Abstract
The purpose of this study to improve students mathematical reasoning with
the application of teaching mathematics through problem solving. This
models consist of four fase, that is: giving problems, investigation,
presentation results, and evaluation results. Method of research is quasi
experimental is implemented in class X-A SMA Al Muslimun Pelalawan
Riau. Subject of this study were 19 students who divided into groups of 4-5
students with the capability of high, medium, and low. The instrument used
was a test and observation. In the pretest result there were 10 students with
sufficient reasoning and good criteria. While on the posttest there were 19
students with the criterion of mathematical reasoning is good. No students
obtains criterion of mathematical reasoning is very good in two test.
PENDAHULUAN
Matematika sebagai ilmu dasar memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Hal itu sesuai dengan pendapat Hudojo (2005) yang menyatakan bahwa
matematika adalah suatu alat untuk mengembangkan cara berpikir, karena sangat
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK.
Oleh karena itu, matematika sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dasar dan
menengah, memainkan peranan strategis dalam peningkatan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM).
Peningkatan kualitas SDM dapat dilakukan melalui pendidikan, khususnya
pembelajaran di sekolah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah adanya perubahan
kurikulum, dari kurikulum 1994, KBK, KTSP, hingga K-13. Perubahan mendasar yang
dilakukan adalah bagaimana guru mengajar dan bagaimana siswa belajar. Perubahan
semacam ini menghendaki kesabaran guru dalam mengarahkan siswa sehingga mereka
menjadi tahu, mampu dan mau belajar dan menerapkan apa yang sudah mereka pelajari
di lingkungan sekolah maupun masyarakat sekitarnya.
Contoh Masalah:
Tentukan banyaknya penyelesaian (𝑥, 𝑦, 𝑧) yang memenuhi
5𝑥 + 𝑦 + 𝑧 = 21 jika semesta pembicaraan untuk 𝑥, 𝑦 dan 𝑧
adalah anggota himpunan bilangan asli!
Salah satu contoh hasil pekerjaan siswa dalam menyelesaikan masalah tersebut
adalah siswa menyatakan suatu variabel atas variabel lainnya, sehingga siswa
menyimpulkan bahwa penyelesaiannya adalah 𝑥 = 𝑦 = 𝑧 = 3. Artinya siswa
mendapatkan hasil penyelesaiannya dengan satu jawaban. Seharusnya penyelesaian
masalah di atas mempunyai 30 jawaban. Hasil pekerjaan ini menunjukkan bahwa siswa
menggunakan cara yang sudah mereka ketahui prosedurnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sa’dijah (2006) yang menyatakan bahwa pada umumnya siswa lebih suka
mengerjakan soal-soal yang sudah mereka ketahui prosedur pengerjaannya atau soal-soal
yang sudah “diberitahu” cara pengerjaannya melalui contoh-contoh. Secara umum siswa
telah memahami apa yang diinginkan dari masalah tersebut. Akan tetapi, mereka terbiasa
bekerja secara prosedural (Maimunah, 2014).
18
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
19
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
berpikir tingkat tinggi dan elemen penting dalam pemecahan masalah (Krulik, Rudnick,
& Milou, 2003; Spector & Park, 2012).
Yulia (2012) mengungkapkan bahwa indikator siswa telah menguasai kemampuan
penalaran matematis sebagai berikut: (1) menarik kesimpulan logis, (2) memberi
penjelasan menggunakan gambar, fakta, sifat, hubungan yang ada, (3) memperkirakan
jawaban dan proses solusi, (4) menggunakan pola hubungan untuk menganalisis,
membuat analogi, generalisasi, dan menyusun serta menguji konjektur, (5) mengajukan
lawan contoh, (6) mengajukan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, dan
menyusun argument yang valid, dan (7) menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak
langsung, dan pembuktian dengan induksi matematika.
Selain itu, indikator kemampuan penalaran yang dijelaskan dalam teknis Peraturan
Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004, diuraikan bahwa indikator
siswa memiliki kemampuan penalaran adalah mampu: (1) mengajukan dugaan, (2)
melakukan manipulasi matematika, (3) menarik kesimpulan, menyusun bukti,
memberikan alasan atau bukti terhadap kebenaran solusi, (4) menarik kesimpulan dari
pernyataan, (5) memeriksa kesahihan suatu argumen, dan (6) menemukan pola atau sifat
dari gejala matematis untuk membuat generalisasi.
Pembelajaran melalui pemecahan masalah adalah proses belajar mengajar yang
dilakukan dengan cara melatih murid menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan
sendiri atau secara bersama-sama (Alipandie, 1984). Sedangkan menurut Purwanto
(1999), pemecahan masalah adalah suatu proses dengan menggunakan strategi, cara, atau
teknik tertentu untuk menghadapi situasi baru, agar keadaan tersebut dapat dilalui sesuai
keinginan yang ditetapkan. Selain itu pengertian pemecahan masalah menurut Kisworo
(2000), merupakan proses menerima masalah dan berusaha menyelesaikan masalah itu.
Sedangkan Hudojo (2005) mendefinisikan pemecahan masalah sebagai usaha mencari
jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat
dicapai. Selanjutnya Polya menyatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu
tingkat aktivitas intelektual yang sangat tinggi. Pemecahan masalah adalah suatu aktivitas
intelektual untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi dengan menggunakan
bekal pengetahuan yang sudah dimlliki.
Pemecahan masalah dapat juga meningkatkan kemampuan akademik siswa. Selain
itu, langkah-langkah dalam pemecahan masalah sangat bermanfaat untuk
menggambarkan penalaran induktif siswa (Canadas & Castro, 2009). Pemecahan masalah
20
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
merupakan suatu indikator bagi penyerapan konsep dan ide-ide siswa yang sedang
belajar. Menurut Pedro, Navales, dan Josue (2000), salah satu aktivitas dalam pemecahan
masalah yaitu: inkuiri, investigasi, dan menganalisis situasi matematis.
Dalam memecahkan masalah, setiap individu memerlukan waktu yang berbeda. Hal
ini disebabkan oleh motivasi dan strategi yang digunakan dalam menyelesaikan masalah
yang sedang dihadapinya. Siswono (1999) menyebutkan bahwa terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah, yaitu: (1) pengalaman awal,
pengalaman terhadap tugas-tugas menyelesaikan soal cerita atau soal aplikasi.
Pengalaman awal seperti ketakutan (pobia) terhadap matematika dapat menghambat
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, (2) latar belakang matematika,
kemampuan siswa terhadap konsep-konsep matematika yang berbeda-beda tingkatnya
dapat memicu perbedaan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah, (3) keinginan
dan motivasi, dorongan yang kuat dari dalam diri (internal), seperti menumbuhkan
keyakinan saya “BISA” maupun eksternal, seperti diberikan soal-soal yang menarik,
menantang, kontekstual dapat mempengaruhi hasil pemecahan masalah, (4) struktur
masalah, struktur masalah yang diberikan kepada siswa (pemecahan masalah), seperti
format secara verbal atau gambar, kompleksitas (tingkat kesulitan soal), konteks (latar
belakang cerita atau tema), bahasa soal, maupun pola masalah satu dengan masalah yang
lain dapat mengganggu kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Siswono (1999)
juga menyebutkan bahwa dalam memecahkan masalah perlu keterampilan-keterampilan
yang harus dimiliki, yaitu: (1) keterampilan empiris (perhitungan, pengukuran), (2)
keterampilan aplikatif untuk menghadapi situasi yang umum (seting terjadi), (3)
keterampilan berpikir untuk bekerja pada suatu situasi yang tidak biasa (unfamiliar).
Polya (1957) menjelaskan empat langkah yang harus dilakukan dalam memecahkan
masalah yaitu: (1) memahami masalah, merujuk pada pemahaman terhadap apa yang
diketahui, apa yang ditanyakan, atau apakah syarat-syarat cukup, tidak cukup, berlebihan
atau kontradiksi untuk mencari yang ditanyakan, (2) merencanakan penyelesaian,
merujuk pada bagaimana strategi penyelesaian yang terkait, (3) menyelesaikan rencana
penyelesaian, merujuk pada penyelesaian strategi penyelesaian yang telah disusun, dan
(4) memeriksa kembali, berkaitan dengan pengecekan jawaban serta pembuatan
kesimpulan akhir.
Krulik (2003) mengungkapkan tiga interpretasi umum tentang pemecahan masalah,
yaitu: pemecahan masalah sebagai tujuan (goal), pemecahan masalah sebagai proses
21
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
(process), dan pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar (basic skill). Pemecahan
masalah sebagai tujuan mengapa matematika itu diajarkan dan apa tujuan pembelajaran
matematika. Dalam interpretasi ini, pemecahan masalah bebas dari masalah khusus,
prosedur atau metode, dan konten matematika. Yang menjadi pertimbangan utama adalah
belajar bagaimana memecahkan masalah, merupakan alasan utama untuk belajar
matematika. Pemecahan masalah sebagai proses muncul dari interpretasinya sebagai
proses dinamik dan terus menerus. National Council of Teachers of Mathematics (2000)
mendefinisikan pemecahan masalah sebagai proses menerapkan pengetahuan yang telah
diperoleh sebelumnya kedalam situasi baru dan tak dikenal. Pertimbangan utama dalam
hal ini adalah metode, prosedur, strategi, dan heuristik yang siswa gunakan dalam
memecahkan masalah. Sedangkan pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar,
menyangkut dua pengertian yang banyak digunakan, yaitu: keterampilan minimum yang
harus dimiliki siswa dalam matematika dan keterampilan minimum yang diperlukan
seseorang agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat.
Berdasarkan paparan di atas, maka untuk meningkatkan penalaran matematika
siswa perlu dilakukan pembelajaran melalui pemecahan masalah. Menurut Ali & Akhter
(2010), pembelajaran melalui pemecahan masalah (problem solving) lebih efektif jika
dibandingkan dengan pembelajaran secara tradisional. Pemecaham masalah merupakan
aktivitas berpikir tingkat tinggi dan merupakan suatu usaha untuk mencari jalan keluar
dari suatu kesulitan untuk mencapai tujuan. Jika siswa diberikan masalah, maka siswa
harus membaca dan memahami masalah tersebut kemudian mencoba untuk membuat
dugaan atas rencana penyelesaian. Selanjutnya bersama kelompok mendiskusikan
pemecahan masalah, dan hasil diskusi sebagai suatu kesimpulan bersama tersebut
dipresentasikan di depan kelas. Kemudian hasil diskusi kelas di evaluasi melalui tes akhir
pada akhir pertemuan.
Berdasarkan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan
penalaran matematis siswa dengan menerapkan model pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah. Dalam penelitian ini langkah pemecahan masalah yang digunakan
adalah langkah pemecahan masalah yang dijelaskan oleh Polya (1957). Adapun aspek-
aspek yang harus dicantumkan siswa pada setiap langkah-langkah pemecahan masalah
adalah: (1) memahami masalah, aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini
meliputi apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan, (2) merencanakan penyelesaian,
aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi urutan langkah
22
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
penyelesaian dan mengarahkan pada jawaban yang benar, (3) menyelesaikan rencana
penyelesaian, aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi pelaksanaan
cara yang telah dibuat dan kebenaran langkah yang sesuai dengan cara yang dibuat, (4)
memeriksa kembali, aspek yang harus dicantumkan siswa pada langkah ini meliputi
penyimpulan jawaban yang telah diperoleh dengan benar/memeriksa jawabannya dengan
tepat.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen tanpa kelas kontrol. Dalam penelitian
ini menggunakan sebuah rancangan penelitian dengan bagan pada Tabel 1. (Sugiyono,
2008).
Tabel 1.
Pre-Tes Post-Tes Design
Keterangan:
T1 : nilai pre-test (sebelum diberi perlakuan)
X : perlakuan (penerapan model pembelajaran melalui pemecahan masalah)
T2 : nilai post-test (sesudah diberi perlakuan)
23
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Variabel bebas dari penelitian ini adalah model pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah. Variabel terikat dalam penelitian adalah kemampuan penalaran
matematis. Bentuk data hasil pengukuran dalam penelitian ini berupa skor nilai atau
angka yang diperoleh dari melakukan suatu proses berpikir untuk menghasilkan suatu
kesimpulan.
Data yang diperoleh dari pengamatan dan hasil tes dianalisis untuk memaparkan
keberhasilan pembelajaran setelah menerapkan model pembelajaran melalui pemecahan
masalah pada materi grafik fungsi eksponen dan logaritma. Kegiatan analisis data dalam
penelitian ini antara lain: (1) keterlaksanaan model pembelajaran dilakukan oleh dua
orang pengamat yang telah diberikan lembar pengamatan, dan (2) analisis kemampuan
penalaran matematika siswa dengan menggunakan rubrik penilaian penalaran matematis
siswa. Penalaran matematis siswa dikatakan meningkat apabila nilai siswa yang
mencapai penalaran matematis pada hasil post-test lebih baik dari hasil pre-test. Skor
rata-rata pencapaian Penalaran Matematis (PM) siswa ditentukan berdasarkan kriteria
seperti pada Tabel 2.
Tabel 2.
Pencapaian Penalaran Matematis (PM) Siswa
Lembar penilaian kemampuan pemecahan masalah ini dibuat oleh peneliti yang
diadaptasi dari Mufarida (2008), dimana lembar penilaian tersebut mengacu pada empat
langkah pemecahan masalah Polya. Adapun lembar penilaian kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa yang dibuat peneliti seperti pada Tabel 3.
Tabel 3.
Lembar Penilaian Kemampuan Pemecahan Masalah
Aspek
Reaksi terhadap soal (masalah) Skor
yang dinilai
Memahami Masalah Tidak menuliskan/tidak menyebutkan apa yang 1
diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal.
Hanya menuliskan/menyebutkan apa yang 2
diketahui.
24
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Aspek
Reaksi terhadap soal (masalah) Skor
yang dinilai
Menuliskan/menyebutkan apa yang diketahui 3
dan apa yang ditanyakan dari soal dengan
kurang tepat.
Menuliskan/menyebutkan apa yang diketahui 4
dan apa yang ditanyakan dari soal dengan tepat.
Merencanakan Tidak menyajikan urutan langkah penyelesaian. 1
Penyelesaian Menyajikan urutan langkah penyelesaian, tetapi 2
urutan urutan penyelesaian yang disajikan
kurang tepat.
Menyajikan urutan langkah penyelesaian yang 3
benar, tetapi mengarah padajawaban yang salah.
Menyajikan urutan langkah penyelesaian yang 4
benar dan mengarah pada jawaban yang benar.
Menyelesaikan Rencana Tidak ada penyelesaian sama sekali. 1
Penyelesaian Ada penyelesaian, tetapi prosedur tidak jelas. 2
Menggunakan prosedur tertentu yang benar, 3
tetapi jawaban salah.
Menggunakan prosedur tertentu yang benar dan 4
hasil benar.
Memeriksa Kembali Tidak melakukan pengecekan terhadap proses 1
dan jawaban serta tidak memberikan
kesimpulan.
Tidak melakukan pengecekan terhadap proses 2
dan jawaban dan memberikan kesimpulan yang
salah.
Melakukan pengecekan terhadap proses dan 3
jawaban dengan kurang tepat serta memberikan.
kesimpulan yang benar.
Melakukan pengecekan terhadap proses dan 4
jawaban dengan tepat serta membuat kesimpulan
dengan benar.
25
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Penerapan model PMPM dilaksanakan dengan empat fase berikut: (1) Fase
penyajian masalah meliputi: siswa secara individu memahami masalah yang terdapat
dalam lembar kegiatan siswa, siswa bertanya kepada guru untuk hal-hal yang belum jelas,
(2) Fase investigasi meliputi: siswa mendiskusikan penyelesaian masalah secara
berkelompok, siswa bertanya kepada guru untuk hal-hal yang kurang jelas, dan siswa
menyusun hasil kerja kelompok sebagai bahan presentasi, (3) Fase presentasi hasil
meliputi: siswa dari salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas,
siswa dari kelompok lain untuk memberikan tanggapan atau pertanyaan, dan siswa dari
kelompok penyaji memberikan tanggapan balik, (4) Fase evaluasi hasil meliputi: siswa
menarik kesimpulan dari materi yang dipelajari, dan siswa mengerjakan tes akhir
pertemuan.
Hasil penelitian yang dilakukan secara kolaborasi antara peneliti dan guru
matematika menunjukkan bahwa dalam proses pembelajaran matematika melalui
pemecahan masalah memberikan dorongan kepada guru matematika dalam melakukan
pembelajaran. Misalnya dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
meningkatkan daya nalarnya.
Hasil penerapan model pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah
adalah: Fase 1 (penyajian masalah), sebagian besar siswa sudah memahami masalah dan
dapat mengajukan dugaan maupun ide atas masalah yang disajikan secara individu. Fase
2 (investigasi), guru telah memotivasi dan memberikan arahan kepada siswa untuk
mendiskusikan kegiatan investigasi. Sebagian besar siswa sudah berdiskusi secara
berkelompok, dan dapat menyusun bahan presentasi. Fase 3 (presentasi hasil), guru
mempersilahkan kelompok penyaji untuk menjelaskan hasil kerja/kelompoknya. Siswa
sudah terbiasanya dalam menjelaskan hasil kerjanya di depan kelas, dan penggunaan
waktu telah efektif pada fase ini. Fase 4 (evaluasi), merupakan langkah yang dilakukan
oleh guru untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat pemahaman siswa terhadap
konsep-konsep yang mereka pelajari. Fase ini telah optimal, karena waktu yang tersedia
telah sesuai dengan alokasi yang sudah direncanakan.
Hasil pre-test tentang tingkat pencapaian penalaran matematis siswa yang diperoleh
dari tes hasil belajar dan dapat dilihat pada Tabel 4.
26
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Tabel 4.
Tingkat Pencapaian Penalaran Matematis (PM) Siswa pada Pre-test
Jika dirujuk pada Tabel 4, maka pencapaian penalaran matematis siswa adalah:
10,52% dengan kriteria baik; 42,11% siswa dengan kriteria cukup/sedang; 42,11%
siswa dengan kriteria Kuranng Baik (KB), dan 5,26% siswa dengan kriteria Tidak
Baik (TB). Hasil tersebut menunjukkan bahwa penalaran matematis siswa masih
kurang optimal.
Pembelajaran menggunakan perangkat pembelajaran sebelum diterapkan model
pembelajaran matematika melalui pemecahan belum memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Oleh karena itu, diadakan tindak lanjut kegiatan terhadap kegiatan pembelajaran dan
perangkat pembelajaran yang digunakan. Tindak lanjutnya berupa penerapan model
pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah. Adapun hasil post-test tentang
kemampuan penalaran matematika setelah diterapkannya model pembelajaran
matematika melalui pemecahan masalah dapat dilihat Tabel 5.
Tabel 5.
Tingkat Pencapaian Penalaran Matematis Siswa pada Post-test
Jika dirujuk pada Tabel 5, maka penalaran matematis siswa mencapai 73,68% siswa
dengan kriteria baik (B), dan 26,32% siswa dengan kriteria cukup/sedang (C). Secara
keseluruhan hasil pada post-test penalaran matematika siswa berada pada kategori baik.
Bila dilihat data hasil pre-test, hanya 52,63% siswa berada pada kategori cukup (C) dan
baik (B), sisanya 47,37% siswa berada pada kategori tidak baik (TB) dan kurang baik
(KB). Pada hasil post-test penalaran matematika siswa berada pada kategori minimal
27
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
sedang/cukup (C). Dari data tersebut diperoleh bahwa 73,68% siswa dengan ktiteria baik
(B) dan 26,32% siswa dengan kriteria cukup/sedang (C). Hasil tersebut menunjukkan
bahwa seluruh siswa telah memiliki penalaran matematis, sehingga siswa telah memiliki
kemampuan untuk mengajukan dugaan, melakukan manipulasi matematika, memberi
penjelasan, dan menarik kesimpulan dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, R. H. & Akhter, A. (2010). Effect of using problem solving method in teaching
mathematics on the achievement of mathematics student. Asian Social Science,
6(2), 67-72.
Boesen, J., Lithner, J., & Palm T. (2010). The relation between type assessment task and
the mathematical reasoning student use. Educ Stud Math, 75(1), 89-105.
28
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Canadas, M. C., Castro, E., & Castro, E. (2009). Using a model to describe students’
inductive reasoning in problem solving. Electronic Journal of Research in
Educational Psychology, No. 17, 7(1), 261-278.
Krulik, S., Rudnick, J., & Milou, E. (2003). Teaching mathematics in the middle school.
Boston: Pearson Education Inc.
Pedro, L.A.C., Navales, M.A., & Josue, F.T. (2000). Improving analyzing of primary
students using a problem solving strategy. Journal of Science and Mathematics
Education in S.E. ASIA, 27(1), 33-52.
Polya, J. (1957). How to solve it: A new aspect of mathematical method. New Jersey:
Princeton University Press
.
Purwanto, E. (1999). Strategi belajar mengajar matematika (fakta, konsep, generalisasi,
dan pendekatan pemecahan masalah). Malang: FPIPS IKIP Malang.
29
Maimunah, Purwanto, Cholis Sa’dijah, Sisworo/ JRPM Vol. 1, No. 1, Juni 2016
Sugiyono. (2008). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
30