Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PBAK “GRATIFIKASI”

OLEH :

NAMA : KRISTIANI ADE RISTA

KELAS : 3 REGULER A

NIM : PO530333019570

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG

PROGRAM STUDI SANITASI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
danhidayahNya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini sebagai salah satu
tugas pada matakuliah PBAK dengan judul makalah “Gratifikasi “

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas matakuliah yang diberikan oleh
dosen pengajar. Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik dari cara penulisan, penyusunan, penguraian, maupun isinya. Oleh sebab itu, saya
mengharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan makalah ini.

Ucapan terimakasih saya sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan
dukungan baik moril maupun materi dalam proses penulisan makalah ini. Akhirnya,saya
mengharapkan semoga makalah ini dapat berguna bagi semua pihak, baik bagi pembaca maupun
saya sendiri.

Kupang,November 2021

Penulis,Kristiani Ade Rista


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gratifikasi menjadi unsur penting dalam sistem dan mekanisme pertukaran
hadiah. Sehingga kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan pada penyelenggara
negara, pegawai negeri dan masyarakat
Gratifikasi ini diharapkan memberi pemahaman yang lebih baik bagi
Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya, mengenai gratifikasi yang terkait dengan Tindak Pidana Korupsi, seperti yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Buku Saku ini juga memaparkan tentang peran KPK sebagai lembaga yang
diberi kewenangan untuk menegakkan aturan tersebut. Contoh-contoh kasus gratifikasi
yang sering terjadi juga diuraikan dalam buku ini, dengan disertai analisis mengapa suatu
pemberian/hadiah tersebut bersifat tidak dianggap suap atau dianggap suap, serta sikap
yang harus diambil (dalam hal ini penyelenggara negara dan pegawai negeri) ketika
berada dalam situasi tersebut.
Implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit menghadapi
kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih mengangap bahwa memberi hadiah
(baca: gratifikasi) merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu
yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat ‘kohesi sosial’
dalam suatu masyarakat maupun antarmasyarakat bahkan antarbangsa.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Yang Dimaksud Dengan Gratifikasi
2. Apasaja Lanadasan Hukum Gratifikasi
3. Bagaimana Sejarah Gratifikasi
4. Apakah Perbedaan Gratifikasi Dianggapsuap Dan Tidak Di Anggap Suap
5. Apakah Perbedaancgratifikasi ,Suap,Danuang Pelican
6. Bagaimanakah Cara Pelaporan Gratifikasi
7. Bagaimanakah Jika Saya Menerima Gratifikasi
8. Apa Sajakah Kasus Gratifikasi Yang Pernah Terjadi Di Indonesia

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan Penegertian Gratifikasi
2. Menjelaskan Lanadasan Hokum Tentang Gratifikasi
3. Menjelaskan Sejarah Gratifikasi
4. Menjelaskan Perbedaan Gratifikasi Di Anggap Suap Dan Tidak Di Anggapsuap
5. Menjelaskan Perbedaan Gratifikasi ,Suap,Danuang Pelican
6. Menjelaskan Cara Pelaporan Gratifikasi
7. Menjelaskanjikan Cara Menanggapi Jika Gratifikasi Terjadi Pada Saya
8. Menjelaskan Apa Saja Contoh Kasus Gratifikasi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Gratifikasi
Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Sumber:
Kenali Gratifikasi dan Sanksinya.
B. Landasan Hukum Gratifikasi
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b ayat (1), setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut: yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian
terbalik); yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan suap dilakukan oleh penuntut umum.
Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengatur tentang pengendalian gratifikasi
melalui Permen KP No.44/PERMEN-KP/2017 tentang Pedoman Teknis Pengendalian
Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan untuk
mempermudah dalam pengendaliannya, Menteri Kelautan dan Perikanan membentuk
Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) melalui Kepmen KP No. 38/KEPMEN-KP/2017
tentang Unit Pengendalian Gratifikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di dalam
peraturan tersebut diwajibkan pula kepada unit Eselon I dan Unit Pelaksana Teknis
(UPT) untuk membentuk UPG di lingkungan kerjanya.
C. Sejarah Gratifikasi
Praktik pemberian gratifikasi dalam bentuk hadiah terjadi sejak jaman Sriwijaya
dan Majapahit. Catatan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming)
pada abad ke-7 membenarkan terjadinya praktik tersebut. Pada abad tersebut,
pedagang dari Champa –saat ini Vietnam dan Kamboja- dan Tiongkok datang dan
berusaha membuka perdagangan dengan kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Berdasarkan catatan tersebut, pada tahun 671M adalah masa di mana Kerajaan
Sriwijaya menjadi pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Dikisahkan bahwa
para pedagang dari Champa dan Tiongkok pada saat kedatangan di Sumatera
disambut oleh prajurit Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bahasa Melayu Kuno dan
Sansekerta sementara para pedagang Champa dan China hanya menguasai bahasa
Cina dan Sansekerta berdasar kitab Budha, hal ini mengakibatkan terjadinya
permasalahan komunikasi.Kerajaan Sriwijaya saat itu sudah cukup maju. Dalam
transaksi perdagangan mereka menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar
namun belum berbentuk mata uang hanya berbentuk gumpalan ataupun butiran
kecil,sebaliknya Champa dan China telah menggunakan emas, perak dan tembaga
sebagai alat tukar dalam bentuk koin serta cetakan keong dengan berat tertentu yang
dalam bahasa Melayu disebut “tael”. Dalam catatannya, I Tsing menjabarkan secara
singkat bahwa para pedagang tersebut memberikan koin- koin perak kepada para
prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak Kerabat Kerajaan Sriwijaya
yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga
bertujuan untuk mempermudah komunikasi. Pemberian koin perak tersebut
kemudian menjadi kebiasaan tersendiri di kalangan pedagang dari Champa dan China
pada saat berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan
baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan Sriwijaya.Namun, ketika
kebiasaan memberi hadiah terus terjadi, pemegang kekuasaan dengan sadar
mengubahnya menjadi bentuk pemerasan. Hal ini dapat terlihat juga dari catatan I
Tsing pada masa dimana sebagian kerajaan Champa berperang dengan Sriwijaya, para
pedagang China memberitakan bahwa prajurit prajurit kerajaan di wilayah Sriwijaya
tanpa ragu-ragu meminta sejumlah barang pada saat para pedagang tersebut akan
menemui kerabat kerajaan. Disebutkan, jika para pedagang menolak memberikan apa
yang diminta, maka para prajurit tersebut akan melarang mereka memasuki wilayah
pekarangan kerabat kerajaan tempat mereka melakukan perdagangan.
Disebutkan pula bahwa pedagang Arab yang memasuki wilayah Indonesia
setelah sebelumnya mempelajari adat istiadat wilayah Indonesia dari pedagang lain,
seringkali memberikan uang tidak resmi agar mereka diizinkan bersandar di
pelabuhan-pelabuhan Indonesia pada saat itu. Tentang praktik gratifikasi yang
mengakar begitu dalam pada kebudayaan Indonesia, berbagai catatan mengenai
perkembangan praktik terkini pemberiah hadiah di Indonesia terungkap oleh studi

Verhezen (2003)1, Harkristuti (2006) dan Lukmantoro (2007). Verhezen dalam studinya
mengungkapkan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah pada masyarakat
Jawa Modern yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk mencapai tujuan
bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi. Pemberian hadiah
(Gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi cenderung ke arah suap. Dalam konteks
budaya Indonesia pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada
pentingnya hubungan yang sifatnya personal adalah praktik umum, budaya
pemberian hadiah menurut Verhazen lebih mudah mengarah pada suap. Penulis lain,
Harkristuti (2006) terkait pemberian hadiah mengungkapkan adanya perkembangan
pemberian hadiah yang tidak ada kaitannya dengan hubungan atasan-bawahan, tapi
sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap telah memberikan
jasa atau memberi kesenangan pada sang pemberi hadiah. Demikian berkembangnya
pemberian ini, yang kemudian dikembangkan menjadi ‘komisi’ sehingga para pejabat
pemegang otoritas banyak yang menganggap bahwa hal ini merupakan ‘hak mereka’.
Lukmantoro (2007) membahas mengenai praktik pengiriman parsel pada saat
perayaan hari besar keagamaan atau di luar itu yang dikirimkan dengan maksud untuk
memuluskan suatu proyek atau kepentingan politik tertentu sebagai bentuk praktik
politik gratifikasi.
D. Perbedaan gratifikasi dianggap suap dan gratifikasi tidak dianggap suap
1) Gratifikasi yang Dianggap Suap Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai
Negeri atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Contoh Gratifikasi yang dianggap
suap dapat dilihat pada Contoh 1, 2 dan 3 di halaman 35-37.
2) Gratifikasi yang Tidak Dianggap Suap.
Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
yang tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 12 B Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
E. PerbedaanGratifikasi ,Suap ,danuang pelican
1) Gratifikasi
Arti gratifikasi dapat diperoleh dari Penjelasan Pasal 12B UndangUndang Nomor
20 Tahun 2001, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
2) Suap danUang pelican
Pemberian Uang pelicin didefinisikan sebagai sebagai tindakan pemberian uang
dari A ke B karena A menginginkan B bekerja tepat pada waktunya atau
menginginkan B bekerja lebih cepat. Pemberian uang pelicin amat terkait dengan
proses administrasi suatu aktivitas/transaksi.Kaitannya dengan uang suap, ada
sejumlah perbedaan yang disepakati para ahli. Dalam praktik yang berlangsung di
lapangan, uang pelicin umumnya dalam nominal yang tergolong kecil bila
dibandingkan dengan pemberian uang suap, meski tidak tertutup pula
kemungkinan dilakukan dalam nominal besar. Banyak sekali contoh yang dapat
ditemukan dalam keseharian mengenai uang pelicin dalam nominal kecil.
Misalnya, uang terima kasih yang diberikan agar mendapat pelayanan ekstra saat
pengurusan e-Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau KK di kalurahan, seperti
dihubungi petugas bila KTP sudah jadi.Uang pelicin dan suap meski tidak
langsung berakibat pada keuangan negara tetap menjadi bagian dari tindak pidana
korupsi. Di dalam “suap” dan “pelicin” selalu saja melibatkan secara aktif orang
yang melakukan penyuapan terhadap pejabat publik dan Penyelenggara Negara
sebagai penerima. Pemberian itu selalu pula disertai dengan kesepakatan antara
kedua belah pihak tentang nilai nominal uang suap dan cara penyerahannya.
Apalagi, bila pejabat publik atau Penyelenggara Negara itu lebih berperan aktif,
perbuatan suap itu sudah masuk dalam kategori korupsi dengan pemerasan.
F. Tata Cara Pelaporan Gratifikasi
Pelapor gratifikasi mempunyai hak untuk diberikan perlindungan secara hukum.
Menurut Pasal 15 UU KPK, KPK wajib memberikan perlindungan terhadap Saksi atau
Pelapor yang telah menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai
terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Lembaga Perlindungan Saksi
Korban (LPSK) mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan
bantuan kepada saksi dan korban. Dalam konteks ini, pelapor gratifikasi dapat akan
dibutuhkan keterangannya sebagai saksi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi.
Pelapor gratifikasi yang menghadapi potensi ancaman, baik yang bersifat fisik
ataupun psikis, termasuk ancaman terhadap karier pelapor dapat mengajukan Pelapor
gratifikasi yang menghadapi potensi ancaman, baik yang bersifat fisik ataupun psikis,
termasuk ancaman terhadap karier pelapor dapat mengajukan
G. Jika Saya Menerima Gratifikasi Apa yang harus saya lakukan
Saya akan menolak semua bentuk tindakkan yang mengandung unsure gratifikasikarena
saya itu merupakan tindakkan yang salah
H. Contoh Kasus Gratifikasi

Terdakwa kasus gratifikasi penetapan kuota impor sapi dan pencucian uang,
Ahmad Fathanah, dijatuhi hukuman penjara 14 tahun serta denda Rp1 miliar oleh
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (04/11).
Wartawan BBC Indonesia, Arti Ekawati, yang berada di gedung Pengadilan Tipikor
melaporkan bahwa lima anggota Majelis Hakim sepakat bahwa Fathanah bersalah dalam
kasus gratifikasi namun dalam tuduhan pencucian uang ada opini berbeda (dissenting
opinion) dari dua hakim dalam perkara pencucian uang.Menurut kedua hakim tersebut,
kasus pencucian uang seharusnya diperiksa oleh kejaksaan dan kemudian dilimpahkan ke
pengadilan tinggi, bukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lalu ke pengadilan
Tipikor. Sedangkan dalam kasus Fathanah, KPK sudah menangani kasus ini dari
awal."Menjatuhkan hukuman 14 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar. Apabila tidak
dibayar diganti pidana 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango.Majelis
hakim mengatakan terdakwa terbukti melakukan korupsi dan bersama-sama melakukan
tindak pencucian uang.Sidang yang menurut jadwal seharusnya dimulai pada pukul 14:00
WIB diundur hingga pukul 16:40 WIB, dengan alasan menunggu kelengkapan seluruh
anggota majelis.Dalam sidang sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum dari Komisi
Pemberantasan Korupsi menuntut terdakwa dijatuhi vonis 7,5 tahun dan denda Rp500
juta untuk dugaan suap pengurusan kuota impor daging sapi.Sedangkan untuk dugaan
tindak pidana pencucian uang, ia dituntut 10 tahun penjara serta Rp1 miliar.Ahmad
Fathanah atau juga dikenal sebagai Olong Ahmad ditangkap KPK pada 29 Januari
2013.Pria yang kemudian diketahui dekat dengan tokoh-tokoh Partai keadilan Sejahtera
ini dituduh menerima gratifikasi sebesar 1,3 miliar rupiah dari bos PT Indoguna.Uang itu
disebut akan diberikan kepada Presiden PKS saat itu, Lutfi Hasan Ishak, untuk
memuluskan pengurusan penetapan kuota impor daging sapi dari kementerian pertanian.
BAB III
PENUTUP

A Kesimpulan

1. Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
2. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b ayat (1), setiap gratifikasi kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
3. Praktik pemberian gratifikasi dalam bentuk hadiah terjadi sejak jaman Sriwijaya dan
Majapahit
4. Gratifikasi yang Dianggap Suap Yaitu Gratifikasi yang diterima oleh Pegawai Negeri
atau Penyelenggara Negara yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya sedangkan Gratifikasi tidak suap yang diterima oleh
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang tidak berhubungan dengan jabatan dan
tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
5. Pelapor gratifikasi mempunyai hak untuk diberikan perlindungan secara hukum. Menurut
Pasal 15 UU KPK, KPK wajib memberikan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor
yang telah menyampaikan laporan atau memberikan keterangan mengenai terjadinya
tindak pidana korupsi.
6. Pemberian Uang pelicin didefinisikan sebagai sebagai tindakan pemberian uang dari A ke
B karena A menginginkan B bekerja tepat pada waktunya atau menginginkan B bekerja
lebih cepat.
7. Terdakwa kasus gratifikasi penetapan kuota impor sapi dan pencucian uang, Ahmad
Fathanah, dijatuhi hukuman penjara 14 tahun serta denda Rp1 miliar oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin (04/11).

B Saran

Tolaklah semua bentuk tindakkan Gratifikasi


DAFTAR PUSTAKA

Buku-Pengantar-Gratifikasi.pdf

Buku-Pengantar-Gratifikasi.pdf

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/11/131104_vonis_fathanah

Anda mungkin juga menyukai