Anda di halaman 1dari 14

JRPM, 2016, 1(1), 17 – 30

JURNAL REVIEW PEMBELAJARAN MATEMATIKA


http://jrpm.uinsby.ac.id

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA


MELALUI PEMECAHAN MASALAH UNTUK MENINGKATKAN
PENALARAN MATEMATIS SISWA KELAS X-A
SMA AL-MUSLIMUN

Maimunah1, Purwanto2, Cholis Sa’dijah3, Sisworo4


1
Universitas Riau, Jl. Binawidya KM 12,5 Simpang Baru Pekanbaru Riau
2,3,4
Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang

Abstract
The purpose of this study to improve students mathematical reasoning with
the application of teaching mathematics through problem solving. This
models consist of four fase, that is: giving problems, investigation,
presentation results, and evaluation results. Method of research is quasi
experimental is implemented in class X-A SMA Al Muslimun Pelalawan
Riau. Subject of this study were 19 students who divided into groups of 4-5
students with the capability of high, medium, and low. The instrument used
was a test and observation. In the pretest result there were 10 students with
sufficient reasoning and good criteria. While on the posttest there were 19
students with the criterion of mathematical reasoning is good. No students
obtains criterion of mathematical reasoning is very good in two test.

Keywords: Mathematical reasoning; Problem solving; Mathematics teaching

PENDAHULUAN
Matematika sebagai ilmu dasar memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Hudojo (2005) yang menyatakan bahwa
matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir, karena sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK.
Oleh karena itu, matematika sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dasar dan
menengah, memainkan peranan strategis dalam peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM).
Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pendidikan, khususnya
pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah adanya perubahan
kurikulum, dari kurikulum 1994, KBK, KTSP, hingga K-13. Perubahan mendasar yang
dilakukan adalah bagaimana guru mengajar dan bagaimana siswa belajar. Perubahan
semacam ini menghendaki kesabaran guru dalam mengarahkan siswa sehingga mereka
menjadi tahu, mampu dan mau belajar dan menerapkan apa yang sudah mereka pelajari
di lingkungan sekolah maupun masyarakat sekitarnya.

Alamat Korespondensi ©2016 Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya


Email: 1maimunah_dra@yahoo.com e-ISSN 2503 – 1384
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Hasil wawancara dengan beberapa guru matematika dan hasil pengamatan


pelaksanaan pembelajaran di SMA Al Muslimun Pelalawan Riau, ditemukan bahwa
sebagian besar guru matematika melakukan pembelajaran dengan langkah-langkah
sebagai berikut: menjelaskan materi, memberi contoh-contoh soal, dan memberi latihan-
latihan. Langkah tersebut menurut anggapan beberapa guru lebih mudah dan cepat karena
materi yang disajikan dapat tercapai sesuai kurikulum. Hasil pengamatan terhadap
aktivitas yang dilakukan siswa menunjukkan bahwa siswa kurang aktif pada saat
pembelajaran berlangsung. Siswa juga belum terbiasa bertanya dengan baik dan masih
belum dapat menganalisis dan memecahkan masalah melalui diskusi. Mereka cenderung
menanti jawaban dan penjelasan dari guru dan tidak berkenan untuk mencari pemecahan
masalahnya terlebih dahulu. Kegiatan pembelajaran seperti biasa hanya mendorong siswa
untuk berpikir pada tataran rendah dan tidak mengakomodasi kemampuan kognitif
tingkat tinggi siswa, dan kurang memberi hasil yang optimal. (Armanto, 2002; Rochmad,
2009).
Krulik, Rudnick, & Milou (2003) menyatakan bahwa penalaran sangat diperlukan
dalam pembelajaran matematika dan sebagai bagian dari berpikir tingkat tinggi. Hal ini
disebabkan dalam menyelesaikan masalah siswa menggunakan daya nalar. Indikasi
lemahnya penalaran matematis siswa diperoleh ketika siswa diberikan masalah berikut.

Contoh Masalah:
Tentukan banyaknya penyelesaian (𝑥, 𝑦, 𝑧) yang memenuhi
5𝑥 + 𝑦 + 𝑧 = 21 jika semesta pembicaraan untuk 𝑥, 𝑦 dan 𝑧
adalah anggota himpunan bilangan asli!

Salah satu contoh hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut
adalah siswa menyatakan suatu variabel atas variabel lainnya, sehingga siswa
menyimpulkan bahwa penyelesaiannya adalah 𝑥 = 𝑦 = 𝑧 = 3. Artinya siswa
mendapatkan hasil penyelesaiannya dengan satu jawaban. Seharusnya penyelesaian
masalah di atas mempunyai 30 jawaban. Hasil pekerjaan ini menunjukkan bahwa siswa
menggunakan cara yang sudah mereka ketahui prosedurnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sa’dijah (2006) yang menyatakan bahwa pada umumnya siswa lebih suka
mengerjakan soal-soal yang sudah mereka ketahui prosedur pengerjaannya atau soal-soal
yang sudah “diberitahu” cara pengerjaannya melalui contoh-contoh. Secara umum siswa
telah memahami apa yang diinginkan dari masalah tersebut. Akan tetapi, mereka terbiasa
bekerja secara prosedural (Maimunah, 2014).

18
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Penalaran atau reasoning merupakan suatu proses berpikir untuk mengambil


kesimpulan. Boesen, Lithner, & Palm (2010) menyatakan bahwa “reasoning is the way
of thinking, adopted to produce assertions and reach conclusions”. Penalaran dapat
diartikan sebagai suatu cara berpikir untuk menghasilkan suatu kesimpulan.
Suriasumantri (2010) menyatakan bahwa penalaran merupakan suatu proses berpikir
dalam menarik sesuatu kesimpulan berupa pengetahuan. Dalam kaitannya dengan
menyelesaikan masalah, Subanji (2011) menyatakan bahwa penalaran merupakan
aktivitas mental/kognitif melalui berpikir logis dan bersifat analitis. Suharnan (2005)
menegaskan bahwa titik berat penalaran adalah bagaimana seseorang menarik
kesimpulan dan mengevaluasi apakah kesimpulan yang dihasilkan itu valid atau tidak
valid. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus yang bersifat
individual, tetapi dapat juga sebaliknya dari hal yang bersifat individual menjadi bersifat
umum (Suherman & Winataputra, 1993). Penalaran terdiri dari penalaran induktif yang
disebut induksi dan penalaran deduktif yang disebut deduksi. Penalaran induktif adalah
penalaran untuk menarik suatu kesimpulan dari hal-hal khusus ke hal yang umum
(Sumarmo, 1987). Namun, penalaran induktif selain dapat berjalan dari khusus ke umum
juga dapat berjalan dari umum ke umum. Dengan demikian, penalaran adalah aktivitas
mental yang berkenaan dengan pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang
tersedia. Informasi itu dapat berbentuk verbal dan/atau visual. Informasi verbal adalah
informasi yang diwujudkan dalam bentuk kata-kata atau kalimat, sedangkan informasi
visual adalah informasi berupa data yang dapat diwujudkan dalam bentuk diagram,
grafik, atau model. Hasil penarikan kesimpulan tersebut dapat berbentuk verbal atau
visual.
Penalaran sangat diperlukan dalam pembelajaran matematika. Hudojo (2005)
menyatakan bahwa mengajar sebenarnya memberi kesempatan kepada siswa untuk
mencari, menanya, menebak, menalar, dan bahkan mendebat. Penalaran matematika
siswa dapat dilakukan melalui pemecahan masalah atau problem solving. Langkah-
langkah problem solving dikenal dengan langkah-langkah menurut Polya (1957).
Pemecahan masalah menurut Wahyudin (2008) merupakan wahana untuk membangun
kemampuan berpikir tingkat tinggi, karena melalui pemecahan masalah siswa harus
menggunakan sejumlah keterampilan dan pengetahuan yang telah dimilikinya kemudian
memadukannya untuk sampai pada suatu penyelesaian. Penalaran merupakan bagian dari

19
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

berpikir tingkat tinggi dan elemen penting dalam pemecahan masalah (Krulik, Rudnick,
& Milou, 2003; Spector & Park, 2012).
Yulia (2012) mengungkapkan bahwa indikator siswa telah menguasai kemampuan
penalaran matematis sebagai berikut: (1) menarik kesimpulan logis, (2) memberi
penjelasan menggunakan gambar, fakta, sifat, hubungan yang ada, (3) memperkirakan
jawaban dan proses solusi, (4) menggunakan pola hubungan untuk menganalisis,
membuat analogi, generalisasi, dan menyusun serta menguji konjektur, (5) mengajukan
lawan contoh, (6) mengajukan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, dan
menyusun argument yang valid, dan (7) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak
langsung, dan pembuktian dengan induksi matematika.
Selain itu, indikator kemampuan penalaran yang dijelaskan dalam teknis Peraturan
Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004, diuraikan bahwa indikator
siswa memiliki kemampuan penalaran adalah mampu: (1) mengajukan dugaan, (2)
melakukan manipulasi matematika, (3) menarik kesimpulan, menyusun bukti,
memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi, (4) menarik kesimpulan dari
pernyataan, (5) memeriksa kesahihan suatu argumen, dan (6) menemukan pola atau sifat
dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Pembelajaran melalui pemecahan masalah adalah proses belajar mengajar yang
dilakukan dengan cara melatih murid menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan
sendiri atau secara bersama-sama (Alipandie, 1984). Sedangkan menurut Purwanto
(1999), pemecahan masalah adalah suatu proses dengan menggunakan strategi, cara, atau
teknik tertentu untuk menghadapi situasi baru, agar keadaan tersebut dapat dilalui sesuai
keinginan yang ditetapkan. Selain itu pengertian pemecahan masalah menurut Kisworo
(2000), merupakan proses menerima masalah dan berusaha menyelesaikan masalah itu.
Sedangkan Hudojo (2005) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat
dicapai. Selanjutnya Polya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu
tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi. Pemecahan masalah adalah suatu aktivitas
intelektual untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi dengan menggunakan
bekal pengetahuan yang sudah dimlliki.
Pemecahan masalah dapat juga meningkatkan kemampuan akademik siswa. Selain
itu, langkah-langkah dalam pemecahan masalah sangat bermanfaat untuk
menggambarkan penalaran induktif siswa (Canadas & Castro, 2009). Pemecahan masalah

20
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

merupakan suatu indikator bagi penyerapan konsep dan ide-ide siswa yang sedang
belajar. Menurut Pedro, Navales, dan Josue (2000), salah satu aktivitas dalam pemecahan
masalah yaitu: inkuiri, investigasi, dan menganalisis situasi matematis.
Dalam memecahkan masalah, setiap individu memerlukan waktu yang berbeda. Hal
ini disebabkan oleh motivasi dan strategi yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapinya. Siswono (1999) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah, yaitu: (1) pengalaman awal,
pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal aplikasi.
Pengalaman awal seperti ketakutan (pobia) terhadap matematika dapat menghambat
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, (2) latar belakang matematika,
kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang berbeda-beda tingkatnya
dapat memicu perbedaan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, (3) keinginan
dan motivasi, dorongan yang kuat dari dalam diri (internal), seperti menumbuhkan
keyakinan saya “BISA” maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang menarik,
menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan masalah, (4) struktur
masalah, struktur masalah yang diberikan kepada siswa (pemecahan masalah), seperti
format secara verbal atau gambar, kompleksitas (tingkat kesulitan soal), konteks (latar
belakang cerita atau tema), bahasa soal, maupun pola masalah satu dengan masalah yang
lain dapat mengganggu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Siswono (1999)
juga menyebutkan bahwa dalam memecahkan masalah perlu keterampilan-keterampilan
yang harus dimiliki, yaitu: (1) keterampilan empiris (perhitungan, pengukuran), (2)
keterampilan aplikatif untuk menghadapi situasi yang umum (seting terjadi), (3)
keterampilan berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa (unfamiliar).
Polya (1957) menjelaskan empat langkah yang harus dilakukan dalam memecahkan
masalah yaitu: (1) memahami masalah, merujuk pada pemahaman terhadap apa yang
diketahui, apa yang ditanyakan, atau apakah syarat-syarat cukup, tidak cukup, berlebihan
atau kontradiksi untuk mencari yang ditanyakan, (2) merencanakan penyelesaian,
merujuk pada bagaimana strategi penyelesaian yang terkait, (3) menyelesaikan rencana
penyelesaian, merujuk pada penyelesaian strategi penyelesaian yang telah disusun, dan
(4) memeriksa kembali, berkaitan dengan pengecekan jawaban serta pembuatan
kesimpulan akhir.
Krulik (2003) mengungkapkan tiga interpretasi umum tentang pemecahan masalah,
yaitu: pemecahan masalah sebagai tujuan (goal), pemecahan masalah sebagai proses

21
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

(process), dan pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar (basic skill). Pemecahan
masalah sebagai tujuan mengapa matematika itu diajarkan dan apa tujuan pembelajaran
matematika. Dalam interpretasi ini, pemecahan masalah bebas dari masalah khusus,
prosedur atau metode, dan konten matematika. Yang menjadi pertimbangan utama adalah
belajar bagaimana memecahkan masalah, merupakan alasan utama untuk belajar
matematika. Pemecahan masalah sebagai proses muncul dari interpretasinya sebagai
proses dinamik dan terus menerus. National Council of Teachers of Mathematics (2000)
mendefinisikan pemecahan masalah sebagai proses menerapkan pengetahuan yang telah
diperoleh sebelumnya kedalam situasi baru dan tak dikenal. Pertimbangan utama dalam
hal ini adalah metode, prosedur, strategi, dan heuristik yang siswa gunakan dalam
memecahkan masalah. Sedangkan pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar,
menyangkut dua pengertian yang banyak digunakan, yaitu: keterampilan minimum yang
harus dimiliki siswa dalam matematika dan keterampilan minimum yang diperlukan
seseorang agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, maka untuk meningkatkan penalaran matematika
siswa perlu dilakukan pembelajaran melalui pemecahan masalah. Menurut Ali & Akhter
(2010), pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem solving) lebih efektif jika
dibandingkan dengan pembelajaran secara tradisional. Pemecaham masalah merupakan
aktivitas berpikir tingkat tinggi dan merupakan suatu usaha untuk mencari jalan keluar
dari suatu kesulitan untuk mencapai tujuan. Jika siswa diberikan masalah, maka siswa
harus membaca dan memahami masalah tersebut kemudian mencoba untuk membuat
dugaan atas rencana penyelesaian. Selanjutnya bersama kelompok mendiskusikan
pemecahan masalah, dan hasil diskusi sebagai suatu kesimpulan bersama tersebut
dipresentasikan di depan kelas. Kemudian hasil diskusi kelas di evaluasi melalui tes akhir
pada akhir pertemuan.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan
penalaran matematis siswa dengan menerapkan model pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah. Dalam penelitian ini langkah pemecahan masalah yang digunakan
adalah langkah pemecahan masalah yang dijelaskan oleh Polya (1957). Adapun aspek-
aspek yang harus dicantumkan siswa pada setiap langkah-langkah pemecahan masalah
adalah: (1) memahami masalah, aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini
meliputi apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, (2) merencanakan penyelesaian,
aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi urutan langkah

22
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

penyelesaian dan mengarahkan pada jawaban yang benar, (3) menyelesaikan rencana
penyelesaian, aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi pelaksanaan
cara yang telah dibuat dan kebenaran langkah yang sesuai dengan cara yang dibuat, (4)
memeriksa kembali, aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi
penyimpulan jawaban yang telah diperoleh dengan benar/memeriksa jawabannya dengan
tepat.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen tanpa kelas kontrol. Dalam penelitian
ini menggunakan sebuah rancangan penelitian dengan bagan pada Tabel 1. (Sugiyono,
2008).
Tabel 1.
Pre-Tes Post-Tes Design

Pre-test Perlakuan Post-test


T1 X T2

Keterangan:
T1 : nilai pre-test (sebelum diberi perlakuan)
X : perlakuan (penerapan model pembelajaran melalui pemecahan masalah)
T2 : nilai post-test (sesudah diberi perlakuan)

Penelitian ini dilakukan di SMA Al Muslimun Pelalawan Riau. Subjek penelitian


yang dipilih adalah siswa kelas X-A yang berjumlah 19 orang siswa pada tahun pelajaran
2015/2016. Data dalam penelitian ini diperoleh dari guru matematika pada kelas X-A.
Model pembelajaran ini dilaksanakan dalam kelompok kecil, dimana setiap kelompok
beranggotakan 4-5 siswa yang terdiri dari siswa dengan kemampuan tinggi, sedang, dan
rendah.
Penelitian ini terdiri dari dua tes, tes pertama yaitu pre-test yang dilakukan sebelum
model pembelajaran matematika ini diterapkan dan tes kedua yaitu post-test yang
dilakukan sesudah model pembelajaran matematika ini diterapkan. Penerapan model
pembelajaran dalam penelitian ini melalui pemecahan masalah. Langkah-langkah
pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah adalah sebagai berikut: (1)
penyajian masalah, (2) investigasi, (3) presentasi hasil, dan (4) evaluasi hasil.

23
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Variabel bebas dari penelitian ini adalah model pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah. Variabel terikat dalam penelitian adalah kemampuan penalaran
matematis. Bentuk data hasil pengukuran dalam penelitian ini berupa skor nilai atau
angka yang diperoleh dari melakukan suatu proses berpikir untuk menghasilkan suatu
kesimpulan.
Data yang diperoleh dari pengamatan dan hasil tes dianalisis untuk memaparkan
keberhasilan pembelajaran setelah menerapkan model pembelajaran melalui pemecahan
masalah pada materi grafik fungsi eksponen dan logaritma. Kegiatan analisis data dalam
penelitian ini antara lain: (1) keterlaksanaan model pembelajaran dilakukan oleh dua
orang pengamat yang telah diberikan lembar pengamatan, dan (2) analisis kemampuan
penalaran matematika siswa dengan menggunakan rubrik penilaian penalaran matematis
siswa. Penalaran matematis siswa dikatakan meningkat apabila nilai siswa yang
mencapai penalaran matematis pada hasil post-test lebih baik dari hasil pre-test. Skor
rata-rata pencapaian Penalaran Matematis (PM) siswa ditentukan berdasarkan kriteria
seperti pada Tabel 2.
Tabel 2.
Pencapaian Penalaran Matematis (PM) Siswa

Tingkat Penalaran Kriteria


PM < 60 Tidak Baik (TB)
60 ≤ PM < 70 Kurang Baik (KB)
70 ≤ PM < 80 Cukup/Sedang (C)
80 ≤ PM < 90 Baik (B)
90 ≤ PM ≤ 100 Sangat Baik (SB)

Lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah ini dibuat oleh peneliti yang
diadaptasi dari Mufarida (2008), dimana lembar penilaian tersebut mengacu pada empat
langkah pemecahan masalah Polya. Adapun lembar penilaian kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang dibuat peneliti seperti pada Tabel 3.
Tabel 3.
Lembar Penilaian Kemampuan Pemecahan Masalah

Aspek
Reaksi terhadap soal (masalah) Skor
yang dinilai
Memahami Masalah Tidak menuliskan/tidak menyebutkan apa yang 1
diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal.
Hanya menuliskan/menyebutkan apa yang 2
diketahui.

24
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Aspek
Reaksi terhadap soal (masalah) Skor
yang dinilai
Menuliskan/menyebutkan apa yang diketahui 3
dan apa yang ditanyakan dari soal dengan
kurang tepat.
Menuliskan/menyebutkan apa yang diketahui 4
dan apa yang ditanyakan dari soal dengan tepat.
Merencanakan Tidak menyajikan urutan langkah penyelesaian. 1
Penyelesaian Menyajikan urutan langkah penyelesaian, tetapi 2
urutan urutan penyelesaian yang disajikan
kurang tepat.
Menyajikan urutan langkah penyelesaian yang 3
benar, tetapi mengarah padajawaban yang salah.
Menyajikan urutan langkah penyelesaian yang 4
benar dan mengarah pada jawaban yang benar.
Menyelesaikan Rencana Tidak ada penyelesaian sama sekali. 1
Penyelesaian Ada penyelesaian, tetapi prosedur tidak jelas. 2
Menggunakan prosedur tertentu yang benar, 3
tetapi jawaban salah.
Menggunakan prosedur tertentu yang benar dan 4
hasil benar.
Memeriksa Kembali Tidak melakukan pengecekan terhadap proses 1
dan jawaban serta tidak memberikan
kesimpulan.
Tidak melakukan pengecekan terhadap proses 2
dan jawaban dan memberikan kesimpulan yang
salah.
Melakukan pengecekan terhadap proses dan 3
jawaban dengan kurang tepat serta memberikan.
kesimpulan yang benar.
Melakukan pengecekan terhadap proses dan 4
jawaban dengan tepat serta membuat kesimpulan
dengan benar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada bagian ini dipaparkan tentang penerapan model Pembelajaran Matematika
melalui Pemecahan Masalah (PMPM), hasil-hasil pelaksanaan pembelajaran dengan
penerapan model, dan hasil peningkatan penalaran matematis siswa. Pelaksanaan tes
dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu tes sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan berupa penerapan model Pembelajaran Matematika melalui Pemecahan
Masalah (PMPM). Pelaksanaan tes pertama bertujuan untuk mengetahui penalaran
matematis awal siswa (pre-test) sebelum diberikan perlakuan pada siswa, sedangkan tes
kedua atau tes akhir (post-test) bertujuan mengetahui peningkatan penalaran matematis
siswa setelah diberikan perlakuan.

25
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Penerapan model PMPM dilaksanakan dengan empat fase berikut: (1) Fase
penyajian masalah meliputi: siswa secara individu memahami masalah yang terdapat
dalam lembar kegiatan siswa, siswa bertanya kepada guru untuk hal-hal yang belum jelas,
(2) Fase investigasi meliputi: siswa mendiskusikan penyelesaian masalah secara
berkelompok, siswa bertanya kepada guru untuk hal-hal yang kurang jelas, dan siswa
menyusun hasil kerja kelompok sebagai bahan presentasi, (3) Fase presentasi hasil
meliputi: siswa dari salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas,
siswa dari kelompok lain untuk memberikan tanggapan atau pertanyaan, dan siswa dari
kelompok penyaji memberikan tanggapan balik, (4) Fase evaluasi hasil meliputi: siswa
menarik kesimpulan dari materi yang dipelajari, dan siswa mengerjakan tes akhir
pertemuan.
Hasil penelitian yang dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan guru
matematika menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah memberikan dorongan kepada guru matematika dalam melakukan
pembelajaran. Misalnya dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
meningkatkan daya nalarnya.
Hasil penerapan model pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah
adalah: Fase 1 (penyajian masalah), sebagian besar siswa sudah memahami masalah dan
dapat mengajukan dugaan maupun ide atas masalah yang disajikan secara individu. Fase
2 (investigasi), guru telah memotivasi dan memberikan arahan kepada siswa untuk
mendiskusikan kegiatan investigasi. Sebagian besar siswa sudah berdiskusi secara
berkelompok, dan dapat menyusun bahan presentasi. Fase 3 (presentasi hasil), guru
mempersilahkan kelompok penyaji untuk menjelaskan hasil kerja/kelompoknya. Siswa
sudah terbiasanya dalam menjelaskan hasil kerjanya di depan kelas, dan penggunaan
waktu telah efektif pada fase ini. Fase 4 (evaluasi), merupakan langkah yang dilakukan
oleh guru untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep yang mereka pelajari. Fase ini telah optimal, karena waktu yang tersedia
telah sesuai dengan alokasi yang sudah direncanakan.
Hasil pre-test tentang tingkat pencapaian penalaran matematis siswa yang diperoleh
dari tes hasil belajar dan dapat dilihat pada Tabel 4.

26
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Tabel 4.
Tingkat Pencapaian Penalaran Matematis (PM) Siswa pada Pre-test

No Tingkat Pencapaian (PM) Jumlah Siswa


1 Tidak Baik (TB) 1
2 Kurang Baik (KB) 8
3 Cukup/Sedang (C ) 8
4 Baik (B) 2
5 Sangat Baik (SB) 0
Jumlah 19

Jika dirujuk pada Tabel 4, maka pencapaian penalaran matematis siswa adalah:
10,52% dengan kriteria baik; 42,11% siswa dengan kriteria cukup/sedang; 42,11%
siswa dengan kriteria Kuranng Baik (KB), dan 5,26% siswa dengan kriteria Tidak
Baik (TB). Hasil tersebut menunjukkan bahwa penalaran matematis siswa masih
kurang optimal.
Pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran sebelum diterapkan model
pembelajaran matematika melalui pemecahan belum memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Oleh karena itu, diadakan tindak lanjut kegiatan terhadap kegiatan pembelajaran dan
perangkat pembelajaran yang digunakan. Tindak lanjutnya berupa penerapan model
pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah. Adapun hasil post-test tentang
kemampuan penalaran matematika setelah diterapkannya model pembelajaran
matematika melalui pemecahan masalah dapat dilihat Tabel 5.
Tabel 5.
Tingkat Pencapaian Penalaran Matematis Siswa pada Post-test

No Tingkat Pencapaian (PM) Jumlah Siswa


1 Tidak Baik (TB) 0
2 Kurang Baik (KB) 0
3 Cukup/Sedang (C ) 5
4 Baik (B) 14
5 Sangat Baik (SB) 0
Jumlah 19

Jika dirujuk pada Tabel 5, maka penalaran matematis siswa mencapai 73,68% siswa
dengan kriteria baik (B), dan 26,32% siswa dengan kriteria cukup/sedang (C). Secara
keseluruhan hasil pada post-test penalaran matematika siswa berada pada kategori baik.
Bila dilihat data hasil pre-test, hanya 52,63% siswa berada pada kategori cukup (C) dan
baik (B), sisanya 47,37% siswa berada pada kategori tidak baik (TB) dan kurang baik
(KB). Pada hasil post-test penalaran matematika siswa berada pada kategori minimal

27
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

sedang/cukup (C). Dari data tersebut diperoleh bahwa 73,68% siswa dengan ktiteria baik
(B) dan 26,32% siswa dengan kriteria cukup/sedang (C). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa seluruh siswa telah memiliki penalaran matematis, sehingga siswa telah memiliki
kemampuan untuk mengajukan dugaan, melakukan manipulasi matematika, memberi
penjelasan, dan menarik kesimpulan dengan baik.

SIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian dengan menggunakan Model Pembelajaran Matematika
melalui Pemecahan Masalah (Model PMPM) yang diterapkan dengan empat fase,
yaitu: fase penyajian masalah, fase investigasi, fase presentasi hasil, dan fase evaluasi
menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran dengan penerapan model PMPM
memenuhi kriteria baik. Hal ini disebabkan keempat fase sebagian besar terlaksana
sesuai dengan yang diharapkan. Model PMPM juga dapat meningkatkan penalaran
matematis siswa kelas X-A SMA Al Muslimun Pelalawan Riau.
Beberapa saran yang dapat peneliti sampaikan pada penelitian ini adalah: (1)
penerapan model pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah perlu
memperhatikan materi pembelajaran yang akan disampaikan agar model pembelajaran
ini dapat berjalan secara maksimal, (2) model PMPM dapat digunakan oleh
guru/peneliti matematika SMA sebagai salah satu model pembelajaran untuk
meningkatkan penalaran matematis siswa kelas X-A SMA dengan memilih indikator
sesuai keinginan guru/peneliti.

DAFTAR RUJUKAN

Ali, R. H. & Akhter, A. (2010). Effect of using problem solving method in teaching
mathematics on the achievement of mathematics student. Asian Social Science,
6(2), 67-72.

Alipandie, I. (1984). Didaktik metodik pendidikan umum. Surabaya: Usaha Nasional.

Armanto, D. (2002). Teaching multiplication and division realiscally in indonesian


primary schools: A prototype of local instructional theory. Tesis tidak
dipublikasikan. Enschede: University of Twente.

Boesen, J., Lithner, J., & Palm T. (2010). The relation between type assessment task and
the mathematical reasoning student use. Educ Stud Math, 75(1), 89-105.

28
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Canadas, M. C., Castro, E., & Castro, E. (2009). Using a model to describe students’
inductive reasoning in problem solving. Electronic Journal of Research in
Educational Psychology, No. 17, 7(1), 261-278.

Hudojo, H. (2005). Pengembangan kurikulum dan pembelajaran matematika. Malang:


UM Press.

Kisworo, A. (2000). Pembelajaran pemecahan masalah pada pembelajaran geometri


di kelas I SMU Petra 5 Surabaya. Tesis tidak dipublikasikan. Surabaya: Program
Pascasarjana UNESA.

Krulik, S., Rudnick, J., & Milou, E. (2003). Teaching mathematics in the middle school.
Boston: Pearson Education Inc.

Maimunah. (2014). Model pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan


penalaran matematika siswa. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Guru
Kreatif “Kunci Sukses” Pendidikan Berkemajuan, 30 November 2014. Sidoarjo:
FKIP, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Mufarida, A. (2008). Kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika


berbentuk soal terbuka pada materi jajargenjang di kelas VII-C SMP Negeri 1
Bangsal Mojokerto. Skripsi tidak dipublikasikan. Surabaya: UNESA.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (2000). Principles and standard


for school mathematics. Reston: VA Author.

Pedro, L.A.C., Navales, M.A., & Josue, F.T. (2000). Improving analyzing of primary
students using a problem solving strategy. Journal of Science and Mathematics
Education in S.E. ASIA, 27(1), 33-52.

Polya, J. (1957). How to solve it: A new aspect of mathematical method. New Jersey:
Princeton University Press
.
Purwanto, E. (1999). Strategi belajar mengajar matematika (fakta, konsep, generalisasi,
dan pendekatan pemecahan masalah). Malang: FPIPS IKIP Malang.

Rochmad. (2009). Pengembangan model pembelajaran matematika beracuan


konstruktivisme yang melibatkan penggunaan pola pikir induktif-deduktif (model
PMBK-ID) untuk siswa SMP/MTs. Disertasi tidak dipublikasikan. UNESA.
Surabaya.

Sa’dijah, C. (2006). Pengembangan model pembelajaran matematika beracuan


kontruktivisme untuk siswa SMP. Jurnal Math. Edu, 1(2), 109-122.

Siswono, T. Y. E. (1999). Metode pemberian tugas pengajuan soal (problem posing)


dalam membelajarkan matematika pokok bahasan perbandingan di MTs Negeri
1 Surabaya. Tesis tidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana UNESA.

29
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016

Spector, J. M, & Park, S. W. (2012). Argumentation, critical reasoning, and


argumentation in S.B. Fee and B.R. Belland (eds.), The Role of Criticism in
Understanding Problem Solving Volume 5 of The Series Explorations in the
Learning Sciences, Instructional Systems and Performance, Technologies. New
York: Springer.

Subanji. (2011). Teori berpikir pseudo penalaran kovariasional. Malang: UM Press.

Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharnan. (2005). Psikologi kognitif (edisi revisi). Surabaya: Srikandi.

Suherman, E. & Winataputra, U. (1993). Strategi belajar mengajar matematika. Jakarta:


Depdikbud.

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan penalaran dan pemahaman matematika siswa sma


dikaitkan dengan kemampuan penalaran logik siswa dan beberapa unsur proses
belajar mengajar. Disertasi tidak dipublikasikan. Bandung: Program Pascasarjana
IKIP.

Suriasumantri, J. S. (2010). Filsafat ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Wahyudin. (2008). Pembelajaran dan model-model pembelajaran. Bandung: UPI Press.

Yulia. (2012). Implementasi Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Investigasi


dalam Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMP. Skripsi
tidak dipublikasikan. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

30

Anda mungkin juga menyukai