Buku ini telah ditelaah dan ditashih oleh Tim Majelii Ulama Indonesia (MUI)
dan dinyatakan layak serta baik untuk bacaan di masyaraka! dan lingkungan
pesantren.
M * r x * g a h P c rm fc a h a n Din*
Keluarga Berencana (KB) merupakan suatu ikhtiar untuk mengatur
kehamilan dalam keluarga, sehingga terjaga kesehatan ibu dan anak,
terbentuk generasi yang sehat, cerdas dan shalih, serta tercipta keluarga
yang lebih Sejahtera dan bahagia. KB dengan tujuan seperti itu menurut MUI
dibenarkan dalam Islam selama menggunakan cara yang tidak bcrtentangan
dengan hukum agama.
Karena itu, melalui program "Sosialisasi Program KKBPK berbasis
Keagamaan" BKKBN memberikan sumbangsih kepada Bangsa Indonesia
dan umat Islam pada umumnya, serta pesantren pada khususnya, berupa
kumpulan buku-buku referensl yang dapat membantu umat dalam menjaga
kesehatan keluarga. Kumpulan buku kepustakaan Ini telah lulus kajian
Majelis Ulama Indonesia, sehingga dapat menjadi bahan referensl dalam
menciptakan sikap positif umat Islam untuk mencapal keluarga sejahtera dan
bahagia.
Pada akhirnya, kita sepakati bahwa perubahan mental positif diawali
dari perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak individu. Individu yang
memiliki sikap positif dalam lingkup kecil pesantren, nantinya akan menjadi
panutan dalam keluarga, dalam lingkup sosial umat Islam serta lingkup
Bangsa Indonesia dalam skala nasional dan global.
Saya berharap buku ini dapat menjadi pegangan bagi santri-santri di
Indonesia, sebagai generasi penerus bangsa dalam mencapai Indonesia
Emas tahun 2045, dalam membangun keluarga yang Sakinah, Mawaddah,
Warohmah, dengan menunda usia kawin 21 tahun bagi w an ita dan 25
tah u n bagi pria.
Wasalamua'laikum warohmatuliahhi wabarakatuh
M e n c c g a h P e r n ik a h a n D in i
Daftar Isi
P e r n ik a h a n D m l
BAB VII KISAH INSPIRATIF M ELAW AN PERN IKA H AN D IN I 161
A. M em om ary 8anda —Afrika.......................................................... 162
B. Bitika Bias — In d ia ...........................................................................164
C. Pak Lurah Supoyo — Jawa Tim u r................................................. 165
D. Suharti —R em b an g........................................................................ 167
E. Om aim a — S u ria h ...........................................................................168
F. Nurul Indriyani — Jawa T e n g a h ................................................... 170
M e n c e g a h P e r n i k a h a n D in i
FENOM ENA DAN FAKTA
PERNIKAHAN DINI
A . Pernikahan Dini?
M
enikah merupakan salah satu tahapan penting
dalam kehidupan seseorang. Setiap yang mengambil
keputusan untuk menikah, tentunya berharap
akan adanya kebahagiaan-kebahagiaan di sana. Untuk itulah,
hendaknya pernikahan dipersiapkan dengan matang. Pernikahan
tanpa kematangan psikis maupun fisik pelakunya biasanya akan
menimbulkan sesuatu yang kurang baik. Seperti halnya pernikahan
dini. Istilah pernikahan dini muncul dalam masyarakat zaman
sekarang sebagai sesuatu yang bermakna negatif.
Jika bicara mengenai pernikahan dini, kita tak bisa lepas dari
definisi pernikahan itu sendiri. Kita harus tahu apa itu pernikahan,
dan mengapa ada istilah pernikahan dini?
Definisi pernikahan dijelaskan dalam UU No 1 Tahun 1974, pasal
1, yang berbunyi, "Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Adapun batasan usia
mempelai menurut UU Nomor 1 tahun 1974 pasal 7 ayat 1 yaitu
minimal 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan minimal berusia
16 tahun. Maka pernikahan yang dilaksanakan oleh mempelai
yang keduanya atau salah satunya berusia di bawah standar
yang disebutkan dalam UU Perkawinan tersebut dikenal sebagai
pernikahan dini.
1. Menurut negara
2. Menurut kedokteran
3. Menurut Islam
M * n < e s » h P e r n ik a h a n D*>l
calon suami dan istri.
4. Menurut psikologi
5. Menurut BKKBN
Pernikahan dini ialah pernikahan di bawah umuryangdisebabkan
oleh faktor sosial pendidikan, ekonomi, budaya, orangtua, diri
sendiri dan tempat tinggal.
I V r m l o h a n D in . Q
Pernikahan dini memang bukanlah perkara baru yang ada di
sekitar kita. Sejak puluhan tahun lalu, leluhur-leluhur kita pun
telah melakukannya. Namun sayangnya, di zaman modern seperti
sekarang ini praktik menikah muda rupanya masih juga dilakukan.
Banyak anak-anak yang masih berusia belasan, akhirnya memupus
cita-citanya hanya demi berumah tangga.
P e r s e n t s s e p e tc m p u a .-i b e r u s i a 2 0 -2 4 la liu ri y a n g p e tt ta li
m e n ik A h » e b e l u m u s i a 1 8 t a h u n d i in d o iw & M
omi*
S u m b e r ft b c .c o m
0 M * n < e g » h P e r n ik a h a n D<nl
Indonesia terdiri dari mempelai perempuan berusia 15 sampai 19
tahun. Bahkan ada pula yang melibatkan perempuan usia 15 tahun
ke bawah.
M * i w g » h t o m f l o h a n D in i Q
Demi mewujudkan pernikahan yang ideal, kita hendaknya
memperhatikan beberapa aspek untuk mempersiapkannya, antara
lain sebagai berikut:
1. Aspek Biologis
Adapun aspek biologis yang perlu diperhatikan, di antaranya
melingkupi:
a. Usia
Usia ideal untuk menikah menurut ilmu kesehatan yaitu
perempuan berusia 20 tahun dan pihak laki-laki berusia 25
tahun. Namun jika mempertimbangkan kematangan mental dan
emosi, usia yang ideal untuk menikah perbandingannya adalah
25 tahun dan 30 tahun.
b. Kondisi fisik
Fisik yang baik untuk menikah adalah apabila keduanya sudah
baligh. Hal ini sebagai pertimbangan akan kematangan organ-
organ reproduksi yang juga mesti diperhatikan. Misalnya seperti
perempuan berusia di bawah 16 tahun yang biasanya organ-
organ reproduksinya belum cukup matang untuk menerima
perlakuan seksual. Maka ini akan berdampak buruk jika kita
paksakan. Selain itu kesehatan jasmani juga penting menjadi
pertimbangan untuk menciptakan pernikahan yang ideal. Apakah
kita dan calon pasangan sehat? Tidak mengidap penyakit HIV/
AIDS, bukan pecandu narkotika, dan bebas penyakit turunan.
M * n < p £ i h P e r n ik a h a n D «nl
2. Aspek Psikologis
Psikologi menurut KBBI V adalah ilmu yang berkaitan dengan
proses mental, baik normal maupun abnormal dan pengaruhnya
pada perilaku. Dengan penjelasan lain, bahwa psikologi yaitu
ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa. Adapun
aspek psikologi yang perlu diperhatikan untuk mempersiapkan
perkawinan antara lain:
a. Kepribadian
Jangan mencari kepribadian sempurna untuk menjadi
pendamping hidup. Tapi carilah pasangan dengan kepribadian
yang dapat menyempumakan kehidupan kita. Ingat setiap
orang memiliki kepribadian yang berbeda, untuk membedakan
manusia satu dengan yang lainnya. Namun demikian paling tidak
pernikahan terjalin atas dua manusia yang sama-sama telah
mengenal kelebihan dan kelemahan masing-masing, sehingga
kelak dapat saling melengkapi.
b. Sifat
Setiap orang tentunya berharap akan hanya sekali melakukan
pernikahan untuk seumur hidupnya. Untuk itu kita perlu
mengenal sifat dari calon pasangan kita. Apakah sifatnya dapat
menyatu dengan sifat kita? Apakah kita dapat merasa nyaman
dengan kekurangan sifat calon pasangan? Dan banyak lagi kriteria
pertimbangan yang hanya dapat dijawab oleh diri sendiri.
4. Aspek Agama
Faktor persamaan agama menjadi penting kita pertimbangkan
demi stabilitas rumah tangga yang hendak dibangun. Idealnya,
pernikahan terjalin oleh dua manusia yang memiliki keyakinan
sama. Karena tidak dapat dimungkiri, perbedaan agama dalam satu
keluarga berisiko menimbulkan disfungsi perkawinan.
5. Aspek Sosial
Aspek sosial yang perlu dipertimbangkan dalam mempersiapkan
pernikahan yang ideal antara lain:
a. Latar belakang sosial keluarga
Untuk menjalin hubungan yang serius, idealnya kita tahu dari
manakah pasangan kita berasal. Bagaimana keluarganya?
Apakah ia berasal dari keluarga baik-baik atau bukan. Mengingat
sebuah keluarga memiliki kecenderungan untuk membentuk
karakter seseorang, maka apabila calon pasangan kita berasal
^ M t n c if a h Pernikahan Drftl
dari keluarga baik-baik, adalah menjadi harapan bagi kita untuk
membangun keluarga baik-baik pula ke depannya.
b. Latar belakang budaya
Latar belakang budaya memang bukan hal yang vital untuk
dipertimbangkan dalam membangun suatu hubungan. Namun
aspek ini juga tidak bisa diabaikan lantaran kerap terjadi suatu
hubungan terkendala oleh perbedaan latar belakang budaya.
Mempertimbangkan aspek ini akan menjadi bekal kita untuk
menumbuhkan sikap saling menghormati dalam keluarga.
c. Pergaulan
Pergaulan menjadi aspek penting yang hendaknya
dipertimbangkan ketika mempersiapkan pernikahan. Kita musti
tahu bagaimanakah pergaulan calon pasangan kita. Apakah ia
terlibat pergaulan yang negatif atau positif? Kemudian tanyakan
pada diri sendiri, dapatkah kita menerima pilihan pergaulan
yang diambil oleh calon pasangan kita? Inilah pentingnya kita
mempertimbangkan aspek sosial dalam bergaul.
6. Aspek Ekonomi
Membangun rumah tangga tidak cukup berbekal cinta saja, tapi
juga biaya untuk menjalankan kehidupan pernikahan. Untuk itu
aspek ekonomi menjadi penting untuk dipertimbangkan, misalnya
soal pekerjaan, dan juga tabungan.
Somber: bo-maiatu.com
oyangkanlah, jika kita adalah seorang remaja berusia
belasan. Dalam kepala kita ado banyak sekali mimpi yang
ingin diraih. Ingin menjadi penulis, menjadi dokter, menjadi
aktris, atau mungkin ingin menjadi arsitek. Dalam keadaan bimbang
menimang-nimong mana yang mesti diambil—karena semuanyo
sangot menggoda-tiba-tibo sebuah pilihan yang soma sekali tidak
terbayangkan justru harus diambil.
Pilihan itu bernomo pernikahan. Kita dipaksa menikah lantaran
adat istiadat. Kita dipaksa menikah demi memperbaiki nosib
keluarga. Kita dipaksa menikah demi menghindari dosa. Dan
payahnya, kita tak bisa menolak sehingga terpaksa memadamkan
segala cita-cita yang ada di kepala.
Dapatkah dibayangkan, bagaimana perasaan kehilangan cita-
cita, kehilangan masa remaja, terancam kehilangan hak mengenyam
pendidikan, dan hak untuk hidup bebas seperti remaja biasa?
Pernahkah dibayangkan, jika padamnya cita-cita dapat menjadi
pemicu seseorang mengalami stres? Belum lagi apabila pernikahan
itu sendiri menimbulkan konflik. Maka pernikahan yang diharapkan
mampu memberikan kehidupan baru yang indah justru membawa
kita dalam neraka seketika.
Adapun dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari pernikahan
dini antara lain sebagai berikut.
e M « n < * g * h P * c n lk » h » n D * il
belum matang. Ketidakmatangan inilah yang pada akhirnya kerap
memberikan efek negatif bagi pelakunya.
1. Depresi
Pelaku pernikahan dini rentan mengalami depresi. Hal ini
berkaitan dengan usia mereka yang masih labil, di mana mental dan
kepribadiannya belum matang. Seseorang yang belum cukup usia,
umumnya tak cukup tangguh untuk dibebani masalah anak, konflik
keluarga, sampai dengan tekanan ekonomi. Beban-beban tersebut
tidak bisa dimungkiri dapat menjadi pemicu seseorang mengalami
depresi. Belum lagi jika pernikahan itu sendiri menimbulkan
kekecewaan berlarut-larut, yang pada akhirnya mengakibatkan
neuritis depresi.
Berikut adalah hal-hal yang memicu pelaku pernikahan dini
menjadi depresi.
a. Belum sanggup mengurus anak
Mengurus anak bukanlah hal yang mudah, apalagi jika yang
mengurusnya masih dalam kategori anak-anak.
M « n c * g a h P e r n ik a h a n D in i Q
© Pesan dari +62 857-1493-5404 @ Sharing
Contoh kasus:
la seorang perempuan berusia 14 tahun. Karena kondisi
tertentu ia harus melepas masa iajangnya dengan pasangan
yang dipilihkan oleh orangtua. Kemudian dari pernikahan
tersebut, ia melahirkan seorang anak.
Hari-harinya setelah menjadi ibu diisi dengan kesibukan
mengurus anak. Tak ada lagi waktu tersisa untuk memikirkan
dirinya sendiri. Yang ada hanya anak, anak, dan anak.
Padahal dalam hati kecilnya ia pun sebenarnya masih ingin
seperti remaja lain, la masih ingin bermain, jalan-jalan, atau
mencoba hal-hal baru yang belum pernah dicapai.
Hasil dari pertentangan hati antara kewajiban menjadi
ibu dan masih ingin bebas, lama-lama membuatnya
semakin tertekan. la merasa tidak becus menjadi seorang
ibu. la merasa bcrsalah pada anaknya. la merasa kehilangan
dunianya. la merasa menyesal menikah. Perasaan-perasaan
negatif tersebut menumpuk berhari-hari hingga di suatu
ketika ia mendapati ASl-nya tidak lagi keluar. la pun panik.
la makin merasa tidak berguna. Sampai di batas ia tidak
ingin melihat anaknya lagi. Hingga akhirnya. seorang bidan
menyadarkan keluarganya bahwa anak usia 14 tahun
tersebut tengah mengalami depresi.
b. Konflik keluarga
Sebuah pernikahan tak luput dari konflik, apa pun itu pemicunya.
Namun bagi mental yang belum jadi, konflik sederhana sekalipun
dapat m em buat dirinya m engalam i depresi.
O M * n < * g a h P w n lk a h a n D m l
© Pesan dari +62 852-2200-1666 @ Sharing
Contoh kasus:
c. Tekanan ekonomi
Setiap yang hidup selalu m em butuhkan biaya. Apalagi setelah
berumah tangga. Idealnya, setelah m enikah seseorang haruslah
m andiri. Tidak lagi bergantung pada orangtua. Maka mau
tidak mau, m eski usia belum cukup dewasa, seseorang yang
telah m enikah harus m am pu m enghidupi keluarganya, baik itu
perem puan m aupun laki-laki. Keharusan yang sulit dilakukan
inilah yang kerap m enjadi pem icu seseorang m engalam i depresi.
M e r x e g a h P e r n i k a h a n D im
r
© © ?v # ,e| l f D Q .il 10:49
Contphkasus
la tclah memutuskan untuk menikah muda. la kira
menikah hanya berisi kesenangan-kesenangan karena dapat
bersama selama 24 jam dengan orang yang dicintai tanpa
ada larangan. Tak terplkir sebelumnya, bahwa membangun
sebuah rumah tangga membutuhkan biaya yang tidak
sedikit.
Minggu pertama ia mulai memikirkan bagaimana untuk
membeli beras, mengisi perabot rumah, membeli lauk dan
sayuran. Bulan pertama ia sudah dibebani tagihan listrik,
telepon, dan internet sendiri.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, akhirnya ia bekerja
semampunya. Dengan usia yang belum cukup dewasa, yang
tentunya pendidikan pun terbatas, ia mengerjakanpekerjaan
apa pun. Tujuannya hanya satu, mendapatkan uang.
Karena keterbatasan itulah ia mulai merasa tersiksa.
la baru menyadarl bahwa pernikahan telah memutus
kesenangan-kesenangannya selama menjadi tanggungan
orangtua. Perasaan-perasaan negatif tersebut membuatnya
makin kalut. Terlebih tekanan kebutuhan yang tidak bisa
menunda. Maka, kondlsmya semakln buruk. Hingga akhirnya
>a mengalami depresi.
d. Perceraian dini
Salah satu risiko menikah muda adalah melakukan perceraian
di usia muda pula. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana nasib
mereka menghadapi kegagalan pernikahan? Orang yang
mentalnya lemah akan sangat mungkin terkena serangan
depresi.
O M * n < * g a h P e rn ik a h a n D m l
Contoh kasus:
H o r x e g a h P e r n ik a h a n D in i Q
a In fo r H la c i
e. Infertilasi
Salah satu tujuan m enikah bagi kebanyakan orang adalah
untuk m endapatkan keturunan. Maka jika apa yang diharapkan
tersebut tidak kunjung kesampaian, seseorang dengan mental
yang labil akan mudah sekali terserang depresi.
Contoh kasus
la memilih menikah muda, lantaran bcranggapan bahwa
kesempatan untuk mendapatkan keturunan akan lebih
besar. Maka di usia 15 tahun, ia menikah dengan lelaki
mapan.
Bulan-bulan pertama pernikahan mereka sangat bahagia.
Tidak ada masalah berarti yang dihadapi. Kebutuhan
tercukupl dengan baik. Sudah ada rumah, kendaraan
pribadi, bahkan untuk honeymoon ke mana pun bisa mereka
lakukan. Namun yang menjadi kegelisahan ialah, setelah 7
bulan pernikahan belum juga ada tanda-tanda kehamilan.
Padahal keluarga kedua belah pihak sudah sangat berharap
akan hadirnya seorang bayi.
Karena belum kunjung mendapatkan buah hati, mereka
pun pergi ke dokter spesialis kandungan. Beberapa tes
mereka lakukan untuk program kehamilan. Namun hasil
yang tidak pemah diharapkan harus mereka terima. la
mengalami infertilasi.
Berita mengejutkan tersebut tentu bagai petir di hari
yangamat cerah. Mereka pulang dengan perasaan-perasaan
yang tidak bisa dijelaskan. Hldup terasa runtuh. Tidak ada
masa depan di sana.
Q P w n lk a h a n D m l
Hari-hari selanjutnya, rumah mereka menjadi sepi.
Tidak ada gelak tawa. Tidak ada kecenaan. Semua berubah
menjadi kelabu yang membelenggu perasaan mereka
masing-masing.
f. Penyesalan berlarut-larut
H idupdalam penyesalan amatlah tidak m enyenangkan. Perasaan
itu dapat m enjadi pemicu seseorang m engalam i depresi apabila
penyesalan tidak segera diatasi.
M e n c e g a h P e r n i k a h a n D in i
© Pesan dari +62 821-2248-8856 @
Contoh kasus:
la belum lagi mendapat ijazah SMA ketika orangtuanya
memaksanya untuk menikah. la dipaksa menikah lantaran
ada seorang perjaka tua yang telah matang dari segi ekonomi
melamarnya. Pernikahan tersebut akhirnya berlangsung.
Hidup dengan orang yang tidak dicintai terlebih karena
paksaan orangtua, tentu membuatnya tidak bahagia.
Namun demlkian, ia terus mencoba mencintai suaminya.
la bersikeras belajar menerima nasib yang dialamatkan
kepadanya. Hingga pada suatu titik, akhirnya ia menyerah.
la tidak mampu mencintai suaminya dan merasa hidupnya
tidak bahagia.
Perasaan tidak bahagia mengiringi hari-harinya. la
kemudian mulai membenci suaminya yang telah memilih
dirinya. la membeci orangtuanya yang telah memaksanya
menikah. Dan ia membeci diri sendiri yang tidak berani
menolak sehingga semuanya terjadi. Kumpulan dari
kebencia-kebecnian tersebut makin lama makln menjadi.
Hingga kepalanya terasa penuh.
la makin tidak bahagia. Hari-harinya dirundung
penyesalan yang sla-sla tanpa bisa mengikhlaskannya. Di
situlah ia mulai menjalani kondisi buruk yang membuatnya
depresi.
Selain sejum lah faktor tadi, tentu masih banyak lagi pemicu
seseorang dapat mengalam i depresi akibat pernikahan dini.
P w n lk a h a n D m l
© Inform ation
CQ.ntPh.kams
Setelah berpacaran selama tiga tahun, mereka yakin
sekali bahwa menikah akan melengkapi kebahagiaan mereka.
Maka pernikahan itu pun berlangsung tepat setelah mereka
menerima ijazah SMA.
Kebahagiaan yang mereka bayangkan memang terjadi
pada bulan-bulan pertama pernikahan. Madu cinta mereka
hisap sehingga dunia berasa di surga. Hingga tiga bulan
kemudian, semuanya berubah.
Perubahan itu bermula dari masalah-masalah kecil. Si laki-
laki belum ingin memiliki anak, sedangkan si perempuan ingin
segera hamil. Perdebatan-perdebatan keol kemudian sering
terjadi. Belum lagi masalah ekonomi. Keterbatasan si laki-laki
dalam mencari uang kerap menjadi pemicu pertengkaran.
M e n c e g a h P e rn ik a h a n Din* Q
Mereka berdua belum cukup dewasa untuk menyikapi setiap
perr,oalandrngandingin. Scmua haldipandang negatif. Maka pernikahan
mereka pun akhirnya diwarnai dengan perdebatan, pertengkaran,
cemboru buta, saling curiga, hingga puncaknya saling diam Pdak txcara.
Buruknya lagi, masalah-mawilah teriebut tidak dituntaiitsn dengan
Milu'.i yang tepat karena making ma-.ing terlalu mrmcntingkan egooya
sendiri. Mereka tidak sadar bahwa itu semua kemudon mefenggot
keharmonisan rumah taogga yang sedang dibangon.
3. Gila
Dam pak dari praktik pernikahan dini, baik paksaan m aupun
tidak, bisa menjadikan orang yang terlibat di dalam nya m engalam i
gangguan jiw a. Hal ini m engingat sebuah pernikahan bukanlah
keputusan yang kecil. Pernikahan dapat m em berikan perubahan
besar bagi kehidupan m anusia. Di dalam pernikahan itu sendiri ada
banyak sekali tuntutan dan aturan yang bisa saja justru m enjadi
bencana bagi pelakunya. Oleh karena itu tidak heran jika pelaku
yang masih di bawah um ur akan rentan m engalam i tekanan emosi
akibat kestabilan jiwa yang belum matang.
O M * n < * g * h P e r n ik a h a n O m l
Contoh kasus.
4 . T ra u m a
Salah satu d a m p ak dari p ern ikah an dini a d alah p elaku m en galam i
traum a psikis yang b erkep an jan gan .
Contoh kasus:
B. Dampak Biologis
Sebuah pernikahan akan selalu melibatkan aktivitas seks di
dalamnya. Tidak terkecuali pada pernikahan dua anak manusia
yang masih berusia di bawah batas umur standar pernikahan.
Oleh karena itulah, pernikahan dini berpeluang besar memberikan
dampak biologis bagi pelakunya, terlebih bagi perempuan.
Q P e r n i k a h a n t> * il
«j: ..«U 1P
mengatakan bahwa melahirkan di bawah usia I S tahun memiliki
risiko meninggal dunia 5 kali lebih besar saat melahirkan. Hal ini
sejalan dengan tingginya angka kematian ibu yang salah satunya
disumbang oleh faktor pernikahan dini. Sangat mengerikan
bukan?
Memang bukan hal yang mudah bagi perempuan muda
untuk menjalani kehamilan. Deretan risiko yang mengancamnya
pun tidak main-main, la akan mudah terkena anemia, di mana
cirinya adalah terus merasa lelah dan lemah. Hal ini tentu
membahayakan kondisi janin dan juga kesehatan ibu. Belum
lagi saat persalinan. Pertumbuhan tulang panggul yang belum
sempurna akan berefek pada keberlangsungan persalinan.
Selain itu mereka juga berisiko terkena preklamsia, di mana ibu
mengalami peningkatan protein urine dan tekanan darah tinggi.
Jika sudah terkena eklamsia, maka keselamatan jiwa janin
dan juga ibunya sangat berisiko, karena dapat mengakibatkan
kematian.
H f lr x e g a h P e r n ik a h a n D IM o
perilaku seksual yang mengubah sel normal (sel yang biasa
tumbuh pada anak-anak) menjadi sel ganas yang akhirnya
menyebabkan infeksi kandungan bahkan kanker.
O M e r c e g a h P e r n ik a h a n O m l
© Pesan dari +62 852-1231-1665 @
C. Dampak Ekonomi
Dilihat dari segi ekonomi, pernikahan dini sering kali memberikan
dampak negatif pada pelakunya. Padahal, salah satu yang
memengaruhi kestabilan rumah tangga adalah kestabilan ekonomi
di dalamnya. Tanpa perekonomian yang stabil, rumah tangga akan
mengalami kesulitan kesulitan dalam hal pemenuhan kebutuhan.
Berikut adalah dampak ekonomi dari praktik pernikahan dini.
1. Kemiskinan meningkat
Kebanyakan pelaku pernikahan muda belum memiliki
penghasilan yang stabil. Bahkan ada juga yang justru sama sekali
belum memiliki pekerjaan. Maka dari itu, tanpa pekerjaan dan
penghasilan, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Jika kondisi tersebut tidak segera diatasi, tentu saja akan
berpengaruh terhadap tingginya tingkat kemiskinan.
Faktoryang memengaruhi kemiskinan pada pasangan pernikahan
dini, antara lain sebagai berikut:
a. Kepala keluarga tidak bekerja
Pilihan tidak bekerja bisa karena sulitnya mencari pekerjaan, atau
juga karena faktor diri di mana rasa tanggung jawab terhadap
keluarga belum tumbuh. Sehingga mereka memilih untuk tidak
bekerja.
b. Posisi pekerjaan yang stagnan
Dengan pendidikan rendah dan usia belia, perusahaan pun
akan menimbang untuk memberikan posisi yang bagus. Hal ini
membuat pelaku pernikahan dini biasanya berada dalam posisi
M e n c e g a h P e r n ik a h a n Din* Q
pekerjaan yang itu-itu saja. Posisi yang tidak berkembang tentu
berpengaruh terhadap penghasilan yang diperoleh. Padahal
kebutuhan keluarga semakin hari semakin bertambah.
c. Sulit mencari pekerjaan
Dengan status menikah, peluang seseorang mendapat
kesempatan bekerja akan semakin sempit. Hal ini otomatis
mengekalkan kemiskinan.
2. Pengangguran m eningkat
Tidak berbeda jauh dengan pembahasan pada poin pertama,
dalam hal ini pernikahan dini pun rupanya dapat membuat
tingkat pengangguran meningkat.
Adapun sejumlah faktor yang memengaruhinya yaitu:
a. Status pernikahan
Status pernikahan mempersempit peluang seseorang untuk
mendapatkan pekerjaan.
b. Rendahnya pendidikan
Pendidikan rendah berpengaruh terhadap perusahaan untuk
menerimanya sebagai karyawan.
c. Belum siap bekerja karena usia yang masih muda.
D. Dampak Sosial-Pendidikan
Dampak dari pernikahan dini antara lain melingkupi aspek sosial
dan pendidikan.
r - t o o c e g a h P e r m k a h a n D im
3. Pergaulan terbatas
Pernikahan dini berpotensi besar membatasi pergaulan
pelakunya. Seseorang yang sudah menikah tentu memiliki
batasan-batasan tidak seperti orang yang masih single. Batasan-
batasan itulah yang kemudian membuat pergaulan mereka
terbatas. Padahal pada usia mereka yang muda, gejolak untuk
bergaul dengan banyak orang sedang tinggi. Pergaulan sedikit
banyak dapat memberikan efek positif bagi pematangan
kepribadian seseorang.
P e r n ik a h a n O m l
Secara hukum, praktik pernikahan dini kerap melanggar tiga
undang-undang yang ada di Indonesia.
M « n c e g a h p A m i k a h i i n D im
Pelanggaran tersebut terlihat dari bagaimana orangtua kerap
mengabaikan tanggung jawabnya untuk melindungi, mendidik,
ataupun mengasuh. Terkadang orangtua justru menjadi pihak
yang memaksakan kehendak sendiri untuk menikahkan anak-
anak mereka yang masih di bawah umur. Dengan begitu, orangtua
sendirilah yang telah merampas hak anak-anaknya.
O P e r n ik a h a n O m l
7 M EN GAPA PERNIKAHAN ®
z DINI DAPAT TERJADI?
A. Faktor Pendidikan
Pendidikan tidak hanya kita dapatkan di ruang formal. Pendidikan
bisa berasal dari mana saja. Bisa dari keluarga, lingkungan, semesta
raya, juga dan banyak lingkaran pergaulan yang melingkari kita.
Pendidikan itu tidak hanya berhenti di ruang-ruang kelas. Oleh
karena itu, pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi faktor
pertama bagaimana seseorang memandang dunianya juga melihat
dirinya sendiri.
Pendidikan rupanya masih menjadi istilah yang sangat terbatas
di Indonesia. Pendidkan rupanya hanya diartikan di dalam ruang-
ruang kelas. Ruangform alyangkitasebut sebagai sekolah. Kurikulum
yang padat dan terkadang pada beberapa sisi, tidak mencerahkan,
menjadi salah satu pemicu mengapa banyak anak di Indonesia tidak
benar-benar tercerahkan.
Kurikulum pendidikan formal pun tidak disusun secara 'ramah'
mengadaptasi latar budaya atau latar konteks tempat di mana
si murid berada. Kurikulum yang diajarkan sering kali hanya
mengadopsi kebijakan dari pemerintah pusat, dari Jakarta. Padahal
para penyusun kurikulum itu tidak terlalu paham bagaimana kondisi
pelosok negeri. Para penyusun materi itu tidak paham bahwa
masing-masing pelosok memiliki kebijaksanaan lokal yang begitu
luar biasa. Para penyusun kurikulum itu hanya mempergunakan
pengetahuannya-yang sering kali amat terbatas—untuk
menyusun bahan ajar untuk pendidikan nasional. Nah inilah yang
memprihatinkan.
Para guru yang mengaplikasikan kurikulum ajar di ruang kelas
mereka masing-masing pun banyak yang tidak memiliki kepekaan
serta kekritisan soal ini. Para tenaga pengajar ini tidak mau bergerak
sesuai zaman. Para guru ini cenderung mentransformasikan apa
yang mereka tahu dan pelajari selama ini kepada siswa-siswa
P w n lk a h a n O m l
mereka. Mereka tidak mau meng-tvpgrode apa yang sudah mereka
miliki. Para guru ini berhenti di zaman ketika orangtua mereka
menyampaikan apa yang menjadi kebenaran tentang bagaimana
kehidupan seharusnya dijalankan.
Salah satu pendidikan yang secara kultural diterima oleh banyak
orang, bahkan masih terdengar hingga kini, adalah jargon "banyak
anak banyak rezeki". Jargon ini diturunkan dari mulut ke mulut,
dari para ibu atau bapak ke anak-anaknya, dari para nenek ke cucu-
cucunya. Anak-anak yang mendengar itu di rumah, juga mendengar
kembali di sekolah. Inilah yang membuat jargon itu, secara tidak
sadar, masuk ke dalam pikiran dan keyakinannya. Semua orang yang
ada dalam lingkaran itu sudah yakin bahwa "banyak anak banyak
rezeki" adalah hal yang benar. Sehingga kata-kata itu akhirnya pun
tidak terbantahkan.
Jargon itu tidak lagi dikritisi kebenarannya. Semua orang sudah
menelannya sebagai sesuatu yang benar. Karena, ketika kata-kata
itu sudah dikatakan dari generasi ke generasi, maka kata-kata itu
sudah dianggap menjadi mitos. Kata-kata itu diberi makna yang
dibungkus dengan berbagai kepercayaan yang diturunkan. Lebih
tidak terbantahkan lagi ketika dalil-dalil keagamaan juga ikut
menempel di situ.
Selain kurikulum dan para tenaga pendidiknya tidak peka
zaman, serta kritis pada ruang hidup di mana proses pendidikan
berlangsung, tingkat pendidikan yang kurang memadai pun juga
menjadi masalah.
Kita harus memahami dulu bahwa pendidikan adalah kunci
untuk membuka cakrawala berpikir. Oleh karena itu seperti sudah
K e r x e R a h P crm fcA h an D im
© listeners
P e r n ik a h a n Drfil
Dalam konteks pernikahan dini, maka tentang faktor pendidikan
sebagai pendorong banyaknya praktik ini adalah bisa dijelaskan
seperti yang terjadi di Desa Sarimulya, Kecamatan Karang Anyar,
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Ini seperti yang diteliti oleh
seorangmahasiswaUniversitasNegeriSemarangsaatmenyelesaikan
tugas akhir kuliahnya. Hasil penelitiannya mengatakan bahwa
faktor pendidikan adalah salah satu penyebabdari mengapa praktik
pernikahan dini begitu marak di desa itu.
Desa Sarimulya adalah desa yang dihuni oleh 2.478 jiwa. Desa ini
berpenduduk dengan mata pencahariaan beragam. Tetapi bertani adalah
mata pencahariaan yang paling dominan. Ada sekitar 79,55% jiwa yang
berprofesi sebagai petani. Sementara itu sekitar 2,18% berprofesi sebagai
PNS, pedagang sekitar 5,50%, tukang ojek 2,10%, nelayan 6,71% dan
selebihnya yaitu 6,71%adalahjumlah penduduk non produktifyangberumur
0 - 8 tahun serta 60 tahun ke atas.
Kondisi inilah, salah satunya, yang membuat tingkat pendidikan para
penduduk Desa Sarimulya menjadi tidak terlalu tinggi. Program wajib
belajar 9 tahun seperti tidak terlalu efektif karena banyak sekali warga
Desa Sarimulya yang tidak menyekolahkan anaknya hingga ke Jenjang yang
lebih tinggi. Rupanya, sebab utama mengapa hal ini sampai terjadi adalah
karena kurangnya dana serta kurangnya pengetahuan orangtua terhadap
pendidikan.
Kurangnya pengetahuan itulah yang membuat banyak orangtua yang
berpikir bahwa pendidikan itu tidak terlalu bermanfaat secara riil. Para
orangtua ini banyak yang berpikir praktis dan menganggap, anak yang bekerja
akan lebih bermanfaat daripada anak yang bersekolah. Bagi mereka, sekolah
hanya akan membuang-buang waktu dan biaya, dan tidak menghasilkan apa
pun.
M e n c e g a h P e r n i k a h a n Din*
Padahal, menyekolahkan anak adalah investasi jangka panjang yang
dampaknya bisa berlangsung seumur hidu p. Para orangtua di Desa Sarimulya
ini hanya melihat jangka pendek, bahwa ketika anak-ananya segera cepat
lulus sekolah, anak-anaknya itu bisa segera membantu orangtua. Baik
bekerja di sawah, atau memilih bekerja di luar kota untuk mengadu nasib.
Banyak sekali penduduk Desa Sarimulya yang hanya berpendidikan
sampai SO. Bahkan menurut penelltian ini banyak yang tidak bersekolah
sama sekali. Kurangnya pendidikan inilah yang rupanya membuat banyak
warga di desa ini, tidak terlalu terbuka cakrawala berpikirnya. Kurangnya
pengetahuan inilah yang membuat banyak orangtua tidak mau berpikir
rumit dan dan cenderung berpikir amat sederhana ketika menghadapi
sesuatu.
Salah satu contohnya adalah, konsep mereka tentang anak perempuan.
Bagi mereka, anak perempuan adalah semacam Investasi. Orangtua akan
sangat berbahagia jika anak perempuannya sudah ada yang menyukai.
Jika anak perempuannya sudah ada yang menyukai, orangtua cenderung
tidak akan membiarkan anak perempuan dan lelaki yang menyukai itu
berpacaran terlalu lama.
Para orangtua ini berharap si anak perempuan ini segera dilamar oleh si
lelaki. Setelah keduanya menikah, maka si perempuan sudah harus keluar
dari rumah dan harus ikut si suami. Tradisi yang semacam inilah yang
membuat para orangtua merasa amat senang jika anak perempuannya
menikah. Mereka merasa sudah bisa melepaskan tanggung jawab terhadap
anak perempuan Itu. Karena setelah si anak perempuan menikah, maka
hidup si anak perempuan itu sudah bukan tanggung jawab orangtuanya. Si
anak perempuan itu sudah resmi menjadi tanggung jawab suaminya.
M * n < « g a h P e r n ik a h a n D m l
Selain itu, jika si anak perempuan mendapatkan suami yang stabil
secara flnanslal, atau bahkan amat berkecukupan, para orangtua itu
merasa, si anak perempuan dan suaminya itu akan menjamin kehidupan
mereka. Mereka beranggapan, kehidupan mereka akan menjadi sejahtera
karena peristiwa pernikahan itu.
Salah satu contoh kasus pernikahan dini yang terjadi di Desa Sarimulya
ini adalah antara ES serta AS. Ketika menikah, ES masih berusia 15 tahun.
Pernikahan itu terjadi karena ES sudah hamil terlebih dahulu. Tentu bagi
keluarga ES ini adalah aib. Hamil di luar pernikahan adalah, aib sangat
berat dalam masyarakat kita. Oleh karena itu, untuk menutupi aib itu, ES
serta AS pun dinikahkan oleh orangtua mereka.
Tentu saja ES dan AS tidak bisa mengelak. Apalagi ES yang harus
menanggung beban paling berat, karena ia harus mengandung. Dalam
masyarakat kita, perempuan yang mengandung di luar pernikahan adalah
sebuah dosa berat. ES harus merelakan tubuh, dan masa depannya karena
kejadian Ini. ES dan AS pun harus mengorbankan masa depan mereka yang
masih terbentang luas, untuk masuk ke dalam dunia domestik._________
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D in i
Kehamilan di luar nikah ini terjadi karena ES dan AS tidak pernah
mendapatkan pendidikan seks yang memadal. Kurangnya pendidikan
membuat kedua orang muda ini tidak terlalu terbuka cakrawala
berpikirnya. Pandangan masyarakat yang masih menabukan
pembicaraan seputar seks itu juga membuat seks tidak pernah benar-
benar dipelajari. Padahal seks adalah hal yang amat penting yang
memang harus dipelajari seluk beluknya. jika tidak punya pengetahuan
tentang seks sama sekali. maka sangat mungkin kehamilan yang tidak
diinginkan, atau berbagai penyakit kelamin serta penyakit seputar organ
reproduksi bisa menyerang. Contohnya kasus ES dan AS itu.
Untuk mengatasi ketidaktahuan ini. pendidikan memang jadi salah
satu garda depan, serta kunci untuk menanggulangi. Jika saja ES dan AS,
lebih tahu tentang apa saja konsekuensi yang akan mereka hadapi ketika
melakukan seks pra-nikah, tentu mereka berdua akan lebih berhati-hati
ketika melakukan hubungan layaknya suami-istri itu. Jika ES dan AS tahu
apa saja konsekuensi yang akan mereka hadapi jika terjadi kehamilan
di luar nikah, yaitu mereka harus menikah di usia yang sangat muda, ES
dan AS tentu akan pikir panjang untuk melakukan seks tak aman itu.
Q P e r n ik a h a n D *nl
A n a ly s is ^ L e a n in g
Knowledge
s u m b e r c a r e e r m in e r .i n t o o i ln e x o m
Jadi salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah dengan
tidak lelah mempromosikan program wajib belajar 9 tahun yang
berasal dari pemerintah. Selain itu, mengadopsi semangat yang
mengatakan bahwa sekolah itu tidak hanya di dalam ruangan,
berbagai kampanye soal pernikahan dini ini juga perlu dilakukan.
Kampanye-kampanye ini tidak hanya menyasar anak muda saja,
tetapi para orangtua juga bisa jadi target operasi. Pasti akan sangat
sulit untuk memberi kesadaran tentang pernikahan dini itu kepada
orangtua, tetapi tidak pernah ada ruginya untuk mencoba hal-hal
baik seperti ini. Jika kampanye itu dilakukan secara konsisten, dan
terus-menerus, pasti ada sesuatu hal, walaupun sedikit, yang akan
menancap pada kesadaran para orangtua itu.
Berbagai kampanye itu bisa dilakukan dengan banyak cara. Tapi
tentu kampanye ini harus menyesuaikan dengan kondisi budaya,
serta latar konteks dari tempat di mana kampanye itu diadakan.
Misalnya saja, jika kampanye itu akan dilakukan di daerah yang
K e r x e g a h P e rn ik a h a n Dim
latar budayanya Jawa, maka kampanye yang dilakukan harus sesuai
dengan latar budaya Jawa. Misalnya saja dengan mengadakan
pertunjukan wayang, tari-tarian tradisi khas daerah setempat, atau
membuat berbagai macam kampanye dengan media yang familiar
serta bisa dipahami oleh masyarakat yang bersangkutan.
Kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk kampanye itu bisa
dilakukan secara berkala, tetapi bisa juga dilakukan secara rutin.
Untuk berbagai kampanye rutin, bisa dilakukan lewat media
massa seperti radio, televisi atau media cetak. Media cetak ini
bisa diwujudkan lewat koran desa, majalah komunitas, atau bisa
dilakukan dengan menyebarkan poster, leaflet atau bisa lewat
papan reklame. Pilihan media itu tentu amat tergantung dari
kebutuhan, serta bagaimana karakter dari masyarakat yang akan
dikenai kampanye itu.
Jika tidak memperhitungkan latar belakang budaya, serta
karakter dari masyarakat setempat, khususnya para orangtua dan
anak-anak yang masih belia, juga anak-anak muda usia produktif,
maka akan sulit untuk bisa menyampaikan kampanye ini secara
efektif. Bisa-bisa kampanye yang sudah dibuat dengan energi besar
itu, akan sia-sia.
Selain kampanye, pendidikan nonformal di luar tembok sekolah
tentang pernikahan usia dini ini bisa dilakukan dengan cara mencoba
mendekati para sesepuh atau tokoh masyarakat di desa tempat di
mana kasus ini amat memprihatinkan. Pertama-tama, kita atau pihak-
pihak yang ingin membantu mengurangi praktik pernikahan dini
ini, harus menyamakan persepsi dengan para sesepuh, serta tokoh
masyarakat di situ. Jika ternyata mereka memiliki kegelisahan yang
Q M * n < e g * h P e r n ik a h a n O m l
© Pesan dari +62 858-6611-3632 @ PMI UIN
M c r x e g a h P e r r u k a h a n D im
© HIDUPMU 1 «
B. Faktor Ekonomi
Selain pendidikan, ada satu faktor lagi yang cukup membuat
para orangtua merelakan anaknya untuk melakukan pernikahan
dini. Faktor ini mampu menggerakkan banyak sektor kehidupan
manusia, bahkan terkadang ia menjadi pendorong utama dari
bergeraknya sektor-sektor hidup manusia. Faktor ini memang sering
kali memengaruhi manusia secara keseluruhan. Dan karena faktor
ini, manusia terkadang bisa begitu jahat pada yang lain. Faktor itu
adalah ekonomi. Faktor ini merupakan salah satu faktor yang cukup
populer dari terjadinya pernikahan dini.
Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh banyak pihak, dari
berbagai latar belakang, mengafirmasi hal itu. Di antaraya adalah
penelitian untuk tugas akhir atau Skripsi yang dilakukan oleh
seorang mahasiswa UIN dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
Penelitian yang ia lakukan di Desa Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat,
mengatakan bahwa faktor ekonomi adalah salah satu alasan populer
mengapa anak-anak di Gunung Sindur melakukan pernikahan dini.
Sementara itu, kehamilan berada pada urutan pertama mengapa
banyak anak-anak belia melakukan praktik pernikahan dini. Alasan
yang ketiga adalah karena mereka, para orangtua dan anak-anak
M e n t e g a h P e r n ik a h a n D m !
itu, takut melanggar ajaran agama atau takut melakukan perbuatan
maksiat.
Dari penelitian di Gunung Sindur itu terlihat bahwa sejumlah
informanyangdiwawancaraimengatakan bahwa mereka melakukan
praktik pernikahan dini itu karena ingin memperbaiki ekonomi
keluarga. Alasan ini paling banyak diutarakan oleh orangtua pihak
perempuan, serta para perempuan itu sendiri. Para perempuan
yang melakukan pernikahan dini itu beralasan bahwa mereka ingin
agar kehidupan perekonomian mereka bisa makin membaik setelah
ia bersuami. Si perempuan ini berharap bisa mengadalkan seluruh
penghidupannya dari si suaminya itu.
Sementara itu dari pihak keluarga perempuan juga memiiki nada
alasan yang sama. Keluarganya, khususnya ayah-ibu si perempuan,
merasa kalau anak perempuan mereka sudah menikah, itu berarti
tanggung jawab mereka sebagai orangtua akan terlepas. Kedua
orangtua ini beranggapan, kalau anak perempuan mereka sudah
memiliki suami, itu berarti si anak perempuan itu sudah tidak lagi
dalam tanggung jawab mereka. Sebagai orangtua, mereka merasa,
kalau tugas mereka sudah selesai.
Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Negeri
Semarang (UNES) dari Fakultas Ilmu Pendidikan di Desa Sarimulya,
Boyolali, Jawa Tengah, kurang lebih juga mengatakan hal yang sama.
Faktor ekonomi adalah faktor populer mengapa para orangtua mau
menikahkan anaknya yang masih belia.
Banyak orangtua di Desa Sarimulya yang beranggapan bahwa
dengan menikahkan anaknya, maka beban ekonomi akan sedikit
berkurang. Karena anakyang sudah menikah akan menjaditanggung
M e r x e g a h P e r n i k a h a n D IM o
jawab suaminya. Bahkan para orangtua berharap setelah anaknya
menikah dapat membantu kehidupan orangtuanya.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Wty orangtua dari EFS,
dua orang warga Desa Sarimulya. Ketika itu, EFS menikah dengan
seorang lelaki bernama Krm. EFS masih berusia 15 tahun ketika itu.
Wty adalah seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya.
Saat itu Wty sudah dikaruniai 4 orang anak. Ini tentu menjadi beban
yang amat berat bagi Wty. Menjadi single mother dengan 4 orang
manusia yang harus ia penuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Untuk
memenuhi kebutuhannya setiap hari, Wty hanya mengandalkan gaji
pensiun dari almarhum suaminya. Bayangkan, betapa berat beban
yang ia tanggung. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
saja ia belum benar-benar bisa, apalagi 4 orang anak manusia yang
masih kecil kecil. Maka untuk mengakali hal itu, Wty menikahkan
anak perempuannya. Dengan harapan, suami anaknya itu dapat
membantu meringankan beban hidupnya.
Apa yang dilakukan oleh Wty bukan hal yang luar biasa. Tindakan
Wty adalah hal biasa yang dilakukan oleh penduduk Sarimulya. Bagi
warga Desa Sarimulya, yang sebagian besar dari mereka bermata
pencaharian bertani, faktor ekonomi adalah hal yang selalu
menyulitkan. Oleh karena itu, memiliki anak perempuan yang tidak
menikah adalah sebuah beban hidup tersendiri. Oleh karena itu,
sudah menjadi tradisi bagi warga Sarimulya, jika mereka memiliki
anak perempuan yang sudah besar, walaupun belum dewasa,
mereka akan menikahkan anaknya dengan harapan menantunya
itu dapat membantu menambah biaya hidupnya.
M * n < e s * h P e r n ik a h a n D m !
S .,I ■ 10:56
M f l n c e R a h P e r n i l a h a n D in .
dibandingkan dengan pengeluarannya setiap hari. Jt harus mampu
mencukupi kebutuhan ketiga orang anaknya. Belum lagi kebutuhan
dirinya sendiri, yang sesungguhnya sangat tidak macam-macam
itu. Putus asa dengan kehidupan ekonominya yang amat berat, Jt
pun menerima lamaran seorang yang berkecukupan secara materi.
Akhirnya Jt pun memutuskan untuk menikahkan anaknya, yang
ketika itu masih di bawah umur.
Tentu bukan hal mudah bagi para orangtua melepas anak
perempuannya itu. Pasti ada sesuatu yang menggelitik hati nurani
mereka. Sesuatu di dalam hati mereka pasti mengatakan bahwa
apa yang mereka lakukan bukan hal yang benar. Para orangtua pasti
merasakan jeritan hati anak perempuan mereka. Tapi apa mau
dikata, bagi mereka, hidup bukanlah sebuah pilihan. Banyak dari
mereka tidak punya pengetahuan cukup tentang pernikahan dini.
Atau bahkan keberanian untuk mengatakan tidak pada pernikahan
dini itu.
Bagi sebagian dari orangtua, pengetahuan yang mereka miliki
adalah sebuah keyakinan bahwa anak mereka, khususnya anak
perempuan, adalah objek yang bisa dimanfaatkan. Mereka yakin
bahwa anak bukan subjek merdeka, khususnya anak perempuan.
Perempuan bagi banyak masyarakat di negeri yang patriarkis ini,
adalah warga kelas dua yang tidak punya suara. Dalam kebudayaan
semacam itu, perempuan memang tidak boleh lebih tinggi
kedudukannya dari laki-laki.
P w n lk ah an D*nl
Anggapan yang demikian itulah yang membuat orangtua
dengan cepat mengambil keputusan, untuk menikahkan anak
perempuannya yang masih di bawah umur. Dorongan ekonomi
yang begitu kuatlah yang membuat orangtua amat yakin dengan
keputusannya itu. Jauh di lubuk hati, orangtua beranggapan bahwa
ketika faktor ekonomi dalam kehidupan sudah tercukupi, maka
kebahagiaan pun bisa datang sendiri.
Salah satu kasus pernikahan dini yang cukup populer adalah
antara seorang pengusaha kaya pemilik kerajinan kuningan di
Semarang dengan seorang gadis berusia 12 tahun, seperti yang
sudah disinggung sedikit di depan. Pria kelahiran 1965 ini juga
memiliki sebuah pesantren di Semarang.
S u r r A B r : h t t p / / p p U m a p p a c i M t f n g . b t o g i F O U o Id
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D im Q
Sebelum menikah dengan perempuan berusia 12 tahun itu, Pria
ini sudah memiliki seorang istri tetapi tidak memiliki anak. Inilah
alasan yang dikemukakannya mengapa ia menikahi gadis di bawah
umur itu. la ingin memiliki momongan dari istri keduanya yang
masih anak-anak it u .
Tetapi rupanya, pria ini tidak ingin berhenti di perempuan
dua belas tahun itu saja. la berencana untuk menikahi dua anak
perempuan lainnya yang masing-masing berumur 7 dan 9 tahun. pria
ini mengatakan, dua anak perempuan belia itu akan ia didik menjadi
manajer perusahaan kerajinan kuningan miliknya itu. la beralasan
bahwa akan lebih mudah mendidik anak-anak untuk menjadi
pimpinan perusahaan, ketimbang orang yang sudah dewasa. pria
ini juga beralasan bahwa ketika zaman Nabi, pernikahan dini itu
sudah dilakukan dan hal ini sama sekali tidak melanggar hukum
Islam.
Namun untung saja, rencana menikahi gadis amat belia
itu belum benar-benar terjadi. pria ini keburu terjegal dengan
kisah pernikahannya dengan perempuan dua belas tahun ini.
Bayangkan jika hal itu terjadi, tentu akan menjadi kontroversi
yang lebih menghebohkan, serta kisah pernikahan dini yang lebih
menyedihkan, ketimbang kasus ini.
Ini tentu alasan yang sama sekali tidak masuk akal buat kita.
Bagaimana mungkin seorang lelaki paruh baya seperti beliau itu
memiliki alasan sedemikian rupa dan menggunakan dalil-dalil
agama sebagai pembenaran untuk menikahi anak-anak kecil
berusia 7 dan 9 tahun itu. Apakah pria ini tidak sadar bahwa anak-
M e n t e g a h P e r n ik a h a n D m !
© © ?y # ,e| 1 f D S .il 10:57
anak perempuan itu sama sekali belum matang secara mental serta
fisik. Organ reproduksinya bahkan belum benar-benar mengalami
pertumbuhan. Secara faktual, kedua anak itu bahkan belum
mengalami menstruasi.
Tetapi untung saja, tindakannya menikahi gadis di bawah umur,
serta rencana pernikahannya yang selanjutnya itu meresahkan
banyak orang. beliau yang telah menikahi perempuan dua belas
tahun ini lalu diadukan ke pengadilan. la pun sempat mencium bui
selama beberapa bulan. Walaupun demikian, setelah keluar dari
penjara, Beliau dan istrinya rupanya masih tetap bersama. Kabar
terbaru dari mereka adalah mereka telah dikaruniai dua orang
anak, seperti yang dicita-citakan oleh beliau selama ini.
Kisah mereka ini adalah gambaran dari banyak kasus pernikahan
dini di Indonesia. Kasus mereka ini menjadi begitu heboh karena
media terus-terusan mengekspos cerita ini. Kisah perempuan dua
belas tahun ini adalah gambaran tentang ketidakberdayaan ekonomi
dari lapisan masyarakat tertentu, yang harus menyerah kalah
kepada lapisan masyarakat yang lebih berdaya secara ekonomi.
Orangtuanya menyetujui pinangan pengusaha kaya itu karena
beliau berjanji, jika beliau dan perempuan dua belas tahun
itu menikah, beliau akan menjadikannya sebagai pemimpin
perusahaan kerajinan kuningan miliknya. Ini tentu kesempatan yang
sangat menggiurkan. Apalagi kesempatan itu bisa mendatangkan
kesejahteraan bagi seluruh keluarga perempuan itu. Karena
pertimbangan ekonomi itulah, lamaran pria kelahiran 1965 itu
direstui.
K e r x e R a h P crm fcA h an D im
© © ?y # ,e| 1 f D S .il 10:57
M < T K P * * h P e r n ik a h a n D *ii
otak menjadi waras. Jika belum kenyang, mana mungkin otak bisa
berpikir lurus. Mana mungkin bisa melakukan kerja-kerja lain, jika
masih kelaparan.
Ungkapan itu tentu bukan hal yang sepenuhnya salah. Tetapi
bukan berarti mentah-mentah kita telan sedemikan rupa.
Bukan berarti kita mentah-mentah melakukan segala cara untuk
memenuhi kebutuhan materi itu. Banyak orang, atau para orangtua
yang memaksakan pernikahan dini kepada anak-anaknya, lupa
bahwa ada jiwa lain, atau kehidupan lain yang akan dikorbankan.
Mereka lupa bahwa jika kita tidak seimbang dan selaras dengan
alam semesta serta sesama manusia ketika memenuhi berbagai
kebutuhan materi, apa yang kita usahakan itu tidak akan berhasil
dengan baik.
Banyak orang. yang menikahkan anaknya di usia belia itu, lupa
bahwa selalu ada cara untuk mencapai kesejateraan hidup. Tentu
ini bukanlah hal mudah. Jika kita berjalan pada jalan yang baik dan
membahagiakan yang lain, pasti kesejahteraan hidup bisa diraih.
Kita harus ingat bahwa kesejahteraan hidup yang sesungguhnya bisa
diraih jika kita memenuhinya bukan dengan cara mengorbankan
jiwa yang lain. Sekalipun yang kita korbankan itu anak kita sendiri.
Kasus ini dan kasus-kasus lain, seperti yang sudah diceritakan
di awal, adalah gambaran betapa faktor ekonomi merupakan
hal yang amat berpengaruh dalam banyak faktor kehidupan
manusia. Tergambar bahwa keinginan orang untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonominya itu mendorong orang untuk melakukan
apa pun. Walaupun mungkin saja dalam konteks pernikahan dini
P e r n ik a h a n D in i
© HIDUPMU 1 ^
M e r K e g i h P * m l k a h » r > D *nl
Semua pihak dalam negara ini, khususnya pihak-pihak yang
berkepentingan, harus segera mangambil tindakan tegas agar
permasalahan ini segera terselesaikan. Semua pihak harus
menyadari bahwa ini adalah masalah yang sangat sistemik
serta struktural. Semua saling terkait dan berkelindan. Jika ingin
menyelesaikan pada tataran ekonomi, maka juga harus mengaitkan
dengan masalah pendidikan. Ini terjadi karena mindset atau cara
berpikir seseorang dibentuk dari bagaimana seseorang itu dididik.
Baik dididik di dalam rumah atau di ruang-ruang informal, seperti
sekolah atau ruang-ruang belajar lainnya.
s u m t w ' w w w .t h e l a r w o M r e a i r o .o o .u k
M « n c e g » h P e r n i k a h a n D in 4 o
© Pesan dari +62 812-2402-1202 @ SOLUSI
Pernikahan Dml
© © ?y € S .,I ■ 10:58
K*r>c«-j>»h P e r n ik a h a n D im ^
Dengan melakukan pemberdayaan secara materi dan
pengetahuan, masyarakat memiliki cara untuk mencapai
kesejahteraan hidup. Ketahanan mereka dalam menghadapi hidup
yang tidak terduga pun sangat teruji. Masyarakat yang tahan banting
ketika mengahadapi permasalahan ekonomi, tentu akan menjadi
bibit positif dari munculnya sistem kemasyarakatan yang tangguh
dan kuat.
Terciptanya masyarakat yang tangguh dan kuat itu adalah
elemen dasar dari sebuah negara yang sejahtera secara holistik
dan berkesinambungan. Dalam negara yang seperti ini, akan sangat
mungkin jika berbagai hak dan kewajiban warga negara akan
dilindungi serta dijamin secara hukum. Berbagai hak dan kewajiban
itu pun akan dilindungi dengan tegas, sehingga jika ada kasus-kasus
pernikahan dini, pihak-pihakyang bertanggung jawab dalam praktik
itu akan mendapatkan tindakan tegas tanpa pandang bulu.
P w n lk a h a n Om l
© © ?y € 3 .ill ■ 10:58
M f l ix e g a h P c r m k A h a n D im
© © ?y € 3 .ill ■ 10:59
P e r n ik a h a n D m i
atau tokoh masyarakat di tempat itu.
Jika seorang sesepuh saja sudah begitu bersemangat menyalakan
api dan terus menyiram apa yang sudah terbakar itu dengan minyak,
akan sangat sulit untuk meredakan amarah yang amat menular
itu. Berbagai peristiwa yang keluar dari batas kemanusiaan karena
masyarakat sudah gelap mata dengan amarah, pernah terjadi di
beberapa daerah di negeri ini. Jika seseorang yang dianggap bijak
sudah bersabda, apalagi kebijakannya itu dilandasi oleh berbagai
dalil agama, maka tertutuplah sudah ruang untuk berdialog. Pada
masyarakat p a te rn a list yang masih menganggap figur bapak
sebagai seorang pemimpin yang dikultuskan, maka berbagai
ucapan sesepuh itu bisa ditelan mentah-mentah. Ini tentu amat
menggelisahkan.
Pada konteks pernikahan dini, seperti yang menjadi tema dari
buku ini, salah satu faktor yang membuat praktik ini masih terus
hidup hingga sekarang adalah faktor orangtua dan keluarga. Kita
pasti tahu tentang pandangan ini, "menjaga nama baik keluarga
itu adalah hal yang utama". Kita selalu didoktrin, bahwa jika ada
peristiwa yang membawa aib keluarga, maka hal itu bisa sangat
tercela. Dan yang akan terkena sanksi dari aib itu bukan hanya
pelakunya, tetapi juga seluruh keluarga. Bisa-bisa keluarga hancur
jika sesuatu yang dianggap aib itu terjadi.
Salah satu yang bisa membawa aib keluarga adalah misalnya saja
peristiwa kehamilan di luar nikah, atau hubungan seks yang terjadi
di luar ikatan pernikahan. Masyarakat kita masih menganggap
dua hal itu sebagai sesuatu hal yang tabu, dan tidak patut terjadi.
Kedua hal itu jika merujuk dengan dalil agama, maka kehamilan
M flo c e R a h P e r m k A h a n D im Q
© © ?y # ^ ^3 ^ D ( 3 ..ll ■ 1 0 :5 9
O M « n < » g * h P * c n lk » h » r > D m l
bersala bisa menjadi sasaran.
Perilaku kerumunan memang sulit diprediksi. Masyarakat di
dalam kerumunan itu sudah tidak lagi jadi dirinya sendiri. Identitas
mereka sudah berubah menjadi bagian dari kerumunan yang ada
di situ. Terkadang masyarakat yang ingin mengadili pelaku karena
perzinahan itu, juga lupa dengan tujuan sebelumnya. Mereka sudah
membabi buta, dan segala kesadaran yang sebelumnya mereka
miliki, sudah tergantikan dengan provokasi dari seseorang (baik
sesepuh atau siapa pun yang dituakan). Ini bisa terjadi dengan amat
membabi buta. Berbagai hal yang amat buruk bisa terjadi akibat hal
ini. Dan inilah yang ditakutkan oleh orangtua atau keluarga yang
mungkin saja mengalami hal ini.
Oleh karena itu, jikaorangtua sampai mendeteksiadanya potensi-
potensi yang memungkinkan datangnya aib dalam keluarga, maka
mereka pun segera bertindak cepat. Jika mereka mendapati anak
mereka sudah pacaran cukup lama, hingga amat lekat dan sulit
dipisahkan, orangtua akan memaksa masing-masing pihak untuk
segera menyelenggarakan pernikahan. Orangtua dan keluarga
besarnya, tentu tidak akan peduli apa pendapat dari kedua anak
itu. Bagi dua remaja yang sedang dimabuk asmara itu, tentu tidak
ada pilihan lain selain menyetujui hal itu.
Sebagai anak, mereka dianggap tidak punya suara dan tidak
punya kuasa untuk menolak apa yang sudah dikatakan orangtua
atau keluarga. Apalagi jika alasannya adalah demi menghindari aib,
demi menghindari zina, dan demi kehormatan keluarga. Alasan
demi kehormatan keluarga inilah yang sudah tidak dapat dibantah
lagi.
M e i x e g a h P c r n ik A h a n D io *
Selain kedua anak ini memang tidak bisa membantah karena
kedudukan mereka yang memang subordinat, kedudukan mereka
secara ekonomi pun juga subordinat. Kedua anak ini tentunya
masih menggantungkan seluruh hidupnya pada orangtua. Maka
jika mereka tidak menurut, maka kedua anak itu bisa melakukan
apa. Karena ancaman paling utama dari orangtua adalah diusir dari
rumah. Nah jika sudah melibatkan pengusiran ini, pasti kedua anak
ini tidak bisa berkata-kata lagi. Apa yang akan mereka lakukan untuk
bertahan hidup jika mereka diusir dari rumah. Sudah jelas, nilai
tawar si anak ini dari segi apa pun memang sudah tidak seimbang.
Sehingga satu-satunya cara bagi anak-anak itu adalah menerima
keputusan untuk menikah itu, walaupun mereka belum benar-
benar siap baik secara materi ataupun secara mental.
Kehormatan keluarga saja sudah bisa terancam oleh tindakan-
tindakan yang belum kelewat batas. Misalnya, pacaran sambil
berpegangan tangan. Apalagi jika si anak perempuan sudah hamil
di luar nikah. Ini tentu sebuah peristiwa aib luar biasa yang akan
menggegerkan seluruh keluarga, bahkan masyarakat jika mereka
mengetahui peristiwa ini.
Perbincangan ini akan menyebar dengan cepat bak peluru.
Apalagi jika mereka tinggal di sebuah desa kecil yang penduduknya
tidak banyak. Keakraban yang lekat antar para penduduk ini
adalah sebuah hal yang baik, tetapi pada sisi yang lain juga bisa
menimbulkan kegelisahan.
Masyarakat yang relasinya amat lekat ini, cenderung akan lebih
tinggi rasa penasaran, atau rasa ingin tahunya, terhadap berbagai
hal yang terjadi pada lingkungan atau tetangganya. Masing-masing
P e r n i k a h a n J>>nl
© © ?y € □Li m 11:00
M e r x e j j a h P e r m k A h a n D lru
seharusnya menjadi nakal. Perempuan itu seharusnya berada di
rumah dan menjaga 'kesuciannya', sementara tidak apa-apa jika
lelaki suka berpetualang dan melakukan berbagai tindakan nakal.
Masyarakat pasti akan mengatakan 'namanya juga anak laki-laki'.
Sementara itu jika perempuan yang bertindak lebih bebas dan
merdeka, maka perempuan akan lebih cepat mendapatkan stigma
dan stereotipe dari masyarakat.
Kemudian jika kehamilan terjadi, maka perempuanlah yang akan
lebih banyak menanggung bebannya. Padahal tubuh perempuan
sudah harus mengalami banyak perubahan dan pengorbanan
akibat kehamilan itu. Sementara itu, laki-laki tidak mengalami apa
pun. Perempuan, apalagi yang usianya masih amat belia, amat
riskan jika organ reproduksinya sudah harus dipergunakan secara
maksimal. Begitu banyak risiko yang harus ditanggung perempuan
jika ia mengalami kehamilan macam ini. Selain itu, perempuan
belia ini juga harus menanggung berbagai anggapan yang tidak
menyenangkan. Seumur hidup ia akan dikenal sebagai perempuan
tidak baik-baik di tempatnya berasal
Belum lagi ketika ia harus menikah muda. Berbagai kondisi
yang berat akan langsung menimpanya. Pertama si perempuan
muda ini harus mengahadapi kondisi berisiko dari kehamilan, lalu
peristiwa kelahiran yang juga penuh risiko. Perempuan muda ini
juga harus menjadi seorang ibu dan istri di usia yang sangat muda.
la harus menanggung beban ganda yang bertubi-tubi. Segala masa
depannya tentu sudah hancur berantakan. Gambaran tentang
sekolah yang lebih tinggi, serta kesempatan untuk menghasilkan
karya dan beragam pengalaman yang menyenangkan di kala muda
P e r n ik a h a n D m l
sudah tidak mungkin lagi dua anak muda ini lakukan. Si perempuan
sudah masuk dalam ruang domestik pernikahan, sementara si lelaki
sudah harus menjadi Ayah dan kepala rumah tangga dalam usia yang
sangat muda. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Apalagi mereka
berdua, belum siap dan matang dalam usia dan pengalaman.
Namun orangtua dan keluarga tentu tidak memedulikan hal
itu. Konsekuensi dari kehamilan yang terjadi di luar pernikahan itu
adalah memang sebuah hujatan dan stigma aib dari masyarakat.
Orangtua dan keluarga tentu tidak mau menerima hujatan macam
itu. Tentu akan lebih baik mengorbankan anak mereka, ketimbang
nama baik keluarga yang tercoreng.
Lagipula, menurut orangtua dan keluarga besarnya, tak ada lagi
yang bisa dilakukan anak-anak mereka. Apalagi si anak perempuan.
la sudah mengandung, dan tentu anak dalam kandungan itu pasti
harus dibesarkan. Sehingga sepertinya memang tidak ada pilihan
lain. Pilihan untuk menggugurkan juga bukan hal yang bijaksana,
karena perbuatan itu akan melanggar hukum positif di negara ini,
sanksinya tentu akan lebih berat. Selain itu, menggugurkan itu
kurang lebih seperti sebuah pembunuhan, dan ini juga bukan hal
yang mudah saja untuk dilakukan. Sudah pasti akan berlawanan
dengan hati nurani si ibu serta ayah dari bayi itu. Oleh karena itu,
pilihan menikah adalah jalan keluar yang paling masuk akal bagi
semua pihak. Kalau kata para orangtua serta keluarganya adalah,
"Nikahkan saja dulu, untuk selanjutnya, bisa kita lihat nanti."
Untuk menanggulangi permasalahan ini, ada beberapa hal
yang bisa dilakukan. Namun berbagai usaha itu tentu memerlukan
kerja sama dari berbagai pihak. Tanpa kerja sama yang solid
dan berkesinambungan, maka tujuan dari hal yang dilakukan itu
hanya akan menjadi hal yang sia-sia. Sasaran utama dari usaha
penanggulangan masalah ini adalah para orangtua serta keluarga
besarnya.
Perluadasemacamkampanyeatau pendidikan bagi para orangtua
dan keluarganya tentang berbagai hal yang berhubungan dengan
pernikahan dini. Selain tentang pernikahan dini, para orangtua ini
juga perlu dibuka cakrawala berpikirnya, agar para orangtua ini
tidak hanya memahami satu ilmu saja yang berasal dari satu kitab.
Para orangtua ini juga harus dibuka cakrawala berpikirnya dengan
memberikan banyak referensi dan wacana tentang bagaimana
kondisi anak muda masa kini, serta pentingnya pendidikan tentang
seks dan seksualitas diberikan semenjak usia dini.
Sesungguhnya memang tidak banyak orangtua yang memiliki
pengetahuan luas tentanghal ini. Banyak orangtua serta keluarganya
masih bersikap kolot dan tidak mau membuka mata bahwa zaman
itu sudah berubah, dan mereka harus mampu mengikuti derak dan
langkah zaman yang bergerak begitu cepat.
P e r n ik a h a n O k iI
© © ?y # ^ 1 > D Q .iI ■ 11:01
i u m b * f : t 'f c M r 8 .« v a f < J p r « iC 0 m
M e r x e j j a h P e r n ik a h a n D IM
Yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah memberi pengertian
yang positif tentang apa saja yang mungkin terjadi jika mereka
melakukan berbagai hal yang kontraproduktif. Apa saja yang akan
terjadi dan apa saja konsekuensinya jika mereka melakukan hal itu.
Salah satu pengetahuan yang amat perlu diberikan oleh orangtua
kepada anak-anaknya adalan tentang seks dan seksualitas. Tetapi
ini tentu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Karena jika para
orangtua dan keluarganya saja tidak pernah membicarakan tentang
seks secara terbuka, malah cenderung ditutup-tutupi karena
dianggap tabu, maka ini akan menjadi masalah. Karena anak
muda cenderung akan mencari jawaban atas berbagai hal yang
menggelisahkan mereka itu.
Tentu amat wjar jika di usia yang baru beranjak puber itu,
para anak muda ini tertarik dengan hal-hal yang bebau seks dan
seksualitas. Hal itu adalah hal yang amat natural, sesuai dengan
pertumbuhan fisik dan mental mereka yang memang sedang
mengalami banyak perubahan dan perkembangan pada organ-
organ reproduksi mereka. Nah jika ini tidak dibaca dengan cermat
oleh orangtua, maka anak muda yang amat penasaran ini akan
mencari-cari tahu tentang berbagai fenomena yang terjadi pada
tubuhnya sendiri. Dan itu semua tentu tanpa dibarengi oleh
kesadaran tentang berbagai konsekuensi yang akan mereka alami
jika berbagai hal itu mereka lakukan.
Jadi sebelum terlambat dan sebelum anak-anak muda ini
melakukan hal-hal yang tidak produktif, sehingga berakibat sangat
buruk, ada baiknya jika para orangtua segera membekali dirinya
dengan berbagai pengetahuan tentang seks dan seksualitas. Para
P e r n i k a h a n [N o t
orangtua perlu m embekali diri dengan wacana terbaru, sehingga
mata dan pikirannya lebih terbuka, tidak hanya terpaku pada
berbagai dalil agam a saja.
Bukan berarti dalil dalil agam a itu tidak penting, tetapi adalah
sangat penting untuk semakin m em buka cakrawala berpikir agar
para orangtua ini tidak berhenti pengetahuan dan kesadarannya di
zaman ketika mereka dibesarkan. Adalah sangat tidak membebaskan
jika kita tidak mau berkem bang dan membiarkan pikiran kita
berhenti pada titik zaman lalu.
Berbagai kampanye untuk m em buka cakrawala berpikir
para orangtua ini, bisa diinisiasi oleh lem baga-lem baga yang
berkepentingan mengurusi hal itu. Misalnya saja Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, atau BKKBN yang mengurusi tentang
kesejahteraan keluarga dan elem en-elem ennya. Atau bisa saja
diurusi oleh lem baga-lem baga non-pem erintahan yang memiliki
kepedulian akan praktik-praktik pernikahan dini di negara ini yang
sudah sem akin memburuk.
s o m b e r : k o m p a s ia n a .c o m
Q P e r n ik a h a n D *il
terbitannya dengan rencana serta tujuan tentara Jepang untuk
memenangkan apa yang mereka namakan "Dai Toa Senso" atau
Perang Asia Timur Raya.
M e n c e R a h P e r n ik a h a n D IM
tentu akan meng-copy paste berbagai hal yang mereka anggap
mengagumkan.
Namun yang menjadi masalah, ketika keluar dari jaring media
massa itu, mereka harus kembali ke dunia nyata di mana berbagai
norma yang mengatur relasi antara lawan jenis masih begitu kuat
dipegang. Tentu ada perbenturan di sini. Di satu sisi anak-anak
muda ini tidak bisa menahan gejolak mudanya. Disisi lain, mereka
hidup dalam sebuah sistem yang sama sekali berbeda dengan imaji
yang selama ini mereka lihat di media massa.
Inilah yang membuat mereka begitu gelisah. Akhirnya banyak
anak-anak muda yang masih belia umurnya itu memberontak secara
halus, dengan melakukan berbagai hal yang mirip dengan segala
sesuatu yang mereka lihat di media massa itu dalam kehidupan
nyata mereka. Mereka berpacaran dan melakukan berbagai hal
yang melebihi batas tanpa tahu dan peduli konsekuensi apa yang
akan mengintai.
Pada saat 'memberontak' itu mereka juga tidak peduli pada sistem
yang sudah mereka langgar. Tetapi mereka tidak sepenuhnya benar-
benar memberontak, karena apa yang mereka lakukan itu adalah
gejolak muda yang sulit sekali mereka kontrol. Akhirnya bahaya
yang mengintai itu pun benar-benar terjadi. Si remaja perempuan
itu pun hamil. Hancur sudah berbagai imaji menyenangkan yang
mereka lihat di media massa itu.
Ketika kedua orangtua mereka mengetahui hal itu, apa lagi
yang bisa dilakukan. Toh selama ini mereka memang masih
menggantungkan hidupnya pada orangtua mereka. Mereka tidak
bisa, dan belum siap untuk melepaskan diri. Akhirnya ketika
Pernikahan Dwil
Pesan dari +62 896-5544-2817 @ SOLUSI
orangtua mereka murka, remaja ini hanya diam saja dan pasrah
ketika dinikahkan oleh orangtua mereka.
Di usia yang masih belia itu ide tentang pernikahan tentu
bukan hal yang menggembirakan. Ada begitu banyak cita-cita
dan harapan yang masih ingin mereka raih. Salah satunya adalah
meraih berbagai imaji kebahagiaan dunia, yang juga setiap hari
digembor-gemborkan oleh media massa. Ini tentu menjadi ironi.
Apa yang membuat mereka berkhayal dan ingin meraih khayalan
itu, malah membuat mereka terjerumus dalam dunia yang tidak
membebaskan.
Ini memang sudah menjadi masalah yang tidak pernah selesai
dibicarakan. Pertanyaan tentang bagaimana mengontrol media
massa dengan konten-konten yang tidak mendidik dan tidak
mencerahkan. Mungkin akan lebih mudah melakukan pengontrolan
itu pada media masa cetak, ataupun media massa berbasis penyiaran
seperti televisi atau radio. Namun jika sudah membicarakan dunia
maya, ini yang amat sulit. Apalagi era sosial media sekarang ini,
informasi tentang apa pun begitu cepat bergerak dengan viral, dan
bak bola panas, informasi yang bergerak dengan cepat itu terkadang
sama sekali tidak berisi hal yang baik. Apa yang diwartakan adalah
semacam hoax atau konten yang sifatnya pornografi.
Ini tentu menjadi kengerian bagi anak-anak belia kita sekarang.
Anak-anak yang belum siap menerima informasi yang begitu
membanjir, mau tidak mau harus menelan seluruh informasi itu
tanpa ada kesempatan untuk dicerna.
Di sinilah yang menjadikan orangtua dan pihak-pihak yang
berkepentingan memiliki peran yang amat penting dan krusial
M « f K « g a h P o r m liA h A n D irn
atas generasi muda ini. Dibutuhkan aturan yang lebih jelas dan
seimbang tentang kontrol informasi yang kontennya tidak mendidik.
Pemerintah sebagai regulator harus memikirkan dengan saksama
mengenai hal ini. Pemerintah harus menciptakan berbagai aturan
yang mampu mengontrol, tetapi juga tidak membatasi kebebasan
media massa berekspresi.
Media massa pun harus menyadari peran dan fungsinya amat
penting itu. Media massa juga harus menyadari kekuatan yang ia
miliki, khususnya dalam menyebarkan informasi, serta kekuatannya
yang amat besar dalam mengubah persepsi masyarakat. Media
massa juga harus menyadari bahwa ia memiliki kekuatan untuk
mengubah realita seseorang. Jika media menyadari hal itu, maka
ia pun akan berpikir dengan saksama ketika mulai menjalankan
aktivitasnya itu.
Media massa harusnya memiliki kesadaran bahwa mereka hadir
untuk menyebarkan berbagai hal yang positif, bukan hal-hal yang
negatif. Mereka juga harus menyadari bahwa fungsi utama mereka
adalah sebagai alat pendidik masyarakat yang murah dan lebih
terjangkau. Kesadaran soal ini adalah rangkuman dari kode etik
yang disepakati bersama.
Namun, ini adalah hal ideal yang memang seharusnya dimiliki
oleh setiap media massa yang ada di tanah air dan dunia. Tetapi
ini tidak terjadi bukan. Banyak media massa yang digunakan oleh
orang-orang tertentu sebagai alat untuk propaganda, menyebarkan
kepentingan-kepentingan mereka yang tidak berpihak pada
kebaikan. Media massa ini juga digunakan sebagai alat untuk
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu banyak
media yang tidak terlalu memerdulikan konten mereka. Mereka
M * n < * g * h P t m lk a h a n D m l
© Pesan dari +62 852-1231 -1665 @ tKS tem an
(V rr u k a h a n Dlrtf
banyak anak muda belia yang belum paham tentang seks dan
seksualitas. Para orangtua juga harus memahami konsekuensi apa
saja yang akan dialami oleh anak muda itu, khususnya perempuan,
ketika mereka menikah dalam usia yang masih sangat muda.
Berbagai pengetahuan itu adalah hal yang amat diperlukan,
karena jika orangtua tidak mengetahui hal itu, maka bagaimana
mereka akan mengajarkan tentang hal itu kepada anak-anaknya.
Orangtua harus mau membuka diri, pikiran dan hatinya, untuk
menurunkan egonya dan mempelajari berbagai hal baru yang sama
sekali berbeda dengan zaman mereka.
Mereka juga harus paham, bahwa zaman yang berbeda itu adalah
sebuah keniscayaan. Termasuk berbagai hal yang ada di dalam
masing-masing zaman juga tidak sama. Ini yang harus dipahami
masing-masing orangtua. Mereka harus paham bahwa anak-anak
mereka mengalami dan berada di zaman yang tidak sama. Karena
perbedaan zaman itulah, cara berpikir antara anak dan orangtua
memang berbeda.
Kesadaran bahwa orangtua dan anak-anaknya memiliki pola
pikir yang tidak sama adalah hal yang amat penting dipegang.
Ketika kesadaran itu sudah dipegang, maka berbagai hal yang
akan disampaikan oleh orangtua kepada anak-anaknya tentu akan
mengikuti kesadaran itu. Ketika kesadaran itu sudah diikuti, maka
orang tua akan lebih mudah menyampaikan berbagai hal yang
perlu diketahui anak muda itu, misalnya saja pengetahuan tentang
konsekuensi dari hubungan seks, serta konsekuensi dari pernikahan
dini.
Ketika orangtua berbicara sesuai dengan bahasa yang dipahami
oleh anak muda, maka anak-anak itu akan lebih mudah mencerna.
P e r n ik a h a n D -ni
Dan yang lebih penting, mereka merasa tidak digurui. Ketika anak-
anak muda yang usianya masih amat belia ini merasa digurui, maka
biasanya mereka akan resisten. Ketika sudah resisten, tentu segala
hal yang orangtua sampaikan tidak akan dimasukkan ke dalam hati
dan pikiran.
Ini mungkin yang membuat para anak muda ini lebih senang
belajar dari media massa, khususnya internet. Dalam dunia maya
itu, semua begitu merdeka. Segala hal bisa disampaikan dan
kebanyakan sifatnya tidak menggurui. Bisa terasa tidak menggurui
karena memang setiap orang yang berkunjung ke dunia maya, bisa
dengan mudah, dan kapan saja datang dan pergi dari informasi satu
ke informasi yang lain.
Inilah yang membuat dunia maya memiliki keriskanan tersendiri
yang harus diantisipasi oleh banyak pihak. Karena dengan
kekuatannya yang sedemikian besar, selain bisa menyebarkan
berbagai hal yang negatif, media massa juga bisa digunakan untuk
menyebarkan berbagai hal yang positif. Lewat media massa itu, kita
bisa menyebarkan berbagai rambu agar kita bisa lebih waspada
ketika melihat berbagai informasi di media massa.
Lewat media massa pula, kampanye tentang menggunakan
medium ini dengan dewasa dan dengan mata dan pikiran terbuka
dapat dilakukan. Jadi untuk mengalahkan musuh kita, kita harus
mengenali musuh itu, dan mencuri berbagai ide segar, serta strategi
yang ia lakukan saat menggempur banyak orang dengan konten
yang tidak bertanggung jawab. Nah cara-cara media itu bekerjalah
yang kita curi, namun konten sebarannya yang tentu saja harus
berbeda.
K e n c e j j a h P e r n ik a h a n D im ^
© © T v # 'E l * d a ^ 11:03
l u m b e r : p t e n g d u t .c o m
Faktor adat Istiadat ini adalah salah satu yang amat penting dan
tidak bisa dikesampingkan ketika membicarakan praktik pernikahan
dini. Setiap dari kita pasti memiliki latar belakang budaya yang tidak
sama. Dan masing-masing budaya itu pasti memiliki adat-istiadat
serta aturan, yang secara tidak sadar sudah menubuh dalam
kesadaran kita.
Adat istiadat yang bercorak sesuai dengan latar budaya tertentu
itulah yang membentuk diri kita, termasuk cara pandang kita
terhadap dunia. Inilah yang sering tidak kita sadari, kalau perbuatan
M e n c e R a h P e r n ik a h a n D in i
Cara mengikatnya adalah dengan menikahkan anaknya. Sementara
itu untuk akad nikah baru akan dilaksanakan, ketika pasangan
tersebut sudah memasuki akil baligh serta sanggup mencari uang
sendiri atau mampu hidup secara mandiri dan mampu memenuhi
kebutuhan materi dan pasangannya (khusus untuk laki-laki) secara
mandiri.
Tradisi pernikahan dini adalah hal lumrah pada masyarakat adat
di pulau Madura. Bahkan bagi orang Madura, hal itu sudah menjadi
tradisi sekaligus identitas dari keberagaman adat pulau Madura.
Adat tradisi pernikahan dini itu muncul karena sejumlah hal, yang
pertama adalah adanya opini tentang kaum perempuan yang lebih
banyak jumlahnya daripada laki-laki, jika diperbandingkan maka
perbandingannya adalah 1:10. Inilahyang membuat masyarakat adat
Madura melakukan perjodohan sedini mungkin. Banyak orangtua
yang takut kalau anak mereka tidak bisa mendapatkan pasangan
hidup nantlnya. Alasan yang kedua adalah karena adanya perasaan
utang budi. Banyak sekali perjodohan di Pulau Madura ini terjadi
karena masalah utang budi. Perjodohan itu dilakukan karena ada
dua keluarga kekerabatan yang mempunyai anak dengan berbeda
jenis kelaminnya. Agar utang keluarga lunas terbayar, maka kedua
anak mereka yang berbeda kelamin itu pun dijodohkan.
Di sana ada yang lebih luar biasa. Perjodohan yang dilakukan
antara dua keluarga ini bahkan bisa direncanakan sejak dalam
kandungan. Lalu kedua keluarga ini tinggal menunggu lahirnya si
jabang bayi. Jika terlahir dengan jenis kelamin yang berbeda, maka
perjodohan akan terus berlanjut. Namun apabila terlahir dengan
jenis kelamin sama, maka perjodohan tersebut secara otomatis
akan batal.
Pernikahan D-oi
© Pesan dari +62 852-2094-4761 @ SMART
M o o c ^ R a h P e r m lu h a n D ini
© Berbagi ebook
P e r n ik a h a n D m !
© © ?y € 3 .ill ■ 11:05
M f l n c c g a h P e r n i k a h a n D in t
Hukum adat ini adalah sebuah peraturan tidak tertulis yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Kemudian yang
mematuhi berbagai aturan adat itu tentu hanya masyarakat yang
bersangkutan. Sejatinya hukum adat mempunyai kemampuan
menyesuaikan diri, serta elastis karena peraturan-peraturannya
tidak tertulis. Dalam hukum adat ini juga dikenal sebuah istilah
"Masyarakat Adat". Masyarakat Adat ini adalah sekumpulan orang
yang diikat oleh tatanan hukum/peraturan adat. Mereka juga sama-
sama warga negara, bersama dalam satu persekutuan hukum yang
tumbuh karena dasar keturunan ataupun kesamaan lokasi tempat
tinggal.
Masyarakat adat dalam kasus di atas adalah masyarakat adat
Madura yang terikat dalam kesatuan hukum adat. Masyarakat adat
Madura ini sudah menganggap pernikahan dini sebagai tradisi yang
harus dijaga. Ini tentu menjadi hal yang amat membingungkan bagi
banyak pihak. Sudah pasti, akan banyak sekali yang menentang,
namun sudah pasti akan banyak juga yang mendukung. Dua kubu
ini adalah konsekuensi logis dari keragaman adat istiadat.
Namun kita tentu tidak bisa menutup mata akan sejumlah risiko
yang muncul pada pernikahan dini ini. Khususnya risiko kesehatan
pada mempelai perempuan. Oleh karena itu perlu semacam upaya
atau tindakan, agar masyarakat adat semacam di Pulau Madura ini
mau merevisi kembali berbagai hukum adat yang sudah ratusan
tahun mereka pegang.
Tentu ada semacam harapan agar para penjaga hukum adat di
Pulau itu mau lebih fleksibel dan lebih peka zaman. Para sesepuh
ini harus terus didekati serta diajak berdialog agar mereka lebih
M * n < e g * h P e r n ik a h a n D m l
terbuka pikiran dan hatinya. Dengan mendekati dan mengajak
ngobrol para sesepuh penjaga hukum adat di Madura ini, diharapkan
suatu ketika ada pembicaraan yang serius untuk melakukan revisi
atau penyesuaian terhadap hukum adat yang berlaku itu.
Ini tentu akan menjadi hal yang amat sulit. Apalagi yang dilakukan
adalah membuat semacam perlawanan terhadap sebuah status quo
yang sudah berjalan ratusan tahun. Namun ini layak dicoba karena
jika berhasil dilaksanakan maka kita bisa menyelamatkan ratusan
perempuan yang mungkin akan mengalami peristiwa serupa di
kemudian hari.
Kisah aturan adat di Madura itu tentunya hanya segelintir
dari ragam kisah tentang bagaimana pernikahan dini ini semakin
marak karena dilegitimasi oleh hukum adat yang tidak tertulis.
Kekuatannya tentu pada cara hukum ini ditransformasi yaitu secara
lisan, oleh para nenek moyang secara turun-temurun. Kata-kata
yang menyatakan ada nenek moyang yang terlibat, serta usianya
yang sudah ratusan tahun itulah yang membuat hukum ini memiliki
kekuatan yang begitu dahsyat.
Selain kisah dari Madura ini, adat istiadat di Indonesia yang amat
patriarkis ini juga melanggengkan berbagai istilah yang membuat
banyak orang ketakutan ketika dirinya, atau bagian dari dirinya
(anak, keluarganya) belum menikah pada usia tertentu. Istilah
'perawan tua' atau ‘bujang lapuk' adalah sesuatu yang sering kali
kita dengar ada istiadat tertentu.
Kepercayaan terhadap istilah-istilah itulah yang membuat
sejumlah orangtua tidak pikir panjang ketika anak gadisnya ada
yang melamar. Mereka yakin, rezeki itu tidak bisa ditolak, apalagi
M f l i x e g a h P « r n il< A h a n D i m
jika yang melamar itu memiliki materi berkecukupan. Hal itu malah
dirasa sebagai keberuntungan, ketimbang hal yang mengerikan.
Cepat-cepat menikahkan anak perempuannya tanpa bertanya
apa mau dari si perempuan itu adalah sebuah tindakan yang
dilakukan karena orangtua takut jika rezeki ditolak maka mereka
tidak akan mendapatkan rezeki itu lagi. Atau ketika lamaran itu
ditolak, maka tidak akan ada lagi orang yang akan melamar anak
perempuannya itu. Menolak rezeki sesungguhnya adalah hal yang
tabu, bagi masyarakat Jawa. Sama seperti ketika orangtua berani
menolak lamaran itu, maka itu berarti ia sudah menutup jalan
rezeki pada keluarganya.
Selain ungkapan perawan tua, ungkapan 'banyak anak banyak
rezeki' adalah salah satu kata yang sudah diafirmasi secara kultural
oleh banyak orang. Jargon ini rupanya mampu menginspirasi
banyak orang untuk segera menikah. Karena jika ia tidak buru-buru
menikah, maka bisa-bisa akan kelewatan usia produktifnya, dan
cita-cita agar banyak anak banyak rezeki pun bisa hilang lenyap.
Oleh karena itu, untuk memenuhi kepercayaan bahwa banyak
anak banyak rezeki itu, maka banyak orang yang memiliki untuk
segera menikah pada usia muda. Dengan menikah pada usia muda,
maka kesempatan untuk memiliki banyak anak pun bisa lebih besar
kemungkinannya. Ketika mereka menikah di usia produktif, sudah
pasti seluruh organ reproduksi mereka akan berfungsi dengan baik,
sehingga banyak anak yang akan terjadi, dan mungkin saja rezeki
akan benar-benar mendatangi hidup pasangan muda itu.
© Pernikahan Dml
Pergaulan bebas ini adalah faktor terakhir yang dianggap sebagai
penyebab makin maraknya praktik pernikahan dini. Sebelum
melangkah lebih jauh, maka perlu ada semacam pemahaman
bersama, apakah yang dimaksud dengan pergaulan bebas itu.
Dalam konteks ini, mungkin berbagai pergaulan yang tidak didasari
oleh rasa tanggung jawab, sehingga mengakibatkan berbagai hal
© M * n < e g * h P w n l k a h a n D u ll
Selain mengadopsi seks bebas, pengunaan narkoba di
kotongon remojo reloh mengkawatirkon.
Berdasarkan data hampir 200 ribu remaja mengonsumsi
norkoba yang menjadi penyebab tingginya angka putus sekolah.
Berita yang ditulis oleh Tribun Medan tentang kondisi riil remaja
sekarang, khususnya para remaja di Medan, adalah salah satu
gambaran yang amat baik tentang apakah yang dimaksud dengan
pergaulan bebas itu.
Para remaja yang belum terbilang matang itu, rupanya sudah
banyak yang melakukan berbagai hal yang membutuhkan
kematangan berpikir, serta kematangan secara finansial juga.
Seseorang yang belum matang secara pikir dan finansial itu, tentu
akan sulit memahami apa saja risiko yang akan mereka lewati jika
sudah siap melakukan berbagai hal itu. Para remaja ini sepertinya
belum mengalami dan memahami apakah hidup, karena memang
masih tergantung pada orang tua masing-masing. Oleh karena itu
jika mereka sudah matang secara pikir dan finansial, pasti mereka
sudah mengalami banyak hal dalam hidup, sehingga pasti akan
memahami berbagai konsekuensi yang akan terjadi jika mereka
melakukan berbagai hal yang disebutkan dalam berita itu.
Kondisi ini tentu tidak hanya terjadi di Medan. Ini adalah kondisi
yang sangat mungkin terjadi pada sejumlah daerah di Indonesia.
Oleh karena sifatnya yang amat masif dan sudah menyebar secara
sporadis, ini tentu menjadi hal yang amat mengerikan. Amat
M o o c e R a h P c r m f c A h a n D lru 0
mengerikan itu karena banyak anak muda yang menjadi menderita
dan kehilangan masa mudanya karena pergaulan bebas ini.
Ini bukan melulu menjadi hal buruk karena diukur dari dalil-dalil
agama, tetapi secara faktual, memang banyak anak muda yang masa
depannya hancur karena pergaulan bebas yang tidak terkontrol ini.
Banyak yang akhirnya terjerumus dan tidak tahu bagaimana harus
melepaskan diri dari jerat-jerat pergaulan itu.
Salah satu dampak dari pergaulan bebas ini adalah kehamilan di
luar nikah. Kehamilan ini bisa menjadi kiamat kecil bagi perempuan
muda yang mengalami hal ini. Apalagi bila umurnya belum genap 17
tahun. Masa depannya sudah dipastikan akan berubah 180 derajat,
berbeda dari segala yang sudah ia rencanakan atau bayangkan
sebelumnya. Karena peristiwa kehamilan itu, si perempuan muda ini
harus keluar dari sekolahnya, dan menghentikan segala cita-citanya
-paling tidak untuk sementara saat ia mengalami kehamilan- yang
mungkin saja ingin menjadi dokter.
Karena kehamilan itu pula, ia harus merelakan diri kehilangan
masa mudanya. Si perempuan muda ini harus kehilangan waktu
bermainnya bersama teman-temannya. la tidak bisa lagi pergi ke
mal, jalan-jalan ke tempat-tempat hiburan untuk menghabiskan
waktu luang. Atau ia tidak bisa lagi berkumpul hanya sekadar untuk
ngobrol santai membicarakan hal yang remeh temeh. Hal-hal itu
adalah hal yang hanya akan menjadi mimpi dan kenangan indah.
Sudah pasti teman-teman yang dahulu bermain bersama
terus dan pergi ke mana-mana bersama, akan membicarakan diri
perempuan itu dengan tidak terlalu menyenangkan. Tidak bisa
dimungkiri bahwa peristiwa kehamilan di luar pernikahan adalah
masih menjadi hal yang amat tabu di negeri ini. Oleh karena itu, si
perempuan muda ini pasti akan dianggap sebagai pesakitan oleh
kawan-kawan sejawatnya itu.
Selain kehilangan kawan, si perempuan muda ini pun harus
kehilangan tubuhnya yang dulu. Kini ia harus merelakan seluruh
tubuhnya tidak lagi menjadi miliknya, tetapi sudah menjadi milik
anak yang dikandungnya. Tubuh si perempuan muda itu akan
mengalami berbagai perubahan yang bisa jadi akan terasa tidak
enak dan menyakitkan. la harus merelakan perutnya membesar,
tubuhnya menjadi gemuk, akan muncul lebih banyak selulit di
tubuhnya, dan ia harus siap bahwa ketika si bayi lahir, tubuh
mudanya yang dahulu kencang, tidak akan kembali kencang seperti
dahulu.
Itu adalah berbagai dampak pergaualan bebas yang pada
perempuan yang sering tidak disadari bahwa berbagai hal di
atas itu bisa terjadi. Dan salah satu yang menjadi dampak dari
pergaulan bebas itu adalah pernikahan dini yang akan dipaksakan
karena si perempuan muda itu sudah hamil. Untuk menanggulangi
munculnya berbagai hujatan dari banyak orang dan masyarakat
sekitar, maka salah satu cara yang harus dilakukan adalah dengan
melakukan pernikahan dini.
Tentu pergaulan bebas ini juga akan berdampak bagi para
remaja laki-laki. Mereka juga akan mengalami berbagai hal yang
tidak mengenakkan. Apalagi karena pergaulan bebas itu, ia akhirnya
menghamili seorang remaja lainnya. Ini tentu akan menjadi kiamat
kecil bagi dirinya. Yang paling berbeda adalah, si anak lelaki ini tidak
akan mengalami kehamilan, dan tidak akan ada yang berubah pada
tubuhnya.
M e n t e g a h P e r n i k a h a n D IM ©
Yang paling terasa adalah pada bagaimana peran dan posisinya
pada dunia anak muda yang akan mengalami perubahan. Ritme
kehidupan yang sebelumnya ia hadapi akan berubah total. Apalagi
jika ia dituntut untuk menikahi si perempuan muda yang ia hamili
itu.
Si anak lelaki muda ini sudah pasti akan merombak masa
depannya, dan segudang tanggung jawab yang sebelumnya tidak
pernah ia panggul akan ia panggul dengan tidak penuh sukacita.
Pada awalnya pasti si lelaki muda ini akan sangat tertekan dan
menderita. Kini ia harus memikul tanggung jawab seabagai ayah,
serta suami. Ini tentu hal yang sangat mengagetkan bagi si anak
yang masih ABG itu.
Pada awalnya, bisa jadi ia akan sangat kebmgungan untuk
melakukan apa. Proses penyesuaian diri itu memang tidak akan
mudah, karena apa yang ia hadapi itu memang tidak mudah. Jadi
memang butuh ekstra sabar dan kekuatan yang luar biasa untuk
menghadapi hal ini.
Namun berbagai hal yang dihadapi si lelaki muda ini tentu tidak
sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh si perempuan
yang masih belia itu. Selain tubuhnya yang sudah tidak lagi menjadi
miliknya, berbagai stigma dari masyarakat pun juga harus ia hadapi
sendirian. Kini cap sebagai perempuan nakal, tentu terus akan
menempel pada dirinya. Dan itu tidak terjadi pada si lelaki. Karena
menjadi laki-laki nakal itu atau sebutan populernya 'bad boy' malah
terkesan keren dan mengagumkan.
Maka untuk mengatasi berbagai hal yang muncul dari
pergaulan bebas ini, orangtua beserta sejumlah pihak yang merasa
© P e r n ik a h a n D*nl
untuk membatasi lingkaran pergaulan, karena kita tidak mungkin
melarang anak kita bergaul atau berkawan dengan orang-orang
tertentu. Tindakan pelarangan itu hanya akan menjadi bumerang
kepada kita, dan kita pun akan mendapatkan banyak pukulan telak
dari bumerang itu.
Oleh karena itu jangan pernah berpikir untuk melakukan
pembatasan pergaulan. Hukum dasarnya adalah, semakin dibatasi,
maka akan semakin merajalela. Itulah hukum dasar dari anak muda
zaman sekarang. Kita tidak bisa melupakan, bahwa anak-anak muda
ini sudah sangat mudah mendapatkan banyak referensi tentang
apa pun dari dunia maya. Termasuk juga mendapatkan teman dari
dunia maya. Kekuatan internet yang tidak bisa dibendung lagi itulah
yang membuat anak-anak muda kita bisa mendapatkan lingkaran
pergaulan yang bermacam-macam dan tidak terbayangkan
sebelumnya. Akibatnya, lingkaran pergaulan ini pun sudah tidak
mungkin dibatasi. Jadi satu-satunya cara yang bisa dilakukan
adalah memberi kepercayaan penuh kepada anak-anak kita, dan
membiarkan ia tumbuh sendiri, dan mencari jawab seperti yang
dilakukan oleh Sidharta.
Lalu selain memberikan kepercayaan penuh kepada anak-anak
muda itu, yang bisa kita lakukan adalah memberikan berbagai
gambaran tentang apakah yang akan terjadi jika sebuah pernikahan
itu terjadi. Sebagai orangtua yang sudah amat berpengalaman di
ranah itu, orangtua harus memberikan gambaran apa yang terjadi
dalam dunia pernikahan, dan apa yang akan terjadi jika seorang
anak yang belum siap secara mental, fisik dan finansial melakukan
pernikahan.
H e r x e f ijt h P e r n ik a h a n D in i ©
Demikianlah pembahasan mengenai faktor-faktor yang menjadi
pemicu terjadinya pernikahan dini. Sedikit telah kita singgung
bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan global ini. Namun
pada bab lima nanti, kita akan lebih fokus membahas tentang upaya
pencegahan pernikahan dini. Nah, sebelum itu mari kita mengenal
dulu tentang hukum pernikahan dini.
© M « n < * g * h P * » n lk a h * r > O m l
© (Berbagi-1 )□
<z> ©
M EN G EN A L HUKUM
<z> PERN IKA H AN DINI ©
M
engenai hukum pernikahan dini sebenarnya sudah
berkali-kali kita bahas di depan. Meskipun itu hanya
sedikit dan kurang mendalam. Untuk itulah dalam bab
ini, kita khusus membahasnya secara fokus.
Mengenai hukum pernikahan dini, maka tak lepas akan hukum
pernikahan itu sendiri. Negara melalui Pasal 6 ayat 2 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur bahwa
untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orangtua. Dalam UU lainnya, Pasal 26 ayat (1) Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan
bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :
(a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (b)
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat,
dan minatnya; dan (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak-anak.
Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal IS a y a t
(1) dinyatakan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang
telah mencapai umuryangditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang
N o .l tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19
tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dan
pada ayat (2) dinyatakan bahwa bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang
diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU N o .l Tahun 1974.
Pernikahan merupakan sebuah ikatan yang diatur secara hukum
oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Terdapat enam puluh tujuh pasal dalam undang-
undang ini. Definisi mengenai perkawinan/pernikahan terdapat
dalam pasal 1 yaitu ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Sedangkan batas usia diatur dalam pasal 7 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai usia 16 (enam belas) tahun.
Batas usia minimal bagi pihak pria dan wanita, telah ditetapkan
dalam undang-undang. Pernikahan dini—pernikahan yang
dilakukan oleh individu di bawah usia tersebut—merupakan bentuk
penyimpangan terhadap pasal 7 ayat (1) dan diatur dalam pasal 7
ayat (2) yang berbunyi "Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1)
pasal ini dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat
lain yang diminta oleh kedua orangtua pihak pria atau pihak wanita."
© M * r x * g * h P * m lk a h » r > t V i l
Beberapa LSM terus mengupayakan adanya perubahan batas
minimal usia calon pengantin melalui mengajukan draf uji materi
atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
ke Mahkamah Konstitusi. Draf ini diajukan untuk menaikkan
batas usia minimal bagi wanita dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Draf tersebut diajukan dengan pertimbangan bahwa UU yang ada
saat ini bertentangan dengan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Berdasarkan UU perlindungan anak, seseorang
masih dikategorikan sebagai anak sebelum berusia 18 (delapan
belas) tahun. Sehingga batas minimal usia calon pengantin wanita—
sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 1 tahun 1974—masih
termasuk dalam kategori usia anak sehingga perlu dilakukan
perubahan.
Batas usia minimal bagi calon pengantin wanita berdasarkan
UU Perkawinan yang dirasa masih lebih muda dibandingkan
dengan batas usia anak pada UU Perlindungan Anak, tidak serta
merta berdampak pada rendahnya angka pengajuan dispensasi
kawin. Di Jepara, misalnya, angka dispensi kawin justru mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya. Di wilayah ini, terdapat 110
perkara dispensi kawin pada tahun 2014. Angka ini meningkat bila
dibandingkan dengan tahun 2013 sebanyak 88 perkara dan tahun
2012 sebanyak 65 perkara.
Dispensasi terhadap pernikahan dini harus diajukan oleh kedua
orangtua pria maupun wanita kepada Pengadilan Agama dalam
wilayah hukum Pemohon. Proses persidangan diperlukan untuk
meyakinkan pengadilan terhadap hal-hal yang memungkinkan
dispensasi perkawinan dini dengan suatu penetapan. Salinan dari
M e ix e g a h Pernikahan Dim 0
penetapan inilah yang akan diberikan kepada Pemohon untuk
memenuhi persyaratan perkawinan.
Jika ditinjau dari aspek perlindungan anak, maka penikahan usia
anak-anak merupakan tindakan pelanggaran hukum. Tindakan ini
dianggap sebagai bentuk perampasan terhadap hakanak. Ketetapan
batas usia minimal calon pengantin dalam UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan definisi anak dalam UU Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, memberi kesan kontradiksi
di antara penerapan keduanya sehingga dibutuhkan ketelitian
untuk mencari titik temu penyelesaian dispensasi perkawinan. UU
Perlindungan Anak dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk
penetapan perkara terkait usia pernikahan namun tidak menutup
kemungkinan terjadinya dispensasi kawin.
Pasal 13 ayat (2) dalam undang-undang perlindungan anak
bahkan menyebutkan bahwa dalam hal orangtua, wali atau
pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)—diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya—maka
pelaku dikenakan pemberatan hukuman. Bahkan, Pasal 26 ayat 1
(c) menjelaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Termuatnya tanggung jawab ini menunjukkan bahwa adanya upaya
pencegahan terhadap pernikahan dini yang dilakukan sebelum
pencapai usia 18 tahun.
Hak dan kesejahteraan anak harus dilindungi baik oleh negara,
orangtua, maupun pihak lain yang bersinggungan dengan anak.
© M « n < e g a h P e rn ik a h a n Oml
© Pesan dari +62 812-3152-0315 @
Kedua hal tersebut baik fisik maupun psikis, lahir maupun batin,
harus menjadi pertimbangan utama. Pemenuhan terhadap
kebutuhan tumbuh kembangdan kebutuhan dasar anak harus tetap
terjamin. Anak juga harus terlindungi dari segala bentuk eksploitasi
dan penelantaran baik dalam hak sipil, ekonomi, sosial, maupun
budaya. Hal ini harus menjadi prioritas terutama bagi pihak yang
terlibat dalam dispensasi perkawinan.
Negara mencoba untuk melindungi anak melalui undang-undang
yang ditetapkan. Dispensasi terhadap pengajuan pernikahan dini
bukanlah bentuk penganjuran negara terhadap pernikahan dini itu
sendiri. Pernikahan dini justru dapat dinilai sebagai tindak kriminal
ketika adanya unsur diskriminasi; eksploitasi baik ekonomi maupun
seksual; penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya yang dibuktikan secara
hukum dan peraturan perundangan yang berlaku.
Dispensasi tentu saja diberikan untuk pengajuan yang lepas
dari unsur pemaksaan atau tindak pidana lainnya terhadap calon
pengantin seperti perdagangan anak. Contohnya ketika pernikahan
dini dimaksudkan untuk melepaskan tanggung jawab ekonomi
dan memperoleh mas kawin dari pihak calon suami sesuai dengan
pemintaan orangtua pihak perempuan.
Motif ekonomi dalam pernikahan dini seperti yang disebutkan di
atas dapat dikategorikan sebagai upaya menjual anak dan orangtua
dapat dipidana dengan Pasal 83 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyebutkan
bahwa "Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau
menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan
M e n r e g a h P e r n i k a h a n D in i ©
© Perwakilan Rakyat
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh
juta rupiah)." Latar belakang ekonomi ataupun kemiskinan yang
dimiliki orangtua untuk menikahkan anaknya, sama halnya dengan
upaya menjual anak kepada pihak lain yang di kemudian hari dapat
menjerumuskan anak.
Pernikahan dini juga dapat menjadi faktor terjadinya putus
sekolah. Kondisi ini menjadi kontradiktif dengan pelaksanaan
Pasal 49 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal tersebut menyatakan bahwa negara, pemerintah, keluarga,
dan orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Demikian juga dalam
Pasal 60 ayat (1), Undang-undang Nomor 39Tahun 1999, dinyatakan
bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan
pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan
minat, bakal, dan tingkat kecerdasannya. Dan ayat (2) menyatakan
bahwa setiap anak berhak mencari, menerima, dan memberikan
informasi sesuai dengan tingkat intelektualilas dan usianya
demi pengembangan dirinya sepanjang sesuai dengan nilai-nilai
kesusilaan dan kepatutan.
Kedua orangtua selalu memiliki peran penting dalam kehidupan
anak, termasuk dalam perlindungan anak dan kesejahteraannya
yang terkait dengan keputusan pernikahan anak. Orangtua tidak
boleh serta merta mengizinkan pernikahan dini anaknya tanpa
adanya pertimbangan yang matang dan bijaksana. Orangtua juga
memiliki kewajiban untuk mencegah pernikahan tersebut jika justru
berdampak negatif bagi kedua calon pengantin. Tanggung jawab
M e n c e g a h P e r n ik a h a n Din* ©
UPAYA PENCEGAHAN
^<D PRAKTIK PERNIKAHAN DINI ©
m
© M « n < t g * h P * c n lk » h a r > O m l
dan masyarakat yang terlibat dengan anak, harus dapat berperan
aktif dalam upaya pencegahan ini. Menjadi penting untuk
mempertimbangkan mengenai semua dampak yang dihasilkannya.
Baik secara sosial, psikologis, ekonomi, dan biologi. Peningkatan
informasi dan pendidikan tentang hak asasi manusia, kesetaraan
gender, dan hak-hak kesehatan seksual serta reproduksi di antara
remaja laki-laki dan remaja perempuan juga menjadi penting untuk
dilakukan.
Berbagai upaya dapat dilakukan melalui kolaborasi seluruh
elemen masyarakat. Dengan mendidik pekerja sosial, pejabat
hukum, tokoh masyarakat, tokoh agama, orangtua, dan anak-anak
perempuan tentang dampak dari perkawinan dan kehamilan usia
dini serta mendukung hubungan saling menghormati antara anak
laki-laki dan anak perempuan.
A. Peran Pemerintah
Peran sering kali dihubungkan dengan tingkah laku yang
diharapkan dari seseorang terkait dengan kedudukannya di
masyarakat. Peran juga dianggap sebagai aspek dinamis dari
kedudukan/status tersebut. Dalam pelaksanaannya, kita juga
mengenaladanya peran ideal, yaitu peranyangdiharapkandilakukan
oleh pemegang peranan tersebut. Contohnya adalah pemerintah
sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan, diharapkan mampu
melakukan upaya pencegahan terhadap kejadian pernikahan dini.
Pemerintah dibentuk dengan tujuan untuk menjaga sistem
ketertiban dalam masyarakat. Ketertiban yang membuat kehidupan
antar anggotanya bisa berjalan secara seimbang dan kehidupan
M e r v e g a h (V r m k a h a n D in i ©
yang secara khusus mengatur pernikahan di usia dini, seperti yang
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Undang-Undang Perkawinan pasal 7 ayat 1 menyebutkan
bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas tahun) tahun. Sedangkan Pasal 26 ayat 1 (c)
Undang-Undang Perlindungan Anak, menetapkan bahwa orangtua
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak. Kedua undang-undang ini
menunjukkan upaya pemerintah untuk menekan angka kejadian
pernikahan pada usia terlampau dini. Undang-Undang Perkawinan
memberikan batasan usia 16 tahun sebagai usia termuda
untuk menikah, sedangkan Undang-Undang Perlindungan Anak
menetapkan pelarangan terhadap pernikahan pada usia anak-anak.
Peraturan Bupati Gunung Kidul Nomor 36 Tahun 2015 tentang
Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak, juga merupakan bentuk
regulasi yang dilakukan oleh pemerintah setempat untuk mencegah
terjadinya pernikahan dini. Bahkan, pemerintah setempat melalui
Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, dan Keluarga
Berencana (BPMPKB)-nya, secara langsung memediasi calon
pasangan di bawah umur untuk menunda pernikahan.
Peran kedua adalah penegakan aturan. Sebuah aturan hanya
akan menjadi catatan formalitas yang terarsipkan jika aturan
tersebut tidak direalisasikan dalam bentuk operasional. Demikian
juga dengan aturan-aturan pemerintah, baik melalui undang-
undang ataupun bentuk peraturan lain, terkait dengan pernikahan
© M « n < « g a h P e rn ik a h a n D»nl
dini. Komitmen serius dalam penegakan hukum yang menyangkut
pernikahan usia anak harus dilakukan, seperti dalam penegakan UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan UU Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak. Komitmen ini diperlukan agar pihak-
pihak yang ingin melakukan pernikahan dengan anak di bawah
umur berpikir dua kali sebelum melakukannya.
Salah satu upaya penegakan aturan untuk mencegah terjadinya
pernikahan dini, dapat dilakukan dengan memaksimalkan
fungsi Kantor Urusan Agama (KUA). KUA sebagai unit kerja yang
bersinggungan langsung dengan pencatatan dan perizinan
pernikahan, dapat dimaksimalkan peranannya dalam upaya ini
melalui:
1. Membuat kebijakan operasional mengenai prosedur
pencatatan perkawinan dan administrasi yang tidak
bertentangan dengan aturan dalam memerankan peran
lembaga di bidang pencatatan nikah.
2. KUA dapat mengoptimalkan peran BPS dan perangkat KUA
lainnya untuk memberikan nasihat-nasihat perkawinan serta
pentingnya membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa
rahmah. Memberi penekanan sosialisasi bahwa pentingnya
menikah sesuai batas usia sebagaimana yang tercantum
dalam undang-undang untuk terbentuknya keluarga sakinah.
Melalui pendampingan ini, KUA juga dapat melakukan upaya
memperketat prosedur serta administrasi pernikahan agar
tidak terjadi manipulasi usia untuk mencegah terjadinya
pernikahan dini.
M e n c e g a h P e r n ik a h a n Dim ^
3. Melakukan penyuluhan dan sosialisasi Undang-Undang
Perkawinan. KAU melakukan sosialisasi UU Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan, khususnya pasal 7 ayat 1 mengenai
batas usia seseorang boleh menikah, dengan memanfaatkan
berbagai media yang ada. KAU juga dapat melakukan
penyuluhan terkait dampak negatif pernikahan dini baik dari
aspek hukum, psikologis, biologis, dan aspek lainnya.
4. Mengoptimalkan para penghulu dan amil desa sebagai pihak
yang akan menyampaikan pentingnya menikah sesuai batasan
usia melalui khotbah nikah atau ketika diminta mengisi acara-
acara keagamaan.
Peran penegakan aturan harus juga diikuti dengan pengawasan/
pengontrol terhadap pelaksanaan aturan tersebut. Pemerintah
melalui aparatnya dapat melakukan pengecekan terhadap
kepatuhan pelaksanaan undang-undang tersebut hingga ke tingkat
pemerintahan terkecil seperti kecamatan dan kelurahan. Kontrol
dibutuhkan untuk memastikan tidak adanya praktik kecurangan
aparat yang dapat mendukung keberlangsungan pernikahan di
usia dini. Proses perizinan terkait tingkat usia, harus benar-benar
diawasi sehingga upaya-upaya manipulasi dapat diminimalkan
bahkan ditiadakan.
Peran ketiga adalah melakukan evaluasi terhadap keefektifan
pelaksanaan undang-undang maupun peraturan pemerintah. Peran
evaluasi ini dapat dilakukan dengan melakukan tahapan pendataan
angka pelaksanaan pernikahan dini dari tahun ke tahun maupun
tingkat pengajuan dispensasi kawin di lembaga peradilan. Data yang
diperoleh dapat menjadi referensi bagi pemerintah untuk melihat
© M e n c e g a h P e rn ik a h a n Oml
tinggi rendahnya pernikahan dini dan menentukan upaya-upaya
pencegahan peningkatan kejadian maupun upaya menurunkan
angka kejadian.
Pemerintah juga berperan dengan melakukan sosialisasi
secara masif kepada masyarakat terhadap undang-undang terkait
beserta sanksi-sanksi pelanggaran serta risiko terburuk yang bisa
terjadi akibat pernikahan anak di bawah umur kepada masyarakat.
Sosialisasi ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan
menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa pernikahan anak di
bawah umur adalah sesuatu yang salah dan harus dihindari.
Pemenuhan wajib belajar 9 tahun juga akan menjadi salah satu
upaya preventif terjadinya pernikahan dini. Hal ini sesuai dengan UU
Perlindungan Anak pasal 48 yang menyebutkan bahwa pemerintah
wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 tahun untuk
semua anak. Terpenuhinya wajib belajar ini dapat berperan sebagai
media pendidikan untuk memberikan pemahaman kepada anak
mengenai pendidikan seks maupun kesehatan reproduksi.
Pemerintah melalui lembaga pendidikannya, seperti sekolah,
dapat melakukan bimbingan kepada remaja mengenai pendidikan
seks dan kesehatan reproduksi. Kedua pendidikan ini penting
diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau
remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal, untuk
mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi (kespro) di kalangan remaja. Meskipun
kelompok usia 16-17 tahun adalah yang paling berisiko terhadap
perkawinan usia anak, upaya pencegahan harus dimulai sejak dini
dengan para remaja perempuan dan remaja laki-laki yang lebih muda
M e n c e g a h P e r n i k a h a n D IM ©
dengan menjelaskan apa saja dampak negatif dari perkawinan usia
anak, di mana mencari dukungan, dan bagaimana mereka dapat
mempertimbangkan hubungan berpacaran yang baik dan aman.
Materi pendidikan seks dan kespro terutama ditekankan pada
upaya untuk merumuskan perawatan kesehatan seksual dan
reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif bagi
para remaja. Meskipun berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia
masih menganggap bahwa membicarakan seks adalah hal yang
tabu bahkan pendidikan seks justru akan mendorong remaja untuk
berhubungan seks, namun pendidikan terkait hal ini tidak lagi dapat
diabaikan. Pendidikan seksual diperlukan bagi perkembangan
remaja, agar remaja tidak memiliki kesalahan persepsi terhadap
seksualitas dan tidak terjebak pada perilaku-perilaku yang kurang
bertanggung jawab baik dari segi kesehatan maupun psikologis.
Kesuksesan pelaksanaan aturan dan program tentu saja
tidak hanya ditentukan oleh konsep yang matang. Lebih dari itu,
membutuhkan faktor pendukung lainnya seperti ada atau tidaknya
sarana prasarana yang mendukung. Seperti halnya pernikahan dini
yang sering kali tidak hanya merupakan dampak dari kurangnya
penegakan hukum maupun sosialisasi undang-undang atau
peraturan pemerintah. Kondisi ini juga bersinggungan langsung
dengan kurangnya ketersediaan lokasi kegiatan positif bagi generasi
muda sehingga memicu meningkatnya pergaulan bebas yang
berujung pada kehamilan di luar nikah dan peningkatan dispensasi
nikah.
Berperan tidak hanya pada membuat aturan, menjalankan
aturan, dan mensosialisasikannya. Undang-undang dan peraturan
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D in i ©
kondisi masyarakat. Riset lebih lanjut juga diperlukan untuk lebih
memahami praktik dispensasi perkawinan dan pemberian mahar/
mas kawin di Indonesia.
B. Peran Keluarga
Kita sama tahu bahwa keluarga adalah lingkungan terdekat bagi
anak. Keluarga juga merupakan ikatan tempat terselenggaranya
fungsi-fungsi mendasar bagi para anggotanya yang berada dalam
satu jaringan ikatan. Keluarga memiliki peran penting dalam
perkembangan anak, baik secara fisik, emosi, spiritual, dan sosial.
Keluarga adalah sumber kasih sayang, perlindungan, dan identitas
bagi anggotanya. Di lingkungan ini juga awal pengenalan nilai-
nilai diberikan. Keluarga melakukan perawatan sekaligus berperan
sebagai media sosialisasi pertama bagi anak.
Upaya pencegahan terhadap pernikahan dini, jelas tidak
bisa dilepaskan dari peran keluarga. Keluarga sering kali justru
menjadi pihak yang mendukung terjadinya pernikahan dini pada
anggotanya bahkan menjadi pihak yang memaksakan pernikahan
tersebut. Sebagai contoh adalah kasus seorang anak yang dipaksa
menikah ketika usianya baru memasuki 10 tahun untuk mencukupi
kebutuhan ekonomi keluarga.
Fenomena pernikahandiniyangmemperolehdukunganlangsung
dari orangtua/keluarga, memang masih banyak ditemukan di
Indonesia. Meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak dengan
tegas memberikan pelarangan kepada orangtua untuk menikahkan
anaknya di usia dini, namun fenomena ini masih saja mudah
dijumpai dalam masyarakat.
© M e n c e g a h P e rn ik a h a n D-nl
Berbagai motif seperti keterbatasan ekonomi dan budaya seolah
menjadi pembenaran bagi orangtua untuk menikahkan anaknya di
usia yang masih terlampau muda. Sebagian besar masyarakat atau
orangtua menganggap pernikahan sebagai jalan untuk meringankan
beban keluarga. Dengan segera menikahkan anaknya, orangtua
ingin melepas tanggung jawabnya menafkahi. Namun pada
kenyataannya, remaja yang terjerumus dalam pernikahan dini justru
sering kali menyumbangkan kemiskinan. Mereka belum mempunyai
perbekalan pendidikan dan keahlian yang dapat menunjang masa
depannya sehingga pada akhirnya orangtua harus terlibat bahkan
menanggung penuh kebutuhan rumah tangga anak.
Di luar kondisi ekonomi, budaya sering kali juga berperan dalam
keputusan keluarga terhadap anaknya. Banyak keluarga yang rela
menikahkan anaknya secara siri -karena terbentur persyaratan
usia minimal calon pengantin untuk perizinan nikah tercatat secara
hukum—dengan alasan tidak ingin anaknya dianggap sebagai
perawan tua karena belum juga menikah setelah berusia 15
tahun. Bahkan, banyak juga yang melakukan kecurangan dengan
memalsukan usia agar anak mereka dapat menikah secara resmi.
Dimasukkannya kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan
orangtua dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, merupakan
salah satu bentuk pengakuan negara terhadap peran keluarga
maupun orangtua pada kehidupan anak. Secara khusus, terkait
dengan pernikahan dini, negara mengatur kewajiban ini dalam
pasal 26 ayat 1 (c) yang berbunyi "Orangtua berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada
usia anak-anak". Undang-undang ini merupakan menguatkan bahwa
M e n ce ga h Pernikahan DIM
© Pesan dari +62 815-8630-8234 @
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D IM ©
13 tahun, beberapa bahkan ketika berusia di bawah 10 tahun. Angka
ini menunjukkan frekuensi yang memprihatikan dari perilaku seks
berisiko pada anak yang. Perhatian orangtua dan keluarga sangat
diperlukan sebagai kunci untuk mencegah perilaku seks pranikah
ini.
Orangtua masih merupakan unsur terpentingyang memengaruhi
pengambilan keputusan anak termasuk dalam perilaku seksualnya.
Keengganan orangtua untuk mengajarkan pendidikan seks pada
anak justru dapat mendorong anak untuk memuaskan rasa ingin
tahunya terhadap masalah seksualitas melalui media.
Anak yang tidak mendapatkan atau hanya mendapat sedikit
informasi seksualitas dari orangtua akan cenderung mencari
dari teman sebaya dan media. Cara ini jauh lebih berisiko
menjerumuskan anak pada perilaku seks menyimpang, termasuk
melakukan hubungan seks di luar nikah pada usia dini. Orang tua
idealnya dapat menjalankan perannya sebagai sumber informasi
seksualitas anak. Dengan demikian selain memberikan informasi,
orangtua juga menyampaikan nilai-nilai moral terkait hal tersebut.
Untuk menjalankan perannya, keterbukaan dan penerimaan
orangtua terhadap anak harus terlebih dahulu terjadi. Orangtua
tidak bolehmenutup diri dengan menjadi pihakyangdominandalam
keluarga dengan mengesampingkan aspirasi anak. Komunikasi
efektif harus dijalankan antara keduanya sehingga anak akan
bersikap terbuka pada orangtua termasuk mengenai kehidupan
pergaulan mereka.
Keterbukaanhubunganantaraorangtuadananakmemungkinkan
keluarga, khususnya orangtua, untuk memberikan pengarahan
© M * iK * g a h Pernikahan Oml
kepada anak. Pengarahan orangtua kepada anaknya, terlebih di
era globalisasi sekarang ini, memungkinkan anak terhindar dari
perilaku-perilaku berisiko tinggi seperti seks di luar nikah yang
akan membahayakan kesehatan reproduksi serta seksualnya.
Orangtua dapat berperan sebagai sumber utama dan pertama
dalam pendidikan seks bagi anak. Melalui orangtua, anak dapat
memperoleh pemahaman yang benar tentang seksualitas dengan
lebih terarah sehingga pernikahan dini yang disebabkan oleh
kehamilan di luar nikah dapat dicegah.
Beberapa peran orangtua dalam pencegahan pernikahan dini
dapat dilakukan melalui pelaksanaan beberapa fungsinya berikut
ini:
a. Fungsi pendidikan.
Sebagai salah satu unsur pendidikan, keluarga merupakan
lingkungan pendidikan yang pertama bagi anak. Orangtua
bertanggung jawab tentang pentingnya pertumbuhan,
perkembangan, dan masa depan seorang anak secara
keseluruhan.
Selain pendidikan seksual dan moral, melalui fungsi ini,
orangtua dapat melakukan upaya pencegahan pernikahan
dini memberikan pemahaman kesehatan reproduksi.
Orangtua dapat menjelaskan kepada anaknya—terutama anak
perempuan namun tidak menutup kemungkinan pada anak laki-
laki—mengenai tingginya risiko terjadinya kanker rahim pada
kehamilan usia muda wanita, akibat belum matangnya sel-sel
leher rahim.
Orangtua juga dapat memberikan pemahaman kepada anak
bahwa pernikahan usia dini dapat berpengaruh pada tingginya
b. Fungsi perlindungan.
Orangtua melarang atau menghindarkan anak dari perbuatan-
perbuatan yang tidak diharapkan, seperti melakukan hubungan
seks di luar nikah ataupun mengakses informasi pornografi yang
bisa memicu terjadinya pernikahan usia dini. Orangtua juga
berperan untuk mengawasi atau membatasi perbuatan anak
dalam hal-hal tertentu serta memberikan contoh dalam hal-hal
yang diharapkan.
Parental monitoring atau pemantauan yang dilakukan oleh
orangtua merupakan langkah yang paling efektif sebagai upaya
menunda anak melakukan aktivitas seksual dini. Komunikasi
antara orangtua dan anak harus senantiasa dijaga, bukan hanya
terkait seksualitas melainkan juga tentang kegiatan keseharian
serta kondisi psikologis anak.
Porenfo/mon/towigyangefektifperlumemilikikeseimbangan.
Frekuensi aktivitas seksual remaja dapat berkurang melalui
pembatasan kesempatan melakukan aktivitas seksual. Namun
pada pemantauan yang terlalu banyak aturan (berlebihan) justru
dapat berdampak pada bertambahnya kecenderungan perilaku
berisiko anak.
Pemantauan memadukan beberapa hal: (1) pengetahuan
parental terhadap keberadaan, aktivitas, dan teman-teman
anak; (2) hubungan orangtua dengan remaja yang diindikasikan
c. Fungsi religius.
Orangtua mempunyai kewajiban untuk memperkenalkan dan
mengajak anak pada kehidupan beragama. Orangtua sebagai
tokoh inti dalam keluarga harus menciptakan iklim religius dalam
keluarga, yang dapat dihayati oleh seluruh anggota keluarga.
Sebagai contohnya, orangtua menumbuhkan iklim batasan
pergaulan antara lawan jenis sebagaimana yang diajarkan oleh
agama. Fungsi religius dalam pencegahan pernikahan dini dapat
dilakukan dengan mengajarkan kepada anak bahwa perilaku
hubungan seks di luar nikah merupakan perilaku yang dilarang
oleh agama.
Fungsi ini sering kali memunculkan ketakutan orang tua
bahwa anaknya akan melanggar aturan agama sehingga
membuat orangtua memilih untuk segera menikahkan anaknya.
Penghindaran terhadap pelanggaran aturan ini bukan berarti
orangtua mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan
aspek lainnya seperti kesiapan anak secara fisik, mental, ekonomi,
maupun hukum karena justru akan menimbulkan permasalahan
yang lebih besar.
e. Fungsi ekonomi.
Orangtua juga memiliki fungsi sebagai pencarian nafkah,
perencanaan, serta pembelajarannya. Orangtua mendidik anak
agar dapat memberikan penghargaan yang tepat terhadap uang
dan pencariannya, disertai pengertian kedudukan ekonomi
keluarga secara nyata, bila tahap perkembangan anak telah
memungkinkan. Kemampuan orangtua untuk menjalankan
fungsinya sebagai penanggung jawab utama ekonomi keluarga
akan menghindari pernikahan anak di usia dini dengan alasan
untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Kondisi ekonomi yang rendah atau miskin, memang
merupakan sumber stres bagi keluarga terutama orangtua.
Namun orangtua harus memiliki pemahaman bahwa tanggung
jawab pemberian nafkah merupakan salah satu tanggung jawab
utama sebagai orang tua. Keberadaan anak tidak semestinya
dianggap sebagai beban keluarga hingga membuat mereka
berpikir untuk melangsungkan perkawinan anaknya di usia dini
f. Fungsi keteladanan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keteladanan
didefinisikan sebagai hal yang dapat ditiru. Keteladanan dalam
hal ini adalah sikap dan tingkah laku orangtua, baik ucapan
maupun perbuatan, yang sifatnya mendidik, dapat ditiru, dan
diteladani oleh anaknya. Keteladanan merupakan metode yang
paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan
dan membentuk mental, spiritual, kepribadian, serta perilaku
seorang anak.
Melalui peran ini, orangtua dapat menjadi ro/e model bagi anak
mengenai kehidupan perkawinan. Anak bisa belajar mengenai
peran orangtua yang harus diemban ketika dirinya kelak sudah
menikah. Anak secara tidak langsungakan mempelajari tugasdan
tanggung jawab dalam sebuah pernikahan yang tidak sederhana.
Timbulnya kesadaran ini diharapkan dapat menghindarkan anak
dari keinginan menikah di usia dini ketika dirinya belum sanggup
memikul tangung jawab.
M o rvp g ah P e rm k ih a n Dim ^
© © T v # 'E l
M f D(3.«ll ■ 11:15
C. Peran Masyarakat/Lingkungan
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang membentuk
sebuah sistem. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang
interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah
masyarakat mengacu pada sekelompok orang yang hidup bersama
dalam satu komunitas yang teratur.
Kolaborasi antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat
merupakan upaya maksimal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Peran serta aktif
masyarakat menjadi hal penting dalam upaya pencegahan
pernikahan anak di bawah umur/pernikahan dini. Karena perilaku
individu, termasuk juga keluarga, sangat dipengaruhi oleh kondisi
masyarakatnya.
Masyarakat bukan hanya memengaruhi bentukan seorang anak
melainkan juga merupakan media yang dapat mendukung ataupun
menentang pernikahan dini. Contohnya adalah ketika masyarakat
justrusecaratidakbertanggungjawabberperan dalam menyebarkan
pornografi, maka hal ini dapat memicu maraknya hubungan seks
di luar nikah pada usia anak yang kemudian berdampak pada
kehamilan di luar nikah dan pernikahan dini.
Sebagai sebuah kelompok yang membentuk sistem, secara
umum peran masyarakat/lingkungan untuk melakukan upaya
pencegahan pernikahan dini dapat dilakukan pada aspek internal
masyarakat itu sendiri dan aspek eksternal. Pencegahan yang
dilakukan pada aspek internal, berarti bahwa masyarakat mencoba
untuk membangun sistem baru yang dapat mencegah pernikahan
© M « n < * g a h P e rn ik a h a n D*nl
© Pesan dari +673 710 0200 @MAJELIS
M e n c e g a h P e r n ik a h a n DIM ©
Peran masyarakat di dalam pencegahan pernikahan dini dapat
dilakukan melalui penyosialisasian kesetaraan gender. Perkawinan
usia anak sering kali merupakan dampak dari ketidaksetaraan
gender serta efek dari bagaimana perempuan dan anak perempuan
dipandang dalam masyarakat, komunitas, dan keluarga. Perempuan
kerap dianggap sebagai golongan kelas dua. Jika masyarakat
beranggapan bahwa peran perempuan adalah sebagai istri dan
ibu, maka lebih besar kemungkinannya untuk dinikahkan pada usia
muda. Selain itu, lebih kecil kemungkinannya untuk mendapatkan
akses peningkatan pendidikan dan keterampilan.
Usaha untuk mengubah budaya dalam struktur masyarakat yang
telah diwarisi secara turun-temurun, seperti tradisi pernikahan
dini, tentu bukan hal yang mudah. Masyarakat harus memahami
dampak negatif dari pernikahan dini yang hanya akan memupus
semua impian para pelaku, terutama perempuan. Kesadaran yang
telah ada pada anggota masyarakat perlu disebarkan luaskan ke
seluruh anggota sehingga lambat-laun budaya itu sendiri akan
berubah melalui proses perubahan sosial-budaya.
Kolaborasi dari berbagai lapisan masyarakat dibutuhkan untuk
mencegah perkawinan usia anak. Fenomena perkawinan ini
memang tidak bisa terlepas dari adanya norma-norma sosial dan
budaya yang melestarikan praktik perkawinan tersebut. Perkawinan
usia anak masih diterima dan dipraktikkan di Indonesia sehingga
dibutuhkan beberapa strategi seperti:
1. Pelibatan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para pemangku
kepentingan lainnya yang berpengaruh untuk menggalang
dukungan dan membantu mereka berbicara untuk menolak
perkawinan usia anak;
© Pe-rnlkahan Dm i
© Pesan dari +62 878-3617-2978 @
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D in i ©
paradigma-paradigma sterotipe yang mendukung pernikahan dini.
Paradigma seperti seberapa pun setingginya wanita menuntut
ilmu, nantinya akan tetap berkutat dengan masalah dapur, kasur,
dan sumur secara perlahan harus diubah. Demikian juga dengan
pelabelan perawan tua kepada wanita dengan usia tertentu yang
belum menikah, harus dihindari.
Perubahan yang terencana untuk melahirkan sistem nilai baru
di dalam masyarakat pendukung pernikahan dini. Perubahan-
perubahan yang direncanakan oleh seseorang atau sekelompok
orang (agent o f change) untuk megubah budaya menikahkan anak
di usia dini dengan budaya menikahkan anak di usia tepat nikah.
Sedangkan melalui LSM, masyarakat dapat bergerak dalam
berbagai kampanye penyadaran kepada anggota masyarakat
maupun advokasi terkait praktik pernikahan dini. Penyadaran
kepada anggota masyarakat memalui LSM dapat dilakukan dengan
memediasi anggota masyarakat yang ingin melakukan pernikahan
dini untuk mengurungkan niatnya.
LSM juga dapat berperan dalam sosialisasi Undang-Undang
Perkawinan terkait dengan batas usia minimal calon pengantin.
Dan Undang-Undang Perlindungan Anak terutama terkait dengan
kewajiban orangtua terhadap anak serta perlindungan hukum
terhadap hak-hak anak. Selain itu, pendidikan seks dan kesehatan
reproduksi—seperti bahaya perilaku seks bebas serta kehamilan
di usia dini—juga menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang perlu
dilakukan oleh LSM sebagai upaya pencegahan praktik pernikahan
dini.
© P*mlkahar> Oml
© Pesan dari +60 13-595 7910 @ Roh Iman &
® TINDAKAN POSITIF
A N A K UNTUK C E G A H
PERNIKAHAN DINI
ari berbagai tinjauan, pernikahan dini memang sangat
A. Bersikap Jujur
Kejujuran merupakan upaya menjaga agar kita sadar untuk selalu
mawas diri atau melihat ke dalam diri sendiri. Dengan memilih
untuk bersikap jujur, terhindarlah kita dari sikap membohongi
diri sendiri. Hal ini penting, karena kebanyakan kasus pernikahan
diri dilandasi oleh ketidakjujuran pelakunya terhadap diri sendiri.
Mereka tidak berani jujur untuk mengatakan bahwa dirinya belum
siap. Atau bahkan mereka membohongi diri sendiri dan menutup
mata, akan kelabilan diri yang sepatutnya belum harus mengambil
keputussan besar bernama pernikahan. Adapun kejujuran yang
dimaksud, terbagi dalam 4 hal, berikut ini.
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D in* ©
apakah dirinya sudah mampu berpikir secara dewasa, baik
dalam menghadapi pasangan maupun menyelesaikan berbagai
masalah. Kedewasaan seseorang akan dapat dilihat jika ia
mampu menyelesaikan berbagai masalah.
Tidak seperti ketika masih single, masalah seorang yang sudah
berumah tangga akan sangat kompleks karena harus bernegosiasi
dengan pasangan. Baik dari hal kecil, misalnya mengatur tata
ruang, hingga masalah keuangan ataupun keluarga besar.
Dalam satu sisi, menikah dianjurkan bagi pemuda yang sudah
mampu. Kemampuan ini juga diukur dalam hal waktu ataupun
usia, tidak hanya diukur dari finansial. Bagi remaja yang menikah,
cenderung akan dibiayai oleh orangtua. Hal ini menandakan
bahwa ia sesungguhnya belum layak menikah. Pertama, karena
ia belum memiliki kemampuan ekonomi, kedua karena belum
bisa menyelesaikan masalah ekonomi. Masalah ekonomi yang
dimaksud adalah bahwa kebutuhan keluarga tidak terlepas dari
masalah ekonomi, lalu dari mana ia akan menyelesaikannya jika
tidak memiliki kemampuan ekonomi? Apakah akan meminta
kepada orangtua? Apakah akan selalu begitu?
Sementara bagi pihak perempuan, setelah menikah
cenderung melepaskan anaknya. Meski tidak semua, namun
orangtua perempuan cenderung memiliki pemahaman bahwa
putrinya kini telah menjadi tanggung jawab suaminya. Orangtua
hanya akan membantu jika mampu dan jika diminta.
Selain itu, jika pihak suami yang masih remaja, akan
sulit mencari pekerjaan karena memang belum waktunya.
Perusahaan akan lebih memilih pegawai yang memang sudah
memiliki pengalaman sehingga tidak perlu mendidiknya lagi.
Namun jika pegawai itu adalah remaja, tentu perusahaan akan
berpikir ulang.
© M * n < e g a h P e rn ik a h a n O m l
Jika kita masih belum bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan
di atas dengan mudah, maka sesungguhnya kita sedang tidak
jujur pada usia kita sendiri. Jika kita belum bisa jujur, berarti kita
sedang berbuat lalim.
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D im
© 2017 4
B. Aktivitas Agama
Agama kerap kita jadikan sebagai rujukan dalam memperbaiki
diri. Jika kita memiliki pikiran negatif maupun tindakan yang tidak
baik. maka ajaran agama akan menjadi patokan untuk mengukur
seberapa bejatnya kita. Demikian pula dalam dorongan menikah
muda ini, kita perlu menjalani aktivitas agama lebih rajin lagi
sehingga tidak melakukannya.
1. Taat beribadah
Ketaatan seseorang dalam beribadah akan menjadi kendali
sendiri dalam setiap tindakannya. Kenapa begitu? Karena orang
yang taat beribadah umumnya memiliki kecenderungan berhati-
hati dalam bertindak. Selalu ada batasan yang mengendalikan
diri untuk berada di jalur aman, yakni yang tidak melanggar
norma-norma agama. Demikian ini karena kita ingat akan Tuhan.
Seseorang yang dalam kesehariannya selalu ingat Tuhan,
tentuakan mencegahnya berbuat tidak baik. Misalnya melakukan
pergaulan bebas.
Pergaulan bebas, jelas sudah melanggar norma agama.
Apabila dilanjutkan, pergaulan ini akan menjadi pemicu keinginan
kita untuk segera menikah.
M e n c c g a h P e rn ik a h a n Dint ^
3. Mengalihkan pikiran ingin segera nikah
D. Berkesenian
Kesenian merupakan aktivitas yang kompleks. Bisa dilakukan
secara mandiri, namun beberapa jenis kesenian membutuhkan
keterlibatan komunal. Tinggal bagaimana pilihan kita. 8eberapa
kesenian yang bisa dilakukan secara mandiri misalnya lukis, tari,
musik, dan peran. Kesenian di sini bisa juga sebagai hobi, dan sama
halnya dengan pembahasan sebelum ini mengenai berkarya. Maka
dengan berkesenian, pikiran kita akan teralih untuk menghasilkan
seni yang bagus, daripada berpikir untuk menikah.
E. Aktivitas sosial
Aktivitas sosial merupakan salah satu cara agar kita terhindar
dari keinginan menikah muda. Dalam hal ini kita bisa menjadi
r c la u t a n M ic a ln w a r o la v u a n L o m a n m is a n r o la u > a n h o n i-a n a
© Pesan dari +62 852-7488-9244 @ MAJELIS
F. Mengembangkan hobi
Apa hobi Anda? Setiap orang pastilah memiliki hobi, meskipun
itu sekadar makan. Namun kadang orang bingung memahami apa
hobinya sendiri. Dengan kebingungan itu seringnya kita malah
menyebutkan kegiatan yang sebenarnya bukan hobi kita. Kenapa
demikian? Karena demi kebanggaan. Misalnya mengakui hobi
membaca, padahal seminggu sekali pegang buku pun tidak.
Dalam hal hobi, seharusnya kita jujur pada diri sendiri. Tak perlu
mengakui hobi orang lain hanya demi sebuah kebanggaan. Ini justru
akan semakin membuat kita tidak memahami apa sebenarnya hobi
kita. Jangan salah, orang yang hobi makan, tak selalu terkesan
negatif. Zaman sekarang, bukankah banyak pecinta makanan yang
justru terkenal dan menjadi inpiratif banyak orang. Contohnya
Bondan Maknyus.
M « r x * g a h P e rn ik a h a n D ini ©
Untuk menggali apa hobi kita, yang bisa kita lakukan adalah
merasakan. Apa yang kita sukai. Rasakan jika kita melakukan hal
tersebut. Apakah senang atau justru tertekan. Misalnya menonton
film. Tanpa kita sadari, setiap hari rupanya kita betah untuk berlama-
lama menonton film.
Dari kesukaan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa itulah
hobi kita. Menonton film misalnya. Setelah mengetahui apa hobi
kita, lanjutlah dengan mengembangkan diri. Dari menonton film
apa yang dapat kita lakukan? Diskusi? Membuat film? Membuat
komunitas pecinta film? Banyak sekali yang bisa kita lakukan.
Jika kita dapat mengembangkan hobi, maka otomatis
memengaruhi pola pikir kita untuk tidak memikirkan tentang
pernikahan dini.
masa depan. Karena apabila kita salah berteman, bisa jadi masa
depan kita menjadi taruhannya. Contoh kecil, kita bergaul dengan
peminum. Tanpa kita sadari misalnya kita menjadi terpengaruh.
Bukankah demikian akan sangat merugikan diri kita?
Begitulah pengaruh teman kepada kita. Ketika kita berteman
dengan orang-orang yang baik, kita akan terpengaruh baik. Namun
jika berteman dengan orang yang buruk akhlaknya, maka keburukan
itu akan juga menyertai kita.
Begitupun dalam konteks dorongan menikah dini ini, sebaiknya
kita menghindari teman yang membawa efek negatif. Karena
dorongan tersebut jika dituruti tidak akan ada habisnya. Bahkan kita
akan bersedia melakukan apa saja. Menikah dini, lalu ketika tidak
puas dengan pasangan akan bercerai, dan kemudian menikah lagi,
lalu muncul keinginan untuk poligami dan lain sebagainya. Maka
sebagai solusinya, kita harus memperbanyak teman, dan bergaul
dengan siapa saja namun dengan syarat bahwa pergaulan itu akan
membawa kita pada kebaikan. Bukan sebaliknya.
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D in i ©
© Pesan dari +62 813-8843-9000 @ tKS tem an
CD
KISAH INSPIRATIF
MELAWAN
PERNIKAHAN DINI
P
ada bab-bab sebelumnya, kita sudah membahas mengenai
upaya preventif terhadap pernikahan dini. Mulai dari upaya
dari pemerintah, masyarakat, orangtua bahkan diri sendiri. lalu
apakah upaya-upaya tersebut sudah ada yang mengaplikasikannya?
Tentu tidak sedikit pihak yang telah berjasa memperjuangkan
nasib anak-anak, menyelamatkannya dari sekapan pernikahan dini.
Mereka dengan tindakan yang berbeda-beda memiliki misi yang
sama, tujuan sama, yaitu menolak keberadaan pernikahan dini.
Berikut adalah sejumlah kisah inspiratif yang dilakukan
perorangan, lembaga, ataupun pemerintah dalam upaya melawan
praktik pernikahan dini.
A. Memomary Banda -Afrika
© M e n c e g a h P e r n ik a h a n D m l
|_ ^ y I V IU V / I W I l a i U V I I V ^ W I U .
D o o o n r lc » r i _ lA O Q 1 Q _Q Q A Q .O O n O /£ \ l / A D V A
M cn c e ga h (Vrnifcahan Dlrtf ^
Pengalaman buruk yang merenggut masa muda adiknya,
memunculkan tekad Memomary Banda untuk memperjuangkan
nasib para gadis cilik di negaranya. Bersama lembaga swadaya
masyarakat (LSM) Girls Empowerment Network (GEN) ia berjuang
mendatangi parlemen Malawi untuk mengubah usia layak menikah
bagi kaum perempuan.
Tidak hanya menuntut pengubahan usia yang layak, tapi
Memoraby juga menggerakkan para perempuan di desanya untuk
menyuarakan persoalan pernikahan dini. Slogan yang muncul dari
aksi itu adalah “I Will Marry When I Want To!" fSaya akan menikah
kalau saya mau).
Berkat perjuangan panjang Memoraby beserta teman-temannya,
akhirnya parlemen menyetujui untuk mengubah usia minimum
perempuan menikah, yakni 18 tahun. Jadi, jika masih ada praktik
pernikahan muda di bawah usia tersebut, artinya pernikahan
tersebut melanggar hukum.
B. Bitika Bias-lndia
Adalah Bitika Bias, gadis asal negara bagian Bengal Barat yang
berhasil menolak pernikahan dini yang dipaksakan orangtuanya. la
sadar betul, meskipun ilegal namun kebiasaan menikahkan anak-
anak di bawah umur masih banyak dilakukan di negaranya. Hampir
setengah perempuan di India menikah sebelum usia 18 dan banyak
lagi yang menikah di umur lebih muda.
Peristiwa ini terjadi saat Bitika Bias berusia 14 tahun. la dipaksa
menikah dengan seorang pemuda. Saat orangtuanya menolak
© P w n lk a h a n D*nl
membatalkan rencana pernikahan tersebut, Bitika menghubungi
kantor Childline India Foundation di kota Murshidabad. Yayasan
tersebut mengelola saluran telepon 24 jam untuk konseling dan
bantuan bagi anak-anak yang terkena krisis.
Setelah telepon diterima, Debika Ghoshal seorang aktivis
Childline menghimpun sebuah tim untuk membantu membatalkan
pernikahan Bitika. Mereka bekerja sama dengan polisi lokal untuk
menuntut para orangtua yang tidak mematuhi undang-undang yang
melarang pernikahan anak-anak dengan tindak pidana. Akhirnya,
perjuangan mereka pun berhasil. Bitika Bias lolos dari cengkeraman
tradisi yang membunuh masa depan anak-anak.
"Jika saya jadi menikah saat itu, pendidikan saya akan berhenti
pada kelas sembilan. Saya tidak akan memiliki pencapaian apa pun
di masa depan dengan pendidikan yang rendah. Di keluarga suami
saya, saya tidak akan mendapat rasa hormat," ujarnya seperti
dikutip dari media online.
S u ir A sr : b o c c o m
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D IM ©
Pernah di suatu masa, Pak Supoyo menjabat sebagai kepala desa
di Desa Ngadisari. Desa ini terletak di kompleks Gunung Bromo,
yang merupakan salah satu destinasi wisata populer di Indonesia.
Pada masa jabatannya, Pak Supoyo membuat kebijakan yang
bertujuan untuk menolak pernikahan dini. Kebijakannya itu adalah
menolak mentah-mentah rencana pernikahan warganya jika satu
syarat tidak bisa dipenuhi, yakni selembar ijazah SMA.
la membuat aturan tersebut pada tahun 2011 supaya warganya
lulus SMA terlebih dahulu sebelum menikah. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas warga.
“Mereka tidak akan berpikir untuk melanjutkan sekolah kalau
mereka menikah lebih dulu," kata Supoyo, "(Untuk menjadi)
perangkat desa misalnya, syarat pendidikannya lulus SMA, apa
masuk mereka yang hanya lulus SMP? Ketika tidak masuk (kualifikasi)
kasihan mereka yang sebetulnya punya potensi" lanjutnya.
Bagi Supoyo, rendahnya tingkat pendidikan di desanya bukan
karena kemiskinan yang melanda. Menurutnya, penduduk desa
sebetulnya punya kemampuan ekonomi yang cukup, hanya saja
mereka tidak berpikir bahwa sekolah adalah sesuatu yang penting.
"Ini tentang mengubah p em ikira n ka ta n ya pada sebuah situs
online, "sangat disayangkan kalau anaknya malas-malasan sekolah,
karena ada anggapan untuk apa sekolah kalau ujung-ujungnya
pulang (bertani)?"
Untungnya, anggapan itu perlahan memudar. Anak-anak sudah
banyak yang sekolah dan orang-orang yang lebih tua diikutkan
program kejar paket A, B, dan C (SD hingga SMA).
D. Su harti-R em b ang
Adalah Suharti, perempuan paruh baya, yang serius menganggap
pernikahan dini sebagai sesuatu yang harus segera diatasi. la tahu
betul dampak dari pernikahan muda, mulai dari perceraian hingga
meninggal dunia karena melahirkan. Hal ini tak lain karena belum
matangnya mental dan fisik mereka untuk menghadapi sebuah
dunia serius bernama pernikahan.
Suharti melakukan sikap preventif akan pernikahan dini di Desa
Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang sejak 2006.
la bercerita bahwa sebab utama pernikahan dini di desanya adalah
tingkat pendidikan dan kultur setempat di mana orangtua bangga
jika anaknya menikah cepat. Konsep ini sebenarnya sudah menjadi
keresahan bersama bagi sebagian orang di sana. Hanya saja warga
saling sungkan untuk mengutarakan, dan memang tidak tahu
bagaimana caranya menyampaikan.
"Kalau kita marah dan menggurui, orang akan tersinggung, kita
harus paham budaya dan yang lebih penting adalah menganggap
M e n c e g a h P e rn ik a h a n Din* ©
semua anak di sini sebagai anak sendiri," ungkapnya, seperti dirilis
sebuah situs berita online.
Sebagai guru TK yang setiap hari berharap anak-anak didiknya
akan sukses suatu hari, tentu menjadi pemicu keprihatiannya jika
melihat maraknya pernikahan dini, "Saya tidak rela melihat anak-
anak yang masih berusia belasan tahun, harus melakukan hal yang
dikerjakan wanita 25 Tahun " katanya.
la memang bukan satu-satunya yang tergerak hatinya untuk
melihat anak-anak di desanya dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Sudah banyak warga yang juga mendukung aksinya, "Alhamdulillah
semakin banyak warga yang mendukung, ini perjuangan bersama,
saya hanya salah satunya " pungkasnya.
E. Om aima-Suriah
© Pemlkah»r> Oml
Omaima, gadis Suriah ini gencar kampanyekan anti menikah
dini. Keputusannya tersebut diambil lantaran kerap menyaksikan
teman-teman sekolahnya 'hilang' karena dipaksa menikah oleh
orangtuanya. Termasuk sahabatnya sendiri yang dipaksa menikah
di usia belum menginjak 14 tahun. Padahal, batas usia pernikahan
di Yordania minimal 18 tahun, namun hakim agama (Suriah) kerap
memberi 'lampu hijau' bagi anak-anak untuk menikah di usia 15
tahun.
"Saya dapat merasakan rasa sakit mereka, karenanya saya
mulai keluar untuk menawarkan sebuah nasihat sederhana bahwa
menikah di usia dini itu buruk bagi Anda dan mental Anda, juga
kesehatan fisik Anda. Namun saya menyadari bahwa nasihat saja
tidak cukup,” tutur Omaima kepada sebuah media.
Dengan tekad untuk menyelamatkan gadis-gadis yang terancam
menikah muda, Omaima makin gencar mencari informasi tentang
bahaya pernikahan dini. Sebagai aksinya, ia mengorganisir berbagai
kegiatan seperti menggambar, drama, dan menyanyi untuk
gambarkan bahaya pernikahan dini.
"Tubuh mereka tidak siap untuk melahirkan dan secara emosional
mereka tidak siap untuk menjadi istri dan seorang ibu," ujarnya.
Menurut gadis yang kesehariannya memakai hijab itu,
pernikahan muda membuat seseorang putus sekolah. Padahal
untuk mendidik anak-anak mereka dengan baik, seseorang haruslah
berpendidikan,"Seorang ibu itu seperti sebuah sekolah. Jadi, jika ia
siap (baik usia maupun pendidikan), maka anak-anaknya pun akan
disiapkan " kata Omaima.
M c r x e R a h P e r n ik a h a n D lru
© Agama Islam
lu m b e r : b n l io .n e t
M e n c e g a h P e r ru k * h a n Dln4 ©
© Pesan dari +62 877-4113-3902 @ U m m at
© Pemlkah»r> Dm l
© <sf
HAPUSLAH PRINSIP
<D
MENIKAH DINI ©
S
etiap manusia memang memiliki hak untuk menentukan
pilihan hidupnya sendiri. Termasuk memilih apakah ia hendak
menikah muda atau memercayai buku ini. Namun yang jelas,
kebijaksanaan seseorang tercermin dari bagaimana ia menentukan
pilihan. Apakah pilihan tersebut adil untuk orang lain dan apakah
kita sudah adil pada diri sendiri?
Sekarang, coba melihat kembali isi hati kita. Renungkanlah.
Masihkah di dalam hati kita niatan untuk menikah muda? Atau
menikahkan anak-anak kita di usia belia?
Bayangkanlah dampak negatif yang mengincar kehidupan
manusia yang direnggut oleh praktik menikah muda? Mereka
dirampas kemerdekaannya. Mereka tak berdaya meski kehilangan
hak pendidikan, hak berekspresi, hak menikmati masa muda
sebagaimana remaja. Hingga pada akhirnya, perempuan-
perempuan gugur saat melahirkan anak pertama mereka karena
tubuh belum siap. Ada yang mengalami kekerasan rumah tangga
karena tidak berdaya melawan. Ada yang depresi, gila, masuk
penjara, hingga perceraian pun tak luput diambil sebagai jalan akhir
mempertahankan diri.
Sungguhkah Anda siap menghadapi semua itu? Siapkah Anda
menjadi korban atau mengorbankan anak sendiri ke dalam
kehidupan yang mengerikan?
Jangan katakan bahwa Anda tidak berdaya melawan tradisi.
Percayalah bahwa dalam diri masing-masing orang ada kekuatan
luar biasa yang sebenarnya jarang kita sadari sebesar apa. Untuk
memunculkannya, kita hanya butuh wawasan luas dan tekad yang
bulat.
Marilah kita bergandeng tangan memberikan kehidupan yang
lebih baik kepada anak-anak penerus bangsa. Jangan hapus masa
depan mereka dengan menghapus kesempatan menikmati masa
muda untuk belajar.
Hapuslah prinsip menikah muda itu dari kepala Anda. Kini zaman
telah berubah. Nasib anak-anak zaman sekarang tak boleh sama
terpuruknya dengan masa nenek moyang kita. Biarkan anak-anak
merdeka, dan memerdekakan diri dari kesedihan-kesedihan akibat
pernikahan yang sebenarnya, (sadar ridak sadar) belum mereka
hendaki.
M e r x ^ g a h P e r n ik a h a n D in* ©
Ada 46 perwakilan remaja dari seluruh Indonesia yang berasal
dari 33 provinsi hadir saat itu.
Acara tersebut tidak hanya mempertemukan duta-duta
remaja dari seluruh Indonesia namun duta remaja tersebut
diberikan pembekalan selama satu minggu penuh mengenai
informasi tentang Hak Asasi Manusia, Hak Kesehatan Seksual
dan Reproduksi dan Advokasi kebijakan yang berkaitan dengan
remaja yang kemudian diikuti dengan pertemuan dengan DPR
dan Kementerian terkait.
Keberlanjutannya, setelah mereka dibekali banyak informasi,
para duta remaja kembali ke daerahnya masing-masing untuk
mengembangkan organisasi di daerahnya dan mengadvokasi
hak remaja di daerahnya.
Alamat ARI Pusat: Jl. Tebet Barat Dalam IVL No. 7A, Jakarta
Selatan. Kode Pos 12810. Em ail: info@aliansiremajaindependen.
org
3. Kalyanamitra
Sebagai respons terhadap ketidakadilan yang dihadapi
perempuan Indonesia, Kalyanamitra lahir pada 28 Maret
1985. Pendirinya antara lain Ratna Saptari, Debra Yatim, Sita
Aripurnami, Myra Diarsi, dan Syarifah Sabaroeddin. Adapun
nama Kalyanamitra berasal dari Bahasa sansekerta yang artinya
"Kawan Baik".
Seperti dikutip dari laman website mereka, pada awal
berdirinya, Kalyanamitra aktif mendukung kerja berbagai pihak
4. PAMFLET
PAMFLET, sebuah organisasi non-pemerintah yang didirikan
oleh sekumpulan anak muda untuk mengelola pengetahuan
dan menjadi sistem pendukung dalam gerakan anak muda di
Indonesia. Organisasi Ini fokus pada penelitian, pengkajian,
dan pengembangan kapasitas anak muda untuk mendorong
perubahan sosial di masyarakat.
Dalam sebuah berita, organisasi ini bersama sejumlah LSM
lainnya, ikut andil dalam membebaskan anak-anak dari jeratan
pernikahan dini.
5. Oxfam
Oxfam ialah lembaga sosial internasional yang aktif
memperjuangkan hak-hak perempuan. Di Indonesia sendiri,
Oxfam hadir dalam upayanya menekan angka praktik perkawinan
7. Koalisi 18+
Koalisi 18+ ialah inisiatif gerakan sosial yang bertujuan untuk
untuk menghentikan perkawinan anak dan kawin paksa di usia
muda di Indonesia.
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D int ©
dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada
tanggal 20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan
Pasal 75 dari undang-undang tersebut, Presiden menerbitkan
Keppres No. 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak
Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan untuk memilih dan
mengangkat Anggota KPAI seperti yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
Berdasarkan penjelasan pasal 75, ayat (1), (2), (3), dan (4)
dari Undang-Undang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa
Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari
1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1 (satu) orang
sekretaris, dan 5 (lima) orang anggota, di mana keanggotaan KPAI
terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat,
organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, dan kelompok
masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak. Adapun
keanggotaan KPAI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Periode
I (pertama) KPAI dimulai pada tahun 2004-2007.
Adapun tugas pokok dan fungsi KPAI seperti yang dikutip dari
laman website-nya yaitu:
a. melakukansosialisasiseluruhketentuanperaturanperundang-
undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi.
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D im ©
© Pesan dari +62 852-6241-5579 @
© P *rn lk ah »r> D m l
© W hatsApp
SUMBER PUSTAKA
Internet
aliansiremajaindependen.org/profil-organisasi/sejarah-ari
arti-definisi-pengertian.info/pengertian-kontrol-sosial-atau-social-
control/
atpsikologi.blogspot.co.id/2010/02/kesadaran.html
b b c .c o m / in d o n e s ia / b e r it a _ in d o n e s ia / 2 0 1 5 / 0 6 / 1 5 0 6 18_
indonesia_mk_nikah
b bc.com /indonesia/m ajalah/2016/09/160830_m ajalah_desa_
ngadisari
bdkpadang.kem enag.go.id/index.php?option=com _content8ivi
ew =artide8tid=537:persiapan-perkawinan-ditinjau-dari-segi-
biologisdan-psikologis8tcatid=41:topheadlines
brilio.net/news/nurul-duta-anak-internasional-kam panye-stop-
nikah-dini-sebab-kisah-ibu-150320u.html
brilio.net/news/nurul-duta-anak-internasional-kam panye-stop-
nikah-dini-sebab-kisah-ibu-150320u.html
deddyswantry.wordpress.com/2013/10/12/77/
definisimenurutparaahli.com/pengertian-pernikahan-dini/
© M « n < * g * h P * c n lk a h » n 0 m l
definisimenurutparaahli.com/pengertian-pernikahan-dini/
demokrasiindonesia.blogspot.co.id/2014/10/fungsi-pemerintah.
html
dw .com /id/kuatnya-tradisi-salah-satu-penyebab-pernikahan-
dini/a-4897834
e n cie ty .co /la w a n -p e rn ik a h a n -d in i-m e m o m a ry -b a n d a -ra ih -
penghargaan-dunia/
femina.co.id/Trending-Topic/fenomena-nikah-muda-ini-usia-ideal-
menikah-menurut-psikolog
fem ina.co.id/trending-topic/pernikahan-alvin-dan-5-hal-yang-
patut-dikhawatirkan-dari-pernikahandini-
gizitin ggi.o rg/an gka-p ern ikah an -d in i-d i-in d o n esia-p e rin gkat-
kedua-di-asia-tenggara.html
harnas.co/2016/04/16/om aim a-gadis-cilik-suriah-penentang-
pernikahan-dini
hm ihukum unpad.blogspot.co.id/2015/05/upaya-pencegahan-
terjadinya-nikah-muda.html
hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf
hukumonline.com/berita/baca/lt536ced2eafaf5/batas-usia-kawin-
cegah-pernikahan-dini
id.wikipedia.org/wiki/Budaya
id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat
jurnalperempuan.org/revisi-undang-undang-usia-perkawinan-di-
indonesia.html
k a ly a n a m itra .o r.id /2 0 1 6 /ll/o x fa m -k a m p a n y e -1 6 -h a ri-a n ti-
kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak/
© Pernikahan Owl
pa-pasirpengaraian.go.id/new /index.php?option=com _conte
n t& vie w =article& id =127:po litik-h ukum -p em b atasan -usia-
perkawinan&catid=34:berita
pendidikan-diy.go.id/dinas_v4//?view=v_berita&id_sub=3134
p erkarahati.w ord press.co m /2014/01/18/jih ad-b esar-adalah-
menaklukkan-diri-sendiri/
pernikahan-dini-l.blog$pot.co.id/2011/05/upaya-menyikapi-atau-
mencegah.html
pesantrenvirtual.com /index. php?option=com _content&view=a
rticle&id=796:pernikahan-dini-dalam -perspektif-agam a-dan-
negara&catid=28iltemid=103
p h-a k k d e a s y . b lo g s p o t. co . id / 2 0 1 2 / 0 5 / tin j a u a n -b u d a y a -
pernikahan-dini-di.html
pih.kemlu.go.id/files/UUNo23tahun2003PERLINDUNGAN ANAK.
pdf
pssat.ugm.ac.id/2016/03/21/indonesia-dan-darurat-pernikahan-
anak/
regio n al.kom pas.com /read/2015/03/02/09271141/Disiapkan.
Perda.Cegah.Pernikahan.Dini
rum ahnikah.com /pengaruh-fisik-dan-psikis-akibat-pernikahan-
dini/
sekolahdesa.or.id/perem puan-desa-dan-keresahannya-pada-
praktik-pernikahan-usia-anak/
s ia ra n in d o n e s ia .c o m / b a c a / 2 0 1 5 0 6 2 1 / s u h a r t i-m e la w a n -
pernikahan-dini-di-rembang.html
spiritualresearchfoundation.org/indonesian/langkah-langkah-
© Pemlk*h»n Dml
t D 3 A - 11:28
BIODATA PENULIS
M f l fx e g a h P e r n ik a h a n D im ©
© © T v # ' E l
m a ,ii 11:28
CATATAN
© M * n < * g » h P e m lk a h a n D«nl
1 1 :2 8
CATATAN
M e n c e g a h P e r n ik a h a n D ln J ©
© © T v # ' E l S ..ii 11:29
CATATAN
© M e t K ^ a h P e r n ik a h a n O m l