Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................4

A. LATAR BELAKANG........................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH....................................................................................5
C. TUJUAN.............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................7

A. PENGERTIAN UMUM......................................................................................7
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA
KENA PAJAK ...................................................................................................9
C. PEMOTONGAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK...........................................12
D. PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK............................................16
E. PELAPORAN DENGAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT).....................18

BAB III PENUTUP.....................................................................................................20

A. KESIMPULAN.................................................................................................20
B. SARAN.............................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam masyarakat,
seperti yang kita ketahui Masyarakat adalah kumpulan manusia yang pada suatu
waktu berkumpul untuk tujuan tertentu. Negara adalah masyarakat yang mempunyai
tujuan tertentu. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup
masyarakat dan kepentingan masyarakat. Untuk kelangsungan hidup masing-masing
diperlukan biaya. Biaya hidup individu, menjadi beban dari individu yang
bersangkutan dan berasal dari penghasilannya sendiri. Biaya hidup negara adalah
untuk kelangsungan alat-alat negara, administrasi negara, lembaga negara, dan
seterusnya, dan harus dibiayai dari penghasilan negara.
Pada mulanya pajak bukan merupakan suatu pungutan melainkan hanya
berupa pemberian secara sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara
kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum,
membayar gaji pegawai dan lain-lain. Bagi penduduk yang tidak melakukan
penyetoran maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan
umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun.
Penghasilan negara adalah berasal dari rakyatnya melalui pungutan pajak, dan
atau dari hasil kekayaan alam yang ada di dalam negara itu (natural resources).Dua
sumber itu merupakan sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada
negara. Penghasilan itu untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga
mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan masyarakat, pendidikan,
kesejahteraan dan sebagainya. Jadi, dimana ada kepentingan masyarakat, disana
timbul pungutan pajak sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.
Pungutan pajak memang pada dasarnya mengurangi penghasilan ataupun
kekayaan individu akan tetapi sebaliknya merupakan penghasilan masyarakat yang
kemudian di kembalikan lagi kepada masyarakat, melaui pengeluaran-pengeluaran
rutin dan pengeluaran pembangunan yang akhirnya kembali lagi kepada seluruh
masyarakat yang bermanfaat bagi rakyat, baik yang membayar maupun tidak. Seperti
yang dikatakan oleh Rohmat Soemitro bahwa membayar pajak itu tidak saja berarti

2
kewajiban ikut serta memikul beban negara (pengeluaran negara), tetapi juga
merupakan hak untuk serta memikul sebagian dari beban negara, sesuai dengan
kemampuannya.
Pajak mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan bernegara,
khususnya didalam pembangunan karena pajak merupakan sumber penghasilan
negara untuk membiayai semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan.
Sistem pemungutan pajak di indonesia adalah Self Assessment System yang berarti
wajib pajak diberikan kepercayaan untuk memperhitungkan, menyetorkan, dan
melaporkan sendiri atas pajak yang terhutang terhadap negara. Disamping cara Self
Assessment System terdapat cara lain yaitu sistem pemotongan (withholding system).
Withholding System merupakan cara yang paling mudah yang dilakukan pemerintah
untuk memungut pajak, yaitu dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk melakukan
pungutan dan pemungutan pajaknya oleh pihak lain. Dengan cara ini maka
pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya yang besar untuk memungut pajak.
Dalam pemungutan pajak subjek dan objek pajak harus jelas. Oleh karena itu
harus dikelola dengan baik dan benar sehingga data wajib pajak sesuai. Selain itu,
tarif pajak harus ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku saat itu. Dengan
demikian para wajib pajak dapat rutin dan patuh membayar pajak. Subjek pajak
adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-syarat
subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek pajak baru
menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif. Objek pajak adalah
apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak karena
menyangkut apa yang dikenakan atau tidak dikenakannya pajak atas objek dimaksud,
sehingga dalam UU perpajakan kita selalu dengan tegas dinyatakan apa yang menjadi
objek setiap jenis pajak.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian umum pajak dan hukum pajak?
2. Apa yang di maksud dengan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak?
3. Bagaimana pemotongan dan pemungutan pajak?
4. Bagaimana pembayaran dan penyetoran pajak?
5. Apa itu Pelaporan dengan Surat Pemberitahuan (SPT)?
C. TUJUAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui:

3
1. Pengertian umum pajak dan hukum pajak.
2. Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
3. Pemotongan dan pemungutan pajak.
4. Pembayaran dan penyetoran pajak.
5. Pelaporan dengan Surat Pemberitahuan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN UMUM
1. Definisi Pajak.
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor
partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan undangundang (dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapatkan jasa timbal (tegen prestatie) yang langsung dapat
ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum
(publiekeuitgaven) dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong
untuk mencapai tujuan yang ada diluar bidang keuangan.
Dalam perkembangannya di sektor perpajakan dewasa ini ternyata tidak
melulu dalam pembayaran pajak hanya terbatas beralihnya kekayaan sector
partikelir ke sektor pemerintah, karena dalam UU Pajak Penghasilan di Indonesia
yang menjadi subyek pajak bukan terbatas sektor swasta tetapi ada juga subyek
pajak yang berasal dari sektor non-swasta Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Dalam pengertian lain, Pajak, adalah pungutan yang dilakukan oleh Negara,
untuk kepentingan pembiayaan Negara, berdasarkan undang-undang,
pelaksanaannya dapat dipaksakan, dan kepada pembayar pajak tidak mendapat
jasa balik secara langsung. Pajak, merupakan pungutan yang dilakukan
pemerintah terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang yang ada
tanpa harus memberikan imbalan langsung.
Adapun beberapa pengertian pajak menurut para ahli yaitu:
a. Pajak menurut Andriani, merupakan iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terhutang oleh yang membayarnya menurut peraturan-
peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
b. Pajak menurut definisi Prancis, merupakan bantuan, baik secara langsung
maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari
barang untuk menutup belanja pemerintah.

5
c. Pajak menurut Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAO-1919), bahwa pajak
bantuan uang secara insidental atau secara periodik (dengan tidak ada
kontraprestasinya), yang dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara),
untuk memperoleh pendapatan, dimana terjadi suatu tatbestand (sasaran
pemajakan) yang karena undang-undang telah menimbulkan hutang pajak.
d. Pajak menurut Edwin, bahwa uang pajak digunakan untuk produksi barang
dan jasa, jadi benefit diberikan kepada masyarakat hanya tidak mudah
ditunjukkannya apalagi secara perorangan.
e. Pajak menurut Feldman, merupakan prestasi yang dipaksakan sepihak oleh
dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara
umum) tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk
menutupi pengeluaran umum.
f. Pajak menurut Smeets, adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang
melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa ada
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan.
g. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R,
pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah
bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan
ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang
langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan
tugastugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
h. Pajak menurut Soeparman, pajak ialah iuran wajib berupa uang atau barang
yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup
biaya produksi barangbarang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai
kesejahteraan umum.
i. Menurut Rohmat Soemitro, pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat
jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Defi nisi tersebut kemudian
dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan
dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan
surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama
untuk membiayai public investment.
2. Definisi Hukum Pajak

6
Hukum Pajak adalah kumpulan peraturan-peraturan yang dipergunakan untuk
mengatur hubungan hukum antara Negara (Fiscus) sebagai pemungut pajak dan
masyarakat sebagai pembayar pajak. Hal itu, menunjukan bahwa di bidang
perpajakan akan berhadapan dua subyek hukum, ialah Negara dengan masyarakat
sebagai wajib pajak . Karena keduanya berstatus sebagai subyek hukum, maka
secara yuridis memiliki hak dan kewajiban yang harus diadopsi dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Apabila berkeinginan untuk mengetahui tujuan
hukum pajak, maka sebelumnya perlu diketahui tujuan hukum secara umum
sebagai landasan bagi hukum pajak. Secara umum, tujuan hukum telah banyak
dikemukakan oleh para ahli, seperti Aristototeles dalam bukunya Rhetorica, yang
menganggap bahwa hukum bertujuan untuk menciptakan keadilan. Selain untuk
mencapai keadilan, menurut para ahli lainnya, hukum bertujuan untuk
menciptakan ketertiban, kepastian hingga untuk mencapai kebahagian.
Sedangkan tujuan hukum pajak secara umum, adalah menciptakan keadilan di
dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh penguasa (Negara) kepada
masyarakat sebagai wajib pajak. Bahwa nilai adil di setiap Negara dalam
pemungutan pajak berbeda, di Jepang pegawai negeri dibebaskan dari pajak
pendapatan karena di pandang adil, sebab pegawai negeri telah langsung
menyumbangkan tenaga dan pikiran kepada pemerintah. Di dalam melakukan
pemungutan pajak, keadilan merupakan hal yang sangat sulit dalam praktek
pelaksanaannya, tetapi dengan adanya azas - azas yang menjiwai setiap hukum
pajak, diharapkan pemungutan pajak dapat dilakukan secara baik dan tepat
(proposional). Adil menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :
(1) sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak;
(2) berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran; dan
(3) sepatutnya, tidak sewenang-wenang.
B. NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA
PAJAK
1. Nomor Pokok Wajib Pajak
a. Pengertian
Wajib Pajak (WP) adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayar
pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai

7
sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda
pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
NPWP dapat dihapuskan, hanya apabila Wajib Pajak tersebut sudah
tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Misalnya Wajib Pajak
meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan atau meninggalkan warisan
tetapi sudah terbagi habis kepada ahli warisnya. Contoh lain adalah Wajib
Pajak tidak lagi memperoleh penghasilan atau memperoleh penghasilan tetapi
di bawah PTKP.
Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk
memiliki NPWP dan atas perbuatannya tersebut menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
b. Orang pribadi yang wajib memiliki NPWP
Orang pribadi yang memiliki NPWP yaitu:
- Orang yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
- Orang pribadi yang  tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang
memperoleh penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Besarnya Penghasilan Tidak kena pajak (PTKP) setahun adalah:

- Wajib Pajak sendiri : Rp 15.840.000,-;


- Wajib Pajak kawin : Rp 17.160.000,-;
- Wajib Pajak kawin & Memiliki 1 tanggungan : Rp 18.480.000,-;
- Wajib Pajak kawin & Memiliki 2 tanggungan : Rp 19.800.000,-;
- Wajib Pajak kawin & Memiliki 3 tanggungan : Rp 21.120.000,-.

Misalnya, Budi (statusnya sendiri) karyawan di PT A memiliki


penghasilan setiap bulannya Rp 2 juta atau setahun Rp 24 juta, dengan
demikian Budi wajib memiliki NPWP.

c. Manfaat Memiliki NPWP


1. Kemudahan Pengurusan Adiministrasi dalam:

8
a) Pengajuan kredit bank
b) Pembuatan rekening koran di bank
c) Pengajuan SIUP / TDP
d) Pembayaran pajak final (PPh final, PPN dan BPHTB, dll)
e) Pembuatan paspor
f) Mengikuti lelang di instansi pemerintahan, BUMN dan BUMD
2. Kemudahan pelayanan perpajakan:
a) Pengembalian pajak
b) Pengurangan pembayaran pajak
c) Penyetoran dan pelaporan pajak
2. Penjelasan Tentang Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
a. Pengertian
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) merupakan nomor identitas
Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang disematkan saat pengusaha dikukuhkan
sebagai PKP lewat surat pengukuhan PKP. Jika pengusaha sudah mendapat
nomor pengukuhan PKP (NPPKP) berarti PKP tersebut dinyatakan sudah
resmi menjadi PKP dan dengan demikian terikat kewajiban-kewajiban
perpajakan yang diperuntukan bagi PKP.
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini berbeda dengan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) meski keduanya berfungsi sebagai identitas perpajakan.
Perbedaannya adalah, NPWP merupakan identitas wajib pajak, baik pribadi
maupun badan yang merupakan identitas atau bukti kepesertaan dalam
melakukan hak dan kewajiban perpajakan.
Sedangkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP) lebih menitikberatkan
pada identitas wajib pajak perorangan atau badan yang terikat pada kewajiban
perpajakan untuk PKP.
b. Fungsi nomor pengukuhan pengusaha kena pajak
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) memiliki fungsi sebagai berikut:

1. Sebagai identitas PKP yang bersangkutan, selain tentunya NPWP.


2. Sebagai penanda bagi PKP yang memiliki untuk melaksanakan hak dan
kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM).
3. Sebagai pengawasan administrasi perpajakan

9
Nomor pengukuhan PKP (NPPKP) ini tertera dalam surat pengukuhan
PKP bersama dengan identitas wajib pajak lainnya, seperti Nama, NPWP,
Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU), status usaha hingga kewajiban pajak.
c. Kewajiban yang melekat pada nomor Pengukuhan PKP
Jika pengusaha telah mendapatkan nomor pengukuhan PKP (NPPKP)
yang disertai juga dengan surat pengukuhan PKP, maka kepada pengusaha
tersebut terikat kewajiban-kewajiban sebagai PKP, yakni:
1. Memungut pajak yang terutang
2. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran
lebih besar dari pada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta
menyetorkan PPnBM yang terutang.
3. Melaporkan pemungutan, penyetoran, dan penghitungan pajaknya paling
lambat akhir bulan berikutnya.
d. Syarat mendapatkan Nomor Pengukuhan PKP (NPPKP)
Untuk mendapatkan nomor pengukuhan PKP, pengusaha baik pribadi
maupun badan, harus memenuhi kriteria PKP, yang utama adalah memiliki
omzet atau perderan bruto usaha satu tahun sebesar Rp4,8 miliar.
Pengusaha yang sudah memiliki omzet per tahun Rp 4,8 miliar atau
lebih wajib dikukuhkan sebagai PKP dan harus melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP. Sementara, bagi pengusaha yang belum memiliki
omzet sebesar Rp 4,8 miliar namun ingin dikukuhkan sebagai PKP, harus
mengajukan permohonan pengukuhan PKP untuk mendapatkan surat
pengukuhan dan nomor pengukuhan PKP (NPPKP).
C. PEMOTONGAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK
Dunia perpajakan terdapat dua istilah yang meski sekilas memiliki arti yang
sama, namun dua istilah ini memiliki makna yang berbeda. Dua istilah yang dimaksud
adalah pemungutan PPN dan pemotongan PPh. Memang, antara pemungutan PPN dan
pemotongan PPh terlihat jelas perbedaannya, dimana istilah pemungutan condong
ditujukan kepada Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Sementara, istilah pemotongan
condong kepada Pajak Penghasilan (PPh). Sebenarnya dalam PPh juga dikenal adanya
istilah pemungutan, yakni untuk PPh Pasal 22. Namun, dalam tulisan ini secara
spesifik akan dibahas mengenai perbedaan pemungutan PPN dan pemotongan PPh
serta prinsip-prinsip yang menyertai dua istilah perpajakan ini.

10
Dalam sistem perpajakan di Indonesia dikenal konsep pemotongan dan
pemungutan pajak atau biasa disebut dengan pajak potput (withholding tax). Sistem
withholding tax merupakan salah satu sistem administrasi perpajakan yang banyak
diterapkan di banyak negara. Hal itu terjadi karena sistem withholding tax memiliki
beberapa keunggulan di antaranya withholding taxes mencoba meringankan beban
wajib pajak karena pajak dipotong/dipungut dan dibayarkan ke kas negara saat
penghasilan belum diterima. Sistem ini sejalan dengan salah satu dari the four maxim
dari Adam Smith yaitu asas convenience of payment. Meskipun, dari sisi lain,
sebagian orang berpendapat sistem ini dapat juga menambah beban bagi pihak
pemotong/pemungut pajak karena beban administrasi yang harusnya ditanggung oleh
otoritas pajak dialihkan kepada wajib pajak selaku pemotong/pemungut pajak.
Di Indonesia, pemotongan pajak penghasilan (PPh) diatur dalam Undang-
Undang (UU) PPh yang tercakup dalam beberapa pasal, di antaranya Pasal 21, Pasal
23, Pasal 26, dan Pasal 4 ayat (2) yang bersifat final. Selain itu, ada juga Pasal 22
yang mengatur pemungutan PPh. Selain itu, ada pula pemungutan pajak pertambahan
nilai (PPN) menurut UU PPN. Dua istilah tersebut sekilas memiliki arti yang sama,
namun ternyata berbeda dalam penggunaannya. Berdasarkan ketentuan perundang-
undangan perpajakan di Indonesia, istilah pemotongan digunakan untuk pengenaan
PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Sedangkan pemungutan digunakan
untuk pengenaan PPh Pasal 22 dan PPN.
1. Perbedaan Pemotongan dan Pemungutan Pajak
Mesipun tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai definisi dari pemotongan
dan pemungutan, namun secara sederhana pemotongan pajak dapat diartikan
sebagai kegiatan memotong sejumlah pajak yang terutang dari keseluruhan
pembayaran yang dilakukan. Pemotongan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak
yang melakukan pembayaran terhadap penerima penghasilan. Dengan kata lain,
pihak pembayar bertanggungjawab atas pemotongan dan penyetoran serta
pelaporannya. Sedangkan, pemungutan pajak merupakan kegiatan memungut
sejumlah pajak yang terutang atas suatu transaksi. Pemungutan pajak akan
menambah besarnya jumlah pembayaran atas perolehan barang. Namun demikian,
ada juga pemungutan yang dilakukan oleh pihak pembayar dengan mekanisme
yang sama dengan pemotongan.
Dari sisi persamaannya, baik pihak yang melakukan pemotongan atau
pemungutan pajak sama-sama kepanjangan tangan otoritas pajak (fiskus) untuk

11
mengambil dan menyetorkan pajak ke kas negara. Kedua istilah ini juga
disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) UUPPh yang berbunyi sebagai berikut
“Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh
Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan
pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.”
Untuk memahami perbedaan di atas, berikut contoh kasus pemotongan dan
pemungutan pajak:

Pemotongan:
PT A membayar jasa konsultasi (jasa kena pajak) kepada PT B sebesar
Rp10.000.000. Atas pembayaran tersebut, PT A wajib memotong PPh Pasal 23
sebesar 2% x Rp10.000.000 = Rp200.000. Dengan demikian, pembayaransebesar
Rp1.000.000 dari PT A ke PT B telah dipotong PPh sebesar Rp200.000 sehingga
jumlah pembayaran yang diterima oleh PT B adalah Rp9.800.000.

Pemungutan:
Dalam kasus soal yang sama, PT A dan PT B merupakan perusahaan yang
telahdikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Oleh sebab itu, PT B harus
memungut PPN sebesar 10% X 10.000.000 = Rp1.000.000. Dengan demikian,
pembayaran Rp10.000.000 dari PT A ke PT B telah dipungut PPN sebesar
Rp1.000.000 sehingga jumlah pembayaran yang diterima oleh PT B adalah
Rp1.100.000.
Secara keseluruhan jumlah pembayaran yang dilakukan PT A kepada PT B
adalah Rp10.000.000 + Rp1.000.000 (PPN) – Rp200.000 (PPh Pasal 23) =
Rp10.800.000.*
2. Prinsip Pemotongan dan Pemungutan Pajak
Dipandang dari prinsipnya, pemungutan PPN dan pemotongan PPh sama
memiliki prinsip self assessment, dalam arti pemungut dan pemotong diberikan
kepercayaan oleh pemerintah untuk melakukan penghitungan, pemungutan dan
pemotongan serta menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
Namun, dalam pemotongan PPN berlaku beberapa prinsip, yakni prinsip tempat
asal, prinsip tempat tujuan. Prinsip tempat asal merupakan prinsip dimana barang
dan jasa dikenakan PPN di tempat barang dan jasa tersebut dibuat atau diproduksi.
Artinya, pengenaan pajak dilakukan di negara asal tempat terjadinya

12
pembelian/penyerahan barang sebagai representasi tempat konsumsi. Dalam
prinsip ini ekspor diberlakukan sama dengan transaksi domestik.
Sementara prinsip tempat tujuan merupakan prinsip dimana barang danjasa
dikenakan PPN di tempat barang dan jasa tersebut di konsumsi tanpa
memperhatikan tempat asal barang tersebut di produksi. Prinsip ini membebaskan
pajak di negara pengekspor dan mengenakan pajak atas barang dan jasa di negara
pengimpor sebagai tempat representasi konsumsi. Nah, di Indonesia prinsip yang
digunakan adalah prinsip tempat tujuan. Jadi, pemungutan PPN dikenakan saat
barang tersebut dikonsumsi, sehingga pembayaran PPN atas ekspor bisa diminta
kembali dan negara mengenakan pajak atas impor.
Memang, dalam Undang-Undang (UU) PPN tidak secara langsung disebut
bahwa Indonesia menganut prinsip tempat tujuan. Namun, jika dilihat secara
substansi, pengertian tempat tujuan adalah memberlakukan pemungutan pajak,
dalam hal ini pemungutan PPN, ketika barang dan/atau jasa dikonsumsi,
mengembalikan pembayaran PPN atas barang ekspor dan mengenakan PPN atas
impor. Hal ini secara jelas termaktub dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4
yang menyebutkan bahwa pemungutan PPN dikenakan atas:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean.
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean.
c. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah
pabean.
d. Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
e. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
f. Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP.
g. Ekspor JKP oleh PKP.
Sementara, untuk pengenaan pemungutan PPN 0% untuk ekspor dijelaskan
pada Pasal 7 Ayat (2), yang menyatakan bahwa tarif PPN sebesar 0% diterapkan
pada:
1. Ekspor BKP berwujud.
2. Ekspor BKP tidak berwujud.
3. Ekspor JKP.
Pengenaan tarif 0% pada ekspor BKP/JKP bukan berarti atas ekspor tersebut
dibebaskan dari pemungutan PPN. Pengenaan tarif 0% di sini dapat berarti bahwa

13
pajak masukan yang telah dibayarkan untuk perolehan BKP/JKP yang berkaitan
dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.
D. PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK
1. Ketentuan Umum Pembayaran dan Penyetoran Pajak:
a) PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus
disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
b) PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor
paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak
berakhir, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
c) PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang dipotong/dipungut atau yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak, harus disetor sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau
risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
d) PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek yang dipotong
oleh penyelenggaran bursa efek harus disetor selambat-lambatnya tanggal 20
(dua puluh) setiap bulan atas transaksi penjualan saham yang dilakukan dalam
bulan sebelumnya.
e) PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang
pribadi atau badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek terhadap
pemilik saham pendiri harus disetor oleh emiten atas nama pemilik saham
pendiri selambat-lambatnya: 1) 6 (enam) bulan setelah tanggal 29 Mei 1997,
apabila saham perusahaan telah diperdagangkan di bursa efek sebelum tanggal
tersebut; 2) 1 (satu) bulan setelah saham tersebut diperdagangkan di bursa
efek, apabila saham perusahaan baru diperdagangkan di bursa efek pada atau
setelah tanggal 29 Mei 1997 tanggal.
f) PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
g) PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
h) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama
tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.

14
i) PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran
atau pejabat penanda tangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPh
Pasal 22, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran
kepada Pengusaha Kena Pajak rekanan pemerintah melalui Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara.
j) PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran, harus disetor paling
lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan
barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh
bendahara.
2. Tata Cara Pembayaran & Penyetoran Pajak
Pembayaran dan penyetoran pajak pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank
Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing. dilakukan ke Kas Negara
melalui:
a) layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau
b) layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan SSP atau


sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP, SSP atau sarana
administrasi lain dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan NTPN. Sarana
administrasi lain dapat berupa:

a) BPN atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak
secara elektronik atau dengan datang langsung ke Bank Persepsi
b) SSPCP atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan
PPnBM impor serta PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri;
c) Bukti Pbk atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan;
atau
d) Bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Satu formulir SSP dengan menggunakan 1 (satu) kode akun pajak dan 1
(satu) kode jenis setoran, hanya dapat digunakan untuk pembayaran:

 1 (satu) jenis pajak,


 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak, dan

15
 1 (satu) surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
PBB atau Surat Tagihan Pajak PBB.
E. PELAPORAN DENGAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
Surat Pemberitahuan (SPT) adalah laporan pajak yang disampaikan kepada
pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak. Ketentuan mengenai SPT
diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan, pemerintah
mengharuskan seluruh wajib pajak untuk melaporkan SPT sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Nah, dalam ketentuan tersebut, secara garis besar kita dapat
menyimpulkan fungsi dari SPT adalah melaporkan pelunasan atau pembayaran pajak
yang sudah dilakukan, baik secara personal maupun melalui pemotongan penghasilan
dari perusahaan dalam jangka waktu satu tahun. Melaporkan harta benda yang
dimiliki di luar penghasilan tetap dari pekerjaan utama. Melaporkan penghasilan
lainnya yang termasuk ke dalam kategori objek pajak maupun bukan objek pajak.
SPT juga terbagi menjadi dua kategori, yaitu SPT Tahunan dan SPT Masa. Ingin tahu
apa perbedaan fungsi dua SPT tersebut? Baca penjelasan selengkapnya di bawah ini:
1. SPT Tahunan
SPT Tahunan merupakan laporan pajak yang disampaikan satu tahun sekali
(tahunan) baik oleh wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi, yang
berhubungan dengan perhitungan dan pembayaran pajak penghasilan, objek pajak
penghasilan, dan/atau bukan objek pajak penghasilan, dan/atau harta dan
kewajiban sesuai dengan peraturan pajak untuk satu tahun pajak, atau bagian dari
tahun pajak.
2. SPT Masa
Di Indonesia terdapat 10 jenis SPT Masa. SPT Masa tersebut dinamakan
berdasarkan nomor pasal, di mana aturan pajak tersebut diatur, 10 jenis SPT Masa
tersebut adalah:
a) PPh Pasal 21/26.
b) PPh Pasal 22.
c) PPh Pasal 23/26.
d) PPh Pasal 25.
e) PPh Pasa 4 ayat (2).
f) PPh Pasal 15.
g) PPN (Pajak Pertambahan Nilai).

16
h) PPN bagi Pemungut .
i) PPN bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang menggunakan nilai
lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
j) Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Jenis Formulir dalam Pelaporan SPT
Setiap pekerja/pegawai pasti menerima bukti potong sebagai bukti setoran
pajak yang telah dipungut dan dilaporkan oleh perusahaan pemberi kerja.
Formulir bukti potong tersebut terbagi menjadi dua yakni:
a) Formulir 1721 A1 khusus untuk para karyawan yang bekerja di perusahaan
milik swasta.
b) Formulir 1721 A2 untuk karyawan yang menjabat sebagai Pegawai Negeri
Sipil.

Kedua formulir ini nantinya akan menjadi pedoman wajib pajak ketika lapor
pajak.Selain formulir bukti potong, kita juga mengenal tiga jenis formulir SPT
PPh Orang Pribadi, yakni formulir 1770 yang ditujukan bagi wajib pajak yang
bekerja tanpa ikatan kerja tertentu, formulir 1770 SS yang ditujukan untuk
perseorangan atau pribadi dengan jumlah penghasilan kurang dari atau sama
dengan Rp60 juta setahun dan hanya bekerja pada satu perusahaan, serta formulir
1770 S untuk wajib pajak pribadi dengan penghasilan tahunan lebih dari Rp60 juta
dan bekerja pada dua perusahaan atau lebih.

17
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-
undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik
(kotraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum. (Mardiasmo, 2011:3). Dengan pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yangmelekat pada penegertian pajak adalah:
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaan nya
yang sifatnya dipaksakan.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi
individual oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah.
d. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain Budgeter (pendanaan) yaitu
Regulerend (mengatur).

Wajib Pajak memiliki kewajiban melaporkan dan Membayar pajak sesuai


dengan undang-undang perpajakan termasuk pajak Penghasilan yang diatur dalam
Pasal 21, berupa gaji, honorarium, Upah, tunjangan dan pembayaran lain yang
diterima oleh karyawan Terkait dengan pekerjaan atau layanan posisi dan aktivitas.
Wajib pajak bisa dikatakan patuh jika kalau tidak pernah menunggak membayar dan
melaporkan pajak tepat waktu serta taat peraturan perundang-undangan perpajakan.

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak yang telah


memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, sebagai sarana dalam administrasi
perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Wajib Pajak yang telah terdaftar yaitu Wajib Pajak yang telah terdaftar dalam
tata usaha Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan telah diberikan NPWP yang terdiri dari
15 digit : yaitu 9 digit pertama merupakan kode Wajib Pajak dan 6 digit berikutnya
merupakan kode administrasi pajak. Kartu NPWP ini diterbitkan oleh KPP.

18
Masalah kewajiban mendaftarkan diri diawali dari dasar Pasal 2 UU No. 28
Tahun2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang
menyatakan bahwa “ Setiap Wajib Pajak wajib mendaftar diri pada Kantor Direktoral
Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP”.

Pasal 1 angka 11 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menyebutkan bahwa pengertian Surat Pemberitahuan (SPT) adalah
surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau
pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan
kewajiban, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengaturan SPT tersebut selanjutnya dituangkan dalam Peraturan Pemerintah


Nomor 80 Tahun 2007 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan hak dan
kewajiban perpajakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta telah beberapa kali direvisi.
Undang-Undang Nomor 28 dan menerapkan peraturan tingkat yang lebih rendah,
seperti Peraturan Menteri Keuangan. Wajib Pajak yang tidak mematuhi ketentuan
peraturan perundang-undangan SPT akan dikenakan sanksi administratif dan / atau
sanksi pidana.

B. SARAN
Makalah ini masih memiliki banyak kekurangan dalam segi tulisan maupun
isinya. Diharapkan kepada pada teman-teman dan dosen pengampu untuk
memberikan kritik dan saran kepada kami agar kami dapat meningkatkan kualitas
penulisan kami di waktu yang akan datang.

19
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Mustaqiem.2014.Perpajakan dalam Konteks Teori dan Hukum Pajak di


Indonesia.Yogyakarta: Buku Litera.

Web:

https://www.online-pajak.com/tentang-pph-final/nomor-pengukuhan
pkp#:~:text=Nomor%20pengukuhan%20PKP%20(NPPKP)%20merupakan,dan%20dengan
%20demikian%20terikat%20kewajiban-

https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/perbedaan-pemungutan-ppn-dan-
pemotongan-pph

https://news.ddtc.co.id/perbedaan-pemotongan-dan-pemungutan-pajak-15784

https://klikpajak.id/blog/bayar-pajak/ketentuan-umum-mengenai-pembayaran-pajak-yang-
harus-diketahui/ (diakses pada hari Selasa, 16 februari 2021 19.30 Wita)

https://www.pajak.go.id/id/pembayaran-dan-penyetoran-pajak (diakses pada hari


Rabu, 17 februari 2021 07.30 Wita)

https://sipp.menpan.go.id/pelayanan-publik/kementerian-keuangan/direktorat-
jenderal-pajak/kantor-wilayah-direktorat-jenderal-pajak-jawa-tengah-ii/upp-kpp-pratama-
karanganyar/pembayaran-dan-penyetoran-pajak (diakses pada hari Rabu, 17 februari 2021
13.00 Wita)

https://nusahati.com/2015/01/sekilas-tentang-pembayaran-penyetoran-pelaporan-
pajak/ (diakses pada hari Rabu, 17 februari 2021 13.00 Wita)

https://www.kemenkeu.go.id/sites/default/

http://eprints.perbanas.ac.id/1911/7/BAB%20V.pdf

20

Anda mungkin juga menyukai