Disusun Oleh:
Kelompok 2A
1. Intan Kanira (1714201003)
2. Defi Rahayu (1714201009)
3. Diana saleha (1714201015)
4. Cut Tiara S (1714201022)
5. Erinada Niditya P (1714201028)
6. Zainal Arifin (1714202037)
7. Hafni Yulfizar (1714201044)
Semester 7A
LATAR BELAKANG
A. Latar Belakang
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks (pendengaran dan
keseimbanga Anatominya juga sangat rumit . Indera pendengaran berperan penting pada
partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Sangat penting untuk
perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan kemampuan berkomunikasi dengan
orang lain melalui bicara tergantung pada kemampuan mendengar.(Roger
watson,2002,102)
Otitis media adalah peradangan akut atau seluruh pericilium telinga tengah. Saat bakteri
melalui saluran eustachius, bakteri bisa menyebabkan infeksi saluran tersebut. Sehingga
terjadilah pembengkakan di sekitar saluran, mengakibatkan tersumbatnya saluran.
(Mansjoer, 2001, 76).
Deteksi awal dan diagnosis akurat gangguan otologik sangat penting. Di antara mereka
yang dapat membantu diagnosis dan atau menangani kelainan otologik adalah ahli
otolaringologi, pediatrisian, internis, perawat, ahli audiologi, ahli patologi wicara dan
pendidik.
Pada tahun 2010 WHO mendapatkan data sekitar 1045 perbulan orang yang
memeriksakan diri pada THT untuk memeriksakan peradangan pada telinga tengahnya,
sedangkan diindonesia didapat dari data THT diseluruh Indonesia tercatat 65 orang
perbulan dalam pemeriksaan dengan keluhan peradangan pada telinga tengah, sedangkan
dikalbar data yang didapat tidaklah terlalu spesifik, hanya ada beberapa pasien saja yang
tercatat disetiap bulannya.
Dari uraian di atas maka penulis mencoba mengangkat masalah tentang Otitis Media Akut.
Agar nantinya mahasiswa keperawatan bisa melakukan asuhan keperawatan pada pasien
dengan masalah telinga yaitu otitis media.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Otitis Media
Akut?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah dilakukan seminar diharapkan mahasiswa memahami tentang asuhan
keperawatan Otitis Media Akut.
2. Tujuan Khusus
Setelah dilakukan seminar mahasiswa memahami tentang :
Pengertian Otitis Media Akut.
Etiologi Otitis Media Akut.
Patofisiologi dan phatway Otitis Media Akut.
Manifestasi Otitis Media Akut.
Kompliksi Otitis Media Akut.
Pemeriksaan penunjang Otitis Media Akut.
Asuhan keperawatan Otitis Media Akut
D. Manfaat
Studi kasus ini, diharapkan memberikan manfaat bagi :
1. Praktek Keperawatan
Diharapkan laporan ini dapat bermanfaat bagi kegiatan Asuhan Keperawatan
yang berkaitan dengan masalah penyakit Otitis Media Akut (OMA)
2. Tenaga Kesehatan
Laporan ini diharapkan bisa menjadi bermanfaat bagi tenaga kesehatan
khususnya perawat dalam pemahaman tentang penyakit Otitis Media Akut
(OMA)
3. Penulis
Memperoleh pengalaman dalam mengapalikasikan ilmu keperawatan
khususnya penatalaksanaan asuhan keperawatan klien dengan penyakit Otitis
Media Akut (OMA)
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI
Otitis media ialah inflamasi telinga tengah (Sowden dan Cecily 2002,
h.370). otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum
telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 2002). Otitis media akut ialah radang
akut telinga tengah yang terjadi terutama pada bayi atau anak yang biasanya
didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas (Schwartz 2004, h.141).
Otitis Media Akut merupakan peradangan tengah yang terjadi secara
cepat dan singkat (dalam waktu kurang dari 3 minggu) yang disertai dengan
gejala lokal dan sistemik (Munilson dkk). Menurut Muscari (2005: 219) otitis
media akut (OMA) merupakan inflamasi telinga bagian tengah dan salah satu
penyakit dengan prevalensi paling tinggi pada masa anak-anak, dengan puncak
insidensi terjadi pada usia antara 6 bulan sampai 2 tahun. Hampir 70% anak akan
mengalami otitis media akut (OMA) paling sedikit satu periode otitis media.
Otitis Media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media
berdasarkan gejalanya dibagi menjadi dua antara lain otitis media supuratif dan
non supuratif, dari masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis.
Selain itu terdapat juga otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau
otitis media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis media adhesiva (Soepardi
& Iskandar, 2001: 50).
B. ETIOLOGI
Penyebab otitis media akut menurut Wong et al 2008, h.943 ialah
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Sedangkan penyebab
dari noninfeksius tidak diketahui, meskipun sering terjadi karena tersumbatnya
tuba eustasius akibat edema yang terjadi pada ISPA, rinitis alergik, atau hipertrofi
adenoid. Merokok pasif juga menjadi faktor penyebab otitis media. Selain itu
menurut Muscari 2005, h.220 otitis media terjadi karena mekanisme pertahanan
humoral yang belum matang sehingga meningkatkan terjadinya infeksi,
pemberian susu bayi dengan botol pada posisi terlentang akan memudahkan
terkumpulnya susu formula di rongga faring, pembesaran jaringan limfoid yang
menghambat pembukaan tuba eustachii. Posisi tuba eustachii yang pendek dan
horisontal, perkembangan saluran kartilago yang buruk sehingga tuba eustachii
terbuka lebih awal.
C. PATOFISIOLOGI
Otitis media terjadi akibat disfungsi tuba eustasius. Tuba tersebut, yang
menghubungkan telinga tengah dengan nasofaring, normalnya tertutup dan datar
yang mencegah organisme dari rongga faring memasuki telinga tengah. Lubang
tersebut memungkinkan terjadinya drainase sekret yang dihasilkan oleh mukosa
telinga tengah dan memungkinkan terjadinya keseimbangan antara telinga tengah
dan lingkungan luar. Drainase yang terganggu menyebabkan retensi sekret di
dalam telinga tengah. Udara, tidak dapat ke luar melalui tuba yang tersumbat,
sehingga diserap ke dalam sirkulasi yang menyebabkan tekanan negatif di dalam
telinga tengah. Jika tuba tersebut terbuka, perbedaan tekanan ini menyebabkan
bakteri masuk ke ruang telinga tengah, tempat organisme cepat berproliferasi dan
menembus mukosa (Wong et al 2008, h.944).
D. PATHWAYS
Merangsang
Obstruksi pada Nyeri akut
prostaglandin
Telinga tengah Ke hipotalamus
Pendengaran IL 1
menururn
IL 2
Gangguan persepsi
Sensori, auditorius Suhu tubuh
meningkat
Demam
Hipertermi
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis otitis media menurut Wong et al 2008, h.944 :
1. Terjadi setelah infeksi pernafasan atas
2. Otalgia (sakit telinga)
3. Demam
4. Rabas purulen (otorea) mungkin ada, mungkin tidak.
F. KOMPLIKASI
Komplikasi menurut Sowden dan Cecily 2002, h. 372 ialah :
1. Ruptur membran timpani dengan otorea
2. Tuli konduktif jangka pendek
3. Tuli permanen atau jangka panjang
4. Meningitis
5. Mastoiditis
6. Abses otak
7. Kolesteatoma yang didapat (sakus telinga tengah terisi epitel atau keratin)
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tanda-tanda vital : Suhu dan Rr biasanya naik
2. Pemeriksaan fisik fokus
a. Hidung :
Inspeksi : biasanya adanya sekret yang menunjukkan klien
mengalami ISPA, hidung tampak kemerahan.
Palpasi : adanya pembengkakan mukosa hidung
b. Telinga :
Inspeksi : membran tympani dan daun telinga tampak kemerahan,
adanya sekret pada canalis auditorius eksterna.
Palpasi : telinga teraba hangat.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang menurut Muscari 2005, h.220 ialah :
1. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kekakuan membran timpani.
2. Kultur dan uji sensitivitas hanya dapat dilakukan bila dilakukan
timpanosentesis (aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membran timpani).
Uji sensitivitas dan kultur dapat dilakukan untuk mengidentifikasi organisme
pada sekret telinga.
3. Pengujian audiometrik menghasilkan data dasar atau mendeteksi setiap
kehilangan pendengaran sekunder akibat infeksi berulang.
I. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis menurut Dowshen et al 2002, h.149.
Penatalaksanaan OMA disesuaikan dengan hasil pemeriksaan dan
stadiumnya :
a. Stadium oklusi tuba
1) Berikan antibiotik selama 7 hari :
Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
sehari atau
Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x
sehari atau
Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x
sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik
b. Stadium hiperemis
1) Berikan antibiotik selama 10 – 14 hari :
Ampisilin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 25 mg/KgBB 4 x
sehari atau
Amoksisilin : Dewasa 500 mg 3 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 3 x
sehari atau
Eritromisin : Dewasa 500 mg 4 x sehari; Anak 10 mg/KgBB 4 x
sehari
2) Obat tetes hidung nasal dekongestan maksimal 5 hari
3) Antihistamin bila ada tanda-tanda alergi
4) Antipiretik, analgetik dan pengobatan simtomatis lainnya
c. Stadium supurasi
1) Segera rawat apabila ada fasilitas perawatan.
2) Berikan antibiotika ampisilin atau amoksisilin dosis tinggi parenteral
selama 3 hari. Apabila ada perbaikan dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik peroral selama 14 hari.
3) Bila tidak ada fasilitas perawatan segera rujuk ke dokter spesialis THT
untuk dilakukan miringotomi.
2. Penatalaksanaan keperawatan menurut Muscari 2005, h.221 ialah :
a. Kaji anak terhadap demam dan tingkat nyeri, dan kaji adanya komplikasi
yang mungkin terjadi.
b. Turunkan demam dengan memberikan antipiretik sesuai indikasi dan lepas
pakainan anak yang berlebihan.
c. Redakan nyeri dengan memberikan analgesik sesuai indikasi, tawarkan
makanan lunak pada anak untuk membantu mengurangi mengunyah
makanan, dan berikan kompres panas atau kompres hangat lokal pada
telinga yang sakit.
d. Fasilitas drainase dengan membaringkan anak pada posisi telinga yang
sakit tergantung.
e. Cegah kerusakan kulit dengan menjaga telinga eksternal kering dan bersih.
f. Berikan penyuluhan pada pasien dan keluarga :
1) Jelaskan dosis, teknik pemberian, dan kemungkinan efek samping
obat.
2) Tekankan pentingnya menyelesaikan seluruh bagian pengobatan
antibiotik
3) Identifikasi tanda-tanda kehilangan pendengaran dan menekankan
pentingnya uji audiologik, jika diperlukan.
4) Diskusikan tindakan-tindakan pencegahan, seperti memberi anak
posisi tegak pada waktu makan, menghembus udara hidung dengan
perlahan, permainan meniup.
5) Tekankan perlunya untuk perawatan tindak lanjut setelah
menyelesaikan terapi antibiotik untuk memeriksa adanya infeksi
persisten.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji karakteristik nyeri Menentukan tingkat
keparahan dan intervensi
lebih lanjut.
Anjurkan klien untuk tidak Dapat memperoleh
mengorek telinga infeksi/rupture membrane
tympani
Kompres dingin pada Kompres dapat mengurangi
bagian mastoid. rasa nyeri.
INTERVENSI RASIONAL
Ukur suhu 6 jam sekali Mengetahui perubahan suhu
sebelum dan sesudah dilakukan
intervensi
Kompres hangat pada lipatan- Kompres pada lipatan,
lipatan dan kening contohnya : ketiak, lebih cepat
menurunkan panas karena pori-
pori di daerah tersebut besar.
Anjurkan pasien untuk minum Menceah dehidrasi sebagai efek
lebih ± 2,5-3 L/hari demam.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji tingkat gangguan Mengetahui tingkat gangguan
pendengaran dan menentukan intervensi
Ketika berkomunikasi dengan Dengan komunikasi keras tapi
klien usahakan dnegan suara pelan diharapkan dapat lebih
keras tapi pelan. diterima klien.
Kolaborasi dalam melakukan Timpanotomi bertujuan untuk
miringotomi/timpanotomi. melakukan drainase secret dari
telinga tengah ke telinga luar.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS
Ny.S berusia 40 tahun opnam d.RS sejak 1 hari yang lalu klien datang
dengan keluhan pendengaran telinga kiri dan kanan menurun/tidak
mendengar sejak 2 tahun yang lalu, klien mengatakan terasa nyeri pada
kedua tulang telinga bagian belakang, skala nyeri 6 dan klien mengeluh
telinga kanan dan kiri 1 bulan terakhir sering basah karena keluar cairan
dari dalam telinga dan hasil pengkajian didapatkan TTV : TD 130/80
mmHg , nadi 84x/mnt, RR 24x/mnt , suhu 38,8 , klien mengatakan
badannya terasa demam dan kepalanya kadang-kadang pusing serta
kemerahan pada kompeks mastoid , keluarnya cairan baik bening maupu
berupa lendir dan pus.
A. Identitas
1. Identitas Klien
Nama : Ny. S (P)
Tempat/tgl lahir : 11 Januari 1981 / Semarang
Golongan darah :A
Pendidikan terakhir : D3
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status perkawinan : Kawin
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Imam bonjol 05
Diagnosa medik :
a) Infeksi Telinga atau Otitis Tanggal : 03 Februari 2021
B. Status Kesehatan
3. Pernah dirawat
a. Penyakit : Pasien sebelumnya belum pernah di rawat
b. Waktu :-
c. Riwayat operasi : Pasien mengatakan tidak mempunyai riwayat operasi
b. Tanda (obyektif)
1) Suhu tubuh: 38,80 C
Diaphoresis : ( ) tidak ada ( ) ada
2) Berat badan : 50 kg, tinggi badan : 152 cm
Turgor kulit : baik tonus otot : baik
3) Edema : ( ) tidak ada ( ) ada
4) Ascites : () tidak ada ( ) ada,
5) Integritas kulit perut : baik
Lingkar abdomen : 79 cm
6) Distensi vena jugularis : () tidak ada( ) ada
7) Hernia/masa : ( ) tidak ada ( ) ada
8) Bau mulut/halitosis : () tidak ada ( ) ada
9) Kondisi mulut gigi/gusi/mukosa mulut dan lidah :
Kondisi mulut pasien bersih dan tidak mmengeluarkan bau
b. Tanda (obyektif)
1) Respon terhadap aktifitas yang teramati :
2) Status mental (misalnya menarik diri, letargi) : Pasien mudah beradaptasi dengan
lingkungan sekitarnya dan ramah kepada semua staff rumah sakit
3) Penampilan umum
a) Tampak lemah : ( ) tidak ( ) ya, jelaskan : Pasien tampak terbaring lemah di
tempat tidur
b) Kerapian berpakaian : Pasien berpakaian dengan rapih
4) Pengkajian neuromuskuler
Masa/tonus : Baik Kekuatan otot :Nilai kekuatan otot 5
Rentang gerak :Baik Deformasi : tidak ada deformasi
5) Bau badan : Pasien tidak bau badan dan bau mulut dikarenakan pasien rutin
melakukan perawatan diri. Kondisi kulit baik tidak ada kulit kering, kepala tampak
bersih, kuku pasien tampak bersih dan pendek
5. Istirahat
a. Gejala (subyektif)
1) Kebiasaan tidur : pasien mengatakan tidur jam 21.00 atau 22.00 malam
Lama tidur : 6 jam
2) Masalah berhubungan dengan tidur
a) Insomnia : ( ) tidak ada ( ) ada : saat telinga pasien sakit pasien susah untuk
tidur
b) Kurang puas/segar setelah bangun tidur : ( ) tidak ada ( )
ada
karena pasien kurang tidur pasien kurang puas dengan
tidurnya
b. Tanda (obyektif)
1) Tampak mengantuk/mata sayu : ( ) tidak ada ( ) ada
2) Mata merah : () tidak ada ( ) ada
3) Sering menguap : ( ) tidak ada ( ) ada
4) Kurang konsentrasi : ( ) tidak ada ( ) ada : pasien terkadang kurang konsentrasi
dikarenakan nyeri pada telinga
6. Sirkulasi
a. Gejala (subyektif)
1) Riwayat hipertensi dan masalah jantung’
a) Riwayat edema kaki : ( ) tidak ada ( ) ada,
2) Flebitis - ( ) penyembuhan lambat
3) Rasa kesemutan : -
4) Palpitasi : -
b. Tanda (obyektif)
1) Tekanan darah : 130/80 mmHg
2) Mean Arteri Pressure/ tekanan nadi : 84x/m
3) Nadi/pulsasi : nadi teraba cukup (normal)
a) Karotis :-
b) Femoralis : -
c) Popliteal :-
d) Jugularis : -
e) Radialis : nadi teraba cukup
f) Dorsal pedis : -
g) Bunyi jantung : bunyi jantung S1 frekuensi : 84x/m
Irama : Reguler
4) Friksi gesek : tidak ada murmur : tidak ada
5) Ekstremitas, suhu : - 0 C warna : sawo matang, tidak ada kebiruan
6) Tanda homan : Tidak ada
7) 7) Pengisian kapiler : <2 detik
Varises : Tidak ada phlebitis : tidak ada
8) Warna : membran mukosa : tampak kering
Konjungtiva : ananemis sklera : anikterik
7. Eliminasi
a. Gejala (subyektif)
1) Pola BAB : frekuensi : 2 hari sekali konsistensi : lembek dan tidak beraturan
2) Perubahan dalam kebiasaan BAB (penggunaan alat tertentu misal : terpasang
kolostomi/ileostomy) : Pasien tidak terpasang alat
3) Kesulitasn BAB konstipasi : Pasien tidak mengalami kesulitan BAB konstipasi
maupun diare
4) Penggunaan laksatif : ( ) tidak ada ( ) ada, jelaskan : pasien tidak
menggunakan laksatif
5) Waktu BAB terakhir : kemarin
6) Riwayat perdarahan : Pasien tidak memiliki riwayat perdarahan
Hemoroid : pasien tidak memiliki hemoroid
7) Riwayat inkontinensia alvi :pasien tidak mempunyai riwayat inkontinensia alvi
8) Penggunaan alat-alat : misalnya pemasangan kateter : pasien tidak di pasang kateter
9) Riwayat penggunaan diuretik : -
10) Rasa nyeri/rasa terbakar saat BAK : Pasien tidak merasakan nyeri saat BAK
11) Kesulitan BAK : Pasien tidak mengalami kesulitan BAK
b. Tanda (obyektif)
1) Abdomen
a) Inspeksi : abdomen tidak membuncit
b) Auskultasi : bising usus : 15x/m bunyi abnormal ( ) tidak ada ( ) ada
c) Perkusi
(1) Bunyi tympani ( ) tidak ada ( ) ada Kembung : ( )
tidak ada ( ) ada
(2) Bunyi abnormal ( ) tidak ada( ) ada
2) Palpasi :
a) Nyeri tekan :Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas
Massa : ( ) tidak ada ( ) ada
b) Pola BAB : konsistensi lembek
Warna : kecoklatan
Abnormal : ( ) tidak ada ( ) ada
d) Pola BAK : Frekuensi : 6 kali dalam sehari
e) Distensi kandung kemih : ( ) tidak ada ( ) ada
f) Karakteristik urin : kuning cerah
Jumlah : .1,8 liter bau : amonia
g) Bila terpasang colostomy atau ileustomy : -
1) Adanya nyeri
P = paliatif/provokatif (yang mengurangi/meningkatkan nyeri) : saat berbaring nyeri
berkurang
Q = qualitas/quantitas (frekuensi dan lamanya keluhan dirasakan serta deskripsi
sifat nyeri yang dirasakan) rasanya seperti berdenyut
R = region/tempat (lokasi sumber & penyebarannya) :Nyeri pada telinga
S = severity/tingkat berat nyeri (skala nyeri 1-10) : Skala nyeri 6
T = time (kapan keluhan dirasakan dan lamanya) sering muncul selama kira kira 1-2
jam
9. Keamanan
a. Gejala (subyektif)
1) Alergi : Pasien tidak mempunyai alergi
2) Obat-obatan : Pasien hanya mengkonsumsi obat warung
4) Faktor lingkungan :
a) Riwayat penyakit hubungan seksual : ( ) tidak ada ( ) ada, jelaskan
b) Riwayat transfusi darah : -
5) Kerusakan penglihatan, pendengaran : ( ) tidak ada ( ) ada, sebutkan: pasien
mengalami penurunan pendengaran
6) Riwayat cidera ( ) tidak ada ( ) ada, sebutkan
7) Riwayat kejang ( ) tidak ada ( )
b. Tanda (objektif)
1) Suhu tubuh 38,8 0C
2) Integritas jaringan : baik
3) Jaringan parut ( ) tidak ada ( ) ada
4) Kemerahan pucat ( ) tidak ada ( ) ada, jelaskan
5) Adanya luka : Tidak ada
6) Ekimosis/tanda perdarahan lain : Tidak ada
7) Faktor resiko : terpasang alat invasive ( ) tidak ada ( ) ada
8) Gangguan keseimbangan ( ) tidak ada ( ) ada
b. Tanda (obyektif)
1) Pemeriksaan payudara : Tidak ada benjolan
2) Kutil genital, lesi : Tidak ada lesi
11. Persepsi diri, konsep diri dan mekanisme koping
a. Gejala (subyektif)
1) Faktor stres : Faktor stress yang di alami adalah nyeri pada telinga
2) Bagaimana pasien dalam mengambil keputusan (sendiri atau dibantu) : pasien
mengatakan saat mengambil keputusan yang sulit ia mengkonsultasikan ke keluarga
atau saudaranya terlebih dahulu
2) Yang dilakukan jika menghadapi suatu masalah (misalnya memecahkan
masalah, mencari pertolongan/berbicara dengan orang lain, makan, tidur,
minum obatobatan, marah, diam, dll) : Pasien mengatakan jika ada masalah ia
akan mencari pertolongan atau berbicara dengan saudara atau keluarganya
3) Upaya klien dalam menghadapi masalahnya : Pasien mengatakan upaya
yang ia lakukan adalah berdoa dan meminta pertolongan kepada
keluarganya
4) Perasaan cemas/takut : ( ) tidak ada ( ) ada, jelaskan: Pasien mengatakan cemas
karena sakit yang ia derita
5) Perasaan ketidakberdayaan ( ) tidak ada ( ) ada, jelaskan
6) Perasaan keputusasaan ( ) tidak ada ( ) ada, jelaskan
b. Tanda (obyektif)
1) Status emosional : ( ) tenang, ( ) gelisah, ( ) marah, ( ) takut, ( ) mudah tersinggung
2) Respon fisiologi yang terobservasi : ekspresi wajah meringis
b) Tanda (obyektif)
1) Perubahan perilaku
2) Menolak pengobatan ( ) tidak ada ( ) ada , jelaskan : pasien menerima
semua perawatan atau pengobatan yang di berikan rumah sakit
3) Berhenti menjalankan aktivitas agama : ( ) tidak ada ( ) ada , jelaskan :
pasien tetap menajalni ibadah sebagai muslim
4) Menunjukan sikap permusuhan dengan tenaga kesehatan ( ) tidak
ada
( ) ada , jelaskan : pasien tampak ramah saat berbicara dengan perawat
maupun dokter dan juga pada orang yang berada di sekitar rumah
sakit
Data penunjang
1. Laboratorium : -
2. Radiologi : -
3. EKG : -
4. USG : -
5. CT Scan : kelainan telinga tengah, mastoid dan telinga dalam.,yang
memperlihatkan penebalan mukosa dalam rongga telinga tengah disamping dalam
rongga mastoidb
6. Foto Ro : mastoiditis bilateral tipe sklerotikc Otoskopi : terlihat infeksi telinga
tengah
ANALISA DATA
Nama : Ny.S No CM : 0001123
Usia : 40 Tahun Dianosa Medis : Otitis
TANGGA DATA FOKUS ETIOLOGI MASALAH
L
04 DS : Faktor penyebab (Trauma) Nyeri Akut (D.0077)
Februari - Ny.S mengatakan terasa nyeri pada kedua tulang
2021 telinga bagian belakang, skala nyeri 6 Ruptur gendang telinga
- Ny. S mengatakan sulit tidur
Invasi bakteri
DO :
- Klien tampak meringis dan memegangi telinganya Proses peradangan
yang sakit
- Otoskopi : terlihat infeksi telinga tengah Otalgia
- Saat di inspeksi tampak kemerahan pada kompeks
mastoid , keluarnya cairan baik bening maupun Nyeri Akut
berupa lendir dan pus
04 Februari DS : Bakteri patogen Gangguan Komunikasi verbal
2021 − Ny.S dengan keluhan pendengaran telinga kiri dan (D.0119)
kanan menurun/tidak mendengar sejak 2 tahun yang Invasi pada telinga
lalu
Bertemu dengan antigen
DO :
− Saat berkomunikasi pasien tampak sulit untuk Leukosit
memahami di karenakan penurunan fungsi
pendengaran pada telinga, sehingga ketika Leukosit mati
berbicara harus menggunakan suara yang besar
agar terdengar Sekret purulen
− Saat di inspeksi tampak kemerahan pada kompeks
mastoid , keluarnya cairan baik bening maupun Obstruksi pada telinga
berupa lendir dan pus
− Ct scant : kelainan telinga tengah, mastoid dan Pendengaran menurun
telinga dalam.,yang memperlihatkan penebalan
mukosa dalam rongga telinga tengah disamping Gangguan Komunikasi Verbal
dalam rongga mastoid.
− Foto Ro : mastoiditis bilateral tipe sklerotikc.
− Otoskopi : terlihat infeksi telinga tengah
PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut (D.0077) b/d dengan proses peradangan pada telinga di tandai dengan Ny.S mengatakan terasa nyeri pada kedua tulang
telinga bagian belakang, skala nyeri 6, tampak meringis dan memegangi telinganya yang sakit, Saat di inspeksi tampak kemerahan pada
kompeks mastoid , keluarnya cairan baik bening maupun berupa lendir dan pus
2. Gangguan Komunikasi verbal (D.0119) b/d dengan Infeksi pada telinga tengah ditandai denngan Ny.S dengan keluhan pendengaran
telinga kiri dan kanan menurun/tidak mendengar sejak 2 tahun yang lalu, Saat berkomunikasi pasien tampak sulit untuk memahami di
karenakan penurunan fungsi pendengaran pada telinga, sehingga ketika berbicara harus menggunakan suara yang besar agar terdengar,
Saat di inspeksi tampak kemerahan pada kompeks mastoid , keluarnya cairan baik bening maupun berupa lendir dan pus, Ct scant :
kelainan telinga tengah, mastoid dan telinga dalam.,yang memperlihatkan penebalan mukosa dalam rongga telinga tengah disamping
dalam rongga mastoid, Foto Ro : mastoiditis bilateral tipe sklerotikc, Otoskopi : terlihat infeksi telinga tengah
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
memperlihatkan Nafas
Pola Skala 3 Skala 5
penebalan mukosa
dalam rongga telinga Istirahat Sedang Membaik
tengah disamping Tidur
dalam rongga mastoid,
Foto Ro : mastoiditis
bilateral tipe
sklerotikc, Otoskopi :
terlihat infeksi telinga
tengah
IMPLEMENTASI
besar agar terdengar, Saat di inspeksi tampak kemerahan 5. Lakukan irigasi telinga
pada kompeks mastoid , keluarnya cairan baik bening 6. Pertahankan kebersihan
maupun berupa lendir dan pus, Ct scant : kelainan telinga telinga
tengah, mastoid dan telinga dalam.,yang memperlihatkan 7. Bersihkan telinga luar
penebalan mukosa dalam rongga telinga tengah 8. Hindari paparan suara keras
disamping dalam rongga mastoid, Foto Ro : mastoiditis 9. Ajarkan cara membersihkan
bilateral tipe sklerotikc, Otoskopi : terlihat infeksi telinga telinga luar
tengah
EVALUASI
N WAKTU RESPON PERKEMBANGAN TANDA TANGAN
O (TANGGAL
, JAM)
1 04 Februari - S : Klien mengatakan nyeri berkurang menjadi skala 4
2021
- O : Telinga pada bagian kompeks mastoid tampak kemerahan, klien masih meringis
08.00 dan memegangi telinganya yang sakit
- A : Nyeri Akut teratasi sebagian
- P : Intervensi dilanjutkan dan tetap memantau skala nyeri dan kondisi telinga pasien
2 04 Februari S : klien mengatakan telinganya masih belum bisa mendengar secara maksimal
2021
O : Klien tampak sulit untuk diajak berkomunikasi
10.00
A : Gangguan Komunikasi Verbal belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi dan tetap memantau kondisi telinga pasien
BAB IV
Perbandingan jurnal kedua yang kelompok dapatkan yaitu “Penggunaan Tetes Telinga
Serum Autologous dengan Amnion untuk Penutupan Perforasi Membran Timpani” tujuan
dari penelitian ini Untuk menjelaskan gambaran penggunaan amnion sebagai jembatan
dan tetes telinga serum autologous sebagai faktor regulasi, Salah satu cara penutupan
perforasi membran timpani secara konservatif dengan menggunakan
autologous serum ear drops dan membran amnion, Autologeus serum ear drop adalah
diambil dari darah vena, kemudian disentrifus selama 5 menit dengan 3000 rpm dan
berfungsi sebagai faktor regulator.
Jadi kedua jurnal membuktikan bahwa diberikan amoksiklav 625 mg sehari tiga kali
selama lima hari dan ciprofloxacin tetes telinga sehari dua kali sebanyak dua tetes pada
telinga kiri. Kombinasi antibiotik topikal dan sistemik merupakan pilihan pertama dalam
tatalaksana OMSK terkini yang menunjukkan angka kesembuhan sebesar 93% pada
100.000 kasus
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh telinga tengah,
tuba eustachi, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid yang disebabkan karena masuknya
bakteri patogenik ke dalam telinga tengah. Bakteri penyebab otitis media antara lain
Staphylococcus aureus, Pneumococcus, Haemophilus influenza, Escherichia coli,
Streptococcus anhemolyticus, Streptococcus hemolyticus, Proteus vulgaris, dan
Pseudomoas aeruginosa. Terdapat 5 stadium dalam OMA yaitu stadium oklusi, stadium
hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi, dan stadium resolusi. OMA biasa terjadi
terutama pada bayi atau anak karena anatomi saluran eustachi yang masih relatif pendek,
lebar, dan letaknya lebih horizontal.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas penulis dapat sedikit memberi saran kepada beberapa pihak agar
kualitas pelayanan kesehatan Indonesia semakin meningkat, diantaranya sebagai berikut:
Keluarga klien
Keluarga klien diharapkan dapat memberikan perawatan dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari anggota keluarga dengan masalah Otitis Media Akut serta mampu menjaga
kebersihan lingkungan sehingga anggota keluarga lain terhindar dari penyakit Otitis
Media Akut.
Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan mampu menguasai konsep dan memberikan Asuhan
Keperawatan pasien dengan Otitis Media Akut
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, ES, & Iskandar,N 2004, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan,
FKUI, Jakarta.
Betz, CL 2002, Buku saku keperawatan pediatri, EGC, Jakarta.
Dowshen et al 2002, Petunjuk lengkap untuk orang tua, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Muscari, ME 2005, Panduan belajar: keperawatan pediatrik, EGC, Jakarta.
Schwartz, M 2004, Pedoman klinis pediatri, EGC, Jakarta.
Wong, DL et al 2008, Buku ajar keperawatan pediatrik, EGC, Jakarta
Lamiran :
Abstrak
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah suatu keadaan peradangan kronik pada telinga bagian tengah dengan perforasi
membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari liang telinga lebih dari 2 bulan. Prevalensi di seluruh dunia menyatakan
bahwa ada sekitar 65-330 juta orang yang menderita penyakit OMSK. Tn. R, 17 tahun datang dengan keluhan keluar cairan
berwarna kekuningan, tidak berbau dan tidak berdarah pada telinga kiri sejak ±3 bulan.Pasien juga mengeluh telinga kiri
terasa penuh danmengalami penurunan pendengaran. Temuan fisik: dalam batas normal.Status lokalis:kanalis auditoris
eksterna telinga sinistra tampak sempit, mukosa hiperemis dan terlihat dischargemukopurulen. Membran timpani sinistra
perforasi di tengah dengan tepi rata. Pasien didiagnosis OMSK dan diterapi dengan irigasi larutan NaCl 0,9% disertai dengan
aural toilet, diberikan amoksiklav 625 mg sehari tiga kali selama lima hari dan ciprofloxacin tetes telinga sehari dua kali
sebanyak dua tetes pada telinga kiri. Kombinasi antibiotik topikal dan sistemik merupakan pilihan pertama dalam tatalaksana
OMSK terkini yang menunjukkan angka kesembuhan sebesar 93% pada 100.000 kasus di Amerika Serikat pada tahun 2015.
Antibiotik topikal golongan kuinolon lebih direkomendasikan karena lebih efektif dibandingkan dengan golongan
aminoglikosida dan tidak mempunyai efek samping ototoksik.Amoksisilin/clavulanat merupakan obat antibiotik sistemik
pilihan pertama sedangkan golongan kuinolon merupakan obat pilihan kedua pada pasien OMSK. Pasien juga diedukasi
untuk menjaga telinga supaya tetap kering agar pengobatan optimal dan mencegah infeksi berulang.
Abstract
Chronic suppurative otitis media (CSOM) ispersistent inflammation of the middle ear with tympanic membrane perforation
and purulent discharge over two months. The disease affects 65–330 millions people worldwide. Mr. R, 17 years old, was
admitted to the hospital with complaints persistent yellowish discharge, odorless and no bloodyon show left ear since ±3
months. Patients also complain of the left ear feel full and decreased in hearing. Function physical findings:normal.Localis
status:external auditory canal of left ear seemed narrow, hyperemia, and there is mucopurulent discharge. There is perforation
in the center of Left tympanic membrane with flat edge.Patient was diagnosed CSOM andtreated by irrigation with NaCl
0,9% solution accompanied by aural toilet, amoksiklav 625 mg given three times dailyforfivedays and ciprofloxacin ear drop
twice a day as much as two drops in left ear. Combination of systemic and topical antibiotic therapy is the best procedure for
CSOM.In the current treatment shows a cure rate of 93% of the 100.000 cases in the United States in 2015. Topical
quinolone class is recommended because it is more effective than the aminoglycoside class and does not have ototoxic side
effects. Amoxicillin/clavulanat is first drug choice whereas systemic antibiotic quinolone class is the second drug choice in
patients CSOM.Patients should be advised to keep their ears dry for optimal treatment and to prevent recurrent infection.
Korespondensi: Yusi Farida, S.Ked., alamat Jl. NangkaAgkasa Estate Blok B 6 KimajaWayhalim, Bandar Lampung, HP
081278270465, e-mailyusifaridaaa@yahoo.co.id
Abstrak
Latar Belakang: Gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai dampak yang merugikan bagi
penderita
, keluarga, masyarakat maupun negara. Salah satu penyebab ketulian yang sering dijumpai adalah
radang telinga tengah, terutama yang disertai perforasi membran timpani yang menetap. Penutupan
perforasi membran timpani dapat dilakukan dengan operatif dan konservatif. Secara konservatif sudah
banyak cara yang dilakukan. Salah satunya dengan mengkaustik tepi perforasi dengan menggunakan
silver nitrat untuk membuat luka baru, kemudian digunakan amnion sebagai jembatan (bridge) dan
faktor regulasi yang terdapat pada tetes telinga serum autologous. Tujuan: Untuk menjelaskan
gambaran penggunaan amnion sebagai jembatan dan tetes telinga serum autologous sebagai faktor
regulasi. Tinjauan pustaka: Penutupan perforasi membran timpani dapat dilakukan secara konservatif
salah satunya dengan menggunakan tetes telinga serum autologous sebagai faktor regulator, amnion
sebagai jembatan dan penggunaan silver nitrat pada tepi perforasi untuk membuat luka baru. Serum
autologous memiliki asselerator pertumbuhan yaitu epidermal growth factor (EGF) , transforming
growth factor β1 (TGF- β1) dan fibronektin. Asselerator pertumbuhan ini dapat kita temukan pada
penyembuhan membran timpani normal. Sedangkan membran amnion adalah jaringan semi transparan
tipis yang membentuk lapisan terdalam membran fetus dengan susunan membran basalis yang tebal dan
jaringan stroma avaskuler. Membran amnion mempercepat pembentukan epitel normal dengan
menekan pembentukan jaringan fibrosis. Sel epitel amnion memproduksi faktor pertumbuhan seperti
fibroblast growth factor dan transforming growth factor beta. Faktor pertumbuhan akan membantu
komunikasi antara epitel dan sel fibroblast stroma untuk menekan proliferasi dan diferensiasi jaringan
fibrosis. Kesimpulan: Diperlukan tiga elemen pada penutupan perforasi membran timpani yaitu faktor
regulasi, jembatan (bridge) dan membuat luka baru pada tepi perforasi.
Kata kunci: tetes telinga serum autologous, membran amnion, perforasi membran timpani
Abstract
Background: Hearing loss or deafness have an adverse impact on patients, families, communities and
the country. One cause of deafness that often met is middle ear inflammation, especially those with persistent tympanic
membrane perforation. Closure of tympanic membrane perforation can be performed with operative and conservative. The
conservatives have done with a lot of ways. One of them is cauterize edge of perforation by using silver nitrate to make a new
wound, then used the amnion as a bridge and regulatory factors present in autologous serum eardrops. Objective: To describe
the use of amnion as a bridge and autologous serum eardrops as a regulatory factor. Literature review: Closure of tympanic
membrane perforation conservatively can be done either by using the autologous serum eardrops as a factor regulator, amnion
as a bridge and the use of silver nitrate on the edge of the perforation to create a new wound. Autologous serum have asselator
growth of Epidermal Growth Factor (EGF), Transforming Growth Factor β1 (TGF-β1) and fibronectin. Asselerator growth
factor can be found on normal tympanic membrane healing. While the amniotic membrane is semi-transparant thin tissue that
forms the deepest layer of fetal membranes with formation of a thick basement membrane and tissue stroma avaskuler.
Amniotic membrane accelerate the formation of normal epithelial tissue by pressing the formation of fibrosis. Amniotic
epithelial cells produce growth factors such as fibroblast growth factor and transforming growth factor beta. Growth factors
will help the communication between epithelial and stromal fibroblast cells to suppress proliferation and differentiation of
tissue fibrosis. Conclusion: It takes three elements on the closure of tympanic membrane perforation factor regulation, bridge
and make new cuts on the edge of the perforation.
Faktor predisposisi
Faktor predisposisi kronisitas otitis media
ini adalah (1) Disfungsi tuba auditoria kronik,
fokal infeksi seperti sinusitis kronik, adenoiditis
kronik dan tonsilitis kronik yang menyebabkan
infeksi kronik atau berulang pada saluran nafas
atas dan selanjutnya mengakibatkan udem serta
obstruksi tuba auditoria. Beberapa kelainan seperti
hipertrofi adenoid dan celah palatum
menyebabkan fungsi tuba auditoria terganggu.
Gangguan kronis fungsi tuba auditoria
merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat Tetes telinga serum autologous oleh
menyebabkan kronisitas. Pada keadaan alergi Kakehata20 digunakan untuk penutupan perforasi
ditemukan perubahan berupa bertambahnya sel membran timpani dimana tetes telinga serum
goblet dan berkurangnya sel kolumner bersilia pada autologous berfungsi sebagai pelembab. Tepi
mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga perforasi dilukai dengan silver nitrat 10% sampai
produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi memutih. Kemudian perforasi ditutup dengan
silia berkurang.3 Perubahan lain adalah udem membran chitin yang berfungsi sebagai jembatan.
mukosa tuba yang menyebabkan fungsi tuba Tetes telinga serum autologous diteteskan 1-2 tetes
auditoria terganggu. Faktor konstitusi lainnya pada liang telinga dan dibiarkan selama 10 menit.
adalah penurunan daya tahan tubuh.2 Hal ini dilakukan 2-4 kali sehari di rumah dan
Meskipun proses infeksi pada OMSK yang dievaluasi setiap 2 minggu. Penutupan perforasi
terjadi dapat diatasi dengan baik, akan tetapi gejala membran timpani terjadi pada 11 telinga dari 19
sisa yang terjadi berupa perforasi membran timpani telinga yang diterapi pada penelitian ini. Selama
yang menetap memerlukan tindakan lanjut penggunaan serum autologous tidak ditemukan efek
pengobatan untuk penutupan perforasi secara samping seperti nyeri, inflamasi dan hiperkeratosis.
konservatif maupun berupa pembedahan
timpanoplasti.2
TETES TELINGA AUTOLOGOUS SERUM
Penutupan membran timpani merupakan
proses regenerasi. Untuk penyembuhan jaringan
diperlukan tiga elemen yaitu sel, jembatan
(bridge) dan faktor regulasi. Pada perforasi yang
kecil telah digunakan lemak sebagai tandur dan
teknik yang dipakai underlay dengan
menggunakan fibrin glue.7,16
Baru-baru ini penggunaan serum
autologous dalam bentuk tetes air mata
dikemukakan sebagai pengobatan baru untuk
kelainan permukaan luar okuler yang berat. Serum
tidak bersifat antigen, tetapi memiliki faktor
pertumbuhan yang banyak, vitamin, imonoglobulin
dan secara in vitro dan in vivo dapat menstimulasi
proliferasi berbagai jaringan dalam penyembuhan
luka.17,18,19,20,21 Pada penelitian yang dilakukan
Tsubota18 menemukan kontaminasi yang sangat
rendah pada botol serum yang digunakan untuk
pengobatan Sjogren’s sindroma. Serum berisi
antibakteri seperti IgG, lisozym, dan komplemen.
Oleh karena itu tidak perlu penyimpanan yang
lebih spesifik untuk serum ini agar terhindar dari
efek samping yang tidak diinginkan. Kultur kuman
serum autologous yang dilakukan Kakehata20
memberikan hasil negatif setelah 14 hari serum
autologous diambil dan diencerkan dengan
antibiotik tetes telinga.
Tetes telinga serum autologous didapatkan
dengan mengambil darah vena kemudian
disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 3000
rpm. Kemudian serum ini diencerkan 50% secara
steril dengan antibiotik tetes telinga dan dimasukan
dalam vial 5 cc. Autologous serum ears drop dapat
disimpan dalam refrigerator pada suhu 4⁰C dan
diambil saat dibutuhkan.20 Tsubota18 menyebutkan
serum autologous dapat disimpan selama 1 bulan
dalam refrigerator suhu 40C. Dalam frezzer suhu
-200C dapat disimpan selama 3 bulan.
perforasi. TGF-β1 terdapat pada perforasi membran
Faktor-faktor pertumbuhan dalam tetes timpani kronik dalam lapisan jaringan ikat dan
pada lapisan subepitelial dengan akumulasi TGF-
telinga serum autologous β1 mencolok pada tepi perforasi.23
Pada pemeriksaan chemiluminescent enzyme
immunoassay pada serum didapatkan interleukin 6 (IL-6), Penelitian imunohistokimia oleh Spandow
epidermal growth factor (EGF) transforming growth factor dkk tentang karakteristik struktural perforasi
β 1 (TGF-β1) dan fibronektin yang diukur dengan enzyme- membran timpani yang persisten pada 25 telinga
linked immunosorbent assay.19 manusia dewasa menunjukkan bahwa hialuronat,
Akselerator pertumbuhan ini dapat fibronektin dan glikosaminoglikan serta faktor
ditemukan pada penyembuhan membran timpani pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor)
normal, menghasilkan proliferasi epitel dan hanya sedikit ditemukan di sekitar tepi perforasi,
migrasi dari daerah yang vaskularisasinya baik hal ini menjadi alasan terhentinya proses
pada membran timpani yang dekat dengan penyembuhan untuk menutup perforasi membran
annulus dan handle maleus menuju perforasi. timpani.2
Penyembuhan membran timpani melalui retraksi Chauvin21 mendapatkan penutupan perforasi
tepi perforasi dengan penutupan epitel sebelum membran timpani dengan hanya menggunakan
lapisan jaringan ikat dan penutupan lapisan faktor-
mukosa. Sudah banyak penelitian yang
menggunakan akselerator pertumbuhan khususnya
EGF. Penggunaan topikal EGF akan memberikan
efek yang diinginkan. Lee dkk menggunakan
secara topikal 25 µg dan 12,5 µg EGF yang
dioleskan pada gelfoam selang hari selama 6 hari.
Dan didapatkan penutupan perforasi 80% dari
telinga yang diobati dibandingkan dengan telinga
kontrol. 22
EGF adalah 54 amino-acid polipeptida
yang menstimulasi pesan pada RNA, DNA dan
sintesis protein pada berbagai jenis tipe sel, yang
berperan dalam pertumbuhan sel epitel dan
meningkatkan usia hidup sel. Juga menstimulasi
pertumbuhan fibroblast dan neoangiogenesis
jaringan.22
EGF telah digunakan secara lokal pada
penyembuhan luka bakar dan ulkus diabetik pada
tungkai. Efek positif pada defek yang persisten di
epitel kornea manusia juga telah ditemukan.22
Reseptor EGF ditemukan pada membran
timpani babi dengan afinitas yang tinggi dan
mempercepat penyembuhan pada perforasi
membran timpani akut pada kucing. Pada
perforasi membran timpani kronik oleh Amoil dkk
seperti dikutip oleh Ramsay juga sudah dilakukan
pada percobaan terhadap binatang chinchilla.
Tetapi pada penggunaan topikal EGF pada
membran timpani manusia yang dilakukan oleh
Ramsay tidak memperlihatkan efek yang
diinginkan seperti pada percobaaan binatang.
Ramsay tidak membuat luka baru pada tepi
perforasi. Berdasarkan hal tersebut Ramsay22
berkesimpulan bahwa penutupan perforasi
membran timpani tidak ditentukan oleh kosentrasi
EGF dan lama pemakainya, mungkin dengan
membuat luka baru pada tepi perforasi akan
memperbaiki hasil.
Sommers melakukan
penelitian
immunohistokimia dari faktor-faktor
pertumbuhan pada membran timpani yang
faktor pertumbuhan terjadi pada hari 21-23 pada Membran amnion non viable
penelitian menggunakan binatang marmot. Membran amnion sebagai bahan
Kakehata20 menemukan aktifitas faktor transplantasi dapat berupa membran amnion yang
pertumbuhan tetap stabil sampai 14 hari setelah masih hidup (viable) atau membran amnion yang
pengenceran serum autologous dengan antibiotik sudah mati (non-viable). Membran amnion yang
walaupun kadarnya berkurang separoh. masih hidup dapat berupa membran amnion segar
atau diawetkan dengan teknik hipotermi untuk
MEMBRAN AMNION penyimpanan jangka pendek (1 bulan) dan dengan
Struktur membran amnion teknik kriopreservasi untuk penyimpanan dalam
Membran amnion adalah jaringan semi jangka panjang (6 bulan). Membran amnion yang
transparan tipis yang membentuk lapisan terdalam non- viable dicapai dengan teknik liofilisasi,
membran fetus, dengan susunan membran basalis gliserolisasi, denaturalisasi kimia, dan sterilisasi
yang tebal dan jaringan stroma avaskuler.21,24,25,26 dengan radiasi sinar gama.2
Penggunaan membran amnion fetus pertama kali Salah satu jenis membran amnion non-
digunakan oleh Davis tahun 1910 untuk viable adalah membran amnion kering yang telah
transplantasi kulit.11,24,27 Kemudian di bidang okuler mengalami proses liofilisasi. Proses liofilisasi atau
De Rotth tahun 1940 pertama kali menggunakan freeze drying menghilangkan kandungan air secara
membran amnion sebagai tandur pada rekonstruksi selektif melalui proses sublimasi menjadi bentuk es
permukaan konjungtiva.24,25,28 Selanjutnya kemudian secara langsung mengalami proses
membran amnion banyak digunakan untuk penguapan tanpa melalui fase pencairan.
pananganan luka bakar; penutupan luka; Karakteristik dari materi yang telah mengalami
rekonstruksi pada rongga mulut, kandung kemih, proses freeze drying adalah bahan tersebut menjadi
dan vagina; solid dan tidak dapat berinteraksi secara fisika atau
timpanoplasti; artroplasti.24,29 kimiawi. Proses strerilisasi yang dilakukan pada
Membran amnion berasal dari jaringan bahan yang telah mengalami proses liofilisasi
ekstra embrional terdiri dari komponen fetus adalah dengan radiasi. Membran amnion yang telah
(chorionic plate) dan komponen maternal mengalami proses liofilisasi ini sel epitelnya akan
(desidua). Komponen fetus termasuk membran mati, namun sifat-sifat fisik seperti tegangan putus,
amnion dan membran chorion, memisahkan fetus daya tembus uap air dan daya serap air tidak terjadi
dengan endometrium. Membran amnion fetus pada perubahan, serta kandungan kimiawi yang ada
kehamilan aterm terdiri atas dua lapisan utama. seperti laminin, integrin, fibronektin dan kolagen
Lapisan terluar atau chorion berhubungan dengan yang dibutuhkan untuk proses reepitelisasi saat
sel-sel induk. Lapisan terdalam adalah membran ditransplantasikan masih tetap dipertahankan.31
amnion terdiri atas selapis sel epitel kuboid, Peran fibronektin adalah untuk
membran basalis yang tebal dan stroma yang melengketkan sel ke berbagai matriks ekstraseluler.
avaskuler (gambar 2).24,30 Fibronektin adalah dimer dari 2 peptida serupa.
Setiap rantai panjang 60-70nm dan tebal 2-3nm.31
Laminin merupakan glikoprotein yang berfungsi
melengketkan sel.32
Membran amnion non-viable mudah
didapatkan dan harga relatif murah serta dapat
disimpan dalam jangka waktu lama.2
compact dihasilkan oleh sel mesenkim yang berada
pada lapisan fibroblast. Kolagen intersisial yaitu tipe
I dan tipe III didapatkan lebih banyak dan berfungsi
menjaga integritas mekanik dari membran amnion,
serta berbentuk bundles parallel. Kolagen tipe V dan
VI berbentuk filamen menghubungkan antara
kolagen intersisial dengan membrana basalis epitel.
Gambar 2.Histologi membran Lapisan intersisial yaitu zona spongiosa yang
amnion23 berdekatan dengan membran chorion, berisi
proteoglikan dan glikoprotein yang terlihat seperti
Ketebalan membran amnion antara 0,02– spongy pada preparat histologi.24
0,5 nm.2 Membrana basalis merupakan salah satu
membran tebal dalam tubuh manusia. Lapisan
compact stroma menghubungkan membrana basalis
dengan lapisan fibroblast. Kolagen pada lapisan
Aplikasi penggunaan membran amnion
Penelitian klinis mekanisme fisiologis
membran amnion pada rekonstruksi kerusakan
permukaan okuler didasarkan atas dua efek utama,
yaitu fasilitasi epitelisasi dan penghambatan
inflamasi dan fibrosis. Bagian dasar membran
amnion merupakan substrat yang ideal untuk
menunjang pertumbuhan sel progenitor epitel
dengan memperpanjang kehidupan. Membran
amnion mempercepat pembentukan epitel normal
dengan menekan pembentukan jaringan fibrosis.24
Sel epitel amnion memproduksi faktor
pertumbuhan seperti fibroblast growth factor dan
transforming growth factor beta.25 Faktor
pertumbuhan tersebut mengatur proliferasi dan
diferensiasi fibroblast stroma.24
Selain itu faktor pertumbuhan akan
membantu komunikasi antara epitel dan sel
fibroblast stroma untuk menekan proliferasi dan
diferensiasi jaringan fibrosis.21 Pembentukan sel
fibroblast stroma yang normal mendorong
terjadinya epitelisasi yang normal.2
Pada penelitian Sato yang menganalisis
ekstrak membran amnion (segar dan diawetkan)
dengan dan tanpa epitel membran amnion,
mendapatkan ekstrak membran amnion yang
diawetkan menunjukkan penurunan 50% kadar
faktor pertumbuhan.2
Pada penelitian Koizumi yang dengan keratinisasi.2
menganalisis membran amnion yang diawetkan Terdapat sembilan fungsi biologik yang spesifik dan
selama 1 bulan tanpa epitel membran amnion keuntungan membran amnion sebagai penutup luka,
menunjukkan kandungan protein EGF, TGF-α, yaitu:
KGF, HGF dan TGF- β1, TGF-β2. Pada membran (1) menurunkan jumlah bakteri pada luka,
amnion dengan epitel kadar faktor pertumbuhan (2) mengurangi kehilangan cairan, (3) mempercepat
tersebut di atas lebih banyak.2 penyembuhan luka, (4) melindungi pertumbuhan
Pada penelitian yang dilakukan oleh epitel, (5) menguatkan perlekatan dari permukaan
Hartanto2 keberhasilan penutupan perforasi luka, meningkatkan mobilitas dan menghilangkan
membran timpani pada kelompok membran rasa sakit, (6) mempersiapkan tandur jaringan, (7)
amnion sebanyak 27 subyek (75%) dan pada persiapan pada defek kulit untuk menutup, (8)
kelompok kertas rokok sebanyak 18 subyek (50%). menurunkan stres fisiologis pada pasien, (9)
Hartanto menggunakan membran amnion sebagai stimulasi neovaskularisasi.2,24
jembatan setelah tepi perforasi dibuat luka baru Membran amnion mempunyai karakteristik
dengan trikloroasetat 10% dan dioleskan asam yang baik untuk transplantasi di permukaan okuler
hialuronat 1%. dan kulit oleh karena tidak menampakkan human
Pada pemeriksaan histologis dengan
pewarnaan Trichrome Masson didapatkan bahwa
permukaan membran amnion mengandung
laminin, kolagen tipe IV, V, integrin α6 dan β4.
Stroma amnion mengandung fibronektin dan
integrin α5 dan β1. Pada transplantasi membran
amnion pada kasus kerusakan konjungtiva yang
luas dan ekstensif dimana proses reepitelisasi tidak
berjalan dengan baik maka komponen pada
membran amnion diharapkan dapat menggantikan
membran basalis konjungtiva yang rusak, karena
membran basalis konjungtiva mempunyai
komponen utama kolegen tipe IV dan V, laminin
dan integrin. Transplantasi membran amnion akan
mempercepat epitelisasi konjungtiva sehingga
mencegah pembentukan fibrosis konjungtiva yang
berlebihan.27
Aplikasi membran amnion kering untuk
mempercepat proses penyembuhan luka telah
dibuktikan dalam penelitian Dali dan Noer pada
tahun 2001. Pada penelitian tersebut dibandingkan
antara membran amnion dengan tulle (pembalut
kasa yang bersifat tidak melekat dan mengandung
antibiotik chlorhexidine) dalam proses
penyembuhan luka. Proses epitelisasi pada luka
superfisial lebih cepat dan lebih tebal secara
bermakna pada luka yang ditutupi dengan
membran amnion dibandingkan dengan luka yang
ditutupi dengan tulle. Penelitian oleh Saputro dan
Noer pada tahun 2002 yang membandingkan
perawatan luka bakar derajat 2 superfisial di RSUD
Dr. Soetomo Surabaya, pemakaian membran
amnion lebih baik dibandingkan dengan pemakaian
tulle dalam hal kecepatan penyembuhan luka,
kurangnya rasa sakit saat perawatan luka dan
dalam hal pencegahan infeksi pemakaian membran
amnion sama baiknya dengan pemakaian tulle.
Lapisan epitel pada kulit kanalis auditorius
eksternus bagian dalam memiliki persamaan
dengan lapisan epitel pada permukaan lateral
membran timpani, yaitu epitel skuamus kompleks
leucocyte antigen sehingga rejeksi imunologis epitel skuamosa permukaan luar membran timpani
tidak perlu dikhawatirkan dan membran amnion dan mukosa dari permukaan dalam.36
mempunyai kemampuan mencegah infiltrasi sel Beberapa faktor perlu diperhatikan dalam
radang sehingga resiko infeksi pasca operasi lebih keberhasilan penutupan perforasi membran timpani
kecil.10,25,31,33,34,35 Disamping itu membran amnion permanen. Faktor pertumbuhan yang memacu
juga mempunyai berbagai macam proteinase pertumbuhan pembuluh darah baru mempunyai
inhibitor seperti α1- antikimotripsin, α2- potensi mempercepat penyembuhan luka jaringan
makroglobulin, α1 antitripsin, α2- ikat. Ada empat macam faktor pertumbuhan yang
antiplasmin,inter- α1-tripsin inhibitor.25,31 bersifat angiogenik, yaitu fibroblast growth factor
Pemilihan membran amnion sebagai bahan (FGF),
jembatan (bridge) berdasarkan beberapa pertimbangan
bahwa jaringan epitel dan stroma amnion mengandung
faktor pertumbuhan sebagai fasilitator epitelisasi, yaitu
epidermal growth factor (EGF), transforming growth
factor α (TGF-α), keratinocyte growth factor (KGF) dan
basic fibroblast growth factor (bFGF), transforming
growth factor β1-2 (TGF-β1-2). Stroma amnion
mengandung komponen kolagen tipe IV, laminin, integrin
6 dan 4 yang merupakan komponen matriks ekstraseluler
sebagai bahan penyusun membran basalis epitel sehingga
mempercepat proses epitelisasi. Membran amnion yang
telah diawetkan selama satu bulan masih mengandung
faktor-faktor pertumbuhan tersebut, hal ini dibuktikan
dengan metode pemeriksaan polymerase chain reaction
(PCR) maupun metode pemeriksaan ELISA. 23,30
Chauvin21 mendapatkan penutupan
perforasi membran timpani dengan hanya
menggunakan faktor- faktor pertumbuhan
didapatkan bahwa perubahan penutupan perforasi
terjadi pada hari 21 – 23 pada penelitian binatang
marmot.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PENUTUPAN
PERFORASI MEMBRAN TIMPANI
Untuk menstimulasi terjadinya regenerasi
jaringan diperlukan manipulasi sel, jembatan dan
faktor regulasi.19
Pada proses penutupan perforasi membran
timpani pertama kali tertutup oleh epitel skuamus
selanjutnya lamina propria dan lapisan mukosa,
tertutup antara hari kelima sampai hari kesepuluh
tergantung ukuran perforasi. Setelah hari keempat
belas, ketiga lapisan tersebut terutama lapisan
epitel skuamus kompleks ketebalannya berkurang,
kembali ke bentuk membran timpani normal. Pada
perforasi yang besar, proses pertumbuhan akan
tetap berlangsung hanya bila pertumbuhan lamina
propria mengikuti proliferasi epitel skuamus
untuk membentuk substratum migrasi epitel. 2
Kakehata20 dkk melaporkan penggunaan
kombinasi antara kauterisasi kimia untuk
proliferasi sel, membran chytin sebagai jembatan
dan tetes telinga autologous serum sebagai faktor
regulasi. Mereka menggunakan silvernitrat untuk
kauterisasi, tepi perforasi untuk munculnya
proliferasi sel sebagai pengganti pembuatan luka
baru. Sehingga hal ini dapat dilakukan pada
pasien rawat jalan dan sifat invasifnya sedikit.
Tandur bertindak sebagai jembatan untuk migrasi
transforming growth factor beta (TGF-β), platelet- derived atau penutupan perforasi. Luas perforasi membran
growth factor (PDGF) dan epidermal growth factor timpani berpengaruh karena semakin luas perforasi
(EGF).24,25
akan menyebabkan semakin banyak pusat-pusat
Faktor angiogenik merangsang
pertumbuhan yang hilang.9 Hartanto pada
terbentuknya sel-sel endotelial vaskuler secara
penelitiannya melakukan penutupan perforasi
langsung atau tidak langsung. Secara langsung
membran timpani yang luas perforasinya tidak lebih
merangsang migrasi dan proliferasi sel endotelial
50%.2 Adanya proses degenerasi atau
vaskuler dengan mengikat reseptor spesifik
timpanosklerosis di membran timpani akan
permukaan membran sel endotelial, sedangkan
menghambat proses penutupan perforasi. Gangguan
secara tidak langsung melalui mediator makrofag. 2
pada fungsi tuba auditoria akan menimbulkan
Setiap faktor angiogenik mempunyai
retraksi membran timpani yang akan mengganggu
beberapa target sel. Target sel EGF, yaitu epitel,
proses penutupan perforasi membran timpani.9
fibroblast dan endotel pembuluh darah. Pada ketiga
Umur berpengaruh dalam proses
lapisan membran timpani terutama sel epitel
penyembuhan luka jaringan. Hal ini berkaitan
skuamus terdapat reseptor EGF.22 Untuk
dengan penurunan kapasitas proliferasi fibroblast
memperoleh efek EGF, target sel harus terpapar
dengan
EGF paling sedikit lima jam. Karenanya
diperlukan aplikasi berulang agar diperoleh hasil
yang maksimal dan juga mempersingkat waktu
penyembuhan sampai 30%.2 Hasil penelitian secara
in vivo pada kucing menunjukkan EGF akan
mempercepat penutupan perforasi membran
timpani.22
Kekeringan tepi perforasi akan segera
membunuh fibroblast muda dan memungkinkan
pertumbuhan epitel skuamus yang terus
berlangsung di bawah krusta yang kering sehingga
epitel tersebut tumbuh melampaui tepi perforasi,
bertemu dengan lapisan mukosa membran timpani.
Dengan demikian proses penutupan membran
timpani akan berhenti.17,21 Tetes telinga serum
autologous berfungsi sebagai pelembab, disamping
mempunyai faktor-faktor pertumbuhan.20 Epitel
skuamus kompleks cenderung tumbuh lebih cepat
dibanding jaringan ikat dibawahnya sehingga akan
bertemu dengan lapisan mukosa kecuali ada bahan
tipis dan datar yang menempel pada seluruh
permukaan tepi perforasi.21
Reaksi inflamasi yang akan merangsang
pertumbuhan membran timpani. Keadaan ini
didukung dari hasil penelitian pada guinea pig
dengan cara membuat perforasi berukuran 2 x 3
mm pada kuadran posterosuperior dan akhirnya
berkesimpulan bahwa perforasi atau suatu luka
baru akan mempertinggi aktivitas proliferasi pusat
pertumbuhan sampai dua kali lipat dibandingkan
keadaan normal. Pembuatan luka baru juga
ditunjukan untuk memutuskan mucocutaneus
junction di tepi perforasi yang menghalangi
pertumbuhan epitel skuamus komplek ke arah yang
benar.2
Faktor lain yang berpengaruh dalam proses
penutupan perforasi membran timpani adalah
infeksi tepi perforasi, luas perforasi, proses
degenerasi atau timpanosklerosis di membran
timpani, fungsi tuba auditoria, umur dan status gizi.
Adanya infeksi di telinga tengah dan di tepi
perforasi akan menghambat proses penyembuhan
bertambahnya umur. Status gizi berpengaruh
dalam proses penyembuhan luka jaringan secara
umum karena berkaitan dengan faktor nutrisi
untuk pembentukan jaringan baru.2
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwento R. Standar Pelayanan Indera
Pendengaran di Puskesmas. Komite Nasional
Gangguan Pendengaran dan Ketulian 2007.
2. Hartanto D. Daya klinis membran amnion
sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi
membran timpani secara konservatif. Tesis.
Universitas Gajah Mada; 2004. 26-40.
3. Utami TE. Rinitis alergi sebagai factor risiko
Otitis Media Supuratif Kronis. Cermin Dunia
Kedokteran 2010;179. p. 425-29
4. Farida dkk. Alergi sebagai Faktor Risiko
Terhadap Kejadian Otitis Media Supuratif
Kronik tipe benigna. Jurnal Medika Nusantara.
2004;25(1):1-4
5. Aboet. Radang Telinga Tengah Menahun. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam
bidang Ilmu Kesehatan Telinga Tenggorok
Bedah Kepala Leher pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan: 2007. p 2-26
6. Data Poliklinik Rawat Jalan Bagian THT-KL
RSUP Dr M Djamil Padang. 2010
7. Dursun E dkk. Comparison of paper patch, fat
and perichondrium myringoplasty in repair of
small tympanic membrane perforations.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery 2008;138:353-356
8. Jones RO. Myringoplasty. In: Habermann RS. Middle ear and mastoid surgery.New York:Thieme; 2004.p 5-11
9. Spiros M. Closure o Tympanic Membrane. In: Sambaugh. Surgery of the ear. Spain: Decker; 2003.p.400-20
10. Paparella. Mastoidectomy and tympanoplasty. In: Paparella dkk. Otolaryngology.
Philadelpia:WB Saunders Campany;1991.p.1405-1440
11. Fouad T. Utilization of amniotic membrane graft for repair of the tympanic membrane perforations. Ejentas
Egyptian Journal of the ear, nose,throat; 2010. 31-35
12. Helmi. Otitis Media supuratif kronik. Jakarta:Balai penerbit Universitas Indonesia;2005: 4-75
13. Probts R. Middle ear. In: Probst dkk. Basic otolaryngology. Jerman: Thieme; 2006.p 227- 54
14. Huttenbrink. Biomechanical of Middle ear reconstruction. In: Jahnke K. Middle ear surgery. Jerman: Thieme;
2000. P.24-47
15. Rahman S. Bacterial and Fungal study of suppurative otitis media with antibiotic susceptibility of the isolates.
Dissertation.Bangalore;department of microbiology:2006. p.1-116
16. Sakagami et all. Simple underlay myringoplasty. The journal of laryngology & otology. 2007;121: 840-44
17. Spandow dkk. Comparison of the repair of permanent tympanic membrane perforations by hydrocolloidal
dressing and paper patch. The journal of laryngology and otology. 1995; 119: 1041-47
18. Tsubota K. et al. Treatment of dry eye by autologous serum application in Sjongren syndrome. Br J Ophthalmol;
1999; 83.390- 397
19. Geerling et al. Autologous Serum eye drops for ocular Surface Disorders. Br.J.Ophtalmol; 2004: (88) 1467-74
20. Kakehata et al. Autologous Serum Ear drops therapy with a chitin membrane for closing tympanic membrane
perforations. Otology & neorootology; 2008: (29) 791-95
21. Chauvin et al. Healing Large Tympanic Membrane Perforations Using Hyaluronic acid, basic fibroblat growth
Factor and epidermal Growth factor. Otolaryngology- Head and neck Surgry; 1999: 43-48
22. Ramsay dkk. Effect of epidermal Growth factor on Tympanic Membranes with Chronis perforations: A clinical
trial. Otolaryngology- Head and Neck surgery; 1995: 375-80
23. Kaftan et al. Topical application of transforming growth factor-β in acute traumatic tympanic membrane
perforations: in experimental study in rats. Wound Rep. Reg; 2006: (14) 453-56
24. Niknejad H et al. Properties of the amniotic membrane for potential use in tissue engineering. European Cell
and materials; 2008: 15: 88-99
25. Tseng SCG. Amniotic Membrane Transplantation for Ocular surface
reconstruction. Bioscience report; 2001:21: 481-90
26. Sippel KC. Amniotic membrane Surgery. Curr.opin.ophtalmol. 2002;12 (4):269-81
27. Letko et al. Amniotic Membrane Inlay and overlay grafting for Corneal ephitelial Defects and Stroma Ulcers.
Arch Ophtalmol; 2001: 659-63
28. Schwann DL. Human Amniotic Membrane Transplantation for the Treatment of Ocular Surface Disease.
Northeast Florida Medical journal. 2002;1: 1-3
29. Dua HS & Blanco AA. Amniotic membrane transplantation. Br J Ophtalmol. 1999;83:748- 52
30. Russo R et al. Polymormonuclear leucocyt Migration through human amnion membrane. The Journal of cell
biology; 459-67
31. Libera RD et al. Assesment of the use of cryopreserved X freeze-dried amniotic membrane for reconstruction
of ocular surface in rabit model. Arq. Reras.Ophtalmol; 2008: 669-73
32. Kurpakus MW. Laminin-5 is a component of preserved amniotic membrane. Current Eye Research. 2001; 22:
353-57
33. Jae SK dkk. Amniotic membrane transplantation in infectious corneal ulcer. Cornea; 2001:720-26
34. Harvinder S et al. Underlay Myringoplasty: Comparison of Human Amniotic Membrane to Temporalis Fascia
Graft. Med. J Malaysia. 2005;60: 285-89
35. Mermet I et al. Use of amniotic membrane Transplantation in the Treatment Venous Leg Ulcers. Wound
Rep.Reg. 2007; 15:459-64
Shinta FB, Taufiq SB. Angka Keberhasilan Miringoplasti pada perforasi membran timpani kecil,
besar dan subtotal pada bulan Juni 2003 sampai Juni 2004. THT-KL FK Unpad/Perjan RS Hasan
Sadikin Bandung.