Anda di halaman 1dari 14

Bab I: Barang-dagangan

1. Dua faktor barang-dagangan: nilai pakai dan nilai (substansi nilai dan
besaran nilai)
Kekayaan masyarakat di mana cara produksi kapitalis berkuasa,
tercermin dari adanya "Suatu akumulasi barang-dagangan yang sangat
luas atau besar,"[1] sedangkan satuannya dihitung berdasarkan per buah
barang-dagangan. Oleh karena itu penelaahan kita harus mulai dengan
analisa terhadap barang-dagangan.
Barang-dagangan, bila dilihat dari tempatnya, pertama-tama adalah
suatu obyek/benda yang berada di luar kita, sesuatu, yang karena sifat
dan caranya, dapat memuaskan kebutuhan manusia. Tidak menjadi
soal[2] apakah sifat kebutuhan tersebut berasal dari perut atau pun fantasi.
Tidak dipersoalkan juga bagaimana caranya kebutuhan-kebutuhan
terpuaskan oleh obyek tersebut, apakah secara langsung seperti terhadap
kebutuhan subsistensi, atau pun secara tidak langsung seperti oleh alat-
alat produksi.
Tiap-tiap barang yang berguna, seperti besi, kertas dan sebagainya,
seharusnya dipandang dari dua segi, yakni segi kualitas dan kuantitas.
Barang-barang tersebut merangkum berbagai sifat, oleh karena itu
barang-barang tersebut dapat digunakan dalam berbagai cara.
Menemukan berbagai kegunaan barang-barang tersebut merupakan
kerja/karya yang bersejarah.[3] Demikian juga bila menemukan standar
ukuran (perhitungan kuantitas) sosial kegunaan obyek-obyek tersebut
(dalam sifatnya), atau pun karena kebiasaan-kebiasaan (persetujuan
sosial).
Kegunaan suatu barang menyebabkan barang tersebut memiliki nilai
pakai.[4] Namun pengertian kegunaan tersebut tidak bisa diterapkan pada
barang seperti udara. Karena barang-dagangan ditentukan oleh sifat
fisiknya, ia tidak akan memiliki eksistensi bila tanpa badan fisiknya
(berujud). Oleh karena itu, barang-dagangan seperti besi, gandum, intan,
dan sebagainya, sejauh sesuatu yang sifatnya material, adalah juga nilai
pakai, sesuatu yang memiliki kegunaan. Sifat barang-dagangan tersebut
tidak tergantung dari kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan kualitas
kegunaannya. Bila berbicara tentang nilai pakai, kita selalu
mengasumsikannya dengan sejumlah kuantitas tertentu, misalnya lusin
untuk jam, yard untuk kain, ton untuk besi dan seterusnya. Nilai pakai-nilai
pakai barang-dagangan melengkapi sifat materialnya, yang berguna bagi
keperluan studi tertentu yakni guna pengetahuan tentang sifat komersil
barang-dagangan.[5] Nilai-pakai menjadi kenyataan hanya bila telah
digunakan atau dikonsumsi; nilai-pakai merupakan tolok ukur substansi
kesejahteraan, apapun bentuk sosialnya. Di dalam bentuk masyarakat
yang kita amati, nilai-pakai merupakan perangkum sifat material dari nilai
tukar. Nilai tukar, pada pandangan pertama, merupakan cermin dari
hubungan kuantitas, sebagai proporsi di mana nilai-pakai suatu jenis
barang dipertukarkan dengan nilai-pakai jenis barang lainnya,[6] suatu
hubungan yang selalu berubah sesuai dengan waktu dan tempatnya. Oleh
karena itu, nilai-tukar muncul sebagai sesuatu yang kebetulan dan relatif
semata-mata, dan akibatnya nilai yang intrinsik dan bersenyawa dengan
barang-dagangan nampaknya berada dalam posisi contradictio in
adjectio (contradiction in terms)[7]. Mari kita lihat dengan lebih mendalam.
Sejumlah barang-dagangan tertentu, misalnya, seperempat kilo gandum
dipertukarkan dengan x semir sepatu, y sutra, atau z emas dan
sebagainya-singkatnya dipertukarkan dengan barang-dagangan lain
dalam proporsi yang sangat berbeda. Dengan demikian gandum tidak
hanya memiliki satu nilai tukar, tapi banyak nilai tukar. Tetapi oleh karena
x semir sepatu, demikian juga y sutra, atau z emas merupakan nilai tukar
dari seperempat kilo gandum, maka x semir sepatu, y sutra, z emas
haruslah memiliki nilai tukar yang dapat saling menggantikan satu atau
sama lainnya. Oleh karena itu, nilai tukar yang valid (absah) bagi suatu
barang-dagangan tertentu haruslah menyatakan kesamaannya; kedua,
nilai tukar pada umumnya merupakan suatu cata pernyataan tertentu,
bentuk perwujudan tertentu, dari apa yang terkandung di dalamnya, yang
dapat saling membedakan.
Selanjutnya ambillah dua contoh barang-dagangan, gandum dan besi.
Apa pun proporsi hubungan pertukarannya, ia tetap dapat digambarkan
dalam suatu persamaan, di mana sejumlah gandum disamakan dengan
sejumlah besi, misalnya seperempat kilo gandum = 100 pon besi. Apa
yang bisa dikatakan oleh persamaan tersebut? Apa yang dapat kita
pahami dari persamaan tersebut adalah, bahwa dalam dua barang yang
berbeda-seperempat kilo gandum dan 100 pon besi-terdapat kesamaan
kuantitas yang umum bagi keduanya. Oleh karena itu dua benda harus
dapat disamakan dengan benda ketiga, simultan, bukan hanya benda-
benda tertentu saja. Masing-masing dari kedua benda tersebut, selama
merupakan nilai-tukar, harus dapat direduksi menjadi sama dengan benda
yang ketiga.
Suatu contoh geometris yang sederhana akan memperjelas persoalan
tersebut. Untuk menghitung dan membandingkan luas semua bentuk garis
lurus, kita harus memilah-milahnya dalam segitiga-segitiga. Akan tetapi
luas segitiga tersebut harus dinyatakan menjadi sama sekali berbeda dari
bentuknya yang kelihatan, yakni, setengah dari hasil perkalian alas
dengan tingginya. Demikian juga nilai tukar barang-dagangan harus dapat
dinyatakan dan direduksi ke sesuatu yang umum (semuanya harus dapat
mewakili masing-masingnya), mereka harus dapat menggambarkan nilai
yang lebih kecil atau lebih besar.
Namun sifat umum tersebut bukanlah merupakan sifat geometris, kimia,
atau sifat-sifat badaniah tersebut akan menjadi perhatian kita selama
dapat memberikan kegunaan (nilai-pakai) terhadap barang-dagangan.
Namun pada kenyataannya pertukaran, di segi lainnya, merupakan suatu
tindakan yang memiliki karakterisasi sebagai abstraksi nilai pakai barang-
dagangan. Satu nilai-pakai akan memiliki kesamaan dengan nilai-pakai
lainnya selama mereka berada dalam perbandingan yang selayaknya.
Atau, seperti yang dikatakan oleh si tua Barbon, "Suatu macam barang
yang satu sama baik seperti yang lainnya, jika nilai-tukarnya sama.
Karena tidak ada yang dapat membedakan barang-barang yang nilai-
tukarnya sama."[8] Sebagai nilai-pakai, barang-dagangan haruslah memiliki
makna kualitas yang berbeda, oleh karena itu tidak mengandung satu
atom pun nilai-pakai.
Jika kita mengabaikan nilai-pakai barang-dagangan dalam
pertimbangan kita, maka hanya tinggal satu sifat yang ada padanya, yaitu
hasil tenaga kerja. Namun bahkan hasil kerja tersebut telah mengalami
perubahan di tangan kita. Bila kita mengabstraksi nilai-pakai barang-
dagangan, pada saat yang sama juga kita mengabstraksi komponen dan
bentuk badaniah yang membuatnya memiliki nilai-pakai; kita tidak lagi
menyebutnya meja, rumah, benang, atau barang lainnya yang memiliki
kegunaan. Semua keberadaan materialnya menghilang. Juga tidak dapat
lagi dikatakan sebagai hasil kerja tukang kayu, tukang bangunan,
pemintal, atau hasil kerja produktif lainnya. Bila kita melenyapkan kualitas
kegunaan hasil produksi maka sekaligus kita melenyapkan pula karakter
kegunaan berbagai jenis kerja yang tersimpan di dalamnya, dan juga
melenyapkan bentuk konkrit bermacam-macam kerja tersebut; hasil
produksi tersebut tidak lagi saling membedakan; semuanya direduksi
menjadi hasil kerja yang sama, kerja manusia yang abstrak.
Marilah kita lihat apa yang tersisa dari hasil-hasil produksi tersebut; tak
ada yang tersisa selain daripada realitas abstrak yang sama, suatu
pembekuan belaka dari kerja manusia yang tak memiliki perbedaan, yakni
tenaga kerja manusia yang dikeluarkan--dengan mengesampingkan cara
bagaimana tenaga kerja itu dikeluarkan. Dalam barang-barang tersebut
tersimpan tenaga kerja, yakni terdapat timbunan tenaga kerja manusia di
dalamnya. Bila dilihat sebagai kristalisasi substansi sosial, maka
kesamaan yang ada pada mereka adalah: nilai.
Di dalam hubungan pertukaran barang-dagangan, nilai-tukar mereka
sama sekali tidak tergantung kepada nilai-pakai mereka, itu yang telah kita
lihat. Jika kita sekarang mengabstraksikan dari nilai-pakai mereka, maka
kita akan mendapatkan nilai mereka seperti yang telah didefinisikan di
atas. Oleh karena itu, substansi umum yang terwujud dalam nilai-tukar
barang-dagangan, di mana pun mereka dipertukarkan, adalah nilai
mereka. Proses penyelidikan lebih lanjut akan menunjukkan bahwa nilai-
tukar adalah satu-satunya bentuk di mana nilai barang-dagangan dapat
mewujudkan atau mengekspresikan diri. Sekarang, bagaimana pun juga,
kita harus mempertimbangkan hakikat nilai yang tidak tergantung dari
bendanya.
Suatu nilai-pakai, atau kegunaan benda, oleh karenanya, hanya
mempunyai nilai karenanya, hanya mempunyai nilai karena kerja manusia
abstrak telah dibekukan atau dimaterialkan ke dalam benda tersebut.
Sekarang bagaimana kita mengukur besaran nilainya? Jawabannya,
dengan jumlah "substansi pembentuk nilai" yang terkandung di dalamnya,
yakni kerja. Jumlah kerja diukur dengan waktu berlangsungnya (lama
kerja), dan waktu kerja tersebut memiliki standarnya, misalnya minggu,
hari, jam dan seterusnya.
Orang-orang mungkin berfikir bahwa jika nilai suatu barang-dagangan
itu ditentukan oleh jumlah waktu kerja yang dikeluarkan untuk
memproduksinya, maka semakin malas atau tidak cakapnya seseorang,
semakin bernilailah barang-dagangan tersebut, karena makin lebih
banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya. Kerja,
bagaimanapun juga, yang membentuk substansi nilai, adalah kerja
manusia yang sama, pengeluaran tenaga kerja yang seragam. Jumlah
tenaga kerja keseluruhan masyarakat, yang membentuk jumlah nilai total
barang-dagangan yang diproduksi oleh masyarakat, dihitung sebagai
tenaga kerja massal manusia yang sama, meskipun terdiri dari tenaga
kerja perseorangan yang tak terhitung. Setiap tenaga kerja perseorangan
tersebut sama dengan tenaga kerja perseorangan lainnya, selama
memiliki karakter sebagai tenaga kerja rata-rata masyarakat, dan
berfungsi seperti itu (memiliki dampak/akibat terhadap tenaga kerja rata-
rata masyarakat); yaitu, tak ada perhitungan waktu yang dibutuhkan untuk
memproduksi barang-dagangan selain daripada kebutuhan waktu rata-
rata, apa yang disebut waktu yang dubutuhkan secara sosial. Waktu kerja
yang dibutuhkan secara sosial adalah waktu yang dibutuhkan untuk
memproduksi suatu benda dengan syarat-syarat produksi yang normal,
serta dengan derajat kecakapan dan intensitas kerja yang lazim. Misalnya
di Inggris, setelah digunakan mesin tenun uap untuk merubah sejumlah
benang menjadi kain, maka kebutuhan waktu kerja hanyalah tinggal
separuh dari yang sebelumnya. Pada kenyataannya tukang tenun bekerja
atau membutuhkan waktu kerja yang sama dari yang sebelumnya. Pada
kenyataannya tukang tenun bekerja atau membutuhkan waktu kerja yang
sema dari yang sebelumnya; tetapi hasil per jam kerjanya kini hanya
separuh dari per jam kerja sosial, oleh karenanya berkurang separuh dari
nilai yang dahulu.
Jadi, hanya jumlah jam kerja yang dibutuhkan secara sosiallah (the
labour time socially necessary) yang menentukan besaran nilai suatu
benda, atau jam kerja yang dibutuhkan secara sosial untuk memproduksi
sesuatu.[9] Dalam hal ini, setiap satuan barang-dagangan dinilai sebagai
sampel rata-rata yang mewakili jenisnya (klasnya).[10] Oleh karenanya,
barang-dagangan, di mana di dalamnya mengandung jumlah kerja yang
sama, atau yang dapat dihasilkan dalam waktu yang sama, memiliki nilai
yang sama. Nilai satu barang-dagangan lainnya dapat dikatakan sebagai
hubungan di mana satu sama lainnya memiliki jam kerja yang dubutuhkan
untuk memproduksinya. "Sebagai nilai-nilai, semua barang-dagangan
hanyalah merupakan ukuran jam kerja yang telah dibekukan atau
dimaterialkan."[11]
Jadi nilai suatu barang-dagangan akan tetap bila jam kerja yang
dibutuhkan untuk memproduksinya juga tetap. Akan tetapi jam kerja
berubah sesuai dengan produktifitas kerja. Produktifitas tersebut
ditentukan oleh berbagai situasi, di antaranya, oleh derajat kecakapan
rata-rata para pekerja, perkembangan ilmu-pengetahuan dan tingkat
aplikasi praktisnya, organisasi sosial produksi, luas dan kemampuan alat-
alat produksi, dan kondisi alam. Sebagai contoh, dengan jam kerja yang
sama, pada musim yang baik dapat dihasilkan 8 gantang gandum, namun
pada yang tidak baik hanya dapat dihasilkan 4 gantang. Karena logam
yang dikandungnya berbeda di dua daerah, maka jam kerja yang sama
akan menghasilkan jumlah logam yang berbeda. Intan adalah benda yang
jarang dipermukaan bumi ini, oleh karena itu akan lebih banyak
mengeluarkan waktu kerja untuk mendapatkannya. Oleh karenanya di
dalam volume yang kecil mereka menyatakan waktu kerja yang banyak.
Jacob meragukan bahwa emas pada suatu saat akan dibayar dengan
nilainya yang penuh. Apalagi intan, menurut Eschwege, selama 80 tahun
penggaliannya (berakhir tahun 1823) intan Brazilia belum bisa mencapai
harga 1½ tahun produk rata-rata perkebunan gula atau kopi Brazilia,
meskipun lebih banyak mencurahkan kerja, atau mencurahkan lebih
banyak nilai. Dalam tambang yang kaya, jumlah kerja yang sama akan
menghasilkan lebih banyak intan, dan nilainya akan merosot. Bila kita
berhasil mengubah batu bara menjadi intan, maka nilainya akan di bawah
nilai batu bara. Secara umum, makin besar produktivitas kerja maka
makin sedikit waktu kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu
barang, makin sedikit jumlah kerja yang membeku (dikristalkan) dalam
satu barang maka makin kecil pula nilainya; sebaliknya, makin kecil
produktivitas kerja maka makin besar waktu kerja yang dubutuhkan untuk
menghasilkan satu barang, dan nilainya akan makin besar. Besaran nilai
suatu barang demikian berubah berbanding langsung dengan jumlah kerja
dan berbanding terbalik dengan produktivitas kerja yang tergabung di
dalamnya.
Suatu benda bisa memiliki nilai-pakai, tanpa memiliki nilai. Hal ini bisa
terjadi jika kegunaannya bagi manusia bukan dikarenakan kerja (tidak
dihubungkan dengan kerja). Misalnya udara, tanah perawan, padang
rumput alami, dan sebagainya. Satu benda bisa saja memiliki kegunaan,
dan merupakan hasil kerja manusia, namun tidak bisa disebut barang-
dagangan. Siapa saja yang memenuhi kebutuhannya sendiri dengan hasil
kerjanya sendiri memang menciptakan nilai-pakai, namun bukan
menghasilkan barang-dagangan. Untuk menghasilkan barang-dagangan,
seseorang tidak saja harus menghasilkan nilai-pakai, tapi nilai-pakai untuk
orang lain, nilai-pakai sosial. (Dan sama sekali bukan hanya "untuk orang
lain.: Petani abad pertengahan juga menghasilkan pajak padi-padian
persepuluh untuk pendeta (Zentkorn). Tetapi kedua jenis pajak tersebut
tidak bisa disebut barang-dagangan persyaratannya adalah, pertama,
harus dihasilkan untuk orang lain, kedua, memiliki nilai-pakai, dan ketiga,
dialihkan melalui pertukaran.[12] Yang terakhir, tak satu pun bisa memiliki
nilai, tanpa menjadi obyek kegunaan (tanpa merupakan yang dapat
dipakai). Bila sesuatu benda kehilangan gunanya, maka demikian pula
kerja yang terkandung di dalamnya; kerja tersebut tidak bisa dihitung
sebagai kerja yang menghasilkan nilai.

Bagian II: Watak Rangkap Kerja yang Terkandung dalam Barang-dagangan


Mula-mula barang-dagangan memberikan gambaran kepada kita
sebagai dua hal yang kompleks-sebagai nilai-pakai dan nilai-tukar.
Kemudian, kita juga melihat bahwa kerja memiliki dua hakikat rangkap;
selama kerja itu dinyatakan dalam nilai, ia tidak memiliki watak yang sama
sebagai penghasil nilai-pakai. Pertama-tama saya harus membuktikan
dan menguji secara kritis hakikat rangkap kerja yang terkandung dalam
barang-dagangan. Oleh karena pemahaman terhadap hal tersebut
merupakan titik tolak untuk mengerti ruang lingkup ekonomi politik, maka
kharus lebih jauh mengerti detilnya.
Ambil misalnya dua contoh barang-dagangan, 1 jas dan 10 ello (yard)
kain lena. Bila jas nilainya dua kali lipat kain lena, maka 1 jas = 2 W, dan
10 ello kain lena = W.
Jas memiliki nilai-pakai karena dapat memuaskan kebutuhan tertentu.
Keberadaannya merupakan hasil dari jenis aktivitas produktif tertentu
(untuk menghasilkannya diperlukan satu aktivitas produktif tertentu),
hakikatnya ditentukan oleh tujuannya, cara pelaksanaannya, bendanya,
alat-alat produksinya, atau karena nyatanya hasil produksi tersebut
memiliki nilai-pakai, kita namakan kerja yang berguna. Dalam hal ini, kita
hanya akan menganalisanya selama ia memiliki dampak kegunaan.
Jas dan kain lena, secara kualitas, memiliki nilai-pakai yang berbeda,
demikian juga dua bentuk kerja yang menghasilkannya, penjahit dan
penenun. Seandainya barang-barang tersebut, secara kualitatif, tidak
memiliki nilai-pakai yang berbeda, sehingga dengan demikian juga bukan
merupakan hasil produksi kerja dengan kualitas yang berbeda, maka
mereka tidak mungkin dapat berhadapan/berhubungan sebagai barang-
dagangan. Jas tidak ditukar dengan jas juga; satu nilai-pakai tidak akan
ditukar dengan nilai-pakai yang sejenis.
Di dalam berbagai macam nilai-pakai terkandung berbagai macam kerja
yang berguna, yang dibedakan menurut tatanannya, golongannya, jenis
keluarganya dan macamnya, semuanya disebabkan karena adanya
pembagian kerja sosial. Pembagian kerja tersebut merupakan syarat yang
dubutuhkan untuk menghasilkan barang-dagangan, namun sebaliknya,
produksi barang-dagangan bukan merupakan syarat bagi adanya
pembagian kerja. Di dalam komunitas masyarakat India kuno sudah
terdapat pembagian kerja sosial, namun tak ada yang namanya produksi
barang-dagangan. Contoh yang lebih dekat ada dalam pabrik, kerja telah
terbagi secara sostematis, tetapi pembagian kerja tersebut tidak
menyebabkan kaum buruh menukarkan hasil produksi perseorangannya.
Hasil produksi dapat dikatakan barang-dagangan, yang merupakan hasil
kerja yang berbeda, bila masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak
saling tergantung.
Jadi, di dalam nilai-nilai setiap barang-dagangan tersimpan kerja yang
berguna, yakni aktivitas produktif dengan tujuan tertentu. Nilai-pakai tidak
dapat berhadapan satu sama lain sebagai barang-dagangan, jika kerja
yang berguna, yang ada di dalamnya, tidak berbeda secara kualitatif.
Suatu masyarakat dikatakan menghasilkan barang-dagangan secara luas,
yakni, masyarakat penghasil barang-dagangan di mana kerjanya (yang
menghasilkan nilai-pakai) berbeda secara kualitatif, hasil usaha penghasil
perseorangan yang tidak tergantung atau berdiri sendiri, dan kerja yang
berbeda secara kualitatif tersebut berkembang ke suatu sistem yang
kompleks-suatu pembagian kerja sosial.
Kecuali itu, tidak ada bedanya jas yang dipakai oleh penjahit atau pun
oleh langganannya. Dalam kedua kejadian tersebut jas berfungsi sebagai
nilai-pakai. Hubungan antara jas dan kerja yang menghasilkannya tidaklah
berubah menurut situasi yang ada. Pekerjaan menjahit menjadi profesi
khusus, atau suatu cabang dari pembagian kerja sosial yang tidak
tergantung. Kebutuhan akan pakaian memaksa manusia
memproduksinya, manusia telah memproduksinya beribu-ribu tahun
sebelumnya, tanpa harus menjadi penjahit. Akan tetapi jas dan kain lena
bukanlah seperti elemen material lainnya-yang secara spontan dihasilkan
oleh alam, mereka ada sebagai hasil dari aktivitas produksi tertentu,
dengan tujuan tertentu, suatu aktivitas dalam mengolah material alam
tertentu guna memenuhi kebutuhan khusus manusia. Oleh karena itu
kerja sebagai penghasil nilai-pakai, kerja yang berguna, merupakan
syarat, apapun bentuk masyarakatnya, bagi keberadaan ras manusia;
suatu keharusan alamiah yang abadi, tanpa itu tak akan ada pertukaran
bahan antara manusia dan alam, atau tak akan ada kehidupan.
Nilai-pakai jas, kain lena dan sebagainya, pendek kata barang-
dagangan yang berwujud, terdiri dari kombinasi dua elemen-bahan-bahan
alam dan kerja. Jika semua kerja yang berguna, yang tersimpan dalam
barang-dagangan, dihilangkan maka kini tinggallah bahan dasarnya saja,
yang tanpa dikerjakan oleh manusia alam telah menyediakannya.
Manusia dalam produksinya dapat bertindak hanya seperti alam itu
sendiri, yaitu hanya mengubah bentuk-bentuk bahan.[13] Lebih dari itu,
dalam kerja merubah bentuk alam, manusia secara tetap didukung oleh
tenaga alam. Dengan demikian, kerja bukanlah satu-satunya sumber
kesejahteraan, atau juga bukan satu-satunya sumber nilai-pakai yang
dihasilkannya. Seperti apa yang dikatakan oleh William Petty, kerja adalah
ayah, dan bumi adalah ibu.
Sekarang kita beralih dari penelaahhan nilai pakai barang-dagangan ke
nilai barang-dagangan.
Seperti asumsi kita sebelumnya, jas mempunyai nilai dua kali lebih
besar dari kain lena. Tetapi itu hanya perbedaan kuantitatif saja, yang
untuk sementara ini tidak menarik perhatian kita. Jika satu jas = dua kali
10 ello kain lena, maka 20 ello kain lena = 1 jas. Sejauh mereka memiliki
nilai-pakai, jas dan kain lena memiliki substansi yang sama, yaitu ekspresi
obyektif dari kerja yang pada esensinya sama. Akan tetapi pekerjaan
menenun dan menjahit, secara kualitatif, merupakan kerja yang berjenis.
Dalam masyarakat tertentu terdapat keadaan di mana satu orang yang
sama, secara bergantian, melakukan pekerjaan menenun dan menjahit,
dalam kasus ini dua bentuk kerja tersebut hanyalah merupakan modifikasi
kerja dari individu yang sama, dan belum menjadi fungsi-fungsi yang tetap
dan khusus dari individu-individu yang berbeda; sepenuhnya sama seperti
jas dan celana yang dibuat oleh penjahit pada waktu yang berbeda,
semata-mata merupakan variasi kerja yang dilakukan oleh orang yang
sama. Lebih dari itu, dengan sekali lihat saja, dalam masyarakat kapitalis,
sesuai dengan perbedaan dalam permintaan, porsi tertentu kerja manusia
dipenuhi, pada satu saat, dalam bentuk kerja menjahit, dan dalam saat
yang lain, dalam bentuk kerja menenun. Perubahan tersebut tidak
mungkin terjadi tanpa gesekan, tapi hal tersebut harus tetap dilakukan.
Bila kita mengabaikan bentuk khusus aktivitas produktif, dengan
demikian sekaligus juga mengabaikan watak kegunaan kerja, maka yang
tertinggal hanyalah pengeluaran tenaga kerja manusia.
Menjahit dan menenun, walaupun secara kualitatif merupakan aktivitas
produktif dari akal, otot, urat-syaraf, tangan dan lain-lain manusia, dan
dalam makna tersebut adalah kerja manusia. Keduanya hanyalah
merupakan dua cara pengeluaran kerja manusia yang berbeda. Tentu
saja, tenaga kerja tersebut, yang tetap sama walau ada modifikasi-
modifkasi, harus mencapai tahap perkembangan tertentu sebelum dapat
dikeluarkan dalam berbagai bentuknya. Akan tetapi nilai barang-dagangan
merupakan cerminan kerja abstraksi manusia, pengeluaran kerja manusia
secara umum. Dan dalam masyarakat seorang jenderal dan bankir
memainkan peranan yang besar, sedangkan di lain pihak, manusia
lainnya hanya memainkan peran yang kerdil dan patut dikasihani,
[14]
 demikian juga terhadap peran kerja manusia. Ia adalah pengeluaran
kerja manusia yang sederhana, yakni, kerja rata-rata, yang tanpa
perkembangan khusus pun, terdapat pada setiap organisasi badan
manusia. Kerja rata-rata yang sederhana tersebut, memang betul,
karakternya berubah-ubah sesuai dengan negri dan waktunya, akan tetapi
dalam masyarakat tertentu ia ada. Kerja ahli hanyalah merupakan hasil
peningkatan dan pelipatgandaan dari kerja sederhana, sehingga
pengurangan jumlah kerja ahli sama dengan penambahan terhadap kerja
sederhana. Pengalaman menunjukkan bahwa reduksi tersebut selalu
terjadi. Satu barang-dagangan mungkin saja merupakan hasil kerja yang
paling ahli, namun nilainya, dengan membandingkannya dengan produk
kerja sederhana yang kurang keahliannya, merupakan jumlah tertentu dari
kerja sederhana yang kurang keahlian tersebut.[15] Perbedaan proporsi,
karena berbagai jenis kerja yang berbeda direduksi menjadi kerja
sederhana, merupakan standar ukuran yang ditetapkan sebagai
kebiasaan (muncul seolah-olah sudah ada dari asalnya). Demi
penyederhanaan, segala jenis kerja sederhana; Dengan melakukan hal ini
kita akan terhindar dari kesalahan dalam membuat reduksi.
Oleh karenanya, sebagaimana kita memandang jas dan akin lena
sebagai nilai-nilai yang diabstraksi dari nilai-pakainya masing-masing
(yang berbeda), demikian juga kita memandang kerja sebagai cerminan
nilai-nilai tersebut: Kita tidak memperdulikan perbedaan bentuk-bentuk
kegunaannya, apakah itu menjahit atau pun menenun. Sebagai nilai-
pakai, jas dan kain lena, merupakan kombinasi aktivitas produktif tertentu
yang menggunakan kain dan benang, sedangkan sebagai nilai, jas dan
kain lena, merupakan pembekuan homogen dari kerja yang tak berbeda,
oleh karena itu kerja yang terkandung di dalam nilai-nilai tersebut harus
diperlakukan bukan karena manfaat produktif yang diberikan oleh kain dan
benang, akan tetapi hanya sebagai pengeluaran tenaga kerja manusia.
Menjahit dan menenun merupakan faktor-faktor yang harus dipenihu
dalam menciptakan nilai-pakai jas dan kain lena, tepatnya karena kedua
jenis kerja tersebut memiliki kualitas yang berbeda; tapi sejauh kita hanya
mengabstraksi kualitas khususnya, atau sejauh kita hanya menganggap
keduanya memiliki kualitas kerja manusia yang sama, maka menjahit dan
menenun substansi nilainya terdiri dari bahan yang sama.
Namun jas dan kain lena, bagaimana pun juga, bukan hanya semata-
mata nilai, mereka adalah nilai-nilai yang memiliki besaran tertentu, dan
berdasarkan asumsi kita, 1 jas memiliki nilai dua kali 10 ello kain lena.
Dari mana asal perbedaan nilai-nilai mereka? Jawabannya adalah: karena
kain lena hanya mengandung setengah kerja dibanding yang terkandung
dalam jas, sehingga untuk menghasilkan jas diperlukan waktu dua kali
lebih banyak.
Dalam hubungan dengan nilai-pakai kerja yang terkandung dalam
barang-dagangan hanya diperhitungkan secara kualitatif. Sedangkan
dalam menghitung nilai kita harus memperlakukannya secara kualitatif,
dengan terlebih dahulu mereduksinya sebagai kerja murni dan sederhana.
Pertanyaan untuk nilai-pakai adalah: Bagaimana dan Apa? Sedangkan
pertanyaan untuk nilai adalah: Bagaimana dan Berapa? Berapa banyak
waktu yang digunakan? Oleh karena besaran nilai itu dihitung dari jumlah
waktu yang terkandung dalam barang-dagangan, maka semua barang-
dagangan, pada proporsi tertentu, pada dasarnya haruslah memiliki nilai
yang sama.
Jika kekuatan produktif, yang digunakan oleh berbagai kerja-berfaedah
untuk menghasilkan jas, tidak berubah, maka pertambahan nilainya
sebanding dengan pertambahan jumlahnya. Bila untuk menghasilkan 1 jas
diperlukan waktu x hari kerja, maka untuk menghasilkan 2 jas diperlukan
2x hari kerja, dan seterusnya. Tetapi bagaimana seandainya lamanya
kerja berfaedah untuk menghasilkan jas berubah 2 kalinya atau ½nya.
Untuk kasus yang pertama (berubah 2 kalinya), nilai 1 jas yang sekarang
sama dengan nilai 2 jas dahulu; dalam kasus yang kedua itu jelas terlihat:
walaupun 1 jas yang dihasilkan dahulu dan sekarang sama-sama
memberikan jas yang sama, dan tenaga kerja yang menghasilkannya
memiliki kualitas yang sama, namun jumlah kerja untuk menghasilkannya
berubah-ubah.
Pertambahan dalam jumlah nilai-pakai adalah pertambahan dalam
kekayaan material. Dengan dua jas, dua manusia bisa berpakaian;
dengan satu jas, hanya seorang manusia yang bisa berpakaian. Namun
demikian, pertambahan dalam kekayaan material bertalian dengan, pada
saat yang sama, penurunan besaran nilai. Gerak yang berlawanan
tersebut berakar dari watak rangkap yang dimiliki kerja. Keberadaan
tenaga produktif, tentu saja, tergantung dari produktifitasnya. Dengan
demikian, kerja-berfaedah akan menjadi sumber kelimpahan hasil-hasil
produksi, sesuai dengan naik turunnya produktifitasnya. Di lain pihak,
kerja, yang dicerminkan oleh nilai, tidaklah dipengahuri oleh perubahan
dalam produktivitas. Ketika kekuatan produktif telah menjadi unsur dari
bentuk konkrit kerja-berfaedah, tentu saja kekuatan produktif tersebut
tidak lagi ada sangkut-pautnya dengan kerja tersebut karena kini kita telah
mengabstraksi bentuk-bentuk konkrit faedahnya. Kekuatan produktif bisa
saja bermacam-macam, namun kerja yang sama, yang bekerja pada
jumlah waktu yang sama, selalu menghasilkan jumlah nilai yang sama.
Akan tetapi tenaga kerja tersebut, pada waktu yang sama, menghasilkan
jumlah nilai-pakai yang berbeda; lebih banyak, bila ada peningkatan
dalam kekuatan produktif. Perubahan dalam kekuatan produktif yang akan
menambah faedah bagi kerja, dan, konsekuensinya, menyebabkan
pertambahan jumlah nilai-pakai yang dihasilkan oleh tenaga kerja,
sekaligus juga menurunkan jumlah total nilai, perubahan kekuatan
produktif dapat memperpendek waktu kerja yang dibutuhkan dalam
menghasilkan barang, demikian juga sebaliknya.
Di satu pihak; semua kerja adalah, dalam arti fisiknya, pengeluaran
tenaga kerja manusia, dan dalam karakter abstraknya yang sama ia
menghasilkan nilai barang-dagangan. Di lain pihak, semua pengeluaran
kerja manusia dalam bentuknya yang khusus dan dengan tujuan tertentu,
atau dalam karakter konkrit kerja yang berfaedah, menghasilkan nilai-
pakai.[16]
Catatan:
1) Karl Marx, "Zur Kritik der Politischen Oekonomie," Berlin 1859, hal.
4.
2) "Keinginan menyiratkan kebutuhan ini adalah selera jiwa, dan
tentunya demikian juga seperti lapar bagi badan …. Pada umumnya
(barang) mempunyai nilai karena ia memuaskan kebutuhan manusia."
(Nicholas Barbon, "A Discourse on Coining the New Money Lighter.
And Answer to Mr. Locke's Consideration etc.," London 1696, hal. 2,
3).
3) "Barang memiliki intrinsick vertue" ini pada Barbon adalah tanda
khas pada nilai pakai), yang di mana-mana sama sebagaimana
maknit menarik besi" (ibid., hal. 6). Sifat-sifat magnit menarik besi,
akan menjadi berguna, jika dengan alat tersebut ditemukan polarisasi
kutub magnit.
4) "Nilai hakikat suatu barang terdiri dari kemampuannya memenuhi
kebutuhan yang diinginkan atau mengabdi kepada kenikmatan
kehidupan manusia." (John Locke, "Some Consideration on the
Consequences on the Lowering of Interest," 1691, dalam Works,
London, 1777, Volume II. Hal. 28). Dalam abad ke XVII kita masih
sering menemukan, pada penulis-penulis Inggris, kata "worth" untuk
menyatakan nilai-pakai, dan "value" untuk menyatakan nilai tukar. Ini
benar-benar dalam semangat bahasa, seperti kata Teutonic, dalam
bahasa Jerman, untuk menyatakan sesuatu yang aktial, dan
kata reflexion, dalam bahasa Romawi, untuk menyatakan refleksi dari
sesuatu yang aktual.
5) Di dalam masyarakat borjuis berkuasa hukum fiksi, seolah-olah
setiap orang, sebagai pembeli barang-dagangan, memiliki
pengetahuan tentang barang-dagangan secara ensiklopedis.
6) "Nilai berada dalam hubungan pertukaran antara satu barang
dengan yang lain, antara jumlah tertentu suatu hasil produksi dengan
jumlah tertentu lainnya." (Le Trosne, De l'Interest Social,
dalam Physiocrates, ed. Daire, Paris, 1845, hal. 889).
7) "Tiada yang dapat mempunyai nilai-tukar intrinsik" (N. Barbon,
op.cit., hal. 6; atau seperti yang dikatakan Butler: "Nilai suatu barang
justru sama dengan yang akan ia bawa."
8) N. Barbon, loc.cit., hal. 53, 57.
9) "Nilai dari benda-benda guna, begitu mereka dipertukarkan satu
dengan yang lainnya, ditentukan melalui jumlah kerja yang diperlukan
dan, biasanya, digunakan untuk menghasilkannya." (Some Thought
on the Interest of Money in General, and Particularly un the Public
Funds, etc., London, hal. 36). Tanggal terbit dari karya yang bagus ini
tidak jelas, dan demikian juga namanya. Tetapi dari isinya kelihatan
bahwa ia terbit pada masa George II, kira-kira pada tahun 1739 atau
1740.
10) "Semua hasil produksi dari jenis yang sama sebenarnya hanya
membentuk satu jumlah, yang harganya ditentukan secara umum,
tanpa mengindahkan keadaan khususnya." (Le Trosne, op.cit., ..6.
11) Karl Marx, op.cit., hal. 6.
12) Catatan untuk cetakan ke 4: Saya menambahkan catatan dalam
tanda kurung, karena dengan tidak adanya ia, sangat sering timbul
salah pengertian, seolah-olah menurut Marx, setiap hasil produksi,
yang dikonsumsi oleh orang lain atau oleh produsen-produsen yang
lain, adalah barang-dagangan-F. Engels
13) "Semua gejala alam, apakah mereka diciptakan oleh tangan
manusia ataukah oleh hukum-hukum fisik alam, bukanlah ciptaan
baru yang sebenarnya, melainkan hanya modifikasi bahan.
Penggabungan dan pemisahan adalah satu-satunya unsur yang tak
henti-hentinya ditemukan oleh akan manusia dalam analisa gagasan
produksi: dan demikian juga hubungannya dengan produksi nilai
(nilai-pakai, walaupun Verri sendiri, dalam polemiknya dengan kaum
fisiokrat, tidak mengerti tentang nilai dari jenis apa yang ia sedang
bicarakan itu) dan kesejahteraan manusia--kesejahteraan atau
kelimbahan hanya akan ada bila kekayaan bumi, udara, air di ladang-
ladang berubah menjadi gandum, atau ketika melalui tangan manusia
getah suatu serangga berubah menjadi sutra, juga ketika bagian-
bagian kecil logam digabungkan begitu rupa hingga menjadi jam
dinding." -Pietro Verri, Meditazioni sulla Economia Politica (cetakan
pertama tahun 1773), dalam edisi Custodi (ekonom Itali) Scrittori
Classici Italiani di Economia Politica, Parte Moderna, Jilid XV, hal. 22.
14) Bandingkan (Cf.) dengan Philosopie des rechts (Philosophy of
Rights) nya Hegel, Berlin 1840, hal. 250, edisi Inggrisnya hal. 190.
15) Harus dicatat bahwa dalam pembicaraan ini bukanlah berkisar
tentang upah kerja atau nilai yang diterima oleh buruh, misalnya untuk
satu hari kerja atau nilai yang diterima oleh buruh, misalnya untuk
satu hari kerja, akan tetapi tentang nilai barang-dagangan yang
merangkum atau mematerialkan waktu kerja. Kategori upah sama
sekali belum ada dalam keterangan atau penelaahan ini.
16) Untuk membuktikan bahwa kerja merupakan satu-satunya ukuran
riil, di mana nilai-nilai semua barang-dagangan dapat diestimasi dan
dibandingkan dengan waktu kerja, Adam Smith berkata: "Jumlah
kuantitas yang sama dari kerja haruslah, pada semua waktu dan
tempat, memiliki nilai yang sama untuk semua buruh. Pada keadaan
kesehatan, kekuatan dan aktivitasnya yang normal, serta pada tingkat
rata-rata ketrampilan yang dimilikinya, ia harus mengorbankan
(dijadikan sebagai tenaga kerja) ketenangan, kebebasan dan
kebahagiaannya." (Wealth of Nations, buku jilid I, bab V, hal. 104-
105). Di satu pihak, A. Smith di sini (tetapi tidak untuk pengertian yang
lain) dibingungkan oleh ketentuan nilai yang dihitung berdasarkan
kerja yang dikeluarkan untuk menghasilkan barang-dagangan, dan
kemudian sebagai konsekuensinya berusaha membuktikan bahwa
jumlah kuantitas yang sama dari kerja selalu memiliki nilai yang sama.
Di lain pihak, ia mengira bahwa kerja, sejauh ia dinyatakan dalam nilai
barang-dagangan, hanya dihitung atau berlaku sebagai pengeluaran
tenaga kerja, namun ia memperlakukan pengeluaran tersebut
semata-mata hanya merupakan pengorbanan ketenangan,
kebebasan, dan kebahagiaan, bukan berdasarkan jumlah waktu yang
sama dari aktivitas normal kehidupan (kesibukan kehidupan yang
normal). Namun kemudian, ia memiliki pengertian tentang upah buruh
modern. Lebih tepat lagi, pendahulu Adam Smith, yang dibicarakan
dalam catatan no. 9 di atas, yang mengatakan "Seseorang telah
bekerja selama seminggu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ….
dan ia, ketika mendapatkan barang lain dalam pertukaran, tidak dapat
menilai secara tepat nilai tukarnya, selain daripada seberapa banyak
waktu dan kerja yang telah dikeluarkannya; kenyataan ini
menunjukkan adanya pertukaran kerja--pertukaran waktu dan-yang
digunakan oleh masing-masing dalam menghasilkan barang, masing-
masing memiliki waktu tertentu." (op.cit., hal. 39).
(Catatan untuk edisi ke 4: Bahasa Inggris memiliki keunggulan dalam
menyatakan dua aspek kerja yang berbeda. Kerja yang menciptakan nilai-
pakai, yang ditetapkan secara kualitas, dinamakan work, sedangkan kerja
yang menciptakan nilai, yang diukur berdasarkan kuantitas,
dinamakan labour. F. Engels)

Anda mungkin juga menyukai