Anda di halaman 1dari 6

Tekanan penduduk dalam suatu wilayah dapat diketahui dengan melihat besarnya laju

pertumbuhan penduduk, kepadatan penduduk agraris, dan daya dukung lingkungannya. Semakin
besar laju pertumbuhan penduduk dalam suatu wilayah, maka semakin tinggi tekanan penduduk
dan semakin besar kepadatan penduduk agraris dalam suatu wilayah, maka tekanan penduduknya
akan semakin besar pula. Banyak faktor yang mempengaruhi tekanan penduduk. Namun
demikian, determinan faktornya adalah pertumbuhan penduduk, penghasilan di luar sektor
agraris, dan perkembangan luas lahan yang relatif tetap. Berikut dibawah ini dijabarkan beberapa
hasil penelitian terhadap pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap ekosistem dan pertanian.
Pertama, yaitu pada ITP Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi sebesar 13,34
berdasarkan basis data tahun 2013, bila disandingkan dengan parameter nampak jelas sudah
melebihi angka 1. Hal ini berarti telah terjadi tekanan penduduk melebihi kemampuan lahan
yang tersedia. Indeks tersebut mengindikasikan jumlah dan pertumbuhan penduduk di daerah
tersebut terus mengalami peningkatan. Kecamatan Sukaraja, meskipun bukan merupakan ibukota
kabupaten, dan jaraknya yang jauh, tetapi secara geografis wilayah yang bersangkutan memiliki
aksesibilitas yang baik. Posisinya, termasuk salah satu kecamatan yang strategis, seperti
berbatasan langsung dengan Kota Suka-bumi dan merupakan daerah perlintasan mobilitas
penduduk Bandung, Sukabumi dan arah Jakarta.
Selain itu, Sukaraja juga memiliki sumberdaya bahan galian terkenal, yaitu Bahan galian
yang dimilikinya, selain untuk memenuhi kebutuhan domestic juga disuplai ke daerah lain, baik
diluar Sukaraja dalam Kabupaten/Kota Sukabumi, maupun wilayah lain seperti Cianjur, dan
Bogor, bahkan Jakarta. Cimangkok, merupakan lokasi penambangan bahan galian yang sangat
terkenal dari daerah yang bersangkutan. Kegiatan perikanan air tawar juga banyak dilakukan
penduduknya, mengingat sumber air di wilayah bersangkutan relative stabil. Beberapa kegiatan
industry yang memaksa konversi lahan pertanian juga mulai hadir di Sukaraja.
Posisi geografis, aksesibilitas, serta ketersediaaan sejumlah sumberdaya, merupakan
faktor yang dapat menarik penduduk dari luar Sukaraja untuk melakukan berbagai aktifitas
komersial, bahkan hidup menetap di wilayah yang bersangkutan. Melakukan berbagai aktifitas
komersial, memang merupakan hak setiap penduduk, termasuk penduduk pendatang, namun
tentunya tidak dapat dibiarkan bebas, sebab pada akhirnya kalau tanpa kebijakan dan kontrol
yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, akan menurunkan daya dukung lingkungan untuk
eksistensi kehidupan manusia di masa depan. Terjadinya penurunan daya dukung lingkungan
harus dideteksi sejak dini, sebab lambat laun akan menurunkan tingkat kesejahteraan
masyarakat. Tekanan penduduk yang tinggi, dipastikan akan menyebabkan kompetisi penduduk
untuk memperoleh sumber-sumber penghidupan akan semakin meningkat, dan di pihak lain
kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia tentu ada batasnya, yang pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan sokongan lingkungan terhadap
eksistensi kehidupan manusia.
Sokongan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia, bukannya
harus turun, melainkan justru harus ditingkatkan agar kehidupan manusia tetap eksis, bahkan
lebih meningkat kesejahteraannya. Jumlah penduduk terus bertambah, tetapi pertumbuhannya
sebaiknya dapat dikontrol dengan baik. Luas lahan memang sulit ditingkatkan, tetapi di sisi lain
kualitasnya agar diusahakan untuk meningkat, sehingga produktiifitas lahan dapat ditingkatkan.
Di lain pihak sumber-sumber peluang aktifitas komersial di luar sektor agraris harus sudah mulai
diindentifikasi, dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Pada saat produktifitas lahan sulit
ditingkatkan, jumlah dan pertumbuhan penduduk agak sulit dikontrol, maka aktifitas non agraris
perlu digenjot, tetapi dengan tetap tidak malah merusak hutan. Manusia yang lapar lahan,
biasanya akan melirik lahan hutan untuk dijadikan lahan garapan, dan ketika lahan hutan dibabat,
kondisi kehidupan masa depan dalam satuan jangka panjang tentu akan lebih parah. Wilayah
pedesaaan, seperti halnya Sukaraja dipastikan bahwa ketergantungan penduduk terhadap lahan
masih tetap tinggi, terutama bagi penduduk yang mata pencaharian utamanya sebagai petani dan
buruh tani.
Bila suatu saat ke depan, jumlah dan pertumbuhan penduduk petani terus meningkat,
sementara luas dan kualitas lahan tetap, disertai peluang kerja di sektor nonagraris masih belum
terbuka, dapat dipastikan bahwa indeks tekanan penduduknya (ITP) terhadap lahan akan semakin
besar pula. Sifat petani Indonesia, diluar sektor perkebunan, pada umumnya merupakan petani
kecil dengan kepemilikan lahan garapan yang sempit. Menurut Soemarwoto (1997) rata-rata
kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar per petani. Jumlah dan pertumbuhan penduduk petani
terus meningkat, luas lahan garapan menunjukkan kecenderungan yang makin kecil, bahkan di
masa yang akan datang tidak tertutup kemungkinan akan makin banyak pula penduduk petani
yang tidak memiliki lahan. Kondisi ini menyebabkan makin besarnya tekanan penduduk
terhadap lahan. Hal ini berarti kebutuhan akan lahan garapan makin meningkat, sementara luas
lahan sangat terbatas, sehingga kemampuan lahan untuk mendukung kehidupan akan cenderung
terbatas pula.
Bertambahnya jumlah penduduk, dipastikan sumberdaya lain diluar lahan juga akan
diperlukan dalam jumlah yang banyak. Kondisi ini akan menghadapkan kita pada penyusutan
dan terancam habisnya sumberdaya lain, seperti hutan lindung. Fenomena lain sebagai dampak
perkembangan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali adalah pencemaran
lingkungan. Pada awalnya pencemaran lingkungan tersebut hanya bersumber dari limbah rumah
tangga. Namun, sejalan dengan meningkatnya keramaian kompetisi aktifitas komersial dengan
dalih untuk meningkatkan kesejahteraan serta eksistensi kelangsungan kehidupan penduduk,
maka sumber pencemaran lingkungan itu dapat pula bersumber dari industry dan transportasi.
Bila pencemaran lingkungan itu juga tanpa dikontrol, dapat dipastikan akan berpengaruh
terhadap kehidupan penduduk, misalnya penurunan kualitas lingkungan, dan pada akhirnya akan
menurunkan kualitas kesehatan penduduk.
Kedua, yaitu pada Provinsi Jawa Tengah akan mengalami tekanan penduduk agraris yaitu
(1,5) dengan rincian ada sekitar 28 Kabupaten dan 3 Kota yang akan mengalami tekanan
penduduk agraris dan ada 1 kabupaten dan 3 kota yang tidak mengalami tekanan penduduk
daerah tersebut adalah Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kabuaten Kudus dan Kota Surakarta
dengan rincian di Kota Pekalongan adalah (0,7) dan Kota Semarang adalah (0,7). Nilai tekanan
penduduk di kedua kota tersebut menunjukkan bahwa hasil pertanian di Kota Pekalongan dan
Kota Semarang masih mampu mencukupi kebutuhan hidup penduduknya. Sedangkan Kota
Surakarta (1,0) dan Kabupaten Kudus nilai tekanan penduduknya adalah (0,9) yang dapat
diartikan bahwa di Kota Surakarta dan Kabupaten Kudus sudah maksimal untuk dikelola. Hasil
tersebut sangatlah berbeda jika dibandingkan dengan nilai tekanan penduduk agraris Provinsi
Jawa Tengah.
Hampir semua daerah di Provinsi Jawa Tengah mengalami kenaikan nilai yaitu sebesar
(0,1) yang pada tahun 2010 nilai tekanan penduduk agraris Provinsi Jawa Tengah sebesar (1,5)
dan kemudian diproyeksikan ke tahun 2020 ternyata mengalami kenaikan menjadi (1,6). Hasil
ini dapat disimpulkan setiap per 10 tahun kedepan nilai tekanan penduduk Provinsi Jawa Tengah
akan mengalami kenaikan sebesar (0,1). Hal ini sagatlah mengkhawatirkan jika hal ini terus
berlanjut maka di masa depan Provinsi Jawa Tengah akan mengalami krisis bahan pangan. Oleh
karena itu perlu adanya pengawasan dari pemerintah terutama pengendalian jumlah pertumbuhan
penduduk sehingga proyeksi tersebut tidak terjadi. Analisis keruangan tekanan penduduk agraris
Provinsi Jawa Tengah menunjukkan bahwa pada tahun 2010 maupun 2020 tekanan penduduk
agraris >1 tersebut hampir merata di seluruh daerah tingkat II. Daerah tingkat II dengan tekanan
penduduk agraris berubah yaitu Kabupaten Kudus yang pas tahun 2010 dengan angka tekanan
penduduk agraris <1 menjadi = 1 pada tahun 2020 hal tersebut terjadi karena jumlah penduduk
yang bertambah hal ini terbukti dalam kurun waktu lima tahun (2006-2010) kepadatan penduduk
di Kabupaten Kudus mengalami kenaikan dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,08 %.
Faktor-faktor yang menyebabkan hampir semua daerah tingkat II mengalami tekanan
penduduk adalah luas lahan pertanian (f) yang sedikit dan jumlah penduduk yang banyak (Po).
Sedangkan daerah yang pada tahun 2010-2020 angka tekanan penduduk agraris = 1 yaitu Kota
Surakarta. Hal tersebut dikarenakan laju pertumbuhan penduduknya tidak terlalu besar yaitu
0,0008 % sehingga produksi lahan pertanian masih dapat memenuhi kebutuhan penduduk di
daerah tersebut. Maka dari itu, perlu adanya pengawasan dari dinas-dinas terkait alih fungsi
lahan dan penekanan pertumbuhan penduduk agar dinas depan di Provinsi Jawa Tengah tidak
terjadi kelangkaan bahan makanan. Di samping itu peran serta masyarakat juga di perlukan agar
kesadaranya tentang pentingnya pertanian sebagai sebuahaset. Agar suatu saat nanti Indonesia
tidak perlu impor beras dari luar negeri.
Ketiga, Nilai tekanan penduduk Desa Sendangmulyo adalah 0,36. Nilai tekanan
penduduk tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hasil pertanian yang ada di Desa
Sendangmulyo tersebut masih mampu mencukupi kebutuhan hidup penduduk desa tersebut
dengan luas lahan pertanian pada tahun 2010 adalah 351,25 Ha, 6.918 penduduk 425serta
23,56% penduduk bekerja sebagai petani. Desa Sendangmulyo memiliki nilai TP yang rendah
walaupun perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada wilayah ini merupakan perubahan
penggunaan lahan yang paling tinggi, hal ini dikarenakan adanya penurunan jumlah penduduk
sehingga walaupun jumlah lahan sawah mengalami penurunan tekanan penduduk akan rendah.
Perlunya perhatian dari pemerintah pada desa ini untuk pengendalian jumlah perubahan
penggunaan lahan agar desa ini tidak mengalami tekanan penduduk dikemudian hari.
Nilai daya dukung lahan bervariasi namun tidak terlalu mencolok perbedaan antara desa
satu dengan desa lain. Variasi nilai daya dukung lahan di Kecamatan Minggir dan Moyudan
adalah 2,78 di Desa Sendangmulyo Kecamatan Minggir dan terendah 0,03 Desa Sendangarum
Kecamatan Minggir. Desa lain selain Desa Sumberarum dan Desa Sendangsari memiliki nilai
DDL < 1. Nilai daya dukung lahan pertanian di Kecamatan Minggir Desa Sendangrejo (0,68)
lebih besar dari Desa Sendangsari (0,36) dan Desa Sendangagung (0,34). Di Kecamatan
Moyudan nilai daya dukung lahan Desa Sumberarum (0,55), Desa Sumberagung (0,58), Desa
Sumberrahayu (0,45) lebih tinggi dari nilai daya dukung lahan di Desa Sumbersari (0,08). Nilai
indeks DDL tersebut menunjukkan bahwa desa-desa tersebut memiliki daya dukung lahan yang
rendah. Variasi nilai daya dukung lahan pertanian dipengaruhi juga oleh beberapa faktor salah
satunya adalah letak dari desa tersebut. Desa yang terletak di pinggir jalan raya ataupun
berdekatan dengan daerah pertumbuhan ekonomi akan memiliki nilai daya dukung lahan yang
rendah. Desa yang terletak jauh dari jalan raya dan jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi akan
memiliki nilai daya dukung lahan pertanian yang tinggi. Desa Sendangmulyo Kecamatan
Minggir memiliki nilai indeks daya dukung lahan pertanian tinggi karena penggunaan lahan
pertaniannya yang ada masih mampu untuk mencukupi kebutuhan penduduknya secara layak.
Penggunaan lahan untuk Desa Sendangmulyo (DDL = 2,78) adalah 351,25 Ha atau 52,46% dari
total luas lahan Desa Sendangmulyo.
Analisis data sekunder Penurunan daya dukung lahan menurut Hardjasoemantri (1989)
dapat diatasi dengan cara : 1) konversi lahan, yaitu merubah jenis penggunaan lahan ke arah
usaha yang lebih menguntungkan tapi disesuaikan wilayahnya; 2) intensifikasi lahan yaitu dalam
menggunakan teknologi baru dalam usaha tani; 3) konservasi lahan, yaitu usaha untuk
mencegah. Tingkat daya dukung lahan pertanian semakin besar apabila nilai luas panen tanaman
pangan yang tersedia per kapita semakin besar. Jika luas lahan yang ada pada suatu wilayah
dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum penduduknya maka wilayah tersebut memiliki daya
dukung lahan yang seimbang. Nilai kebutuhan pokok fisik minimum adalah nilai yang
menunjukkan seseorang dapat hidup sehat secara normal. Wilayah yang dapat memenuhi
kebutuhan penduduk dalam taraf yang layak yaitu setara dengan 265 kilogram beras/orang/tahun
atau 1600 kalori/orang/hari.
Perhitungan ketersediaan beras dihitung dengan pengurangan antara persediaan beras
dengan kebutuhan beras. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa hanya satu desa yang mengalami
surplus dan desa lainnya mengalami defisit beras. Wilayah yang mengalami devisit beras
merupakan daerah yang berada di dekat wilayah sub-urban (wilayah perbatasan antara desa dan
kota) yang terletak jauh dari kota Yogyakarta dan berkembang menjadi tujuan kegiatan
masyarakat di wilayah kecamatan sekitarnya sehingga menjadi pusat pertumbuhan. Wilayah ini
mengalami devisit beras karena poduksi padi yang sedikit karena makin sempitnya lahan
pertanian disana yang berubah menjadi lahan non pertanian. Penyebab penurunan ini karena
perkembangan permukiman ke arah barat menuju wilayah Kecamatan Minggir dan Moyudan
yang terletak di wilayah yang strategis. Kedua wilayah tersebut biasanya diburu oleh kaum urban
yang membutuhkan suasana pedesaan yang jauh dari polusi dan kebisingan.
Berdasarkan data yang didapatkan, hubungan antara tekanan penduduk dengan
produktivitas, jika nilai tekanan penduduk rendah maka nilai produktivitas pertanian akan tinggi
begitu pula sebaliknya jika nilai tekanan penduduk tinggi maka produktivitas pertanian akan
menjadi rendah. Desa Sendangarum Kecamatan Moyudan memiliki nilai tekanan penduduk
tinggi namun juga memiliki nilai produktivitas yang tinggi pula. Hal ini terjadi karena produksi
pertanian dari suatu lahan yang kecil dapat menghasilkan produksi pertanian yang maksimal
dengan pengolahan lahan pertanian dan tanaman pertanian dengan teknologi yang modern.
Sedangkan Desa Sendangsari memiliki tekanan penduduk yang rendah namun juga memiliki
nilai produktivitas yang rendah pula. Hal ini dikarenakan produksi pertanian di daerah ini yang
rendah akibat adanya serangan hama wereng yang menyebabkan banyaknya petani di Desa
Sendangsari yang mengalami penurunan produksi pertanian ataupun gagal panen.
Adanya hubungan tekanan penduduk dengan produktivitas pertanian, maka pemerintah
perlu melakukan pengendalian terhadap perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke
lahan non pertanian selain itu pemerintah juga sebaiknya menyediakan lahan pekerjaan untuk
penduduk agar tidak bergantung hidup hanya dari lahan pertanian dengan begitu maka daerah
tersebut tidak akan mengalami tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan produktivitas
pertanian juga akan mengalami peningkatan. Hasil perhitungan tekanan penduduk terhadap lahan
pertanian di sembilan desa yang meliputi dua kecamatan yaitu Kecamatan Minggir dan
Moyudan terdapat satu desa di Kecamatan Minggir yang tidak mengalami tekanan penduduk
yaitu Desa Sendangmulyo. Berdasarkan hasil yang didapatkan, terlihat bahwa nilai tekanan
penduduk Desa Sendangmulyo adalah 0,36. Nilai tekanan penduduk tersebut maka dapat
disimpulkan bahwa hasil pertanian yang ada di Desa Sendangmulyo tersebut masih mampu
mencukupi kebutuhan hidup penduduk desa tersebut dengan luas lahan pertanian pada tahun
2010 adalah 351,25 Ha, 6.918 penduduk 425 serta 23,56% penduduk bekerja sebagai petani.
Desa Sendangmulyo memiliki nilai TP yang rendah walaupun perubahan penggunaan
lahan yang terjadi pada wilayah ini merupakan perubahan penggunaan lahan yang paling tinggi,
hal ini dikarenakan adanya penurunan jumlah penduduk sehingga walaupun jumlah lahan sawah
mengalami penurunan tekanan penduduk akan rendah. Perlunya perhatian dari pemerintah pada
desa ini untuk pengendalian jumlah perubahan penggunaan lahan agar desa ini tidak mengalami
tekanan penduduk dikemudian hari.
Keempat, Berdasarkan hasil uji secara parsial, variabel tingkat kelahiran tidak
mempengaruhi luas tutupan hutan di Sumatera, dengan nilai probabilita 0,3250 tetapi, variabel
idependen hanya mampu menjelaskan pengaruh keduanya hanya 40 %, dengan R2=0,4091).
Sedangkan pertumbuhan penduduk terhadap alih fungsi lahan berpengaruh signifikan secara
negatif, dengan penjelasan idenpenden variabel sangat lemah hanya 34 persen. Variabel polusi
air yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk berpengaruh secara signifikan pada keyakinan
α = 0,10 , sedangkan kemampuan variabel perpindahan penduduk menjelaskan pengaruhnya
terhadap polusi air sebesar 81,9 persen di pulau Sumatera, dan 19 persen dijelaskan oleh faktor
lain. Selanjutnya hubungan antara variabel pertumbuhan penduduk terhadap air bersih signifikan
baik melalui tingkat kelahiran dan perpindahan penduduk dengan hubungan antara kedua
variabel mampu dijelaskan sebesar R2 =81,02 persen. Hasil uji ini sangat relevan dengan teory
Samira (2017), populasi bisa mempengaruhi kerusakan lingkungan secara tidak langsung.
Pertumbuhan penduduk terhadap Ketahanan Pangan Berdasarkan hasil uji secara parsial,
variabel perpindahan penduduk mempengaruhi ketersediaan pangan di Sumatera, tetapi tingkat
kelahiran tidak berpengaruh.
Perpindahan penduduk mempengaruhi terhadap konsumsi pangan secara signifikan pada
keyakinan 10 persen, dengan penjelasan idenpedensi variabel 60 persen. Selanjutnya import
pangan sangat berhubungan signifikan dengan perpindahan penduduk di pulau Sumatera, ada
keyakinan α =0,05, ini sesuai dengan hasil penelitian Matuschke, (2009), tetapi hasil uji import
pangan tidak signifikan dengan tingkat kelahiran penduduk, dimana nilai signifikansi > 0,05 atau
0,8940, kemungkinan disebabkan karena persentase tingkat kelahiran dan ketahanan pangan
dalam negeri masih dalam rasio yang memungkinkan. Bila dihubungkan dengan teori oleh
(FAO,2015), memprediksi supply pangan mengalami penurunan karena kekeringan ddan
iklim yang berganti. Akan tetapi hasil uji dalam model ini masih relevan bila dikaitkan hasil
temuan dari Shannon dan Sun lee., 2008), tingkat perpindahan penduduk menunjukkan
hubungan yang signifikan terhadap ketersediaan pangan.
Hasil uji hubungan antara pertumbuhan penduduk dan ketahanan energi di Sumatera
dapat dijelaskan bahwa secara simultan pertumbuhan penduduk melalui tingkat kelahiran dan
perpindahan penduduk berhubungan secara signifikan dengan ketahanan energi yaitu minyak
bumi, dengan tingkat keyakinan masing-masing 0,5 % dan 10 %, akan tetapi secara parsial
lifting minyak bumi tidak berhubungan dengan tingkat kelahiran dan perpindahan penduduk.
Namun lifting minyak bumi bisa diejelaskan oleh faktor pertumbuhan penduduk 74 %.
Selanjutnya variabel perpindahan penduduk berhubungan signifikan dengan lifting natural gas,
pada α =0,05, sedangkan tingkat kelahiran berhubungan secara signifikan pada keyakinan α =
0,1. Hubungann interdepedensi variabel keduanya dapat dijelaskan dengan oleh R-Square
0.8920, artinya lifting gas alam mampu dijelaskan oleh pertumbuhan penduduk sebesar 89 %.
Sedangkan eksploitasi minyak bumi dapat dijelaskan dapat dijelaskan oleh pertumbuhan
penduduk pada R-Square 0,8010 atau 80 persen. Hasil uji ini menunjukkan pertumbuhan
penduduk terhadap ketahanan energy tidak semuanya signifikan secara simultan, sepertinya teori
Thomas Malthus tidak sepenuhnya mewakili hasil penelitian ini, menurut Malthus dengan
perspektif secara radikal karena penduduk yang terus bertambah menyebabkan tekanan pada
sumber daya alam, kenyataanya hasil penelitian diatas sedikit berbeda dengan teori Malthus
dan penelitian pech dan Sunada (2008) yang menyarankan tingkat penduduk harus
bersdampingan dengan sumber daya alam.

Anda mungkin juga menyukai