadap perhiasan, terutama perhiasan yang

membuat mata terpukau dan menimbulkan hasrat untuk memilikinya.

Di sinilah peran agama sangat menentukan bagaimana sikap seorang

muslim dalam menyikapi dan mengontrol dirinya dalam berambisi

untuk memiliki perhiasan tersebut. Anak dan harta merupakan

perhiasan yang menjadi daya tarik tersendiri. Dengan adanya harta

kelangsungan hidup manusia bisa sejahtera dan mencukupi segala

kebutuhannya. Anak dikatakan sebagai perhiasan menurut Hamka

karena kehadiran seorang anak merubah suasana rumah tangga lebih

ramai dan bahagia karenanya.

“Harta dan anak itu adalah perhiasan hidup di dunia


ributnya tangis anak dalam rumah, pada hakikatnya adalah
perhiasan rumah dan sebagai manusia kita mencintai
perhiasan itu, Tuhan pun telah mentakdirkan juga kita
suka akan perhiasan hidup itu, sebagaimana dijelaskan
dalam surat Ali Imran ayat 14 istri yang setia, anak cucu
yang membawa kebahagian hidup dan harta benda emas
perak, kendaraan, binatang, sawah dan ladang semuanya
adalah perhiasan hidup, siapapun yang berfikiran sehat
mengakui bahwa manusia lebih senang dengan segala-
galanya itu. Banyak sekali soal perhiasan ini dibicarakan
dalam al-Qur’an, tetapi selalu diperingatkan supaya
manusia jangan lupa jangan sampai hendaknya perhiasan
hidup yang sementara itu membuat lupa, bahwa dia masih
dalam pertengahan jalan.29

28
QS. al-Kahfi Ayat 46.
29
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid XV (Surabaya: Pustaka Islam Masa, 1982), hlm. 4203.
62

Selain menjelaskan sikap, di dalam ayat ini juga

membandingkan bahwa ada amalan yang tiada tanding dibandingkan

dengan harta dan perhiasan karena perhiasan bersifat temporal di dunia

saja, sedangkan ba>qiyah sha>lihah atau percikan amalan kebaikan

mengalahkan keindahan perhiasan tersebut. Secara tidak langsung

Hamka mengarahkan umat untuk meninggalkan diri dari perhiasan

dunia dengan cara mengkonsumsi seperlunya dan fokus terhadap

amalan shalih yang dapat menjadi perhiasan yang kekal di samping

Allah SWT. Menurut al-Qurthubi harta benda dan anak dikatakan

sebagai zīnah. Dikatakan demikian karena harta memiliki daya tarik dan

memiliki kemanfaatan. Sedangkan anak dikatakan sebagai perhiasan,

karena menambah gairah kehidupan orang tuanya dan menumbuhkan

semangat. Oleh karena itu keduanya disebut sebagai perhiasan dunia.

Akan tetapi kedua perhiasan tersebut bisa berpotensi merusak

kehidupan orang tua menjadi hina, maka dari itu jangan sampai

memanfaatkan keduanya sesuai nafsu.30

“Manusia belum sampai kepada perhentian terakhir, sebab


itu maka pada lanjutan ayat diperingatkanlah: ” tetapi
bekas amalan yang baik dari amalan yang shalih, itulah
yang lebih baik di sisi Tuhanmu. Dari segi ganjaran dan
lebih baik dari segi harapan”.Dengan rayuan yang indah
sekali di ujung ayat ini Allah memberi peringatan bahwa
anak dan harta memang perhiasan, namun sangat terbatas
sekali waktunya. harta benda terasa sebagai perhiasan
kalau badan masih sehat, kalau sudah sakit kita bersedia
melicin tandaskan harta itu untuk berobat. dan hanya
30
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz 14 (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1427), hlm. 391.
63

waktu muda. kalau sudah tua tidak bertenaga lagi kadang-


kadang kita akan merasakan tidak peduli dengan harta itu
lagi. Anak-anakpun demikian pula!. semasa dia kecil dia
memang perhiasan, kalau dia sudah besar dan telah hidup
sendiri dengan keluarganya tidak sedikit anak itu lupa
dengan keluarganya”.31

Ulama’ tafsir berpendapat dalam hal ini, dan memperjelas

makna zīnah dalam ayat tersebut seperti Ibnu Katsir:

Segala sesuatu yang membuat seseorang tertarik untuk

memilikinya disebut perhiasan. Seperti anak, harta dan lain sebagainya.

Kesemuanya merupakan harapan setiap manusia untuk memilikinya

terlebih lagi ingin mendapat perhiasan tersebut unggul secara kualitas

ataupun kuantitas.

“Harta benda dan anak merupakan daya tarik bagi manusia


membuat mata seseorang tertuju kepadanya, seperti halnya
dikatakan di dalam ayat lain dikatakan bahwa, manusia
dihiasi dengan kecintaan terhadap nafsunya berupa wanita,
anak, harta, emas, perak, dan lain sebagainya. Semua
perhiasan tersebut merupakan kenikmatan dunia yang
menjadi daya tarik bagi manusia.32

Menurut al-Qurthubi sama dengan pandangan Ibnu Katsir.

Berdasarkan kitab tafsir di atas, Perhiasan dapat disimpulkan,

yaitu segala sesuatu yang membuat manusia tertarik untuk memilikinya,

baik berupa harta, anak atau yang lain. Keberadaan perhiasan menjadi

suatu yang dinanti-nanti dan dipandang indah saat orang melihatnya

dengan harapan mampu mendapatkan dan menikmatinya. Dari kedua

tafsir di atas anak dan harta merupakan perhiasan yang menjadi daya

31
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid XV .....hlm. 4205.
32
Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-Aḍīm, Juz 3 (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1420H), hlm.
1157.
64

tarik bagi seseorang. Penafsiran Hamka juga demikian, yang berbeda

dari Hamka yaitu berkomentar tentang pentingnya suatu sikap yang

relevan antara nikmat yang diberikan dengan sikap yang tidak

bermewah-mewahan dalam menggunakannya. Tentunya ini yang akan

mengontrol ambisi manusia dalam menginginkan untuk memiliki suatu

perhiasan.

f. QS. Thaha : 87

َ‫وا َمٓا أَ ۡخلَ ۡفنَا َم ۡو ِعدَكَ بِ َم ۡل ِكنَا َو ٰلَ ِكنَّا ُح ِّم ۡلنَٓا أَ ۡوزَ ٗارا ِّمن ِزينَ ِة ۡٱلقَ ۡو ِم فَقَ َذ ۡف ٰنَهَا فَكَ ٰ َذلِك‬
ْ ُ‫قَال‬
٨٧ ُّ‫أَ ۡلقَى ٱلسَّا ِم ِري‬

“Mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak melanggar


perjanjianmu dengan kemauan kami sendiri, tetapi kami
disuruh membawa beban-beban dari perhiasan kaum itu,
maka kami telah melemparkannya, dan demikian pula
Samiri melemparkannya"(QS. Thaha ayat 87)33

Banyak makna zīnah dalam al-Qur’an yang bermakna perhiasan

seperti emas, perak, harta kekayaan, begitu juga dengan surat Thaha ayat

87. Perhiasan di masa Fir’aun begitu melimpah hingga para kaumnya nabi

Musa mendapati banyak perhiasan emas berbentuk gelang, kalung dan

sebagainya. Kemudian dengan berbekal benda-benda tersebut kaumnya

nabi Musa bertemu dengan Samiri yang ingin memberikan solusi agar

benda-benda tersebut mudah dibawa. Memang tidak dipungkiri benda-

benda seperti emas, perak merupakan logam mulia yang memiliki berat

lebih dari benda lainnya. Pada saat itulah Samiri berusaha merubah

33
QS. Thaha Ayat 87.
65

perhiasan tersebut menjadi berhala berkepala lembu yang merupakan

sesembahan orang Mesir saat itu.

“Mereka melanggar janji bukanlah atas kemauan mereka


sendiri. Ini pun membuktikan bahwa mereka ini orang-
orang yang belum mempunyai pendirian tangguh. Mereka
mengaku terus terang bahwa mereka memang memungkiri
janji, tetapi bukan atas kehendak mereka: “tetapi kami
diajak memikul beban-beban dari perhiasan kaum itu
“seketika mereka berpindah dari Mesir itu mereka dan
membawa perhiasan-perhiasan, terdiri dari gelang tangan,
gelang kaki, kalung leher, dan beberapa perhiasan senjata,
menurut tiruan kebudayaan orang mesir selama beratus
tahun mereka tinggal di sana. Perhiasan ini yang dianggap
sebagai beban-beban, karena dipandang sebagai barang-
barang uang memberati jika dibawa mengembara begitu
jauh dan belum sampai ketempat yang dituju. Maka
datanglah bujukan dari Samiri supaya barang-barang
perhiasan yang seumpama beban berat yang boleh
dikatakan memberatkan dibawa berjalan jauh, supaya
dikumpulkan, setelah barang-barang itu dikumpulkan
Samiri membuat suatu lubang. Lalu dilemparkan seluruh
perhiasan kelubang itu: “maka kami lemparkan barang
itu” kedalam lubang yang telah disediakan itu, kemudian
dibakar menjadi satu dan dibentuklah emas tersebut
menjadi berhala yang berbentuk lembu. Anak lembu
merupakan berhala yang disembah dan dipuja orang
mesir.”34

Para mufassir juga membahas ayat tersebut, berikut beberapa

penafsiran para mufassir:

Menurut al-Qurtubi dalam kitabnya al-Ja>mi’ li Ahka>mi al-Qura’an:

Setelah fir’aun tenggelam, kaumnya nabi musa menemukan

sisa-sisa perhiasan yang menepi ke bibir pantai, kemudian mereka

mengambilnya dan dikumpulkan untuk pesta kemenangan mereka dari

Fir’aun.

34
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid XVI (Surabaya: Pustaka Islam Masa, 1982), hlm. 4471.
66

“Perhiasan kaum nabi Musa, mereka mendapatnya saat


mereka hendak meninggalkan kota bersama nabi Musa,
mereka berharap bisa mengumpulkannya pada hari
kebahagiaan atau pesta mereka. Ada yang berpendapat
bahwa perhiasan tersebut diambil dari Fira’un sesaat
tenggelam di lautan kemudian barang-barang itu menepi.35

Sedangkan menurut al-Thabari sebagai berikut:

Tidak jauh berbeda keterangan tafsir al-Thabari dengan al-

Qurthubi dalam Thobari dikatakan bahwa zīnah dalam ayat ini adalah

harta rampasan perang melawan bala tentara Fir’aun. Harta tersebut

tidak boleh digunakan dengan sembarangan karena perlu adanya orang

yang memimpin perang membagi dan memberikan hak tersebut kepada

pemimpin.

“Pehiasan ini berasal dari rampasan perang, yang mana


kaumnya nabi Musa dapat dari hasil mereka meninggalkan
Mesir, perhiasan ini berupa ghanimah atau harta rampasan
perang, pada saat itu tidak boleh digunakan sebelum
mendapatkan izin dari nabi Musa.”36

Sedangkan menurut al-Sinqiti penafsiran ayat tersebut sama

sebagaimana penafsiran al-Thabari. 37

Dari penafsiran para mufasir di atas bisa diambil kesimpulan

pandangan para mufasir tidak jauh berbeda, yaitu membahas cerita

kaumnya nabi Musa yang membawa perhiasan berupa gelang dan lain-

lain. Sedikit berbeda dengan ketiga tafsir di atas, Hamka membuat

sebuah pola pikir tentang tradisi dan kebiasan orang Mesir yang
35
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz 14.....hlm.120.
36
Muhammad Ibnu Jarir al-Thobari, Tafsīr al-Țabari, Juz 1 (Baerut: Dar al-Fikr, 1405H),
hlm. 282.
37
Al-Sinqithi, Aḍwā’ al-Bayan, Juz 3 (Riyad: Dar al- Fadhilah, 1426H) hlm.748.
67

memuliakan lembu. Perhiasan yang tadinya sebuah kekayaan berubah

menjadi sesembahan dengan adanya unsur budaya yang dilibatkan di

dalamnya.

2. Tata Berhias

a. QS. al-Nur : 31

َ ‫ص ِر ِه َّن َويَ ۡحفَ ۡظنَ فُر‬


‫ُوجه َُّن َواَل ي ُۡب ِدينَ ِزينَتَه َُّن إِاَّل‬ َ ٰ ‫ِم ۡن أَ ۡب‬ َ‫ُضن‬ ۡ ‫ت يَ ۡغض‬ ِ َ‫َوقُل لِّ ۡل ُم ۡؤ ِم ٰن‬
‫بِ ُخ ُم ِر ِه َّن َعلَ ٰى ُجيُوبِ ِه ۖ َّن َواَل ي ُۡب ِدينَ ِزينَتَه َُّن إِاَّل لِبُعُولَتِ ِه َّن‬ ۡ َ‫ظهَ َر ِم ۡنهَ ۖا َو ۡلي‬
َ‫ض ِر ۡبن‬ َ ‫َما‬
‫أَ ۡو َءابَٓائِ ِه َّن أَ ۡو َءابَٓا ِء بُ ُع ولَتِ ِه َّن أَ ۡو أَ ۡبنَٓائِ ِه َّن أَ ۡو أَ ۡبنَٓا ِء بُ ُع ولَتِ ِه َّن أَ ۡو إِ ۡخ ٰ َونِ ِه َّن أَ ۡو بَنِ ٓي‬
‫إِ ۡخ ٰ َونِ ِه َّن أَ ۡو بَنِ ٓي أَخَ ٰ َوتِ ِه َّن أَ ۡو نِ َس ٓائِ ِه َّن أَ ۡو مَا َملَ َك ۡت أَ ۡي ٰ َمنُه َُّن أَ ِو ٱل ٰتَّبِ ِعينَ غ َۡي ِر أُوْ لِي‬
َ‫ض ِر ۡبن‬ ۡ َ‫ي‬ ‫ت ٱلنِّ َسٓا ۖ ِء َواَل‬ ْ ‫ٱإۡل ِ ۡربَ ِة ِمنَ ٱل ِّر َجا ِل أَ ِو ٱلطِّ ۡف ِل ٱلَّ ِذينَ لَمۡ يَ ۡظهَر‬
ِ ‫ُوا َعلَ ٰى ع َۡو ٰ َر‬
ۡ‫ونَ لَ َعلَّ ُكم‬ ُ‫بِأ َ ۡر ُجلِ ِه َّن لِي ُۡعلَ َم َما ي ُۡخفِينَ ِمن ِزينَتِ ِه ۚ َّن َوتُوب ُٓو ْا إِلَى ٱهَّلل ِ َج ِميعًا أَيُّهَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬
٣١ َ‫تُ ۡفلِحُون‬
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami
mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-
budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki
yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan.Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. (QS. al-Nur ayat 31)38

Dari ayat ini ada dua makna zīnah yang pertama perhiasan

berupa keindahan tubuh perempuan, karena disebutkan ayat tersebut


38

QS. Nur Ayat 31.


68

illā mā ẓahara minhā istilah ini menjelaskan kata sebelumnya yaitu

zīnah. Kemudian diperjelas dengan hadits Asma bin Abu Bakar yang

menampakkan auratnya dan Nabi mengisayaratkan untuk menutup

aurat kecuali muka dan telapak tangan. Sedangkan dalam hadits yang

dikutip oleh Hamka ini, ada anggota tubuh yang boleh dilihat yaitu

telapak tangan dan muka sedangkan yang tidak boleh perlihatkan yaitu

selain dari keduanya. Kedua zīnah bermakna benda perhiasan yang

menempel selain tangan dan muka tidak boleh dilihat. Seperti kalung

gelang kaki ini tidak boleh diperlihatkan. Jadi ada dua makna perhiasan

dalam ayat ini, keduanya tidak diperbolehkan berupa aurat kedua benda

perhiasan yang menempel diselain tangan dan wajah.

“Ayat ini mengandung peringatan kepada perempuan,


selain menjaga penglihatan mata dan kemaluan ditambah
lagi yaitu, tidak boleh mempertontonkan perhiasan mereka
kecuali yang tampak saja seperti cincin di jari, muka dan
tangan itu adalah perhiasan yang nyata artinya yang
sederhana dan tidak menyolok dan juga tidak mengundang
syahwat, kemudian diterangkan pula hendaknya kerudung
yang telah tersedia di kepala ditutupkan ke atas dada.
Suatu ketika asmah yang beranjak dewasa menampakkan
aurat saat nabi melihatnya nabi memerintahkan hendaklah
perempuan menutup tubuhnya kecuiali itu dan itu
(menunjuk telapak tangan dan muka. dari merenungi
kedua ayat diatas nampaklah bahwa kehendak agama
Islam adalah ketentraman dalam pergaulan, kebebasan
yang dibatasi oleh aturan syari’at, penjagaan yang mulia
terhadap setiap pribadi. Baik laki-laki maupun perempuan.
Membawa manusia naik keatas puncak kemanusiaan
bukan membawanya turun kebawah, menghilangkan ciri-
cirinya, sebagai sosok insan yang mulia.
Hasil yang lain pula yang didapat dari kedua ayat ini
adalah, pertanggungjawaban memelihara iman yang sama
diperintahkan Tuhan kepada laki-laki dan perempuan tidak
ada perbedaan, sebagai laki-laki disuruh untuk memelihara
kemaluan maka perempuan beriman pun mendapat
69

peringatan demikian, jiwa perempuan beriman disuruh


berkembang sendiri dengan tuntunan ilahi sebagai juga
jiwa laki-laki.” 39

Menurut para mufassir ayat ini mengandung pengertian sebagai

berikut:

Zīnah menurut al-Qurthubi ada dua kategori dari segi cara

perolehannya dan zīnah dari segi subjek yang melihat zīnah tersebut.

Zīnah yang berdasarkan cara memperolehnya ada dua yaitu perhiasan

bawaan dan yang diusahakan. Sedangkan zīnah yang berasal dari

subjeknya juga ada dua yang hanya boleh dipandang mahram dan

suami disebut zīnah bathin dan yang dhahir berupa zīnah yang boleh

dilihat selain mahram.

“Zīnah ada dua jenis yaitu zīnah khalqiyah, dan kasbiyah.


Zīnah khalqiyah adalah perhiasan yang murni bersifat
bawaan penciptaan yang indah, sedangkan zīnah kasbiyah
yaitu sesuatu yang mengalami perubahan dengan berusaha
mendapatkannya seperti pakaian. Selain itu beliau
berpendapat zīnah ada dua dari segi subjeknya. Yaitu
zīnah dhahir dan zīnah bathin. Zīnah dhahir adalah
perhiasan yang boleh dilihat oleh orang yang bukan
mahram. Sedangkan zīnah bathiniyah adalah perhiasan
yang tidak boleh diperlihatkan kecuali hanya boleh dilihat
oleh suami ataupun mahramnya.”40

Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud zīnah dalm ayat al-Nur ayat

60 ini sebagai berikut:

Menurut Ibnu Katsir zīnah secara garis besar ada dua kategori.

Pertama zīnah dari segi subjek siapa yang memandang perhiasan yang

39
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid 20 (Surabaya: Pustaka Islam Masa, 1982), hlm. 205-214.
40
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an Juz 15.....hlm. 214.
70

boleh dipandang suami berbeda dengan perhiasan yang dipandang.

Kedua zīnah dari segi tampak dan tidak tampak, seperti halnya ulama’

jumhur berpendapat tentang telapak tangan dan wajah merupakan

anggota yang boleh dilihat. Sedangkan selain keduanya tidak boleh

dilihat.

“Zīnah ada dua, zīnah yang boleh ditampakan dan zīnah


yang tidak boleh ditampakkan. zīnah yang tidak boleh di
lihat kecuali suami seperti halnya gelang kaki dan kalung.
Kedua perhiasan yang boleh dilihat oleh orang yang bukan
mahram seperti baju dan lain-lain. selain itu ada zīnah
dhahir dan batin. Zīnah dhahir di antaranya kaffain dan
wajah sesuai dengan yang masyhur menurut jumhur.
Adapun zīnah bathin berupa bagian tubuh selain
keduanya.41

Zīnah menurut Zamahsyari dalam ayat ini berupa perhiasan

yang dipasang dalam tubuh perempuan ada yang bersifat dhahir dan

ada yang bersifat khaffi. Dhahir yang dimaksud perhiasan itu berada

dibagian tubuh yang boleh dilihat seperti celak, cincin dan lain

sebagainya. Lain halnya dengan anting-anting dan kalung tidak

merupakan zīnah yang bersifat khaffi tersembunyi dalam arti berapa

dibagian yang tidak boleh dilihat secara syari’at.

Sedangkan zīnah menurut Zamahsyari dalam ayat ini sebagai berikut:

“Sesuatu yang perempuam gunakan untuk memperindah


dirinya, berupa perhiasan, celak, perhiasan ada dua
perhiasan dhahir seperti cincin, tidak apa kalau orang
melihatnya, kedua zīnah khafi zīnah yang tersembunyi
yang tidak boleh diperlihatkan kepada selain mahrom
berupa perhiasan yang menempel di bagian tertubuh yang
tersembunyi seperti telinga dan lain-lain.42
41
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-adhim, Juz 3..... hlm. 1328.
42
Zamakhsyari, al-Kasyaf , Juz 3 (Beirut; Dar al-Ma’rifah, 1430), hlm.726.
71

Persamaan ketiga tafsir di atas dengan penafsiran Hamka sama-

sama memiliki pandangan adanya zīnah yang boleh tampak dan tidak

boleh tampak. Namun dalam penafsiran Hamka beliau mencoba melihat

dua dimensi simbol dan dimensi subtansi yang kemudian keduanya

berakhir pada kesimpulan zīnah di atas adalah aurat atau juga perhiasan

yang ada dalam aurat tersebut.

b. QS. al-Nur : 60
َ َ‫س َعلَ ۡي ِه َّن ُجنَا ٌح أَن ي‬
‫ض ۡعنَ ثِيَابَه َُّن‬ ٗ ‫َو ۡٱلقَ ٰ َو ِع ُد ِمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ٱ ٰلَّتِي اَل يَ ۡرجُونَ نِ َك‬
َ ‫احا فَلَ ۡي‬

٦٠ ‫يم‬ٞ ِ‫ر لَّه ۗ َُّن َوٱهَّلل ُ َس ِمي ٌع َعل‬ٞ ‫غ َۡي َر ُمتَبَ ِّر ٰ َج ۢ ِت بِ ِزين ٖ َۖة َوأَن يَ ۡست َۡعفِ ۡفنَ ۡخَي‬

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari


haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Nur ayat
60).43

Penjelasan ayat ini penulis menyimpulkan bahwa, aurat yang

ada dalam tubuh perempuan adalah suatu perhiasan yang memiliki daya

tarik secara naluri dan saat seorang wanita sudah masuk di ranah usia

lanjut diperbolehkan memakai pakaian yang tidak lengkap dalam

menutup aurat, namun tidak berarti diperbolehkan mengumbar

auratnya. Larangan untuk tidak lagi bersolek layaknya anak-anak gadis

merupakan sebuah pendidikan moral terhadap wanita usia lanjut untuk

43
QS. al-Nur ayat 60.
72

tidak kebablasan dalam alasan diperbolehkannya tidak berpakaian

lengkap. Ayat tersebut memiliki mafhūm muwāfaqah yaitu wanita-

wanita yang sudah manephouse (tidak ingin menikah lagi) tidak

diperkenankan bersolek ria (tabarruj) dalam berpenampilan, lebih-lebih

lagi gadis belia yang mana masih memiliki hasrat naluri biologis

tentunya lebih dilarang dikarenakan menarik lawan jenis dan

mengundang syahwat. Memakai pakaian tipis dan tampak kulit aslinya

meski memakai pakaian adalah bagian dari tabarruj.44

“Kemudian pada ayat 60 dijelaskan lagi tentang


perempuan yang tidak diharap nikah lagi, yang disebut
qawa’id, perempuan yang telah duduk tidak haid lagi,
artinya tidak adalagi syahwat karena sudah padam dan
tidak tergiur dengan nafsu laki-laki dan dia tidak lagi akan
hal itu maka mereka tidaklah mengapa jika tidak
berpakaian lengkap jika dilepaskan pakaian luarkan untuk
menutupi tarikan tubuhnya. Setengah ulama’ mengatakan
bahwa seluruh tubuh perempuan aurat artinya seluruhnya
perhiasan yang membawa daya tarik, sebab itu ia
berpakain yang bisa menutupi nafsu syahwat orang yang
memandangnya, artinya yang sopan ada pakaian luar ada
pakaian dalam yang untuk dipakai di luar umumnya
wanita Islam di Indonesia jika keluar memakai selendang
menutupi kepala. Jangan sebagai pakaian pengaruh barat
yang setiap segi guntingan itu memang sengaja buat
menimbulkan syahwat. maka bagi wanita yang telah tua
tidak haid lagi, tidak dipakainya pakain luarnya di
sekeliling rumahnya itu tidaklah mengapa, asal
kemulyaannya sebagai orang tua yang dihormati tetap
dijaga.
Maka dalam ayat ini soal pakaian teratur sebagai keluar
rumah, atau mantel sebagai yang terpakai di eropa atau
tanah Arab, selendang menutup kepala atau baju-baju lain
tidak perlu lagi memeberati kepada wanita apabila dia
telah memasuki gerbang tua. Tidak ada harapan lagi

44
Sofiah Samsudin,”Ikhtilath dan Tabarruj: Kajian terhadap Prinsip dan Disiplin
Surah al-Nur dan al-Ahzab” Qur’an Melonjak Transformasi Ummah, Malaysia:
International Islamic University Malaysia vol 38, No 2, 2013 hlm. 372.
73

beranak ataupun haid, yang penting baginya untuk masa


demikian adalah menjaga sikap hidup, kewibawaan dan
menjaga sikap diri dan jiwa supaya tetap terhormat,
menjadi contoh teladan yang disegani oleh anak cucunya
dalam rumah tangga apalagi bagi orang lain.”45

Pandangan mufassir terhadap ayat ini sebagai berikut:

Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm, zīnah

dalam ayat tersebut sebagai berikut:

Zīnah dalam ayat ini berupa perhiasan yang ada di dalam aggota

badan. Dan dilarang berhias ala jahiliyah yaitu dengan menampakkan

perhiasan yang ada dianggota tubuh yang terlarang diperlihatkan.

“Tidak boleh bersolek dengan melepas jilbab agar dilihat


perhiasan yang ada di dalamnya. Ada sebuah riwayat
berhiaslah, namun jangan berhias sesuai dengan
berhiasnya orang jahiliyah menampakkan perhiasan yang
harusnya disembunyikan. Perhiasan di sini yaitu perhiasan
yang harusnya ditutupi.”46

Sedangkan menurut Zamakhsyari dalam al-Kasyaf, zīnah ayat

ini sebagai berikut:

“Tidak boleh menampakkan perhiasan yang tersembunyi


yang berada di bagian tubuh yang tersembunyi seperti
anting-anting di telinga dan lain-lain. Dan ini hanya boleh
dilihat oleh mahram saja.”47

Secara umum penafsiran Zamahsyari dengan Ibnu Katsir sama.

Menurut al-Qurthubi dalam tafsir al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an,

yang dimaksud dalam ayat ini adalah sebagai berikut:

45
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid XXVIII (Surabaya: Pustaka Islam Masa, 1982), hlm. 265.
46
Ibnu katsir , Tafsīr al-Qur’an al-Aẓīm, Juz 3 (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1420H), hlm.
2346.
47
Zamakhsyari, al-Kasyaf , Juz 3.....hlm.736.
74

Zīnah ada kalanya tampak dan ada kalanya tidak tampak. Dan

memposisikan sebagaimana mestinya merupakan sebaik-baiknya

agama.

“Zīnah yang tidak nampak tidak boleh ditampakkan


karena menampakkannya merupakan seburuk-buruknya
perkara dan sejauh-jauhnya perkara dalam agama.”48

Secara garis besar, penafsiran Hamka memiliki persamaan

dengan ketiga tafsir di atas, yaitu mengkategorikan zīnah pada status

boleh dilihat dan tidak boleh dilihat. Namun ada perbedaan dari

penafsiran beliau mengenai penjelasan ayat ini, bahwa aurat yang ada

dalam tubuh perempuan adalah suatu perhiasan yang memiliki daya

tarik secara naluri dan saat seorang wanita sudah masuk di ranah usia

lanjut diperbolehkan memakai pakaian yang tidak lengkap dalam

menutup aurat, namun tidak berarti diperbolehkan mengumbar

auratnya. Larangan untuk tidak lagi bersolek layaknya anak-anak gadis

merupakan sebuah pendidikan moral terhadap wanita usia lanjut untuk

tidak melewati batas dalam alasan diperbolehkannya tidak berpakaian

lengkap.

3. Sikap Terhadap perhiasan


a. QS. al-Hadid : 20
‫ر فِي ٱأۡل َمۡ ٰ َو ِل‬ٞ ُ‫ينَة َوتَفَا ُخ ۢ ُر بَ ۡينَ ُكمۡ َوتَكَاث‬
ٞ ‫و َو ِز‬ٞ ‫ب َولَ ۡه‬ٞ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَنَّ َما ۡٱل َحيَ ٰوةُ ٱل ُّد ۡنيَا لَ ِع‬ ۡ
‫ص فَ ٗ ّرا ثُ َّم يَ ُك ونُ ُح ٰطَ ٗم ۖا‬
ۡ ‫ب ۡٱل ُكفَّا َر نَبَاتُهۥُ ثُ َّم يَ ِهي ُج فَتَ َر ٰىهُ ُم‬ ٍ ‫َوٱأۡل َ ۡو ٰلَ ۖ ِد َك َمثَ ِل غ َۡي‬
َ ‫ث أَ ۡع َج‬
ٰ ‫ۚن َومَا ۡٱل َح‬ٞ ‫ض ٰ َو‬
‫يَوةُ ٱل ُّد ۡنيَٓا إِاَّل َم ٰتَ ُع‬ ٞ ‫َوفِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة َع َذ‬
ۡ ‫ة ِّمنَ ٱهَّلل ِ َو ِر‬ٞ ‫يد َو َم ۡغفِ َر‬ٞ ‫اب َش ِد‬
ۡ
٢٠ ‫ُور‬ ِ ‫ٱل ُغر‬
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini
hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan
48
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz 15..... hlm. 340.
75

dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-


banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan
yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhoanNya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. al-Hadid
ayat 20).49

Perlu disadari dan dihayati, bahwa perhiasan hakikatnya

hanyalah tipuan semata, karena suatu hal yang mustahil dengan berhias

orang tua menjadi muda, orang yang kaya raya bisa makan, minum,

sehat berobat bisa menyelesaikannya hingga merasa dirinya kekal

dengan harta, padahal semuanya hanya hal yang mustahil. Perilaku

orang-orang kafir mereka berlebihan dalam memperlakukan dunia dan

mereka sampai melalaikan kehidupan yang abadi. Sikap seorang

mukmin terhadap dunia harus tetap mengingat bahwa semua perhiasan

yang Allah ciptakan untuk digunakan dengan baik sesuai dengan

syari’at dan tidak melanggar syari’at agama Islam.

Dari ayat ini sifat negatif dari perhiasan yaitu, melalaikan,

membuat seseorang lupa daratan, terutama orang yang sudah sering

mengumbar syahwatnya. Perhiasan dalam hal ini, berbentuk harta

benda yang menjadi kebutuhan hingga kepuasan. Namun sebagai

seorang mukmin hendaknya mengendalikan diri untuk tetap mengingat

apa yang telah Allah anugerahkan berupa harta benda dengan baik dan

benar.
49
QS. al-Hadīd ayat 20.
76

’’Pertama bahwa hidup yang begitu ialah la’ibun, artinya


main-main, itulah perbuatan kanak-kanak yang badannya
payah, faedahnya tidak ada. Kedua ialah lahwun, yang
berarti senda-gurau tidak ada bekasnya melainkan
penyesalan. karena orang-orang berakal merasakan sendiri
bahwa setelah sendau gurau itu selesai bekas yang tinggal
hanya penyesalan, harta habis dan umurpun habis,
kepuasan berganti dengan kepenatan, sedang jia haus
hendak mengulangi kembali. kemudian ternyatalah bahwa
mudharratnya datangnya beruntun tak berkeputusan.
Kemudian itu dikatakan pula bahwa dunia itu tidak lain
hanya perhiasan (Zinatun). Inilah pangkal kerusakan,
karena perhiasan atau zīnah ialah berusaha memperbagus
barang walaupun kurang bagus, memugar rumah yang
hampir telah runtuh supaya kelihatan masih utuh dan
berusaha membuat sesuatu keliahatan sempurna padahal
dia telah kurang dan semua kita telah maklum bahwa
pugaran yang didatangkan kemudian tidaklah dapat
mengulanginya sebagai baru, maka apabila sudah jelas
bahwa usia itu sendiri dari muda pasti menuju tua, dari
kokoh pasti menuju runtuh, bagaimanalah seorang yang
berakal hendak membuat waktunya menahan perjalanan
yang wajar bahwa yang kokoh menuju rusak, sebab itu
maka Ibnu Abbas memberikan saja kata ganti dari tafsir
ini: Makna ayat ialah bahwa orang yang kafir itu siang
malam yang difikirkannya di dunia ini ialah memperbaiki
yang rusak dan dia pun lupa kepada kehidupan akhirat.
Sesuai dengan sepotong syi’ir (sya’ir) terkenal.”50

Pandangan lain dari para mufassir dalam ayat ini sebagai berikut:

Menurut Ibnu Kastir bahwa yang dinamkan zīnah dalam ayat ini

adalah:

Zīnah ibarat bunga yang indah saat mekar menampakkan kesempurnaan

warnanya, namun keindahan dan keharuman bunga hanya sementara.

Pada waktunya keindahan bunga akan pudar dan layu. Begitu pula

50
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid XXVIII...... hlm. 330.
77

perhiasan dunia ini sementara yang akan hilang pada waktu yang telah

ditentukan.

“Bunga yang bersifat sementara, nikmat yang akan hilang


seketika dalam hidup manusia.51

Menurut Zamahsyari zīnah dalam ayat ini adalah:

Menurut al-Qurthubi zīnah adalah sesuatu yang digunakan untuk

memperindah diri. Orang kafir berhias diri di dunia dan tidak beramal

untuk akhiratnya. Begitu juga orang-orang yang tidak taat kepada

Allah.52

“Kenikmatan yang ada di dunia dan orang kafir selalu


mementingkan urusan kenikmatan duniawi mengalahkan
segalanya, sampai melupakan hal yang pokok untuk
kebahagiaan dirinya di akhirat nanti.”53
Dari ketiga tafsir di atas sama-sama membahas sikap orang kafir

terhadap perhiasan, sebagaimana yang terlihat mereka mementingkan

perhiasan dunia di atas segalanya, demikian juga dengan penafsiran

Hamka. Sedangkan perbedaan penafsiran Hamka dengan ketiga tafsir di

atas yaitu, beliau memberikan argumen tajam untuk membangunkan

kesadaran bahwa seorang mukmin hendaklah mengetahui bahwa

perhiasan hanyalah bersifat mustahil jika dianggap mampu merubah

usia dan merubah kondisi yang sudah rusak semua. Perhiasan

51
Ibnu Katsir, Tafsīr al-Quran al-Aẓīm, Juz 4 (Bierut: Dar Ibnu Hazm, 1420H), hlm.
1830.
52
Al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz 20 (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1427), hlm. 260.
53
Zamahsyari, al-Kasyaf, Juz 4..... hlm.1804.
78

diciptakan semata-mata sebagai sarana untuk mendekat kepada sang

pencipta.54

b. QS. al-Kahfi : 28

‫ك َم َع ٱلَّ ِذينَ يَ ۡد ُعونَ َربَّهُم بِ ۡٱل َغد َٰو ِة َو ۡٱل َع ِش ِّي ي ُِري ُدونَ َو ۡجهَ ۖۥهُ َواَل ت َۡع ُد‬ َ ‫ٱصبِ ۡر ن َۡف َس‬
ۡ ‫َو‬
‫ع َۡينَاكَ ع َۡنهُمۡ تُ ِري ُد ِزينَةَ ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َواَل تُ ِط ۡع َم ۡن أَ ۡغفَ ۡلنَا قَ ۡلبَ ۥهُ عَن ِذ ۡك ِرنَا َوٱتَّبَ َع‬
ٗ ‫ه ََو ٰىهُ َو َكانَ أَمۡ ُر ۥهُ فُر‬
٢٨ ‫ُطا‬

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-


orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari
dengan mengharap keridhaan-Nya dan janganlah kedua
matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan
perhiasan dunia ini dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami,
serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu
melewati batas” (QS. al-Kahfi ayat 28).55

Digambarkan dalam ayat ini sikap seorang mukmin terhadap

orang yang berbangga dengan harta kekayaan, kuat menghadapi celaan

dan hinaan orang-orang yang mengunggulkan perhiasan dunia. Salah

satu sifat perhiasan dalam ayat ini adalah akan membuat pemiliknya

bangga dan merasa tinggi hati. Hal ini akan membuat orang yang ada

disekitarnya takjub dan ingin berpihak kepada mereka, namun perintah

dalam ayat ini untuk tetap khusyuk dan memilih untuk bergaul dengan

orang yang setiap harinya mengabdikan diri kepada Allah dan menahan

diri untuk tidak melirik mereka yang mentuhankan dunia.

Menurut dalam sebuah hadits shahih riwayat Muslim


diterima dengan sanadnya dari Sa’ad bin Abi Waqqash.
Beliau ini bercerita: “kami duduk duduk bersama nabi
Saw enam orang sedang kami duduk di sekekliling nabi
54
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid XXVIII..... hlm. 333.
55
QS. al-Kahfi ayat 28.
79

datanglah orang-orang musyrik itu dan berkata kepada


nabi SAW: “ minta supaya orang-orang itu disuruh keluar,
karena kami tidak pantas sekedudukan dengan mereka”
kami yang duduk keliling nabi waktu itu ialah aku sendiri
(kata Sa’ad) dan Abdullah bin Ma’ud, seorang teman dari
persekutuan hudzail dan bilal, dan keduanya lagi aku lupa
namanya. Ushul-ushul mereka itu, nyaris diterima beliau
tiba-tiba datang ayat ini supaya beliau tetap bersabar
menghadapi kami dan jangan sampai berpaling mata
beliau dari kami, karena mengharap perhiasan dunia”
menurut Ibnu Abbas janganlah engkau palingkan mata
kepada orang-orang yang sombong karena kebangsawanan
dan kekayaan itu. Karena itu hanya perhiasan dunia saja.
Orang-orang seperti itu hanya melagak membusungkan
dada dengan kekayaan dan kemegahan dunia, sedangkan
pengikut-pwngikut yang setia itu yang senantiasa
menyebut nama Tuhan mereka pagi dan petang bertasbih
bertahmid, bertakbir dan bertahlil.56

Pandangan para mufassir surat al-Kahfi ayat 28 sebagai berikut:

al-Qurthubi menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut:

“Bersolek ketika hendak bergaul dengan pemimpin yang


memiliki harta berlimpah yang hendak menjauhkan orang-
orang faqir dari majlis, namun Nabi SAW tidak mau
melakukan hal itu, karena Allah melarang beliau
melakukan hal itu.”57

Menurut al-Thabari panafsiran ayat ini sama dengan penafsiral

al-Qurthubi.

Dari kedua tafsir di atas penafsiran Hamka sama dalam

menafsirkan ayat tersebut dengan melibatkan hadits yang menjadi

asba>b al-nuzu>l tentang pembesar Quraisy. Yang berbeda dari

Hamka beliau mempertegas kepada seorang mukmin untuk tetap

56
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid XV..... hlm. 4187.
57
al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’an, Juz 14.... hlm. 988.
80

memilih bergaul dengan orang yang mendekat kepada Allah meski

mereka tidak memiliki harta yang melimpah dan berpakaian lesuh.

Karena pergaulan dengan orang yang khusyuk dengan akhirat lebih

baik dari pada dengan orang yang mewah dalam kehidupannya.

c. QS. al-Kahfi : 7

٧ ‫ض ِزين َٗة لَّهَا لِن َۡبلُ َوهُمۡ أَيُّهُمۡ أَ ۡح َسنُ َع َماٗل‬ ‫أۡل‬ ۡ
ِ ‫إِنَّا َج َعلنَا َما َعلَى ٱ َ ۡر‬

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi


sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”
(QS. al-Kahfi ayat 7).58

Sifat perhiasan pada ayat ini menjadi latihan untuk orang

mukmin, bagaimana seorang mukmin melatih dirinya agar indah dan

bersinar dengan cara memperindah jiwa. Dan dalam memperindah jiwa

ini dibutuhkan latihan membiasakan membersihkan jiwa ketika

dihadapkan dengan perhiasan duniawi. Saat itulah keindahan jiwa

seorang mukmin diuji apakah dia akan menggunakannya dengan baik

atau sebaliknya. Ujian ini dalam rangka meraih keindahan jiwa bagi

seorang mukmin sendiri.

“Lalu Allah melanjutkan sabdanya:“sesungguhnya telah


kami jadikan apa yang ada di bumi ini sebagai perhiasan
baginya” (pangkal ayat7)Artinya, bahwasannya segala
yang ada di muka bumi ini adalah perhiasan bagi bumi ini
sendiri. Ada gunung-gunung danau dan laut, sawah dan
ladang, sungai bandar galian. Demikian juga binatang-
binatang dengan berbagai warna dan perangainya, ada
yang liar ada yang jinak, ada yang merangkak kaki empat
ada yang melata. Demikian juga tumbuh-tubuhan, sejak
dari kayu di hutan sampai rumput yang sehelai. Semua itu
adalah perhiasan bagi bumi ini. Bahkan ada perhiasan

58
QS. al-Kahfi ayat 7.
81

yang tersembunyi, digali baru keluar, sebagaimana emas


dan perak, intan dan berbagai permata. Guna apa
semuanya itu dijadikan sebagai perhiasan bumi?. “karena
kami hendak mengujui mereka siapa di antara mereka
yang baik amalannya.
Hendaklah jiwa dilatih dan perasaan diperhalus hingga
kenalah dia akan keindahan itu. Tegasnya hendaklah jiwa
itu diperindah pula supaya nampaklah jiwa itu sebagai
keindahan di luar dirinya. Tegasnya lagi kenalah dia
bahwa keindahan di luar dirinya adalah sebagian dari
dirinya. Akhirnya bertemulah intisari hadits yang
terkenal : “sesungguhnya Allah itu indah, suka akan
keindahan”. Iman kepada Allah menimbul keindahan
dalam jiwa yang menyebabkan kelihatan keindahan yang
di luar diri sebab iman itu memancarkan nur dari dalam
jiwa, apatah lagi kalaw iman itu berpadu dengan ilmu
niscaya bertambah jelaslah keindahan dan nampak bahwa
segala sesuatau yang ada dalam bumi adalah perhiasan
bagi bumi. Kalau ini sudah kita ketahui dan amalkan kita
akan gembira dan merasa bahagia menjalani hidup ini,
karena kita melihat pula bahwa segala sesuatu itu hidup.
Jika kita tidak melihat keindahan itu, malahan semua kita
lihat muram dan suram, periksalah keindahan jiwa sendiri.
Dia melihat sesuatu kabur karena dialah yang kabur.
Akhirnya dengan melatih jiwa mengenal keindahan
sampailah di keindahan yang mutlak itulah Allah.”59
.
Pandangan para mufassir ayat ini sebagai berikut:

Menurut Qurthubi yang dimaksud dengan perhiasan(zīnah)

adalah:

Zīnah sesuatu yang secara tabiiat (alamiah) memiliki keindahan

dari segi bentuk, manfaat, keindahan warna dan lain sebagainya.

Adapun segala hal yang ada di bumi ini yang tidak memiliki keindahan

bentuk seperti menyeramkan, menakutkan bentuknya tidaklah termasuk

perhiasan.

59
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid XV.....hlm. 4154.
82

“Semua hal yang ada di muka bumi. Ini bersifat umum


karena menunjukan kepada penciptanya, sekelompok
ulama lain mengatakan yang dimaksud adalah binatang
ternak, pakaian, buah-buahan, air, dan semacam di
dalamnya ada unsur perhiasan. Tidak termasuk di
dalamnya gunung yang tinggi dan segala hal yang tidak
memiliki unsur keindahan seperti kalajengking dan ular.”60

Menurut al-Thaabari zīnah adalah

Dari penjelasan thabari dapat di ambil kesimpulan bahwa

sesuatu yang berpotensi menguji kemapanan dalam beragama bisa

termasuk dalam kategori zīnah.

“Sesuatu yang diciptakan di bumi yang berfungsi sebagai


ujian untuk manusia.”61

Persamaan dari tafsir-tafsir di atas dengan penafsiran Hamka

bahwa diciptakannya perhiasan sebagai ujian untuk membentuk sikap

seseorang dalam kelangsungan hidup di dunia. Adapun perbedaannya

Hamka memandang ujian dari suatu perhiasan itu sangat perlu diadakan

dalam rangka membentuk keindahan batin, karena keindahan

bathiniyah akan melahirkan keindahan lahiriyah.

60
al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Juz 14...... hlm. 137.
61
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsīr Al-Țabari jus 8. terj Ahsan Askan
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), hlm.19.
83

B. Macam-macam Zīnah Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar.

Dari ayat-ayat yang membahas tentang zīnah, penulis menyimpulkan

ada kategori besar persoalan makna zīnah. Menurut penulis Hamka membagi

macam-macam zīnah ini berdasarkan letak zīnah tersebut berada dimana, ada

tiga pembagian macam-macam zīnah di antaranya zīnah bathiniyah (keindahan

hati), zīnah badaniyah (perhiasan fisik), dan zīnah Kharijiah (perhiasan yang

berada diluar keduanya). Adapun penjelasanya yakni sebagai berikut:

1. Zīnah Bathiniyah

Penulis menemukan zīnah bathiniyah dalam tafsir al-Azhar

karangan Hamka, secara ekplisit beliau menjelaskan zīnah bathiniyah ini

dalam surat al-A’raf ayat 33:

ِّ َ‫ش َما ظَهَ َر ِم ۡنهَا َومَا بَطَنَ َوٱإۡل ِ ۡث َم َو ۡٱلبَ ۡغ َي بِغ َۡي ِر ۡٱلح‬
‫ق‬ َ ‫قُ ۡل ِإنَّ َما َح َّر َم َربِّ َي ۡٱلفَ ٰ َو ِح‬
٣٣ َ‫وا َعلَى ٱهَّلل ِ َما اَل ت َۡعلَ ُمون‬ ْ ُ‫وا بِٱهَّلل ِ َما لَمۡ يُنَ ِّز ۡل بِ ِهۦ س ُۡل ٰطَ ٗنا َوأَن تَقُول‬
ْ ‫َوأَن تُ ۡش ِر ُك‬

“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan


yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan
yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk
itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-A’raf ayat 33)62

Dalam hal ini Hamka mengkorelasikan (muna>sabah) dengan

ayat yang sebelumnya yaitu ayat 32 dan 31. Ketiga ayat ini menjelaskan

tentang perhiasan, didahului dengan perintah berhias saat hendak

62
QS. al-A’raf ayat 33.
84

memasuki masjid, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan bahwa

perhiasan bukanlah hal yang harus dijauhi atau ditinggalkan begitu saja.

Dengan aggapan bahwa perhiasan akan mengotori hati, sehingga tidak

akan mampu mendekatkan diri kepada sang maha kuasa bila masih

memiliki perhiasan. Ayat 33 ini membantah dan merubah pola pikir

bahwa Islam memperbolehkan mukmin menggunakan perhiasan yang

Allah sediakan untuk orang mukmin baik di dunia hingga akhirat.

Dengan catatan tidak dibenarkan menggunakannya secara berlebihan. Di

ayat ke 33 inilah Allah menegaskan bahwa yang Allah larang bukanlah

perhiasan emas perak. Tetapi yang Allah larang adalah kekejian yang

seseorang pelihara di dalam hatinya. Sebab perhiasan yang sesungguhnya

adalah dengan bersihnya hati.

Hamka juga menerangkan dalam QS. al-Kahfi ayat 46.

َّ ٰ ‫ت ٱل‬
ُ ‫صلِ ٰ َح‬
ۡ ‫ت خ َۡي ٌر ِعن َد َربِّكَ ثَ َوابٗ ا َو‬
‫خَي ٌر‬ ُ َ‫ۡٱل َما ُل َو ۡٱلبَنُونَ ِزينَةُ ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۖا َو ۡٱل ٰبَقِ ٰي‬
٤٦ ‫أَ َماٗل‬

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia


tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih
baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan” (QS. al-Kahfi ayat 46)63

Kedua suratnya yakni al-Kahfi ayat 46 dan al-A’raf ayat 33

memperjelas adanya perhiasan yang berada dijiwa seseorang. Dalam

surat di atas ada istilah al-Baqiyah Shalihah efek perbuatan shalih akan

menjadi perhiasan yang luar biasa di sisi Allah SWT. Perhiasan duniawi

hanya akan menghiasi kehidupan dunia saja. Sedangkan perhiasan

63
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid IX.... hlm. 261.
85

ukhrawi akan bersifat kekal bagi pemiliknya dan akan mendapat

perhatian khusus yaitu di samping Allah SWT. Perhiasan ini berupa

kebaikan yang dilakukan oleh hamba yang beriman dan berusaha

menjalan kebaikan karena Allah SWT.

2. Zīnah Badaniyah

Secara bahasa badaniyah berarti fisik. Oleh karena itu, zīnah

badaniyah bermakna segala perhiasan yang melekat di tubuh seseorang,

juga bermakna perhiasan yang bersifat bawaan secara fisik. Hamka

berpendapat bahwa, pada dasarnya seluruh aurat perempuan yang

memiliki daya tarik tersendiri merupakan perhiasan yang tak selayaknya

dipertontonkan. Keterangan ini terdapat dalam surat al-Nur ayat 60

sebagai berikut:

َ َ‫س َعلَ ۡي ِه َّن ُجنَا ٌح أَن ي‬


‫ض ۡعنَ ثِيَابَه َُّن‬ َ ‫احا فَلَ ۡي‬ ٗ ‫َو ۡٱلقَ ٰ َو ِع ُد ِمنَ ٱلنِّ َسٓا ِء ٰٱلَّتِي اَل يَ ۡرجُونَ نِ َك‬
٦٠ ‫يم‬ٞ ِ‫ر لَّه ۗ َُّن َوٱهَّلل ُ َس ِمي ٌع َعل‬ٞ ‫خَي‬
ۡ َ‫ت بِ ِزين ٖ َۖة َوأَن يَ ۡست َۡعفِ ۡفن‬
ِ ۢ ‫غ َۡي َر ُمتَبَ ِّر ٰ َج‬

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari


haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi),
tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka
dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan
berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Nur ayat
60)64

Ayat ini berkaitan diperbolehkannya menanggalkan sebagian

pakaiannya bukan bermaksud untuk tabarruj. Dari ayat ini istilah

tabarruj memberi batasan sekaligus peringatan untuk tidak

melakukannya. Ruang lingkup tabarruj tidak terbatas hanya

64
QS. al-Nur ayat 60.
86

berhubungan dengan cara berhias dengan kosmetik semata, tapi pola

pakaian yang membuka aurat dengan potongan dan mode yang trend ala

kaum modern yakni membuka dan memperlihatkan bagian-bagian yang

memiliki daya tarik entah secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Sedangkan tabarruj merupakan berdandan dengan cara yang keluar dari

kewajarannya. Misalkan berpakaian secara berlebihan, bedak tebal,

lipstik dengan warna yang mencolok dan berpakaian yang merangsang.

Tindakan-tindakan seperti ini termasuk dalam kategori tabarruj secara

definitif. Menurut Imam Bukhari yang dinamakan tabarruj adalah

tindakan seorang wanita yang menampakkan kecantikannya kepada

orang lain.65 Menampakkan kemolekan tubuh yang indah, menanggalkan

pakaian dengan mempertontonkan aurat merupakan jenis tabarruj. Aurat

itu sendiri merupakan perhiasan, dikatakan perhiasan karena memiliki

daya tarik bagi lawan jenis.

Kemudian dari sinilah dikatakan perhiasan bada>niyah yaitu

perhiasan yang bersifat alami, bawaan (thabi’yah) yang mana dalam ayat

ini berupa aurat. Aurat sendiri memiliki daya tarik menurut Hamka dalam

menafsirkan ayat tersebut. Menurut sebagian ulama’, aurat pada

hakikatnya merupakan perhiasan yang memiliki daya tarik tersendiri, dan

aurat bersifat bawaan atau melekat dalam fisik laki-laki maupun

perempuan. Makna zīnah badaniyah adalah perhiasan yang berada dalam

65
Siti Mariatul Kiptiyah, Anak dan Harta : “Pakaian di Dalam al-Qur’an” skripsi
Fakultas Ushuluddin, 2014, hlm. 4.
87

fisik seseorang baik berupa keindahan tubuh, kesempurnaan bentuk, kuat,

tampan dan lain sebagainya.

3. Zīnah Khārijiyah

Sesuai dengan pembagian kategori besar dalam persoalan zīnah,

bahwa kategorinya dibagi menjadi tiga, bila dilihat dari segi letak zīnah,

(perhiasan) tersebut. Yang terakhir yaitu zīnah kharijiyah. Secara makna

sederhananya zīnah khārijiyah adalah perhiasan yang berada di luar fisik

dan di luar jiwa manusia. Sesuai yang dikatakan oleh Imam al-Syaukani

perhiasan yang dimaksud dalam fikih, suatu benda yang digunakan oleh

perempuan sebagai perhiasan yang berada diluar bukan berupa perhiasan

yang secara lahiriyah.66 zīnah kharijiyah ini akan membahayakan

pemiliknya jika dalam penggunaannya berlebihan dan melampaui batas.

Pada dasarnya zīnah kharijiyah seperti halnya bersifat kasbi atau butuh

diupayakan dalam memperolehnya. Ketika perolehan yang begitu banyak

tidaklah membuat manusia merasa cukup tapi justru sebaliknya. Ayat-

ayat yang sesuai dengan zīnah kharijiyah diantaranya yakni dalam QS.

al-Hadid ayat 20 dan QS. al-Nahl ayat 8.

‫ر فِي ٱأۡل َمۡ ٰ َو ِل‬ٞ ُ‫ينَة َوتَفَا ُخ ۢ ُر بَ ۡينَ ُكمۡ َوتَكَاث‬


ٞ ‫و َو ِز‬ٞ ‫ب َولَ ۡه‬ٞ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا أَنَّ َما ۡٱل َحيَ ٰوةُ ٱل ُّد ۡنيَا لَ ِع‬ ۡ
‫ص فَ ٗ ّرا ثُ َّم يَ ُك ونُ ُح ٰطَ ٗم ۖا‬
ۡ ‫ب ۡٱل ُكفَّا َر نَبَاتُهۥُ ثُ َّم يَ ِهي ُج فَتَ َر ٰىهُ ُم‬ ٍ ‫َوٱأۡل َ ۡو ٰلَ ۖ ِد َك َمثَ ِل غ َۡي‬
َ ‫ث أَ ۡع َج‬
ٰ ‫ۚن َومَا ۡٱل َح‬ٞ ‫ض ٰ َو‬
‫يَوةُ ٱل ُّد ۡنيَٓا إِاَّل َم ٰتَ ُع‬ ٞ ‫َوفِي ٱأۡل ٓ ِخ َر ِة َع َذ‬
ۡ ‫ة ِّمنَ ٱهَّلل ِ َو ِر‬ٞ ‫يد َو َم ۡغفِ َر‬ٞ ‫اب َش ِد‬
ۡ
٢٠ ‫ُور‬ ِ ‫ٱل ُغر‬

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini


hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-
66
Ahmad al-Sinqiti, Aḍwā’ al-Bayān, Juz 2.....hlm. 45.
88

banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan


yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani:
kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah” (QS. al-Hadid ayat 20).67

ُ ُ‫ير لِت َۡر َكبُوهَا َو ِزين َٗۚة َويَ ۡخل‬


٨ َ‫ق َما اَل ت َۡعلَ ُمون‬ َ ‫َال َو ۡٱل َح ِم‬
َ ‫َو ۡٱلخ َۡي َل َو ۡٱلبِغ‬

“Dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar


kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan.
Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak
mengetahuinya” (QS. an-Nahl ayat 8)68

Kedua ayat tersebut memiliki hubungan bahwa keduanya

memuat makna zīnah. Yang memuat makna zīnah kharijiyah dikatakan

demikian karena sesorang tidak tiba-tiba memiliki barang berupa harta

benda dan mangendalikan harta benda tersebut. Begitu juga dengan surat

an-Nahl menerangkan tentang kendaraan. Seseorang yang lahir di dunia

ini tidak serta merta memiliki kendaraan. Akan tetapi memerlukan proses

perjuangan usaha untuk memperolehnya. Dari sinilah kemudian makna

zīnah kharijiah disimpulkan bahwa zīnah tersebut berupa benda yang

berada di luar dan memerlukan usaha untuk mendapatkannya. Dilihat

dari letak zīnah, zīnah kharijiyah berada diluar jiwa dan fisik artinya

manusia tidak bisa serta merta memperolehnya.

C. Pesan-pesan yang Terkandung dalam Ayat-ayat Zīnah


67
QS. al-Hadid ayat 2.
68
QS. al-Nahl ayat 8.
89

Dari penafsiran Hamka di atas, penulis menemukan beberapa

pesan yang tersirat dalam pembahasan zi>nah, antara lain sebagai berikut:

1. Menggunakannya dengan Seimbang Berada di Tengah-tengah

ِ ۚ ‫ت ِمنَ ٱل ر ِّۡز‬
َ‫ق قُ ۡل ِه َي لِلَّ ِذين‬ ِ َ‫قُ ۡل َم ۡن حَ َّر َم ِزينَةَ ٱهَّلل ِ ٱلَّتِ ٓي أَ ۡخ َر َج لِ ِعبَا ِد ِهۦ َوٱلطَّيِّ ٰب‬
٣٢ َ‫ت لِقَ ۡو ٖم يَ ۡعلَ ُمون‬ ِّ َ‫ص ٗة يَ ۡو َم ۡٱلقِ ٰيَ َم ۗ ِة َك ٰ َذلِكَ نُف‬
ِ َ‫ص ُل ٱأۡل ٓ ٰي‬ َ ِ‫وا فِي ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَا خَ ال‬
ْ ُ‫َءا َمن‬

“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan


dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-
hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu
(disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia”. (QS. al-A’raf ayat 32).69

Ayat ini mengandung pertanyaan sanggahan, karena melihat

realitas masyarakat yang beragama dari zaman jahiliyah, beranggapan

bahwa seorang hamba harus meninggalkan perhiasan apapun untuk

menghadap Tuhan, dan ada juga yang berada di ektrim kiri memakai dan

menggunakannya sampai lupa berlebihan. Dari kedua kubu inilah al-

Qur’an datang sebagai hakim yang adil menjadi pihak ketiga yang

menengahi kedua kubu yang bersebrangan dengan mengambil jalan

tengah. Yakni mempersilahkan mengambil bagian memakai atau

mengkonsumsinya sekedar kebutuhan dan tuntutan keadaan dan bersifat

seimbang tidak begitu sibuk dalam memperolehnnya, juga tidak perlu

meninggal perhiasan secara total. Adapun perhiasan yang mendukung

suatu ibadah menjadi sempurna maka sangat-sangat dianjurkan untuk

memperhatikan dan menggunakannya, seperti berpakaian indah, bersih,

dan suci dan memakai wangi-wangian saat berangkat shalat.

69
QS. al-A’raf ayat 32.
90

2. Bersyukur atas PemberianNya dan Menjaganya.

Zīnah tidak hanya meliputi benda atau barang yang

dipergunakan untuk memperindah. Menurut Hamka aurat merupakan

perhiasan, dikarenakan memiliki daya tarik yang kuat untuk menarik

lawan jenis dan segala sesuatu yang mempunyai daya tarik secara

definitif bisa dikatakan sebagai perhiasan. Keindahan fisik merupakan

suatu pemberian yang sempurna yang dianugrahkan Allah kepada

hamba-Nya dengan segala kesempurnaan-Nya. Seperti halnya Allah

mendesain fisik manusia khususnya wanita dengan sedemikian rupa yang

memiliki daya tarik baik bagi kaum laki-laki maupun dari kalangan

perempuan.70 Keindahan yang dianugrahkan Allah SWT haruslah

disyukuri dan dijaga. Karena hakikatnya setiap keindahan adalah nikmat

yang harus disyukuri . Dan tidak cukup hanya dengan disyukuri saja,

tetapi juga perlu dijaga sesuai seperti yang tercantum dalam QS al-Nūr

ayat 31 bahwasanya tidaklah layak seorang perempuan menampakkan

perhiasannya (auratnya) kecuali yang diperbolehkan dilihat. Adanya

larangan bagi perempuan mengumbar aurat dalam rangka menjaga

perempuan itu sendiri agar tetap terhormat terlebih lagi terjaga dari

dosa.71

3. Perhiasan Jangan Sampai Membuat Seorang Mu’min Lalai.

70
http://www.kompasiana.com.1998/ Arkeologi-estetika-tubuh-perempuan. 7 juli, 15:12.
71
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 285.
91

Di dunia perhiasan bukan sebagai alat kepuasan, melainkan

cobaan yang harus diwaspadai. Banyaknya pengalaman yang terjadi di

tengah-tengah masyarakat modern, orang yang berlimpah rizkinya sering

kali goyah keimanannya, justru menggunakan harta tersebut tidak

sebagaimana mestinya. Hal ini Allah terangkan dalam QS. al-Kahfi ayat

7 sebagai berikut:

٧ ‫ض ِزين َٗة لَّهَا لِن َۡبلُ َوهُمۡ أَيُّهُمۡ أَ ۡح َسنُ َع َماٗل‬ ‫أۡل‬ ۡ
ِ ‫إِنَّا َج َعلنَا َما َعلَى ٱ َ ۡر‬

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi


sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”
(QS. al-Kahfi ayat 7).72

Perhiasan dunia merupakan cobaan bagi orang mukmin. Dengan

keberadaannya, apakah seorang mukmin menjadi semakin baik atau akan

menjadi semakin buruk. Dua kemungkinan ini berkaitan dengan cara

memperoleh dan cara menggunakan perhiasan tersebut, dibenarkan

secara syari’at atau tidak. Islam menganjurkan pemeluknya untuk tidak

sembarangan dalam memperoleh harta, harus memperhatikan aturan

main syari’at.73 Daya tarik perhiasan ini yang membuat seseorang

terkadang menghalalkan segala cara. Begitu juga dalam

menggunakannya ingin tampil mewah dan terjatuh dalam kemewahan.

Sudah barang tentu orang yang terbiasa hidup mewah akan merasa di atas

dan menganggap rendah orang yang berada dibawahnya. Seperti yang

dikisahkan dalam al-Qur’an tentang Fir’aun yang menindas kaum


72
QS. al-Kahfi ayat 7.
73
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 10.
92

bawahan dan menggunakan mereka sebagai alat untuk memenuhi

kemewahan mereka:

‫َوقَا َل ُمو َس ٰى َربَّنَٓا إِنَّكَ َءات َۡيتَ فِ ۡرع َۡونَ َو َمأَل َهۥُ ِزين َٗة َوأَمۡ ٰ َواٗل فِي ۡٱل َحيَ ٰوة ٱل ُّد ۡنيَا َربَّنَا‬
ْ ُ‫ٱش د ُۡد َعلَ ٰى قُلُ وبِ ِهمۡ فَاَل ي ُۡؤ ِمن‬
‫وا‬ ۡ ‫س َعلَ ٰ ٓى أَمۡ ٰ َولِ ِهمۡ َو‬ ۡ ‫ك َربَّنَا‬
ۡ ‫ٱط ِم‬ َ ۖ ِ‫وا عَن َس بِيل‬ ْ ُّ‫ُض ل‬
ِ ‫لِي‬
َ ‫َحتَّ ٰى يَ َر ُو ْا ۡٱل َع َذ‬
٨٨ ‫اب ٱأۡل َلِي َم‬

“Musa berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau


telah memberi kepada Fir´aun dan pemuka-pemuka
kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan
dunia, ya Tuhan Kami akibatnya mereka menyesatkan
(manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami,
binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati
mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka
melihat siksaan yang pedih" (QS. Yunus ayat 88).74

Ayat di atas mempertegas bahwa perhiasan bagi manusia adalah

cobaan yang seyogyanya jangan sampai membuat seorang mukmin lalai

dengan tuhan-Nya terlebih lagi jangan sampai menyesatkan orang lain

dengan menggunakan perhiasan dunia. Kelemahan manusia atas

perhiasan sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, namun mengendalikan diri

menjadi solusi akhir untuk tidak memperolehnya dengan cara yang salah

apalagi menggunakannya dengan cara yang salah.75

D. Relevansi Penafsiran Hamka dengan Konteks Kekinian

Relevansi penafsiran Hamka dalam studi tafsir tampak pada

penyajian data yang ada, baik dengan landasan teologi maupun landasan
74
QS. Yunus ayat 88.
75
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah (Jakarta: Karya Media Pratama, 2000), hlm. 75.
93

rasio. Penulis melihat penafsiran Hamka relevan dengan konteks

kekinian. Hal ini tampak jelas pada penafsiran surat al-Kahfi ayat 46 dan

surat al-A’raf 32. Keduanya berhubungan dengan ayat zinah lainnya.

Sikap seorang mukmin terhadap perhiasan dunia sangat penting untuk

dicermati dalam rangka memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat. Di

zaman modern segala sesuatu di ukur berdasarkan harta kekayaan dan

kenikmatan dunia. Terbukti dengan banyaknya orang yang mencari

kekayaan dunia, hingga lalai dengan kehidupan akhirat. Hamka berbeda-

beda dalam menyikapi ketiga jenis zinah di atas. Dalam persoalan zinah

kharijiyah Hamka menghimbau kepada orang mukmin agar tidak

berlebih-lebihan dalam perhiasan dunia, hingga lalai dengan kehidupan

akhirat. Selain itu Hamka menggunakan pendekatan sosial bahwa, zinah

kharijiyah yang berupa harta kekayaan menentukan status sosial di

masyarakat dan membuat pemiliknya menjadi semena-mena merasa

dirinya memiliki kekuasaan dan kekuatan untuk mengatur orang yang

ada disekitarnya dengan harta tersebut. Sedangkan dalam persoalan zinah

ba>thinyah (keindahan hati), Hamka menganjurkan dengan tegas kepada

seorang mu’min untuk memilikinya. Pada QS al-Kahfi ayat 46 Hamka

menambahkan bahwa ba>qiyah shalihah adalah perhiasan yang kekal di

sisi Allah SWT, sudah selayaknya orang mu’min lebih mementingkan

perhiasan yang kekal dari pada perhiasan yang bersifat sementara. dari

urain di atas penafsiran Hamka relevan dengan konteks kekinian. Di

tengah-tengah zaman modern ini kembali kapada fitrah manusia yang


94

utuh yang memiliki keindahan hati adalah solusi kebahagiaan hidup di

dunia dan akhirat.

Anda mungkin juga menyukai