Agar lebih mudah, dimengerti dulu, baru dirasakan, setelah itu dijalankan. Jangan sampai
menjalankan segala sesuatu itu tanpa dipahami lebih dahulu nilai positif dan negatif yang
dirasakan.Inilah mengapa olah rasa dan olah batin, itu menjadi bagian dari pendidikan
Tamansiswa untuk tujuan membentuk jiwa yang cerdas dan berbudi pekerti luhur melalui tertib
laku atau kebiasaan. Dalam konteks pemikiran Ki Hajar, pendidikan tidak cukup hanya membuat
anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan harusnya mengembangkan
seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya
karsa (konatif). Dengan demikian, pendidikan diharapkan mampu mengembangkan anak
menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan
kemanusiaan, sehingga anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya. Guru saat ini
memiliki peran sangat besar pembentukan karakter anak/siswa. Sebagai sosok atau peran guru,
yang dalam filosofi Jawa disebut digugu dan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung
tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Guru adalah model bagi anak,
sehingga setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi model atau contoh baginya.
Seorang guru harus selalu memikirkan perilakunya, karena segala hal yang dilakukannya akan
dijadikan teladan murid-muridnya dan masyarakat. Sebagai guru dan pendidik diharapkan dan
selayaknya memberi teladan bagi anak didik baik dalam setiap kegiatan yang dilakukan, baik
dalam tutur kata dan tindakan nyata atau perilaku. Untuk membentuk anak didik yang memiliki
karakter yang baik, sebagai guru perlu memberikan teladan dan contoh yang baik.
Adapun dalam pelaksanaan Tringa tidak terlepas dari berbagai tahap yang ditemukan
peneliti pada saat pengambilan data seperti : a) Tahap pembiasaan, tahap pembiasaan ini
dilaksanakan karena merupakan tahap paling awal yaitu, tahap siswa mulai menumbuhkan
semangat belajar dengan berbaris rapi serta berdoa. b) Tahap pembelajaran, pada tahap
pembelajaran selain mengembang kemampuan memahami teks, berpikir kritis dan kemampuan
komunikasi yang baik. Pada tahap ini ada sifatnya yang bersifat afektif atau ngrasa, dimana
seperti siswa ada rasa atau sikap dalam hati untuk bertanggungjawab dengan apa yang sudah
dimengerti yang selanjutnya dilaksanakan yaitu nglakoni (Indarti, 2019: 33)
https://jurnal.ustjogja.ac.id/index.php/sosio/article/view/4048 , DOI
https://doi.org/10.30738/sosio.v5i1.4048, SOSIOHUMANIORA - Vol.5, No.1, Agustus 2019 - Jurnal
LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Indarti, Tri. 2019. Implementasi Tringa Tamansiswa Dalam Manajemen SDM Untuk Kemajuan
Sekolah. Sosiohumaniora, 5 (1), DOI https://doi.org/10.30738/sosio.v5i1.4048
Taman Siswo, yang merupakan singkatan dari Pergerakan Kebangsaan Taman Siswo,
yang merupakan merupakan sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ki Hadjar
Dewantoro pada Juli 1922 di Yogyakarta. Pada 6 Januari 1923 Pergerakan Kebangsaan Taman
Siswo dinyatakan sebagai “wakaf bebas”. Lembaga ini diserahkan oleh Ki Hadjar Dewantara
pada 7 Agustus 1930 kepada Yayasan Taman Siswo, yang berkedudukan di Yogyakarta. Dengan
tujuan untuk memperoleh suatu wawasan dalam pemikiran yang mendasari Perguruan Taman
Siswo, perlu untuk mengetahui prinsip dasar yang diuraikan dalam rapat pendiriannya pada 3
Juli 1922 oleh Ki Hadjar Dewantara. Terdapat tujuh prinsip dari lembaga pendidikan ini. Hak
menentukan nasib sendiri. Hak menentukan nasib sendiri dari individu yang perlu
memperhitungkan tuntutan kebersamaan dari masyarakat harmonis, sebagai prinsip dasar
lembaga pendidikan ini. Tertib dan Damai menjadi tujuan tertingginya. Tidak ada ketertiban
yang terjadi di masyarakat apabila tidak ada perdamaian. Akan tetapi juga tidak akan ada