Anda di halaman 1dari 5

2.

Konsep al-Huddud
Hudud secara bahasa adalah jamak dari kata hal yang mempunyai arti
memisahkan salah satu barang (sesuatu) agar tidak tercampur dengan yang lain,
atau salah satunya tidak melampaui batas atas yang lainnya (Muhammad, 1409:
353). Sedangkan dalam kamus bahasa indonesia, kata had bermakna batas;
hingga menghadkan berarti: 1) membatasi; menentukan batasnya supaya tidak
melebihi jumlah, ukuran, dan sebagainya, 2) mengkhususkan. Berdasarkan
maksud yang etimologi bahwa hudud adalah suatu pemisah atau pembatas yang
tidak boleh dilewati karena suatu pelanggaran yang mempunyai hukuman.
Sedangkan menurut terminologi, hudud menurut abu bakar jabir al-jazariy
adalah suatu larangan allah yang diperintahkan kepada manusia untuk
memeliharanya dan tidak mendekatinya (terjemah Subarkah, 2009: 876).
berdasarkan paparan disampaikan oleh abu bakar al-jazariy bahwa hudud itu
lebih luas yang penekanannya bertitik pada larangan allah. Jadi semua apa yang
di larang Allah yang diperintah untuk menjauhkan diri dari larangan,
dikategorikan sabagai hudud allah. Maksudnya definisi ini tidak hanya
terfokuskan pada jenis pelanggaran tertentu.
1. Term Hudud dalam Al-Qur’an
Term hudud (dalam bentuk jamak) disebutkan 9 kali dalam al-qur’an
pada 5 surat yaitu 3 kali dalam surat Al-Baqorah, 2 kali dalam surat An-
Nisa’, 2 kali dalam surat At-Taubah, 1 kali dalam surat Al-Mujadalah, 1 kali
dalam surat Ath-talak. Semuanya termasuk dalam surat madaniyah.
Penyebaran term hudud dalam ayat-ayat tersebut, mempunyai beberapa
makna, yaitu:
a. Hudud, larangan untuk melakukan berbuat perbuatan-perbuatan
tertentu, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-baqorah dan At-
Thalaq. Perbuatan yang dilarang dalah perbuatan yang telah
dilakukan. Jika melakukan dilanggar, maka akan diberikan sangsi
atau sebuah hukuman.
b. Term hudud, bermakna tata-hukum yakni aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh Allah untuk mengatur tata perbuatan manusia.
Aturan-aturan allah itu harus diikuti dan dipedomani demi
kemaslahatan manusia itu sendiri.
c. Hudud, bermakna ketentuan, yakni batas-batas perbuatan yang di
bolehkan dan tidak dibolehkan. Perbuatan yang tidak boleh telah
ditentukan oleh allah dan hukuman bagi orang yang melanggar
ketentuan yang telah ditentukan.
2. Objek Hudud dalam Al-Qur’an
Menurut A Djazuli (1997:2-3) menyatakan bahwa perbuatan yang
diancam dalam hukum had mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a) Adanya nas yang melarang perbuatan tertentu dan disertai ancaman
hukuman berdasarkan perbuatan, unsur-unsur ini dikenal istilah unsurl
formal.
b) Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayat, baik berupa
melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggal perbuatan yang
haruskan, istilah ini disebut dengan istilah unsur materil.
c) Adanya pelaku kejahatan yaitu orang yang dapat menerima khitab,
artinya pelaku jinayat telah mukallaf sehingga dapat dituntut atas
kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini disebut dengan istilah unsur
moral.
Unsur-unsur tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman sehingga
dapat dideteksi perbuatan yang dikategorikan sebagai hudud jinayah
(tindak pidana) yang diancam oleh Al-qur’an. Sesuai dengan
perkembangan fuqaha mengklasifikasikan untuk mewujudkan bentuk-
bentuk pelanngaran yang dikenak hudud dalam Al-Qur’an yakni : Qazaf
(menuduh berzina), perzinahan, pencurian, hirabah (pengacau), makar
(bughat), murtad, serta peminum khamr.
3. Diyat
Kata diyat secara berasal dari kata “wadâ - yadî - wadyanwa diyatan”.
Bila yang digunakan mashdar wadyan. berarti sâla (mengalir) yang seri
dikaitkan dengan lembah, seperti yang di dalam firman Allah Azza wa Jalla
yang artinya :
“Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua
terompahmu;sesungguhnya kamu berada dilema yang suci Thuwa”. (Q:S
Taha (20): 12)
Akan tetapi, jika menggunakan mashdar diyatan ( berarti membayar harta
tebusan yang diberikan kepada korban atau walinya dengan sebab tindak pidana
penganiyaan (jinâyat), harta yang diberikan sebagai gantidari jiwa yang terbunuh.
Sedangkan diyat secara istilah syariat adalah harta yang wajib dibayar dan
diberikan oleh pelaku jinâyat kepada korban atau walinya sebagai ganti rugi,
disebabkan jinâyat yang dilakukan oleh si pelaku kepada korban. Definisi ini
mencakup diyat pembunuhan dan diyat anggota tubuh yang dicederai, sebab harta
ganti rugi ini diberikan kepada korban bila jinâyatnya tidak sampai
membunuhnya dan diberikan kepada walinya bila korban terbunuh. Diyat ada dua
macam yaitu:
1. Diyat kabir (denda besar) yaitu seratus ekor onta, dengan perincian: 30 ekor
unta betina umur 3 tahun masuk empat tahun, 30 ekor unta betina umur
empat tahun masuk lima tahun, dan 40 ekor unta betina yang sudah hamil.
Diwajibkan denda berat karena:
a) Sebagai ganti hukum bunuh (qisas) yang dimaafkan pasa pembunuhan
yang betul-betul disengaja. Denda ini wajib dibayar tunai oleh yang
membunuh sendiri. Hal ini dilandasi hadis nabi:
sesiapa membunuh orang dengan sengaja, ia diserahkan kepada
keluarga yang terbunuh. Mereka boleh membunuhnya atau menarik
denda, yaitu 30 ekor unta betina umur tiga masuk empat tahun, 30 ekor
unta betina umur empat tahun masuk lima tahun, 40 ekor unta betina
yang sudah hamil. (H.R. al-Turmizi).
b) Melakukan pembunuhan “semi sengaja”. Denda ini wajib dibayar oleh
keluarganya, diangsur dalam waktu selama tiga tahun, tiap-tiap akhir
tahun wajib dibayar sepertiga.
2. Diyat Shaghir (denda ringan), banyaknya seratus ekor unta juga, tetapi dibagi
lima: 20 ekor unta betina umur satu masuk dua tahun, 20 ekor unta betina
umur dua tahun masuk tiga, 20 ekor unta jantan umur dua tahun masuk tiga
tahun, 20 ekor unta betina umur tiga tahun masuk empat, 20 ekor unta jantan
umur empat tahun masuk lima. Denda ini wajib dibayr keluarga yang
membunuh dalam masa tiga tahun, tiap akhir tahun dibayar sepertiganya.
Jika denda tidak dapat dibayar dengan unta, wajib dibayar dengan uang
sebanyak harga unta tersebut. Ini pendapat sebagian ulama.
Ringannya denda dipandang dari tiga segi:
a) Jumlahnya yang dibagi lima
b) Diajibkan atas keluarga yang bersangkutan
c) Diberi waktu tiga tahun
Berat denda dipandang dari tiga segi juga:
a. Jumlah denda hanya dibagi tiga, sedangkan tingkat umurnya lebih besar
b. Denda diwajibkan atas yang membunuh itu sendiri
c. Denda wajib dibayar tunai
Denda perempuan (kalau yang terbunuh perempuan) adalah sperdua dari
denda lak-laki hal ini didasiri gadis nabi:
“denda perempuan seperdua denda laki-laki” (H.R. Amr Ibni Hazm)
Denda orang yang beragama Yahudi dan Nasrani adalah sepertiga dari denda
orang Islam, dan denda orang yang beragama Majusi sepelimabelas dari denda
orang Islam. Keterangannya berdasarkan perbuatan sahabat.
Disempurnakan diyat sebagai diyat membunuh orang yang apabila
anggotaanggota berikut ini atau melenyapkan manfaatnya, yaitu, dua tangan, dua
kaki, hidung, dua telinga, dua mata, lidah, dua bibir, kemaluan, dua pelir,
membisukan, membutakan, menghilangkan pendengaran, menghilangkan
penciuman, dan menghilangkan akal (Rasjid, 2003: 433-434 ).

Dafpus diyat
Rasjid, Sulaiman. 2003. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Q:S Taha(20): 12
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat diharapkan agar bisa kami jadikan pembelajaran kedepannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan tentang Fikih
Jinayah. Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
baik dari segi penyusunan kata, penulisan dan lain sebagainya untuk itu kami mohon
maaf.

Anda mungkin juga menyukai